Oleh: Dahlan Iskan
(TEMPO, No. 50, Tahun XX, 9 Februari 1991)
Terbayangkan suatu saat nanti, di bungkus Gudang Garam tertera iklan yang berbunyi “isplah rokok Djarum karena lebih gurih”. Atau, di botol bir Bintang tertempel tulisan “reguklah Anker Bir ... puas sepanjang masa”.
Kelihatannya ini hal yang mustahil. Tapi, di dunia koran dan majalah, yang mustahil itu sudah terjadi. Tak sungkan-sungkan, satu koran atau majalah merebut pembaca dengan memasang iklan di media saingannya. Lucunya, iklan itu dimuat juga. Artinya, bisa dicatat bahwa pers telah menjadi pelopor pemasaran “tembak langsung”.
Teknik pemasaran di kalangan pers boleh dikatakan “maju”. Bahkan, ada koran yang tak malu-malu masuk pasar dengan menyisip di balik lipatan koran saingannya. Ada pula yang membuat tebakan berhadiah siapa pemenang Perang Teluk dengan iming-iming hadiah menarik. Bukan main, nyawa manusia pun dijadikan alat pemasaran. Ada yang banting harga, membagi koran gratis berminggu-minggu atau mengobral diskon. Teknik pemasaran yang beragam itu menunjukkan bahwa koran kini tak lagi cukup hanya menawarkan berita.
Ini adalah sisi baru perkembangan pers Indonesia. Sementara itu, perlu dicatat pula, telah muncul sisi lain, yakni kebangkitan pers daerah.
Dalam sejarah pers Indonesia, koran daerah selalu dikategorikan lemah, minder, minta dilindungi menghadapi koran Jakarta yang beredar di daerah. Namun, perkembangan begitu cepat. Sungguh tak disangka, belakangan koran daerah bisa bangkit dan berani bersaing dengan koran Jakarta. Sebutan koran nasional semakin pudar.
Boleh dikatakan, semua koran kini berproses menjadi “koran daerah”. Koran Jakarta akan menjadi koran ibu kota saja. Ini bisa dilihat pada data peredaran koran Jakarta yang kian susut di daerah.
Sebagai misal, persaingan keras Analisa dan Waspada di Medan justru berhasil mengatrol keduanya dan mendesak pasaran koran Jakarta. Pikiran Rakyat di Bandung tampak semakin kukuh menguasai pasar di daerahnya. Demikian pula perkembangan Suara Merdeka di Semarang, Kedaulatan Rakyat di Yogya, dan Jawa Pos Surabaya. Yang disebut terakhir ini bukan cuma mampu mencapai oplah lebih dari 300 ribu, melewati oplah mayoritas koran Jakarta. Ia juga sudah siap dengan peralatan pracetak modern yang mampu membuat layout di layar komputer satu halaman penuh dan memproduksinya langsung dalam bentuk film. Ini sekaligus memungkinkan Jawa Pos siap menghadapi sistem cetak jarak jauh (SCJJ).
Di bidang peliputan peristiwa besar di dunia koran daerah pun tak mau kalah dengan yang di ibukota. Namun, sayang, ada cacat berat di balik “era pers daerah” itu. Ada keprihatinan yang perlu dipikirkan pada saat kita memperingati Hari Pers Nasional tahun ini. Masih ada 11 provinsi yang tak punya koran: Riau, Jambi, Bungkulu, Kal-Teng, Sul-Tra, Sul-Teng, NTB, NTT, Tim-Tim, Maluku, dan Ir-Ja.
Tak ada salahnya bila kita tengok pengalaman Sriwijaya Post di Palembang dan Serambi Indonesia di Aceh (grup Kompas) serta ManuntunG di Balikpapan dan Akcaya di Pontianak (grup Jawa Pos). Keempat provinsi itu kini punya harian yang cukup kuat berkat turun tangannya Kompas dan Jawa Pos. Mungkin mereka bisa diminta mengisi “11 daerah kosong” itu.
Memang ada pilihan lain, yakni dengan SCJJ yang belakangan asyik dibicarakan. Bila itu terjadi, boleh dikatakan bahwa era deregulasi di bidang pers benar-benar dimulai. Namun, pertanyaan pun lantas muncul. Benarkah SCJJ menjadi prioritas dalam deregulasi? Pemilik uang kiranya akan berpikir dua kali untuk menanam Rp 6 milyar guna memasang alat SCJJ. Padahal, untuk membina pers daerah mungkin hanya diperlukan investasi sekitar Rp 2 milyar.
SCJJ hanya menguntungkan koran yang punya oplah besar di daerah lain. Namun, ia membuat orang daerah bersikap pasif. Peran orang di daerah hanya terbatas pada mencetak dan mengedarkannya. Mereka tidak terlibat dalam proses penyiapan penerbitan. Berbeda kalau yang dikembangkan adalah model Sriwijaya Post atau ManuntunG.
Kiranya masih banyak bidang kalau memang mau ada deregulasi. Misalnya penambahan halaman, membolehkan koran Jakarta menambah halaman edisi daerah khusus tempat beredar, koran pagi bisa dicetak lagi siang hari dan sebaliknya, kemudian proporsi iklan dicabut. Ini mungkin yang harus kita peikirkan bersama. Paling tidak diharapkan sejumlah insan pers.
Sumber: TEMPO, No. 50, Tahun XX, 9 Februari 1991
0 komentar:
Posting Komentar