Oleh: Yudi Latif
(Kompas, 12 Maret 2001)
“Menjadi warga politik,” tulis Hannah Arendt (1977), “berarti hidup di dalam suatu polis, tempat segala sesuatu diselesaikan lewat kata dan persuasi, bukan lewat paksaan dan kekerasan." Dalam tradisi Yunani, memaksa orang lewat ancaman, kebiasaan memaksa ketimbang membujuk, dinilai sebagai cara-cara pra-politik, dinisbatkan kepada orang-orang yang hidup di luar polis. Adapun kehidupan polis sendiri dipandang sebagai kehidupan ideal yang diimpikan. Maka dari itu, bila kini politik menjadi kata yang berlumuran caci maki, pasti ada sesuatu yang tak beres dalam pengelolaan politik kita.
Dalam tradisi besar umat manusia, kita temukan istilah kota (polis, madina) dalam konotasi positif: keberadaban (civility), kemuliaan (nobility), dan keteraturan (order). Penjaga kehidupan kota itu sendiri bernama polisi (police). Masih satu rumpun dengan kata poli (polite), yang berarti tertib sosial atau santun berkeadaban. Menjadi warga kota berarti menjadi warga politik, menjadi warga politik berarti menjasi manusia beradab; dan “menjadi manusia beradab,” ujar Fernand Braudel (1993), “berarti memuliakan tingkah laku, menjadi lebih santun (civil) dan ramah (sociable). Singkat kata, tugas insan politik adalah membangun suatu civil society, mengembangkan tertib politik dan nilai-nilai keberadaban di bawah kepemimpinan hukum.
Dalam arti ini kita lihat, betapa diskursus tentang civil society di Indonesia selama ini terlalu memusat pada pengembangan institusi civil society dengan cenderung mengabaikan arti pelaziman civic culture. Yang terjadi adalah ironi berkepanjangan. Sementara kita menjadi pengkhotbah civil society, perilaku kita sendiri amat jauh dari nilai-nilai civility. Lebih lanjut, tekanan pada aspek kelembagaan ini menempatkan pemahaman civil society diperhadapkan secara mutual exclusive dengan institusi negara. Padahal, suatu civil society tidak akan pernah berkembang sehat tanpa komitmen institusi negara. Bahkan makna kata asal civil society itu sendiri (dari periode klasik hingga era pencerahan) tak lain adalah suatu law-governed state (negara di bawah kepemimpinan hukum). Hal ini mengisyaratkan, untuk penguatan civil society perlu ada pembudayaan civc culture di wilayah negara.
Dari annales school, Lucien Febvre dan Henri-Jean Martin (1996) menunjukkan, salah satu penanda penting dalam pergeseran masyarakat Eropa dari Abad Tengah ke spirit humanisme dan era Reformasi adalah pergeseran perilaku tentara dari tak pernah membaca, sedikit membaca, akhirnya memiliki perpustakaan pribadi. Secara eksplisit kedua moyang total history itu menunjukkan, dalam gelombang kebangkitan peradaban Eropa, tentara adalah kelompok profesional yang paling terlambat memasuki galaksi perbukuan (sebagai penanda keberadaban). Secara implisit mereka tunjukkan, sekali aparatur negara ini terekspos ke dalam civic culture, peluang ke arah reformasi sosial dan penguatan civil society menjadi terbayangkan.
Arti penting penguatan civic culture di wilayah negara memperoleh kepenuhan relevansinya di Indonesia. Persoalan pokok masyarakat plural seperti Indonesia adalah tiadanya “keinginan bersama” (common will). Setiap kelompok memiliki kepentingannya sendiri yang sulit dipertemukan. Jika kepentingannya dirasa terancam oleh kehadiran kelompok lain, maka bentrokan komunal menjadi mudah meledak. Dalam aneka kepentingan yang saling bersaing, diperlukan suatu institusi penengah yang bisa bertindak sebagai wasit yang adil, dengan menegakkan tertib politik di bawah kepemimpinan hukum. Institusi itu tiada lain adalah negara.
***
Masalah utama politik Indonesia justru terletak pada ketiadaan institusi negara yang mampu menjadi wasit yang adil. Praktik kenegaraan yang berlangsung hingga kini hanya melanjutkan perilaku negara kolonial yang tak mampu menegakkan supremasi hukum, memberikan rasa aman dan rasa adil bagi tiap sektor kebangsaan. Di dalam ketiadaan keadilan dan perlindungan hukum bagi individu untuk mengembangkan dirinya, orang lebih nyaman memilih menjadi warga-tribus (tribalisme, premanisme, koncoisme, atau sektarianisme) ketimbang warga-negara.
Persoalan ekonomi-politik yang bersumber dari manajemen negara yang korup menyisakan kelangkaan dan ketimpangan alokasi sumber daya di rumah tangga kebangsaan. Jika aparatur negara hanya sibuk mengamankan kekuasaan dan dapurnya sendiri, maka individu akan segera berpaling ke sumber-sumber tribus sebagai sandaran. Di sini persoalan ekonomi-politik yang obyektif disublimasikan ke dalam bentrokan identitas yang subyektif. Politik kekerasan yang dikembangkan oleh negara segera menjelma menjadi kekerasan politik yang menyumbat perwujudan “masyarakat politik” serta civil society yang sehat dan kuat.
Lingkaran setan seperti itu hanya dapat diputus bila ada suatu political will untuk melakukan reformasi penyelenggaraan kekuasaan negara. Kekuasaan negara tidak boleh menjadi perpanjangan dari kepentingan komunal, tetapi harus merepresentasikan kepentingan seluruh elemen kebangsaan. Hal itu bisa ditempuh dengan cara mengedepankan supremasi hukum dan penyelenggaraan pemerintahan yang bersih, bebas dari praktik-praktik KKN, yang memungkinkan redistribusi sumber daya ekonomi-politik-kultural secara relatif berkeadilan di tengah keragaman. Hanya dengan cara seperti itulah tiap anggota kelompok akan merasa percaya pada negara dan aman menjadi warga negara. Dan hanya jika ada rasa percaya pada negara--sebagai wasit yang adil--bentrokan komunal dan identitas bisa diselesaikan.
Jalan ke arah itu gagal ditempuh pemerintahan Abdurrahman Wahid. Kejahatan ekonomi-politik di masa lalu tidak sungguh-sungguh dibawa ke mahkamah pengadilan, tetapi diselesaikan melalui mekanisme “bawah tangan” dengan aroma KKN yang kental. Gerakan-gerakan kedaerahan sebagai ekpresi kekecewaan terhadap pusat, tidak sungguh-sungguh direspons lewat pelimpahan otonomi yang terpadu dan konsisten, tetapi justru dengan mengundang kembali isntalasi milter. Kecenderungan terjadinya bentrokan identitas tidak direspons dengan mencari inti persoalan, tetapi malah diperburuk oleh kecenderungan untuk menakut-bakuti bayangan publik akan adanya fundamentalisme keagamaan. Sementara itu, penyelenggaraan negara yang mesti tunduk kepada asas rasionalitas, transparansi, dan akuntabilitas dikaburkan oleh kecenderungan mistifikasi kekuasaan dan penghindaraan tanggung jawab dengan selalu menganggap enteng persoalan: Gitu aja, kok, repot!
Dengan gambaran seperti itu menjadi jelas, pemerintahan Gus Dur telah kehilangan legitimasi politiknya. Satu-satunya cara yang bisa membuatnya bertahan adalah politik dagang sapi dan tindak kekerasan. Padahal kita tahu, kekerasan hanya bisa bertahan lewat kebohongan dan pengingkaran, sementara kebohongan dan pengingkaran hanya bisa dipelihara lewat tindak kekerasan secara berlanjut. Siapa pun yang membiarkan kekerasan sebagai metode untuk mempertahankan kekuasaan tak terhindarkan akan memilih kebohongan sebagai prinsip politiknya.
Jika itu pilihannya, semua perbincangan tentang reformasi menjadi omong kosong. Sebab, asal-muasal dari kejahatan adalah dusta. Semua perbincangan tentang pembangunan politik harus dilupakan. Sebab, asal-muasal-lah dari semua ketidakberadaban adalah kekerasan.
Yudi Latif, peserta visiting fellow pada the Australian National University, dosen Universitas ParamadinaMulya
Sumber: Kompas, 12 Maret 2001
0 komentar:
Posting Komentar