alt/text gambar

Sabtu, 05 April 2025

Topik Pilihan:

Novel Saman menurut Umar Kayam dan Pramoedya Ananta Toer



KAYAM: POTRET REALITAS

PRAM: INTEGRITAS TINGGI

(Kompas, 5 April, 1998)


Pengarang Umar Kayam menilai Saman merupakan potret realitas Indonesia, sekaligus potret uneg-uneg anak muda Indonesia.

“Semua keluar di situ. Terutama tentang keterikatan wanita terhadap tradisi, tentang hubungan seks, dan sebagainya itu,” katanya. “Yang menyenangkan bagi saya, dia itu anak muda. Saya berharap banyak lagi naskahnya yang belum dipublikasi bisa dinikmati pembaca. Apa yang ditulisnya merupakan wakil dari anak muda yang kosmopolitan dengan bacaan banyak, pengalaman dan pengamatan yang tajam, dan tentu dia ini anak muda intelektual.” 

Apa yang dihasilkan Ayu Utami merefleksikan keluasan bacaan dan informasi  yang diperolehnya. Ia mampu mendaftar semua persoalan secara mendalam seperti pergulatan nilai-nilai individual, nilai-nilai gereja, nilai dan tatanan sosial ekonomi dan politik, serta hakikat hubungan seks. 

Menurut Umar Kayam, Saman memiliki teknik bercerita yang bagus sekali. Ia menyebutnya sebagai salah satu bentuk sastra modern dengan plot unik, karena tidak linier. 

“Biar saja begitu, tetapi untuk kelanjutan cerita ini harus siap dengan kerangka yang lebih jelas. Dibanding Belenggu misalnya, Belenggu itu masih linier,” kata Kayam yang menilai Saman memakai teknik roman pop sebagaimana buku-buku terlaris internasional. 

Teknik stream of conciousness boleh saja dilanjutkan, tetapi jangan sampai banyak bagian cerita yang menggantung. Katanya, “Keunikan yang ada, harusnya hanya sebagai semacam trick saja.” 

Pada episode Saman (Bab II) misalnya, penulisnya memberi gambaran magic realism, sebagaimana tertangkap pada novel One Hundred Years Solitude karangan Gabriel Garcia Marquez yang luar biasa. 

“Bagian yang menceritakan masa lalu Saman ketika masih bernama Wisanggeni itu bagus sekali, dan saya kira bahasanya adalah bahasa novel pop terbaik, dengan teknik bercerita stream of consciousness. Maksud saya, itulah ekspresi literer yang banyak memberikan pembaca untuk melakukan pertimbangan pribadi terhadap refleksi penulis tentang kehidupan.” 

Magic realism yang dimaksud adalah kesanggupan penulisnya untuk memuntahkan kenyataan yang tak terpecahkan, ada suara-suara di belakang yang tak terpecahkan. Apa yang diungkapkan pada bagian ini lebih sebagai instink dan bawah sadar si penulis, tetapi bisa juga benar-benar. 

“Jadi antara memang begitu atau sekadar metafor, menurut saya itu bagian dari gugon tuhon (percaya boleh tidakpun tak apa—Red) dari masyarakat yang benar-benar menjadi “realitas tersendiri”. 

Dari segi penggunaan bahasa, Kayam menilai bahasanya bagus, cerdas, dan inovatif, dan pada bagian tertentu berbau puitis. 

“Memang modern garapannya, dan saya kira susah ditandingi penulis-penulis muda sekarang. Penulis tua pun, belum tentu bisa menandingi dia,” kata Kayam memuji penulisnya. 

“Karya ini tidak jelek, hanya penulisnya belum berpengalaman. Karena ini masih draft, ia harus diubah sama sekali.” 

Itu pendapat sastrawan Pramoedya Ananta Toer, yang mengaku baru membaca halaman pertama Saman. Ia tidak melanjutkan membacanya karena “penulis kasih pembacanya beban yang berat,” sambil memperlihatkan lengkungan dan garis bertinta merah pada beberapa tanda baca dan beberapa kata pada halaman yang sudah ia baca itu. 

“Dia (pengarangnya) belum berpengalaman sebagai penulis. Meletakkan koma pun belum bisa. Di taman ini, saya adalah... Koma setelah ini tidak perlu, adalah tidak perlu... Ia membebani kalimat. Rafflessia arnoldi... di Malaysia, mestinya kan di Bengkulu. Bagaimana ini...? Boleh salah, tapi jangan mencolok. Jadi saya membaca halaman pertama ini saja sudah berat, dikasih banyak beban. Karena itu, saya tidak bisa meneruskannya,” katanya. 

Ketika diberikan kepadanya untuk ditanggapi, Senin 30 Maret, buku fotokopian A-4 itu dijilid spiral dengan sampul plastik mika. Sewaktu ditanya tanggapannya Kamis 2 April, buku itu sudah dijilid lem dengan sampul karton hijau yang punggungnya ditulisi kata SAMAN dengan spidol hitam. 

“Bukan maksud saya jadi kritikus yang harus diikuti. Pertama kali saya melihat dia punya integritas tinggi, kepribadiannya tidak terbelah. Dia tak mungkin seorang penulis iklan,” katanya.

“Dari halaman pertama saja sudah terlihat ia punya integritas tinggi? Bisa kelihatan,” jawabnya.

Menurut Pramoedya, sastra lebih daripada jurnalistik. Katanya, “Pada jurnalistik cukup memenuhi 5W1H (what, where, when, why, who, dan how), tapi dalam sastra pengarang harus membuktikan omongannya.”

Ia berpendapat, pada baris-baris pertama Saman yang ada hanya dikte saja, mestinya pengarang harus membuktikan dengan deskripsi. Di pengadilan pembuktian dengan kenyataan, pada sastra kenyataan itu bahasa.

“Sejak kalimat pertama ia mendikte, padahal benda-benda bisa berbicara membentuk suasana. Suara-suara, benda-benda mati, benda-benda hidup, agar berbicara seperti yang diinginkan pengarang,” tuturnya. “Saya tidak kuat melanjutkannya. Melanjutkan membaca ini rasanya saya jadi tapol lagi...” (sal/bre/hrd)


Sumber: Kompas, 5 April 1998

0 komentar:

Posting Komentar