alt/text gambar

Kamis, 01 Agustus 2024

Topik Pilihan:

UNIK



Oleh: Y.B Mangunwijaya


Indonesia terkenal sebagai negeri yang unik, tiada duanya di dunia. Ada negeri-negeri (“negeri” lain dari “negara”) yang ada duanya. Apa sih perbedaan, misalnya, antara negeri Tunisia dan Aljazair, Kuwait dan Arab Saudi, antara Belanda dan Denmark, Swedia dan Norwegia, Italia dan Spanyol, serta Filipina dan Manado, atau Kualalumpur dan Padang atau Bukittinggi? Irian Jaya dan Papua Nugini? Tentu saja ada, sungguh ada perbedaannya, seperti Jawa dan Sunda berbeda juga, bahkan orang yang dengan tempat tinggalnya kaum joglo, Yogyakarta-Solo, sekalipun.

Tetapi Indonesia tidak sama dengan Jawa atau Sunda atau Manado atau Padang atau Bukittinggi atau Irian. Indonesia adalah Indonesia, unik. Ramah-tamah dan sopan sekaligus tukang pukul dan tukang setrum. Halus sekaligus buldozer penggusur berdarah dingin. Cerdas sekaligus dungunya dipamerkan dengan bangga. Bangsa spesialis dalam beragama sekaligus juara koruptor dan penyembah dewa kekuasaan, uang, harta, dan Dewi Venus. Amat sabar mengalah dan diam daripada berselisih tetapi sekaligus bisa edan meledak mengamuk kepada siapa pun yang terjumpai, sampai istri dan anak-anak tercinta sekali pun dibunuh, lalu langsung gembos sambil menangis tersedu-sedu, menyesal, ikhlas dihukum Tuhan dan negara seberat apa pun, di penjara menjadi santri. Sungguh aneh. 

Tidak hanya sebagai negeri atau orang negeri saja. Selaku negara pun Indonesia unik sekali. Suka damai sekaligus tanpa henti perang 22 tahun di pulau kecil. Pancasila teorinya sekaligus menjalankan praktek non-Pancasila. Pecinta alam yang mengharukan kalbu, sekaligus gigih ingin membuat sumber polusi nuklir yang berbahaya di laut padat lalu-lintas dan nelayan. Republik sekaligus kerajaan. Memang sungguh unik. Apakah mungkin karena semua manusia besar itu unik dan penuh paradoks serta kontradiksi, maka bangsa yang besar pun unik dan penuh paradoks dan kontradiksi? 

Namun, sebagai realis, penulis merasa bahwa pasti ada pembaca yang menyanggah semua yang ditulis di sini. Dengan argumen bahwa sebetulnya keunikan seperti di atas bukan paradoks, artinya ketidakcocokan antara yang diajarkan dan yang dikerjakan, melainkan hal yang normal saja. Logis dan dapat ditelusur sebab-musababnya yang alami. Kata paradoks tidak tepat. Dialektik juga tidak tepat karena di Indonesia konon tidak ada oposisi. 

Tepatnya itu hanya terkaan, mungkin argumentasi mereka berpijak pada kenyataan yang sama sekali tidak luar biasa, tidak unik. Yaitu yang nun dulu pernah dikatakan Gus Dur tentang gejala seolah-olah di negeri dan negara kita yang sudah membudaya umum. Di negeri lain pun bisa terjadi yang sama. Penulis lupa apa saja yang beliau katakan persis, tetapi predikat seolah-olah itu dapat kita temui pada banyak perkara di Indonesia. Misalnya, dunia kampus (hanya misalnya saja dan pasti ada kekecualiannya) universitas yang sebetulnya hanya seolah-olah universitas. Atau undang-undang pokok, UUP Agraria misalnya yang faktual seolah-olah UUP Agraria. Juga UUP Pendidikan yang faktual seolah-olah UUP Pendidikan, karena isinya hanya tentang persekolahan formal melulu. Perintah Wajib Belajar 9 tahun tetapi faktual seolah-olah wajib belajar 9 tahun karena nyatanya tidak apa-apa jika tidak bersekolah, disebabkan 9 tahun bersekolah masih membayar, tidak seperti pelaksana serta sanksi yang perlu untuk menjamin pelaksanaan wajib belajar tadi tidak ada atau amat kurang ada. Dan itu karena tidak ada budget negara yang memadai, dsb. Jadi, dapat terjadi di negara mana pun bila persentasi budget-negaranya sama sedikitnya. 

Bahkan, konon PDI pun hanya seolah-olah PDI dan justru partai seolah-olah itulah yang didukung pemerintah. Maka, logislah apabila beredar desas-desus-angin lesus, bahwa pemilu pun ikut-ikut hanya menjadi seolah-olah pemilu. Apalagi prosedurnya (ini fakta telanjang yang kita lihat semua) yang juga seolah-olah prosedur karena antara lain kartu-kartu identitas pemilih yang harus menyatakan boleh dan sahnya orang memilih tidak memerlukan KTP atau identitas normal yang lain, bahkan tanpa nomor serinya. Sehingga dapat dipalsu dicetak “swasta” besar-besaran kalau mau. Demikianlah prinsip satu-warga negara satu suara lalu menjadi seolah-olah satu warga negara satu suara. 

Maka, menurut akal sehat dan logika SD sangat sederhana pun, suatu seolah-olah pemilu otomatis akan menghasilkan gejala wakil-wakil rakyat yang seolah-olah wakil rakyat pula. Dengan bahaya, Sidang MPR dan DPR dapat dinilai berpredikat seolah-olah juga. Apalagi dengan PDI tadi yang seolah-olah PDI. Dan sebagainya dan seterusnnya, sampai jangan-jangan timbul bahaya gawat, adanya Pancasila seolah-olah serta seolah-olah UUD 1945. Bahkan jujur konsekuen, celakanya, jangan-jangan artikel ini juga hanya seolah-olah artikel yang ditulis oleh penulis yang seolah-olah penulis. Sangat mungkin, di Indonesia segala yang aneh bisa saja terjadi. Walaupun begitu, dalam kerangka perayaan 17 Agustus 1945 ini, toh penulis yang jangan-jangan seolah-olah penulis tadi mengucapkan, (sudilah percaya, sungguh tidak seolah-olah): Merdeka! Merdeka! Merdeka! 


Sumber: FORUM KEADILAN, Agustus 1997

0 komentar:

Posting Komentar