alt/text gambar

Minggu, 09 Februari 2025

Topik Pilihan: , ,

Lee Kuan Yew: Rezim Filsuf Raja di Singapura

(Sebuah Paradoks Demokrasi--NE) 


Dalam Caping berjudul “Lee” (yang tampaknya ditulis pada 2015), Goenawan Mohamad (GM) dengan tegas menyamakan ambisi otokratik Lee Kuan Yew di Singapura (yang sempat ia wawancarai di tahun 1970) mirip dengan Platon. 

Singapura memang bukan negara demokratis. Lee Kuan Yew tahu persis bahwa hasrat rakyat hanyalah berlezat-lezat, sehingga kalau politik diserahkan pada mereka, hasilnya tentu runyam. Singapura dibangun atas dasar meritokrasi, utamanya tampak dalam munculnya pemimpin-pemimpin yang unggul dan terpilih. 

Namun Lee Kuan Yew resah, karena dengan datangnya kemakmuran, tak banyak generasi muda yang memiliki niat mengorbankan diri masuk dalam politik. Padahal, justru lewat hadirnya politisi-politisi penuh dedikasi, Singapura akan survive

Dalam kata-kata GM, Lee percaya bahwa: “(...) seharusnya memasuki bidang politik bukan untuk mendapatkan posisi. 'Ini sebuah panggilan', kata Lee, 'tak berbeda dengan kependetaan.'"

Sikap Lee Kuan Yew itu, menurut GM, mengejawantahkan pemikiran anti demokratik Platon:

Dari sini tampak, Lee, seperti sering, dikatakan, menghidupkan kembali pandangan antidemokratik Plato: negara idealnya dipimpin raja yang juga filosof yang ditopang satu lapisan “wali penjaga”. Para “wali panjaga” ini hidup tanpa harta; hasrat mereka untuk “lebih” adalah hasrat ke arah keagungan. Dengan itu mereka mengabdikan hidup sepenuhnya bagi masyarakat. Mereka berbeda dari lapisan sosial yang di bawah.

Saya sepakat dengan GM. Platon memang mengisahkan bahwa menjadi Filsuf Raja adalah sebuah panggilan yang tak gampang. Di buku The Republic, ia mengatakan bahwa ada tiga jenis motif mengapa orang ingin berkuasa.

Pertama, uang. Lewat kekuasaan, orang memiliki akses tak terbatas ke sumber daya (alam maupun manusia). Ia bisa memenuhi ambisinya akan uang lewat kekuasaan. 

Kedua, rasa hormat. Ada orang tertentu yang sudah kaya raya, tetapi haus penghargaan. Ada juga orang yang tidak peduli uang, namun harga diri dianggapnya melebihi segala-galanya. Apakah Filsuf Raja berkuasa karena obsesinya pada uang dan harga diri? Tentu tidak. Filsuf minatnya berfilsafat, bukan berkuasa. Jadi, mengapa Filsuf Raja akhirnya berkuasa? Kita bisa membacanya di kisah Alegori Goa (The Republic buku VII). Si tahanan yang bebas akhirnya turun ke dalam goa karena “nostalgia” dan ingin membebaskan rekan-rekannya. Namun, ia harus berhadapan dengan risiko penolakan dari teman-temannya. 

Itu makanya, Platon berbicara tentang motif ketiga: dipaksa situasi (The Republic 347c-d). Saat rezim buruk, Sang Filsuf terpaksa turun dalam politik karena bila tidak, ia akan terancam. Tak ada pilihan lain, kecuali turun. Bila situasi sudah membaik, karena minat utamanya adalah filsafat, maka ia segera meninggalkan kekuasaan.

Kekuasaan bukanlah sesuatu yang dikejar karena dianggap baik, melainkan diterima sebagai necessary evil (hal buruk yang mau tak mau harus dilakoni). Ia terpaksa turun tangan karena tak hadirnya kebaikan. Oleh karena “terpaksa”, bila kekuasaan sudah saatnya berhenti, dengan cepat ia menyingkir. Ibarat menjalani “hukuman”, posisi pemimpin politik tidak pernah menjadi minat utamanya, namun harus dijalani, karena kondisi memaksanya untuk turun. 

Maka ada betulnya yang dikatakan Lee, bahwa menjadi politisi adalah sebuah panggilan. Tanpa “panggilan”, politik hanya akan menjadi instrumen untuk menumpuk harta dan rasa hormat.

Terhadap sakralisasi politik seperti itu, GM tak mudah percaya. Omongan seperti itu, mungkin di Jawa padanannya seperti penguasa yang omong ke mana-mana bahwa ia berkuasa daripada rakyat karena adanya daripada “amanah”. Lalu mengapa Soeharto tak mau turun setelah “menang” pemilu 5 kali? Karena dia yakin daripada namanya “wahyu”. Ia berkuasa karena dipilih Takdir. GM membaui di situ klaim-klaim yang tak betul. 

Juga bukan takdir sebuah kaum untuk melahirkan kelas pemimpin. Tak ada yang ulung yang kekal. Demokrasi, apa pun cacatnya, tak punya nujum bahwa kekuasaan akan seutuhnya baik dan tak berubah. Di sini memang ada ilusi, tapi tak banyak. Demokrasi bergerak karena tiap kali seorang besar meninggal akan tampak ia hanya penghuni sementara kursi yang kosong.

Di sini GM menunjukkan keyakinannya pada demokrasi: sebuah sistem politik yang disadari tak ideal, namun lebih masuk akal daripada sistem yang lain. Tiap pemimpin besar pasti akan turun, namun tak usah khawatir, pemimpin lain (tak perlu besar) pasti akan muncul. Kita merasakan spirit GM yang pro-demokrasi dan percaya pada emansipasi. (A. Setyo Wibowo, "Menjaga Gairah Emansipasi: GM Membaca Politik dan Seni Jacques Ranciere", dalam Ayu Utami [ed], Membaca Goenawan Mohamad, Jakarta: Penerbit KPG, 2022 h. 367-371).



0 komentar:

Posting Komentar