alt/text gambar

Sabtu, 04 Januari 2025

Topik Pilihan:

HUKUM KITA LIBERAL (Apa yang Dapat Kita Lakukan?)



Oleh: Satjipto Rahardjo

(Kompas, 3 Januari 2001)


Mengamati dan merenungkan proses-proses hukum yang menonjol untuk bangsa kita di tahun yang lalu, seperti kasus kaburnya Tommy Soeharto menghindari eksekusi, kasus-kasus korupsi besar yang berakhir dengan putusan bebas, memberi alasan kuat untuk mempertanyakan, adakah yang salah pada hukum kita?


Pertama-tama kita harus berani melihat kenyataan, bahwa hukum itu adalah konstruksi manusia, apakah itu konstruksi sosial, politik, atau kultural. Terutama sejak kehadiran hukum modern sekitar abad ke-19, maka hukum yang sengaja dibuat oleh manusia (purposeful) untuk kepentingan-kepentingan tertentu, semakin menonjol. Konstruksi tersebut meliputi juga pengadaan doktrin, asas, dan sebagainya. Dengan demikian hukum menjadi lebih artifisial daripada natural, seperti pohon yang tumbuh dari biji, Dalam bahasa Fukyama, ia lebih hierarkis daripada spontan. 


Sejak kita berani melihat kenyataan tersebut, maka sejak semula tidak ada yang boleh kita lihat dan terima sebagai sesuatu yang absolut. Hukum adalah hasil konstruksi dan karena itu kita juga boleh mengubah konstruksi, membuat konstruksi baru dan sebagainya. Kita melihat bahwa hukum berubah dari masa ke masa, dari abad ke abad. Pikiran hukum abad ke-20 berbeda dari pemikiran abad ke-17 dan seterusnya. 


Konsep rule of law (RoL), negara konstitusional dan sebagainya muncul terakhir di abad ke-19 sebagai puncak dari konstruksi tersebut. Kita tidak dapat mengharapkan, bahwa RoL sudah ada pada masa Eropa feodal sekitar abad ke-7, melainkan Eropa harus menunggu lebih dari sepuluh abad untuk itu. Dan yang lebih menarik lagi, adalah bahwa puncak perkembangan tersebut harus dibayar mahal, yaitu keambrukan sistem sosial Eropa dari waktu ke waktu. 


Setiap muncul suatu orde sosial dengan tipe hukumnya, selalu diawali oleh keambrukan orde sosial sebelumnya yang amat menyakitkan. Sebelum muncul tipe hukum birokratik (abad ke-12), maka orde sosial harus ambruk terlebih dahulu dan itu merupakan suatu guncangan besar yang menyakitkan. Begitu pula sebelum orde RoL akhirnya dilahirkan, harus didahului dengan keambrukan yang menyakitkan dari orde sosial sebelumnya. Dari ketertiban ke kekacauan dan kembali ketertiban. 


Konstruksi apa yang akhirnya muncul dalam RoL yang sudah menjadi umum dipakai di dunia? Dengan pendek dapat dikatakan: konstruksi hukum yang liberal. Liberalisasi manusia di Eropa ini dapat diamati mulai sejak abad-abad kegelapan, feodal, pertengahan sampai ke pencerahan dan akhirnya orde liberal. Dari rentang perkembangan dan perubahan puluhan abad itu dengan jelas dapat diamati terjadi akselerasi untuk membebaskan individu dari berbagai kekangan. 


Maka RoL tidak dapat dianggap dan diperlakukan seperti ballpoint yang tanpa risiko apa pun bisa dipakai manusia mulai dari Afrika, Eropa, Timur Tengah, Timur Jauh, dan seluruh jagad. Hukum dan RoL itu bukan barang seperti itu, melainkan sarat dengan kandungan nilai tersendiri. Bagi dunia di luar Eropa pemakaian instrumen orde liberal itu mengandung banyak risiko, semata-mata karena dunia itu tidak mengalami perjalanan sosio-kultural seperti Eropa di atas. 


Max Weber sendiri melalui penelitian yang substantif akhirnya berpendapat, bahwa hukum modern adalah produk dunia occident (Barat), bukan orient (Timur). Ini jangan dilihat sebagai suatu permintaan maaf untuk mencampakkan RoL, tetapi supaya kita tahu persis apa yang kita lakukan pada waktu itu harus menggunakan sistem hukum dengan basis RoL dan hukum liberal itu. 


Prosedur bentengi kemerdekaan

Secara singkat dapat dikatakan bahwa RoL dan orde hukum liberal itu sarat dengan muatan penyelamatan kemerdekaan dan kebebasan manusia. Sampai di sini kita melihat sisi ideal yang cukup bagus, kendatipun tentu semua masih berkisar pada konsep masing-masing tentang “apa dan siapa manusia” 


Perjuangan untuk menjaga kemerdekaan dan kebebasan manusia telah menimbulkan problem baru yang sama sekali tak dapat dianggap kecil, yaitu dunia “prosedur hukum”. Hukum modern dan RoL menampilkan wacana baru di mana hukum yang diharapkan memberikan keadilan pecah menjadi hukum “substantif” dan hukum “prosedural” dengan output keadilan substansial dan keadilan prosedural atau formal. 


Di kalangan hukum masih sering prosedur diunggulkan di atas substansial. Ini didalihkan sebagai bagian dari usaha melindungi hak asasi manusia dan menjunjung supremasi hukum. Secara empirik kita saksikan bahwa ketidakberhasilan memberikan keadilan di negeri kita lebih terletak pada kekalahan prosedur, yaitu kekalahan dalam perang yang sifatnya lebih prosedural daripada substansial. 


Di Inggris, polisi mengeluh, bahwa mereka dikalahkan oleh penjahat di jalan-jalan hanya karena penjahat itu mendapat banyak perlindungan hukum. Tim Gabungan Anti-Korupsi yang mengajukan tuntutan terhadap tiga hakim harus kalah karena kop surat yang digunakan dinilai salah. Tommy juga bisa lolos di sela-sela debat para advokat dan jaksa mengenai kebasahan suatu dokumen yang difotokopi. Itu semua diperdebatkan seolah-olah yang dipersoalkan adalah supremasi hukum. 


Di Amerika dikenal exclusionary rules yang tidak lain adalah memenangkan prosedur di atas substansi. Keadilan dan kebenaran harus mengalah demi untuk menegakkan prosedur yang membentengi kemerdekaan.Hal ini sering menyakitkan para pencari keadilan yang harus menyerah kalah hanya karena kesalahan prosedur. Tetapi, karena Amerika memang merupakan bastion kemerdekaan individu, maka ketidakadilan terpaksa ditelan dengan pahit dan masyarakat Amerika yang memang sangat liberal itu mampu menelannya. Kendatipun sama-sama liberal, tetapi Inggris lebih moderat dalam menjalankan prinsip-prinsip hukum leiberal. Orang mengatakan, bahwa apabila kasus tersohor OJ Simpson (1994) diadili di Inggris, maka hasilnya bisa lain. 


Indonesia dengan hukum liberal

Hukum liberal ini telah menyebar ke seluruh Eropa atau Barat telah memenangkan perjuangan untuk memastikan sistem mana yang akan dipakai manusia. Jadi, apabila akhirnya sistem liberal dipakai umum di dunia, itu adalah lebih didasarkan pada “konsensus”. Ini bisa merupakan perlakuan tidak adil kepada bangsa-bangsa yang sebetulnya memiliki kultur dan perkembangan yang berbeda, seperti Cina, Korea, dan Jepang, untuk tidak menyebut Indonesia, Thailand, dan lain-lain. Di negara-negara ini hukum liberal “terpaksa” dipakai dan tidak tumbuh dari dalam seperti Eropa. 


Sejak di Indonesia dibuka pendidikan tinggi hukum pada tahun 1922 sampai sekarang, maka sistem liberal inilah yang dikembangkan dengan sistematis dan ditanamkan pada para calon praktisi hukum, seperti jaksa, advokat, dan hakim. Maka tidak mengherankan apabila mereka menganggap sistem tersebut sebagai sesuatu yang absolut, yaitu yang tak dapat digugat. Di Amerika sendiri gugatan terjadi seperti melalui gerakan critical legal studies movement dan banyak tulisan para praktisi yang masih punya idealisme. Mereka ini sungguh kecewa dengan kinerja hukum Amerika, khususnya sistem peradilan pidana. 


Akan tetapi, sekali lagi, karena Amerika memang sejak semula berjuang untuk menjadi masyarakat liberal, maka hasil gugatan tidak banyak dan lebih beredar di alangan akademis. Menghadapi ketimpangan dalam proses peradilan biasanya Amerika hanya mengangkat bahu sambil mengatakan apa boleh buat, karena itu sudah jadi pilihan. Tetapi, apakah Indonesia juga secara sadar memilih sistem liberal itu? 


Dengan sangat menyakitkan kita melihat lolosnya kejahatan-kejahatan yang diproses secara hukum, terutama sejak katanya kita mencanangkan pemberantasan KKN. Dari perspektif tulisan ini kita akan mengatakan, bahwa kegagalan tersebut disebabkan oleh pemakaian sistem hukum liberal. Para advokat kita lihat sunnguh menikmati benteng-benteng yang dibuat bagi melindungi nasabahnya. Kalau mereka memanfaatkan fasilitas liberal yang diberikan oleh sistem hukum, maka mereka tidak salah karena bermain menurut aturan yang disepakati. 


Lihatlah betapa para lawyer berapi-api bicara mengenai hak asasi sang klien, mengenai supremasi hukum dan lain-lain. Hakim-hakim kita juga sudah banyak dirasuki oleh pikiran liberal, misalnya, dalam hal apa yang disebut independensi hakim. Dalam persidangan kita melihat peperangan yang seru antara hakim dan jaksa. Apakah hakim perlu independen? Tentu saja! Independensi, kejujuran, merupakan unsur sangat penting dalam pemberian keadilan. Tetapi, independensi hakim dalam konteks liberal berbeda dengan dalam konteks yang lain, katakanlah daam semangat komunal. 


Mengganti sistem? 

Sekarang kita tahu, bahwa yang disepakati itu sebetulnya adalah sistem liberal. Setelah mengetahui hakikat hukum yang kita pakai, tentu terbesit pikiran untuk menolak sistem liberal dan membuat yang baru yang lebih mampu memberikan keadilan. Tetapi, ini terlalu berat terutama konsensus internasional sudah menerima penggunaan sistem tersebut. Sistem liberal sudah menjadi identik dengan kemajuan peradaban. Ia sudah bersatu dengan kualitas hukum yang paling ideal. Maka sekalipun pada aras akademis atau ilmu mengganti sistem liberal itu sah dan baik saja, menjadi kurang praktis karena melawan arus kekuatan dunia yang sangat perkasa. 


Sistem liberal itu dibangun ratusan tahun yang berkaitan erat dengan pembangunan orde sosial liberal pula. Oleh karena itu, tidak begitu gampang untuk merombaknya secara segera. Sistem alternatif yang akan dibangun itu juga harus juga menunjukkan kemampuan tandingan yang kuat dan untuk itu harus dimulai dari pembangunan suatu orde sosial baru yang tidak liberal. 


Menghadapi masalah dan tantangan besar sebagaimana diuraikan di atas, lalu apa yang harus kita lakukan? Ada dua cara yang perlu direnungkan. 


Pertama, dibuat semacam inroads atau tusukan-tusukan dalam prosedur hukum yang berlaku. Di depan sudah diuraikan betapa sistem liberal melakukan segala cara untuk melindungi kemerdekaan yang salah satunya dilakukan dengan benteng prosedur hukum. Kita ambil contoh pemberantasan korupsi. 


Kalau korupsi di negeri ini memang sudah menjadi dahsyat, maka layak kalau tidak lagi disebut ordinary crime melainkan extra-ordinary crime. Untuk menghadapinya, bangsa ini mesti berani pula membuat putusan untuk mengadakan prosedur luar biasa, extra-ordinary measures. 


Kedua, membangun kultur kebersamaan (corporate culture) dalam proses peradilan. Para hakim, jaksa, advokat, hndaknya membangun suatu kebersamaan keyakinan bahwa korupsi adalah suatu kejahatan yang sangat merusak banyak aspek kehidupan bangsa ini. Mereka harus bersatu melawan dan mengutuk korupsi. Pengadilan yang bermain-main dengan dalih prosedur jelas tidak menghayati keadaan parah yang dihadapi bangsa ini. 


Korupsi hanya contoh saja sekadar mempertajam permasalahan. Pesan yang ingin disampaikan adalah mengajak pembaca secara kritis, melihat sistem hukum dan juga kredo-kredo supremasi hukum dan lain-lain. Sebaiknya kita tidak terjebak menjadi tawanan sistem serta ideologi hukum tertentu, melainkan mengabdikan hukum untuk kepentingan sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat kita. 


* Satjipto Rahardjo, guru besar emiritus Universitas Diponegoro.


Sumber: Kompas, 3 Januari 2001

0 komentar:

Posting Komentar