![]() |
Pramoedya Ananta Toer di rumahnya, Jakarta, 1998. Dok Tempo/ Rully Kesuma |
Dalam sebuah tulisan di mojok.co, berjudul "Ini yang Terjadi Seandainya Pramoedya Ananta Toer Menjadi Guru Sastra Indonesia", dijelaskan bahwa seandainya Pram jadi guru sastra Indonesia, maka ruang kelas bakal sepi karena siswa sibuk mengkliping di perpustakaan atau di tempat lainnya yang banyak bahan bacaan.
Bagi Pram, menurut Muhidin M Dahlan, sangat aneh kalau belajar sastra tapi lebih banyak dihabiskan di ruang kelas.
“Bagi Pram, kelas itu hanya pertemuan awal. Sisanya adalah keluar ke lapangan. Makanya, seandainya Pram menjadi guru sastra, perpustakaan-perpustakaan provinsi yang kaya akan informasi sejarah, maka akan ramai,” ungkap Muhidin.
Bagi Pram, jelas Muhidin, belajar sastra yang baik adalah dengan mengkliping. Yang perlu digaris bawahi, bukan sekadar mengkliping alias cuma memotong lembaran informasi masa lalu dan menjahitnya menjadi satu.
Namun, pengkliping harus totalitas “masuk” ke zaman yang ia kliping. Termasuk peristiwa sosial-budaya, ekonomi, politik, sampai detail-detail fesyen apa yang sedang tren, musik apa yang tengah digemari, makan apa yang lagi viral, dan sebagainya–karena fenomena itu merupakan gambaran kehidupan zaman itu berjalan.
“Karena bagi Pram, sastra itu adalah semesta hidup manusia pada zamannya. Dan mengkliping adalah cara mendapatkan semesta itu,” lanjut Muhidin.
Menekuni sastra, sebagaimana ditegaskan Pram, sekali lagi bukanlah “kerja yang iseng”. Ia harus bisa dipertanggungjawabkan. Maka dari itu, seorang penulis sastra diwajibkan melakukan kerja-kerja mengkliping, karena itu sama dengan kerja-kerja riset.
(Sumber: https://mojok.co/liputan/ragam/jika-pramoedya-ananta-toer-jadi-guru-bahasa/)
0 komentar:
Posting Komentar