Oleh: Goenawan Mohamad
(TEMPO, No. 51, TAHUN XIX, 17 Februari 1990)
“Marx mati”, kata sebuah poster di Praha, di musim gugur 1989. Dan di galangan kapal di Gdansk, Polandia, patung Lenin dibongkar. Di sini pun, Partai Komunis yang membawa panji Marxisme-Leninisme dipaksa mundur, dan akhirnya bubar.
Diakui atau tidak, komunisme – ideologi yang pernah menggerakkan jutaan orang itu – kini tak jelas lagi buat apa.
Klimaksnya di Uni Soviet, negeri indusk doktrin itu sendiri. Pekan lalu, setelah didesak oleh Gorbachev dan dituntut oleh ribuan manusia di Lapangan Merah, Partai Komunis Soviet pun melepaskan hak monopoli kekuasaan yang selama 70 tahun lebih dipegangnya.
Dan orang pun bertanya, di mana pangkalnya keambrukan ini. Mau tak mau, kita harus menengok ke masa silam. Ke tahun 1897, misalnya, ketika Eduard Bernstein, seorang Marxis Jerman, menerbitkan renungannya dalam berkala Neue Zeit.
Tulisan ini mengejutkan. Ia menunjukkan, ada yang perlu ditinjau kembali dalam ajaran Marx. Menurut Marx, sosialisme akan tiba karena perekonomian kapitalis akan berkembang sampai matang, membusuk, dan akhirnya runtuh. Alat-alat produksi akan jadi milik masyarakat. Kaum buruh yang sadar akan posisinya (punya “kesadaran kelas”), dengan bersatu dalam organisasi, akan menggerakkan revolusi. Hasilnya adalah masyarakat komunis, yang serba kecukupan dan tanpa penghisapan.
Bernstein ragu akan ramalan itu. Ia lihat kapitalisme tak kunjung runtuh. Sistem ini ternyata bisa menyesuaikan diri dengan perkembangannya. Tak berarti, kata Bernstein, sikap sosialis kehilangan daya tarik, Bernstein tak begitu rinci mengemukakan, bagaimana sosialisme masih bisa punya arti dalam keadaan begitu. Tapi Konrad Schmidt, seorang sosialis lain, di awal 1898 mengemukakan: perjuangan serikat buruh untuk perubahan (“reformasi”) sosial akan memperluas kontrol masyarakat terhadap alat produksi.
Dengan kata lain: karena kapitalisme bisa menyesuaikan diri, langkah sosialis yang tepat adalah reformasi, perbaikan setapak demi setapak. Yang penting, kita harus mau terus-menerus “merevisi”, meninjau kembali doktrin dan strategi. Dari Bernstein inilah lahir “revisionisme”.
September 1899, Lenin membaca Bernstein. Ia pun mengangkat pena dan menyerang – dan dari sini, kata “revisionis” jadi kata yang kotor di kalangan kaum komunis. Lenin menampik pandangan bahwa kaum buruh hanya berjuang untuk perbaikan kesejahteraan. Ia cerca pandangan ini sebagai “ekonomisme”. Bagi Lenin, kaum buruh tak cukup hanya mengurusi ekonomi mereka. Dengan dipimpin kaum “revolusioner profesional” buruh harus diisi teori revolusi, ditumbuhkan “kesadaran kelas”-nya, dipersatukan dalam organisasi yang efektif, agar bisa secara aktif menciptakan suatu masyarakat komunis di dunia.
Di tahun 1902, Lenin (dalam risalah yang kemudian terkenal, Apa yang Harus Dilakukan) menguraikan bagaimana organisasi “revolusioner” ini harus disusun. Anggotanya tak harus hanya terdiri dari buruh; cendekiawan (seperti Lenin, tentu) bisa mengemudikannya, asal mereka menganggap “kegiatan revolsuioner sebagai profesi”. Organisasi kaum revolusioner profesional ini harus ketat: bersifat rahasia, sentralistis, dan taj bisa didasarkan kepada asas demokratis yang luas.
Sejak 1903, di kongres di Brussels, Lenin memiskan diri dari kaum sosialis lain yang ada dalam Partai Pekerja Sosial Demokrat Rusia (PPSDR). Tubuh partai ini pun retak antara sayap Mensyewik dan Bolsyewek. Yang pertama dipimpin Martov. Yang kedua dipimpin Lenin. Pada awalnya perbedaan mereka tak begitu jelas. Kedua-duaknya memilih jalan revolusi, bukan reformasi. Keduanya menolak revisionisme.
Maka diduga bahwa sebenarnya beda kedua sayap ini lanjutan dari beda watak kedua tokoh mereka. Martov lebih seorang intelektual, yang (dalam kata-kata Lenin) termasuk orang “lunak”. Lenin lebih seorang aktivis, yang mengatakan bahwa orang tak bisa menjalankan revolusi dengan tangan terbungkus bersih.
Tapi perpecahan final antara kaum Bolsywek (yang kemudian menyebut diri “Komunis”, bukan lagi “sosial demokrat”) dan kaum Mensywek terjadi setelah Revolusi Februari 1917.
Dua Tahap Revolusi
Revolusi Februari, yang memakzulkan Tsar Nicholas II, sebetulnya tak terduga oleh Lenin yang waktu itu ada di Swiss. Memang, gerakan buruh pegang rol penting dalam pelbagai pemogokan menjelang jatuhnya Tsar. Tapi yang mematangkan situasi sebenarnya suasana tak menentu perang dengan Jerman yang berlangsung sejak 1914. Suasana itu, ditambah krisis pangan di ibukota, kian mempercepat keruntuhan monarki.
Itu belum cukup jadi kondisi revolusi proletar menurut Marxisme. Perkembangan sejarah, daam gambaran Marx, punya pola begini: mula-mula masyarakat prakapitalis, di mana kaum “feodal” berkuasa. Mereka ini akhirnya kalah oleh kelas menengah, yakni kaum “borjuis” yang berkembang di kota-kota. Kaum “borjuis” ini, setelah menang, akan menciptakan masyarakat kapitalis, yang di dalamnya buruh jadi jadi banyak, dan pemiskinan besar-besaran terjadi. Masyarakat kapitalis akan busuk. Kaum buruhlah yang akhirnya akan mengubahnya, jadi masyarakat komunis.
Jelas, Rusia masih jauh dari tahap kapitalis yang membusuk. Kaum buruh pabrik memang ada tapi tak sebanyak kaum tani. Maka, kaum Marxis pun mengembangkan teori “dua tahap revolusi” yang kemudian dipakai oleh gerakan komunis di negeri berkembang. Mao mengemukakannya dalam risalah tentang “Masyarakat Cina dan Revolusi Cina”, dan di Indonesia, D.N. Aidit menyalinnya jadi risalah “Masyarakat Indonesia dan Revolusi Indonesia”.
Dalam teori ini, revolusi akan berlangsung dua tahap. Pertama, tahap “borjuis-demokratis”. Kaum Marxis melihat, karena kehidupan sosial dan ekonomi Rusia masih dikuasai oleh pemerintahan Tsar yang “feodal”, negeri ini harus dibebaskan dulu, biar jadi “borjuis”. Petani akan dapat tanah. Petani, menurut Marxisme, bukanlah proletar. Mereka termasuk “borjuis kecil” karena punya alat produksi, biarpun seadanya (Bung Karno menyebutnya “Marhaen”). Dengan dibebaskan daari “feodalisme”, mereka akan berkembang sebagai kapitalis. Lalu revolusi tahap kedua pun akan berlangsung: revolusi kaum buruh, menuju kehidupan tanpa penindasan.
Bagi kaum Mensyewik maupun kaum Komunis memegang teori dua tahap revolusi ini. Tapi ada dua soal yang sebenarnya tak pernah dipecahkan secara memadai.
Pertama, dalam tahap “borjuis-demokratis”, siapa yang pegang pimpinan revolusi? Sikap kaum Mensyewik tak jelas benar. Lenin sebaliknya. Ia mengatakan bahwa di tahap ini kaum “proletar” tak boleh “membiarkan kepemimpinan revolusi dipegang kaum borjuis”. Yang harus pegang kekuasaan adalah kediktatoran “demokrasi rakyat”, dan “rakyat”, dalam bahasa kaum komunis, ialah gabungan kaum buruh dan “borjuis kecil”. Dan yang memimpin gabungan itu adalah kelas yang lebih maju, lebih biasa dengan cara kerja modern: kaum proletar.
Dalam prakteknya, sesuai dengan ajaran Lenin, yang memimpin ialah Partai Komunis. Dari sinilah bermula Pasal 6 Undang-Undang Dasar Uni Soviet, yang memberi tempat kepada Partai Komunis sebagai “kekuatan yang memimpin, membimbing, dan jadi inti sistem politik”. Partai lain boleh ada, tapi tak berhak unggul.
Tapi dalam sistem itu, bagaimana kaum borjuis kecil, khususnya para petani, dapat berkembang? Tak mudah. Inilah pangkal krisis ekonomi Uni Soviet: negeri ini gagal memproduksi pangan yang cukup karena petani – setelah sebentar diberi tanah dan jadi “kapitalis” – kemudian harus kehilangan milik itu. Tanah yang ada sebagian besar milik negara dan milik kolektif – satu aturan yang “sosialistis”.
Ini ada hubungannya dengan soal kedua: kapan bisa ditentukan bahwa tahap revolusi “borjuis” berakhir dan tahap revolusi “proletar-sosialistis” bermula. Lenin anggap, tahap pertama bisa segera diakhiri. Di tahun 1906, ia sudah mengusulkan agar tanah dikuasai negara. Tak semua kaum Marxis setuju. Plekhanov, yang diakui sebagai “bapak Marxisme Rusia”, dan berada di kubu Mensywik, menentang itu.
Ramalan Plekhanov
Tapi akhirnya kaum Bolsyewiklah yang menang. Oktober 1917, dengan bantuan tentara dan koalisi kaum Komunis – di bawah pimpinan Trotsky, ketika Lenin masih bersembunyi – menjatuhkan pemerintahan koalisi sementara yang menggantikan monarki Tsar yang telah rontok. Pemerintah ini, yang terdiri dari partai liberal dan sejumlah orang sosialis, termasuk Mensyewik, memang tak terasa cukup radikal, malah plin-plan, di tengah suasana radikal itu.
Tiga hari setelah kaum Bolsyewik merebut kekuasaan, dalam koran Edinstyo (Persatuan), Plekhanov mengutip Engels, partner Marx dalam menyusun “Manifesto Komunis”: suatu tragedi sejarah terjadi bagi kelas pekerja manakala merebut kekuasaan politik terlampau dini. Dan itulah yang dilakukan kaum Bolsyewik, kata Plekhnov. Diramalkannya, pemerintahan Komunis akan gagal. Sebab, buruh sebenarnya hanya minoritas di Rusia. Mayoritas petani mungkin menyokong kekuasaan atas nama kaum buruh itu, tapi kepentingan para petani adalah “kapitalistis”, yakni ingin punya hak milik. Pada akhirnya, kata Plekhanov, meramal, ekonomi kaum petani akan mengalahkan pemerintahan Bolsyewik.
Tapi suara itu tak didengar. Plekhanov dan partainya telah kalah. Rumah pak tua itu didatangi pasukan Bolsyewik. Ia diancam, dan akhirnya tokoh Marxis ini (yang di zaman Tsar hidup di pembuangan selama 37 tahun) harus menyeberangi lagi perbatasan.
Tapi benarkah ramalannya? Kini, 70 tahun kemudian, memang terbukti bahwa revolusi “sosialis” Lenin – kemudian dilakukan lebih keras di wilayah pertanian oleh Stalin – akhirnya kalah di bidang pangan. Kini Uni Soviet harus mengimpor gandum dari negeri kapitalis. Andrei Sakharov, pembangkang terkenal itu, pernah mengatakan bahwa kehidupan pedesaan Rusia telah hancur “hampir tak bisa dipulihkan lagi”.
Lenin, seperti Marx, memang tak tahu bagaimana mengelola kehidupan petani. Yang tak disebut Plekhanov ialah bahwa kaum Bolsyewik juga ternyata tak tahu bagaimana mengelola kepentingan buruh. Di tahun 1918, di Kongres Pertama Serikat Buruh se-Rusia, juru bicara Bolsyewik, Zinoniev, mengatakan bahwa setelah kaum “borjuis” ditumbangkan kaum buruh harus jadi unsur kekuasaan. Mereka tak bebas punya organisasi yang mandiri, dan kebebasan untuk mogok berarti “kebebasan untuk sabotase”.
Sikap ini, yang jelas menyulitkan kaum buruh bila harus memperjuangkan perbaikan nasib, berlangsung terus meskipun tak selamanya ketat. Akhirnya konflik antara kaum buruh dan kaum Bolsyewik (yang sebetulnya pernah terjadi di tahun 1920 ketika Lenin masih hidup) pecah juga: di Polandia kemudian muncul Solidaritas, serikat pekerja oposisi yang didukung luas.
Walhasil, ide Lenin akhirnya nampak seperti dipaksakan ke dalam sejarah. Plekhanov sudah mengatakan di tahun 1927: kediktatoran yang dibayangkan Lenin sebagai kediktatoran buruh dan tani itu pada dasarnya cuma kediktatoran “sebuah grup”. Sebab itu, untuk bisa terus bertugas, ia harus memakai, kata Plekhanov, “cara-cara teror”.
Atau tangan besi plus indoktrinasi. Partai, karena punya tugas sejarah, tak boleh kalah. Cara-cara demokratis mengandung risiko besar, seperti yang terjadi di Eropa Barat, tempat partai komunis kian kehabisan pemilih. Partai dalam resep Lenin adalah partai yang basisnya sempit, karena sifatnya yang sentralistis. Bila kediktatoran itu menimbulkan korban, maka itu semua demi perjuangan ke arah runtuhnya kapitalisme.
Tapi apa mau dikata: mungkin Bernstein benar. Kapitalisme bisa mengadaptasikan diri cukup cepat. Bahkan kemudian ia bisa masuk ke negeri yang semula berniat menumbangkannya di seluruh dunia: McDonald buka restoran di Moskow, Murdoch punya koran di Budapest. Di Polandia perusahaan negara akan dijual untuk dimiliki swasta, dan di Uni Soviet akhirnya petani diberi hak lebih luas membeli tanah untuk milik pribadi. Kaum “borjuis” tak ayal akan bertumbuh dan ikut berkuasa.
Lalu apa arti sosialisme? Tetap sebagai ide dan gerakan yang mau menghabisi kapitalisme? Atau harus berubah? Dan bila harus berubah, akan jadikah ia semacam Partai Buruh di Inggris dan Partai Sosialis di Prancis hanya “mensosialkan” apa yang bisa “disosialkan” dalam batas-batas kapitalisme?
Kita belum tahu jawabnya. Seperti juga kita belum tahu bagaimana kaum kapitalis mengeruk keserakahan mereka, bilan tak ada lagi hantu komunisme di sudut.
Cambridge, 9 Februari 1990
Sumber: TEMPO, No. 51, TAHUN XIX, 17 Februari 1990
0 komentar:
Posting Komentar