alt/text gambar

Sabtu, 04 Januari 2025

Topik Pilihan:

SEKOLAH DASAR

 Kolom ini sepertinya menjawab—atau mungkin malah membatah—kritik Sartono Kartodirdjo, sejarawan terkemuka, bahwa pendidikan dasar saat itu, tahun 90-an, yang tidak lebih maju dari zaman Hindia-Belanda. Penulisnya Harsja W Bachtiar adalah sosiolog lulusan Universitas Harvard, yang menduduki jabatan di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Menurut Harsja W Bachtiar, kebijakan pendidikan meniadakan pembedaan berdasar golongan ras sehingga semua SD memakai kurikulum yang seragam. Ia pun menampilkan angka 96 persen anak di Indonesia telah menempuh pendidikan dasar. 


Jika kita membacanya pada saat kolom ini terbit, masa-masa kejayaan rezim Orde Baru,  apakah kita menilai bantahan Harsja W Bachtiar lebih meyakinkan; lebih sesuai dengan realitas? 

Bagaimana jika kita baca lagi pada masa kini, dengan kabar bahwa skor PISA Indonesia juga masih sangat rendah. Pada tahun 2022, skor PISA Indonesia yaitu Matematika 366, Membaca 359, dan Sains 383. Angka tersebut ternyata masih di bawah rata-rata negara-negara anggota Organization for Economic Co-operation and Development (OECD), yaitu Matematika 472, Membaca 476, dan Sains 485.




Oleh: Harsja W Bachtiar*

(TEMPO, No. 45, Tahun XXI, 4 Januari 1992)


Pada Simposium Pendidikan Nasional 1991, yang diselenggarakan Senat Mahasiswa IKIP Yogyakarta, 22 Desember lalu, sejarawan Sartono Kartodirdjo mengkritik pendidikan sekolah dasar (SD) di Indonesia, yang tidak menunjukkan kemajuan dibandingkan masa sebelum perang. Karenanya, kebudayaan Indonesia di masa depan akan mandek dan mundur. 


Semestinya Prof Sartono tahu bahwa pada masa Hindia Belanda, penyelenggaraan pendidikan mengenal pemisahan golongan penduduk menurut ras masing-masing. Dalam laporan resmi tentang peserta didik di sekolah, pemerintah Hindia Belanda senantiasa mengadakan pembedaan antara orang Eropa, Timur Asing, dan Pribumi. 


Bagi anak-anak keturunan Eropa diadakan sistem pendidikan yang lebih tinggi mutunya dari pendidikan bagi anak-anak lain. Hanya beberapa pribumi, termasuk Ir. Soekarno dan Mr. Ali Sastroamidjojo, yang memperoleh kesempatan belajar di Europesche Lagere School—SD bagi anak-anak Belanda. 


Bagi anak-anak pribumi diadakan sistem pendidikan sendiri: pada jenjang pendidikan dasar mula-mula dengan Sekolah Voor Zonen Van Aanzienlijke, lalu Eerste Klasse School dan Tweede Klasse School, dan kemudian Hollandsch-Inlandssche School (HIS). Untuk anak-anak keturunan Cina diadakan Hollandsch-Chinessche School *HCS). Untuk anak-anak keturunan Arab diadakan Hollandsh-Arabische School (HAS). 


Kini, 1991, tidak ada lagi pembedaan demikian. Malah Undang-Undang Nomor 2 tentang Sistem Pendidikan Nasional dengan tegas menyatakan bahwa “penerimaan seseorang sebagai peserta didik dalam satuan pendidikan diselenggarakan dengan tidak membedakan jenis kelamin, agama, ras, kedudukan sosial, dan tingkat kemampuan ekonomi....”Apakah tak adanya pembedaan golongan ras bukan kemajuan sangat bermakna? Kedaan kebudayaan Indonesia, bilamana pedidikan sama seperti masa sebelum Perang Dunia II, akan sangat berbeda dari kenyataan sekarang.


Semestinya Prof Sartono tahu bahwa di masa sebelum Perang Dunia II ada pembedaan penyelenggaraan pendidikan bagi anak-anak pribumi terkemuka (yang diberi pelayanan pendidikan lebih baik) dan anak-anak orang desa (yang diberi pendidikan sangat sederhana). Anak-anak desa dianggap cukup belajar di sekolah desa (Volksschool) dengan kurikulum yang tidak banyak memberikan oengetahuan dasar, sedangkan anak-anak orang-orang pribumi terkemuka dapat belajar di Hollandsch Inlandsche School (HIS) yang menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar. 


Sebelum HIS diadakan, sebelum 1914, jenis sekolah ini punya pendahulu, yaitu Eerste Klasse School (sekolah bagi anak-anak golongan atas), dan Tweede Klasse School (sekolah bagi anak-anak rakyat biasa). Kemudian diadakan HIS bagi anak-anak golongan atas dan Sekolah Desa bagi anak-anak rakyat biasa. Pada 1940, jumlah HIS di Hindia Belanda hanya 285 dengan 72.514 siswa, sedangkan Sekolah Desa berjumlah 17.719 dengan 1.896.371 siswa. 


Kini, 1991, hanya ada satu jenis sekolah, yaitu sekolah Dasar dengan kurikulum seragam, baik untuk sekolah di kota maupun di desa. Apakah ini bukan kemajuan?


Semestinya Prof Sartono tahu bahwa dalam masa Hindia Belanda, jumlah anak-anak Indonesia yang memperoleh kesempatan belajar sangat terbatas. Tahun 1940, menjelang akhir masa jajahan Hindia Belanda, jumlah peserta didik di sekolah-sekolah yang menyelenggarakan pendidikan dasar tidak lebih dari dua juta orang. Kini, 1991, lebih dari 96% anak usia 7-12 tahun (sekitar 27 juta anak) memperoleh kesempatan belajar di SD atau Madrasah Ibtidaiyah. Apakah perbedaan itu bukan kemajuan?


Saya tidak akan mengemukakan kemajuan pada jenjang pendidikan menengah dan pendidikan tinggi. Cukup dikemukakan bahwa pada masa Hindia Belanda, tidak ada satu universitas pun yang diadakan pemerintah. Menjelang akhir masa jajahan, dalam tahun kuliah 1939-1940 ketiga sekolah tinggi yang diadakan Belanda—Sekolah Tinggi Teknik, Hukum, dan Kedokteran—hanya menghasilkan 79 lulusan 37 pribumi, 23 keturunan Cina, dan 19 keturunan Belanda. Sekarang, dalam tahun kuliah 1989-1990, perguruan tinggi negeri saja telah menghasilkan 14.343 sarjana dalam berbagai banyak cabang ilmu pengetahuan. 


Lalu mutu pendidikan yang memprihatinkan Prof Sartono? Kemungkinan besar mutu rata-rata pendidikan dasar kita memang menurun karena jumlah sekolah jauh bertambah dari 10 tahun lalu. Tapi, kemungkinan juga besar bahwa kini jumlah sekolah yang menyelenggarakan pendidikan dasar bermutu tinggi jauh lebih besar dari masa lampau. Bahkan, SD yang menyelenggarakan pendidikan terbaik sekarang pasti jauh lebih bermutu, dari SD terbaik yang dijadikan pembanding oleh Prof Sartono. Bandingkan saja tingkat pendidikan gurunya, serta prasarana dan sarana yang sekarang tersedia. 


Lagi pula, keberhasilan yang kita capai dalam pembangunan nasional, kemajuan dalam bidang ekonomi, teknologi, perhubungan, pertanian, pertambangan, pendidikan, ilmu pengetahuan, pemerintahan, politik, kebudayaan, agama, dan sebagainya, pada umumnya adalah hasil daya cipta (kreativitas) manusia-manusia yang memperoleh pendidikan dasar di indonesia. 


Ini tidak berarti kita harus merasa puas dengan pendidikan yang kita selenggarakan. Dalam menyelenggarakan pendidikan di jalur pendidikan sekolah maupun di jalur pendidikan luar sekolah masih terdapat banyak kelemahan yang perlu diperbaiki. Tapi, kita harus membedakan sistem pendidikan nasional dari penyelenggaraan pengajaran di sekolah-sekolah tertentu. Keadaan yang digambarkan Prof Sartono memang terdapat di sekolah-sekolah tertentu, tapi membuat generalisasi tentang seluruh pendidikan dasar di Indonesia atas dasar kasus-kasus, apalagi tanpa memperhatikan upaya-upaya pembangunan yang sudah, sedang , dan akan diupayakan, bukan peniaian yang dapat dipertanggungjawabkan. 


Adalah menarik pula melihat adanya tuntutan yang makin kuat di Amerika Serikat dan berbagai negara di Eropa untuk mengadakan perubahan pada pendidikan dasar mereka, yaitu tuntutan agar pendidikan dasar diselenggarakan kembali secara tradisional—back to basic. Para siswa sekarang ini lebih senang belajar di sekolah karena lebih bebas dalam kegiatan belajar mengajar, tapi informasi dan pengetahuan yang mereka peroleh terlalu sedikit. 


* Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan


Sumber: TEMPO, No. 45, Tahun XXI, 4 Januari 1992

0 komentar:

Posting Komentar