Oleh: Darmanto Jatman
(Suara Merdeka, “Sajian Khusus”, 11 Februari 2000)
Ironis sekali. Salam “Merdeka” yang selalu saya pelihara sejak lama, sekarang, juga diserukan dengan makna berbeda, bahkan berlawanan oleh saudara-saudara saya di Aceh, Riau, dan Irian Jaya setelah lebih dulu diserukan oleh sudara-saudara kita di Timor Leste.
Memang, pada masa akhir rezim Orde Baru, setiap kali saya bertemu dengan teman selau berteriak “Merdeka”. Mereka menyambutnya, “Ini baru setengah merdeka Mas”. Tetapi tidak pernah saya bayangkan sebelumnya seruan itu akan jadi sangat ironis seperti sekarang. Ternyata, dengan tidak saya sadari saya telah menjadi warga sebuah negara penjajah, paling tidak dalam persepsi para aktivis GAM dan saudara-saudaranya.
Astanaga, saya ini ternyata Jawa yang hegemonik, yang sekarang sedang digugat keabsahannya. Padahal dulu, tahun 1980-an, ketika saya memutuskan untuk tidak bersastra di Jakarta, saya ajak teman-teman untuk menciptakan “bumi perdikan” kesusasteraan di daerah masing-masing.
Untuk Jawa Tengah, pusernya ya Suara Merdeka itu. Pada masa itulah kami mengembangkan komunitas sastra dengan kegiatan yang amat padat, termasuk membuat workshop penulisan cerpen dengan Satyagraha Hoerip dan Gerzon Poyk dengan menentang arus pemikiran waktu itu “cerpen kon di-workshop-kan!”
Kita ngundang Emha Ainun Nadjib, Linus Suryadi dan Yudhistira ANM Massardi untuk bertarung di Semarang. Bukan cuma itu, workshop teater dengan Putu Wijaya dan Ikranegara, di samping Arifin C Noer, Rendra, Sapardi dan tokoh-tokoh lain. Umar Kayam juga diundang, sekadar untuk memberikan bukti kepada Suara Merdeka bahwa kami siap mengembangkan komunitas sastra di sini. Waktu itulah, Pak Warno, pemimpin redaksinya, memberikan peluang untuk membuka ruangan khusus, dan jadilah saya salah satu redaksi budaya di sana.
Inilah yang saya alami malam itu. Hujan amat sangat lebat.
Malam sudah tiba. Saya harus ke kantor Suara Merdeka mengurus naskah-naskah yang masuk. Basah kuyub naik sepeda motor. Banjir di sana-sini, apalagi Sampangan tempat saya tinggal. Putus asa saya berteduh di emper warung di Jalan Kelud.
Saya merasakan kesia-siaan yang besar yang pernah saya alami setelah bertahun-tahun mimpi kelas Teater Semarang. Setiap hari, habis waktu untuk berlatih dan hampir tidak ada bekasnya seperti membangun rumah-rumahan pasir di pantai. “Apakah makna dari semua yang saya kerjakan ini? Membangun kota Semarang secara kultural?”
Dari sanalah saya memimpikan kerja sama Universitas Diponegoro dengan Suara Merdeka untuk membangun “bumi perdikan” yang lebih luas menembus batas-batas kesusasteraan, kesenian, tetapi sampai ke rumah kegiatan kecerdasan sekalian.
Adalah sesuatu yang menyakitkan mendengar komentar banyak orang tentang Semarang yang dipandang gersang dari sudut kebudayaan. Semarang yang masih juga repot memantas-mantas diri untuk disebut sebagai kota yang punya identitas kultural.
Sesuatu yang tak merepotkan Yogya, bahkan Sala yang identitasnya sebagai Kota Bengawan yang berbudaya adiluhung itu sedang tercemar “proyek kekerasan kolektif”. Saya memutuskan untuk melakukan apa yang saya sebut “kerja budaya”, yakni selain mencipta juga membudayakan komunitas maupun local genius di sini.
Inilah yang membuat saya pada akhir abad ke-20 ini giat di berbagai LSM, antara lain Limpad yang berusaha mengembangkan budaya damai, pintar mengelola konflik dalam masyarakat; lalu Forsa di Salatiga yang mencoba membuat jaringan lintas SARA, Setara untuk memperjuangkan berkat dan martabat anak-anak jalanan.
Semua tidak lepas dari harian ini, paling tidak ya personel-personelnya yang memang diharapkan bisa jadi andalan kebudayaan di era informasi atawa globalisasi di masa depan. Itulah pula sebabnya kenapa saya ikut Lespi yang bergerak di bidang kajian informasi dan pers.
Pada dasarnya saya memang sedang memimpikan suatu masyarakat madani, masyarakat yang hanif berguna, cerdas, demokratis, dan saya merasa ini hanya bisa dilakukan bila Suara Merdeka giat di dalamnya.
Memang sih, sebagai lembaga usaha, harian ini sering kerepotan, karena bukankah civil society itu mesti membebaskan diri dari cenkeraman negara (pemerintah sebagai pemegang wewnang kenegaraan) ini? Dan pada masa Orde Baru, sudah jelas, ini berbahaya.
Tuduhan “subversi” bakal ditudingkan, bahkan dicapkan di jidat Suara Merdeka bila terlalu bernai berkata “tidak” kepada pemerintah. Tahu diri, masa saya selalu berusaha bergerak “ di bawah tangan”. Apalagi ada “oknum” yang waktu itu saya “tidak sreg” karena langkah-langkah politiknya.
Untung masih banyak yang masih bersedia bekerja sama menyosialisasikan gagasan-gagasan yang kami kembangkan lewat berbagai kegiatan, utamanya seminar, ulah ..., termasuk kegiatan “lintas SARA” seperti yang pernah dilakukan Pusat Penelitian Sosial Budaya Lemlit Undip.
Ternyata Suara Merdeka telah memberikan sumbangan luar biasa—seperti juga ...—pada kegiatan kegiatan saya, sehingga saya berencana memberikan “award” pribadi pada harian ini. Masih saya ingat bagaimana kami berusaha menyosialisasikan Fakultas Psikologi Unversitas Soegijopranoto yang kami dirikan waktu itu—lewat berbagai seminar dan dan gagasan tentang dialog psikologi, teologi, filsafat, psikologi kebudayaan (untuk membangun ilmu psikologi yang terbuka), hanya bisa dilakukan dengan bantuan harian ini, termasuk pendanaannya. Hal ini juga terjadi pada awal pendidikan Program Studi Psikologi Undip yang baru diresmikan pada 1996 lalu.
Rasanya hampir tidak mungkin tanpa harian ini masyarakat tahu bahwa fokus kajian adalah pengembangan psikologi kebudayaan yang du dunia diklaim oleh University of Chigago sebagai pusat andalannya sejak 1990.
Pidato Dies Natalis ke-42 Undip yang bertajuk “Rekonsiliasi Konflik Domestik” menunjukkan nilai-nilai kekerasan yang bersifat antisosial pun telah dibudayakan lewat keluarga di negeri kita—sesuatu yang harus dilawan. Sekali lagi, perlawanan budaya terhadap kekerasan ini pun takkan dikenal orang tanpa harian ini.
Barangkali sanjungan ini agak berlebi-lebihan, barangkali bahkan sedikit berbau sindiran, tetapi agaknya sekadar dikenal dan terkenal tanpa prestasi jelas bagai macan tanpa taring, tanpa cakar!
Pengerek Citra
“Kalau mau kaya dan ternama ya ke Jakarta lan,” begitu ujar saudara-saudara saya yang kebacut kaya dan ternama (“riek & famous”) dan memang tinggal di Jakarta itu. Celaka! Karena tujuan hidup saya memang sudah untuk dirumuskan dalam model-model yang sudah dikenali.
Di Jawa misalnya, drajat – semat – kramat itu tujuan utama. Jadi profesor itu penting; jadi rektor itu penting; jadi kaya itu penting. La kok saya tidak nguber itu. Tetap saja saya menentang ungkapan seorang pengusaha pers besar nasional yang berkata, “Serakah itu indah!”
Menjadi kaya dan ternama barangkali dulu juga pernah menggoda Pak Hetami, pendiri harian ini pada zamannya; tetapi kesanggupan untuk memilih “medan perjuangan” sebetulnya bukan baen-baen. Seorang paman saya pernah berujar bahwa lepas dari segala macam pertimbangan, dia yakin bahwa Semarang adalah sawah ladangnya. Maklum, anak petani , jadi tidak pakai ungkapan “pasar”.
Sementara saya lebih memilih untuk mengatakan Semarang itu “nasib” saya. Memang juga berbau kejawen, tapi wong saya sudah menolaknya berkali-kali. Bahkan khalayak baca puisi saya kita Jakarta, TIM, kok.
Inilah jalinan yang menjanjikan itu; Semarang, Undip, dan Suara Merdeka. Bahkan ada tersirat keinginan saya untuk memujikan Pak Sutrisno Soeharto, Wali Kota Semarang yang akan segera mengakhiri masa jabatannya itu sebagai sesorang yang telah membaca “garis nasib” itu “Bertemunya di Semarang”.
Jangan lupa. Untuk waktu yang lama Undip tidak punya nama. Bahkan saya pernah terhenyak mendengar pertanyaan seorang aktivis mahasiswa Malang, “Kapan Undip disamakan negeri?” Padahal Undip telah jadi ajang kiprah banyak orang terkenal, utamanya rektor Eko Budihardjo, rektor sebelumnya Muladi, dan Satjipto Rahardjo. Toh orang melihat mereka secara perseorangan. Tak ada kena-mengena dengan Semarang.
“Ada sih, Pak Eko kan ketua DPAPP yakni dewan yang suka kasih nasihat sama walikota,” bisik Bilung. Bilung benar. Pada akhir milenium inilah agaknya Undip “menyejagat” dan saya rasa, Suara Merdeka sebentar lagi. Wong wartawannya banyak yang dapat nomor dalam berbagai event kompetitif. “Kalau bukan wartawannya ya para penulisnyalah!”
Tentu saja tidak semua orang setuju bahwa harian ini adalah pencetak “nama” yang luar biasa. Di antara mereka tentu saja para penyair yang rajin nulis ke harian ini dan belum dapat nama sampai akhir abad ini. Juga para cendekiawan muda yang gemas karena tulisannya tidak nembus-nembus ke Jakarta.
Bagi mereka harian ini tak lebih dari koran lokal, betapapun kualitasnya. Ini sayang. Kepercayaan diri harus dibangunkan. Tidak dengan sekadar berkomplot, “Para pejabat mendahulukan Suara Merdeka ketimbang wartawan koran lain misalnya; tetapi lebih merupakan tantangan kultural; desentralisasi kegiatan nasional; pusat kegiatan bangsa tidak cuma di Jakarta. Artinya, semangat ini adalah semangat reformasi. Dekonsentrasi.
Sesuatu yang amat pas untuk masyarakat yang beraneka ragam kayak Indonesia. Pluralisme yang konon baru kita masuk efeknya, sebenarnya telah jadi praktek budaya kita sejak lama; Bhineka Tunggal Ika. Sayang bila kemudian justru monolitisme yang berkembang. Eselonisasi, hirarki, kasta! Cara pikir yang sudah amat membudaya di negeri kita.
Maka orang pun membuat kelas-kelas, ranking-ranking. Undip sudah beruntung. Menurut Asiaweek, Undip sudah masuk universitas nergengsi. Nomor tiga se-Indonesia. Bagaimana dengan Suara Merdeka? Inilah tantangan harian ini di masa depan secara struktural dan kultural. Bila kelak harian ini mengembangkan badan litbangnya sendiri, pasti itu bukan karena ikut-ikutan, tetapi karena kebutuhan dan kesiapan.
Independen
Semangat ini, semangatnya Suara Merdeka, telah menjadi semangat keluarga Undip, utamanya selama gerakan reformasi ini. Tentu, yang memulai juga para cendekiawan muda, yakni kaum mahasiswa; tapi jelas, Undip berpihak pada reformasi.
Sekalipun Suara Merdeka swasta, tetapi saya menyaksikan reformasi terjadi seirama. Semual kriwikan, kemudian jadi grojogan. Sikap kritis yang sekali-sekali dilontarkan tajam—di sela-sela telepon dari berbagai instansi—akhirnya mengarah pada satu tujuan yakni perubahan kultural: nilai, norma, pembagian peran, kegiatan atau dalam bahasa “resmi”-nya: visi, misi, target, strategi, program menuju ke demokratisasi.
Jangan lupa. Perubahan menuju ke sana ada biayanya. Mereka yang biasa disembah-sembah mesti rela melepaskan “sembahan” itu. Mereka yang tak biasa dikritik, mesti ikhlas suatu kali akan kena kritik. Ini tentu menimbulkan konflik, dan celakanya selama lebih dari tiga dekade, konflik di negeri kita selalu diselesaikan dengan “kekuasaan”.
Negara menguasai masyarakat. State menguasi civil society. Pers dan perguruan tinggi yang dikenal sebagai pusat-pusat “kemerdekaan bersuara” menggugat haknya. Merekalah pilar-pilar civil society.
Sikap-sikap popular, pro wong cilik seperti yang selalu ditunjukkan Prof Slamet Rahardjo dulu, kembali menghangat. Cuma ya itu, beda dari Prof Slamet yang terlibat langsung ke partai (PDI-P sejak masa mereka dikuya-kuya); sikap independen meniscayakan sikap kritis dan sanggung mentransendensikan diri dalam berbagai konflik kepentingan. Artinya, independen bukan sikap partisan, betapa pun mulianya sikap ini.
Kode etik satrianya lebih mirip Gunawan Wibisana yang menuruti kata hatinya, memihak pada yang benar yakni Ramawijaya yang menggempur abangnya sendiri Rahwana yang angkara murka. Ini bukan sikap yang gampang pada masa euforia reformasi ketika berbagai pihak “merebut kebebasan” mereka dan menginjak kaki orang lain.
Kembali harian ini diuji keindependenanmya, dan tentu saja keobjektifannya yang tanpa prasangka terhadap berbagai pihak. Sesuatu yang tak mudah dilakukan bahkan oleh para cendekiawan yang di masa sulit sering melakukan “pengkhianatan” seperti yang selama ini ditakutkan telah dilakukan oleh mereka yang terkooptasi oleh Orde Baru.
Harus diakui, kekuasan Orde Baru, Orde Wayang Purwa itu memang sangat hegemonik dalam pengertian kaum Gramscian, sehingga para cendekiawan itu tidak sadar mereka sedang melaksanakan program sentralisasi Orde Baru, misalnya ketika mereka bikin seminar dan menganggap pakar dari Jakarta itu yang berkalber nasional.
Menjadi independen bukannya “pre dee” alias “bebas bea”. Menjadi independen juga sering dianggap tak berurat akar pada massa, karena ternyata massa kita itu secara emosional sudah terikat pada berbagai ideologi tertentu, partai tertentu. Karenanya, menjadi independen juga menjadi siap untuk tidak populer sekalipun populis.
Nah, pada masa persaingan antarkoran demikian hebat, sikap ini sudah pasti mengundang risiko. “Lain dengan koran yang telah punya khalayak baca identik dengan massa pendukung partai?!”
Inilah justru batu sandungan itu. Karena bagaimanapun harian ini adalah usaha pers, jelasnya perusahaan! Dalam paradigma pasar bebas (kapitalisme) maka demokrasinya pun tentulah demokrasi pasar. Independensinya, sekalipun diharapkan bisa jadi independensi yang kritis sekaligus kreatif—maksudnya kultural—toh tak bisa lepas dari pasar alias modal. Jadi? Be as still as you are.
Tetep dadiyo pepadhanging jagad, seperti yang saya tulis dalam buku kode manten untuk anak saya Abigael dan Benyamin: Rekonsiliasi Konflik Domestik.
Salam, syalem, shanti, saneai, rahayu untuk Suara Merdeka, pada ulang tahunnya yang ke-50 kali ini.
Darmanto Jatman, budayawan
Sumber: Suara Merdeka, 11 Februari 2000
0 komentar:
Posting Komentar