alt/text gambar

Jumat, 02 Mei 2025

Topik Pilihan:

Erros Djarot, Penantang yang Keras Kepala

 

A.S. Laksana


Ia memiliki banyak keahlian, menulis lagu-lagu yang hidup lebih lama ketimbang rezim, membuat film yang memenangi banyak penghargaan, memimpin tabloid berita yang membongkar kebisuan, dan akhirnya memilih medan yang lebih gaduh, politik, untuk melancarkan serangan tak henti-henti terhadap siapa saja yang ia anggap pengkhianat republik.


Ketika ia menulis, ia menulis seperti orang yang tidak bisa tidur karena terlalu banyak yang perlu dibereskan di negerinya: luka-luka bangsa, janji-janji kemerdekaan, dan nasib rakyat jelata. Kadang nadanya tinggi, kadang kasar, kadang menyindir, tetapi dalam nada apa pun, ia selalu menuntut perhitungan.


Di luar semua itu, Erros Djarot adalah pemimpi yang keras kepala, yang menggunakan seni dan kata-kata untuk menantang apa yang ia lihat sebagai kebekuan, mengingatkan terjadinya pelapukan moral, dan mengajak orang-orang bangkit bersama-sama karena ibu pertiwi sedang ditelanjangi dan diperkosa oleh mereka yang tidak benar-benar mencintainya. Ia setia menjaga mimpi dan ideal-idealnya tentang sebuah negeri, mimpi yang dibentuk oleh gagasan dan pidato-pidato Bung Karno, orang yang selalu ia junjung tinggi, orang yang ia cintai dalam cara yang nyaris spiritual—bukan karena sosoknya tanpa cela, tapi karena gagasan-gagasannya membuat ia merasa bahwa bangsa ini pernah punya arah. 


Saya selalu berharap Erros Djarot membuat film tentang Bung Karno. Ia telah membuat film bagus tentang Tjoet Nja’ Dhien; saya percaya ia akan membuat film bagus tentang Bung Karno.


*


Pada hari pertama saya bertemu dalam jarak dekat dengannya, Maret 1993, dan untuk kali pertama mengikuti rapat di kantor redaksi tabloid DeTIK, saya tidak begitu memahami apa yang dibicarakan; saya sibuk dengan gambaran yang muncul begitu saja di dalam benak saya sendiri tentang hari-hari di masa kanak-kanak. Saya suka memanjat pohon mangga, saya suka bernyanyi, dan hampir tiap sore saya memanjat pohon mangga di pekarangan rumah dan bernyanyi di dahan pohon mangga itu. Salah satu yang sering saya nyanyikan adalah "Pelangi". Lagu itu kerap saya dengar di radio ketika saya mulai senang bernyanyi. Saya tidak mengetahui siapa penyanyinya, apalagi penciptanya, dan saya pernah keliru menyanyikan lagu “Pelangi” yang itu di depan kelas.


Hari itu saya bertemu dengan penciptanya, dan akan sering bertemu dengannya; ia menjadi bos saya, dan yang ia lakukan pertama kali sebagai bos adalah mengolok-olok saya. 


Saya menulis lambat sekali dan tidak mampu mengeluarkan kata-kata jika ada orang di dekat saya. Saya memerlukan kesunyian untuk sekadar menulis lambat, dan suatu hari, ketika saya baru mulai menulis dan belum mendapatkan satu kalimat pun, ia tiba-tiba muncul di booth saya di pojok ruangan di samping dapur. Tubuh dan pikiran saya macet seketika, dan ia spontan mengatakan, dalam suara keras: "Anak ini sepertinya harus ditempatkan di bawah beringin, dengan kemenyan, baru ia bisa menulis." 


Ia benar tentang saya, dalam cara yang lucu dan imajinatif.


Dan jika peristiwa kecil di kantor DeTIK ini diperbesar skalanya, kita akan mendapati sesuatu yang khas Erros. Ia datang ke suatu tempat, ia melihat gejala, ia berteriak. Maka, ke mana pun ia pergi, di tempat mana pun ia singgah, ia akan selalu membawa suara perlawanan. Sebab ia tidak bisa hanya diam. 


Ketika ia bermusik, ia membawa semangat perlawanan terutama melalui musik yang ia bawakan bersama teman-temannya, juga melalui tema-tema sosial dalam sejumlah lagunya, dan sesekali melalui lirik-liriknya. Dalam album Barong’s Band, eksperimen pertamanya dengan musik, kita akan menjumpai lagu berjudul “Negara Kita” dan “Moral” dan sebuah kalimat permohonan dalam lagu “Tuhan”: “Beri kami sinar-Mu di kegelapan, agar mereka yang buta menjadi terang.” Kekuasaan yang buta adalah tema utama dalam suara perlawanannya.


Tetapi bahkan ketika ia menciptakan album Badai Pasti Berlalu, ia juga sedang melakukan perlawanan, kali ini terhadap estetika musik pop Indonesia, yang memang bermasalah dalam hal penulisan lirik, penyusunan nada, dan kedangkalan ekspresi musikalnya. Ia menyatakan hal ini dalam percakapan sambil lalu ketika saya menanyakan tentang album musiknya itu.


Kemudian ia menggeser perhatiannya ke film, dunia yang ia geluti beriringan dengan musik, dan di tempat ini pun ia melihat gejala yang harus disembuhkan. Ia lalu pergi ke Inggris untuk sekolah film, menjadi pengunjung setia perpustakaan film di sana, dan membuat ikrar kepada diri sendiri harus menonton seribu film sebelum ia kembali lagi ke Indonesia. Ia tahu ia memerlukan pengetahuan dan referensi yang memadai untuk membuat filmnya sendiri. Dan ia membuat Tjoet Nja' Dhien, menyisipkan pendirian politiknya melalui film itu, dan melanjutkan perlawanan dalam bentuk aksi lapangan ketika ia dan teman-temannya menggugat monopoli peredaran film. 


Dengan DeTIK ia memperbesar skala perlawanan dan menempatkan dirinya berhadap-hadapan langsung dengan pemerintahan diktatorial Orde Baru. Dan DeTIK dibredel, suatu risiko yang mudah ditebak bagi media yang mengganggu rezim. Lalu ia dihentikan lagi beberapa bulan kemudian ketika mencoba siasat berikutnya dengan koran mingguan Simponi. Dalam versi barunya yang dirancang menyerupai DeTIK, koran ini hanya terbit satu edisi.


*


Ada satu edisi DeTIK dengan laporan utama yang semula saya pikir bercanda. Saat itu menjelang lebaran. Erros mengusulkan di rapat redaksi sebuah gagasan yang sepertinya tidak mungkin diusulkan oleh pemimpin redaksi media lain, dan hanya mungkin diusulkan oleh seorang Marhaenis, ialah menulis tentang “People Power”. Ia tidak bicara tentang perlawanan rakyat untuk menurunkan seorang diktator sebagaimana yang terjadi di Filipina, tetapi sebuah eksagerasi dari gejala tahunan. Pada setiap lebaran, para pembantu rumah tangga di Jakarta, yang biasanya orang-orang dari daerah, akan pulang mudik ke daerah mereka masing-masing untuk waktu lebih dari sepekan. Ia membayangkan betapa lumpuhnya Jakarta jika para pembantu itu mogok kerja dan tidak kembali lagi ke Jakarta.


Laporan utama itu tidak tergarap bagus dan mungkin bukan jenis laporan yang akan diingat pembaca. Namun dengan laporan utama itu, ia sebetulnya hanya ingin mengingatkan betapa pentingnya pembantu rumah tangga, orang-orang yang sering dianggap remeh karena profesi mereka dan, dalam beberapa kasus, diperlakukan tidak manusiawi oleh majikan mereka. Ia ingin DeTIK menulis realitas bahwa satu sistem besar bisa runtuh hanya karena orang-orang kecil memutuskan untuk tidak kembali.


Ia sendiri memperlakukan pembantu di rumahnya secara luar biasa, sampai-sampai pembantunya bisa menegurnya ketika ia teledor. Dan ia sering teledor, lupa di mana menaruh dompet, lupa pipa rokoknya ada di mana, atau membiarkan uangnya berceceran di sembarang tempat, dan itu berarti ia sering kena tegur pembantunya. Ia betul-betul memperlakukan para pembantu di rumahnya sebagai anggota keluarga, bercakap-cakap dengan mereka tanpa jarak psikologis, dan melibatkan mereka dalam voting untuk beberapa urusan yang memerlukan pengambilan suara.


*


Erros luwes bergaul dengan siapa saja, itu kekuatan dan kelemahan dalam waktu yang bersamaan. Ia memiliki banyak teman di berbagai tempat, dan itu membuatnya tidak pernah menetap. Ia singgah sementara, membuat perlawanan, dan kemudian pergi ke tempat lain, menemukan gejala baru, mengobarkan perlawanan baru di tempat baru, dan pergi lagi, dan seterusnya. Ia selalu penuh kesungguhan ketika di kepalanya ada niat untuk membereskan gejala di tempat yang ia singgahi. Itu sebabnya ia meninggalkan tapak kaki yang dalam di berbagai tempat. Tetapi karena ia tak pernah berdiam cukup lama, pengaruh yang ia bawa, juga visinya, sering tak sempat tumbuh menjadi kekuatan pendorong bagi perubahan yang lebih permanen.


Itu terjadi juga dalam politik. Ia gigih membela Megawati, menemaninya di masa-masa paling sulit ketika harus mempertahankan kepemimpinannya di PDI, yang kemudian berubah menjadi PDI Perjuangan, melawan rongrongan pemerintah yang ingin meredam pengaruh politik putri Bung Karno itu, dan membawa Mega ke jaringan yang lebih luas. Dan ia tak ada di sana ketika PDI Perjuangan menjadi partai besar, menikmati kemenangan politik, dan menjadi peraih suara terbanyak pada pemilu-pemilu setelah reformasi.


Barangkali memang tidak semua orang ditakdirkan untuk menanam dan memanen. Mungkin Erros hanya bertugas menanam.


*


Sekarang ia rajin menulis. Tapi menurut saya, yang ia lakukan lebih mirip bersuara daripada menulis. Ia seperti tidak punya waktu untuk memperhalus atau mempercanggih bahasanya. Kalimat-kalimatnya kadang sembrono, dan tanda bacanya sering mengabaikan kaidah. Tapi mungkin justru di situlah kita seperti menemukan suara yang tak dibuat-buat. Tulisannya terasa sebagai suara langsung dari kepalanya—mendesak, tergesa, dan jujur. Ia tidak sedang mencoba mengesankan siapa pun, atau menyusun kalimat yang sempurna. Ia hanya sedang berusaha melepaskan sesuatu yang tak bisa ia simpan lebih lama.


Dalam situasi ketika suara sulit dikeluarkan, seperti dalam masa Orde Baru, nada mendesak dalam tulisan-tulisannya akan sangat berharga. Namun, dalam situasi hari ini, ketika semua orang bersuara mendesak, dan suara apa pun muncul dua puluh empat jam dalam sehari, yang hilang dari banjir kata-kata ini adalah estetika—bentuk, ritme, dan jeda. 


Suaranya, yang dulu mungkin efektif untuk mendobrak kesenyapan, kini mudah terseret dalam arus ramai yang penuh pertengkaran dan provokasi, dan tak punya waktu berhenti. Sesekali saya mengingatkannya tentang film. Bagaimanapun, film adalah bentuk ekspresi yang strategis untuk menjangkau orang banyak, atau untuk membangun kesadaran, tetapi film mungkin sudah menjadi terlalu kecil baginya dan tidak praktis. Ada banyak hal mendesak di dalam dirinya, tentang negara dan orang-orang yang mengkhianatinya, dan ia harus bersuara sekarang juga.


Ia melakukannya karena masih tetap percaya bahwa semangat luhur bangsa ini belum hilang, bahwa orang-orang perlu diingatkan karena bangsa ini memiliki reputasi mudah lupa, dan bahwa “kita” masih punya harapan untuk masa depan yang lebih baik, asalkan para pengkhianat itu dihukum setimpal. 


*


Pengkhianatan terhadap janji kemerdekaan, terhadap UUD 1945, dan kemudian terhadap amanat reformasi, adalah juga tema berulang yang kerap muncul dalam tulisan-tulisannya. Dalam tindak pengkhianatan selalu ada pengkhianat, dan pengkhianat tidak sepantasnya dibiarkan hidup tenang. Karena itulah ia lebih cenderung menunjuk orang ketimbang membicarakan konsep yang lebih abstrak. 


Sesekali saya menyampaikan keberatan terhadapnya. Kritik terhadap individu mungkin mudah dipahami, lebih dramatis, dan efektif untuk menyentuh emosi pembaca. Tetapi, dalam situasi masyarakat yang terbelah (atau dibelah oleh kepentingan politik, dalam bentuk pemeliharaan buzzer), serangan terhadap individu hanya akan membatasi jangkauan pada orang-orang yang sudah setuju dengannya, dan akan kesulitan mempengaruhi kelompok yang lebih luas atau netral. 


Namun, saya tahu bahwa ia pasti memiliki pertimbangan-pertimbangannya sendiri, dan bagaimanapun saya takjub pada daya tahannya untuk melawan. Ia telah melakukan banyak hal dalam hidupnya, dan melahirkan karya-karya yang berumur panjang, dan Erros beruntung bahwa ia tidak pernah sendirian dalam semua jalan yang ditempuhnya. Di sampingnya ada Dewi Djarot—istri, sahabat intelektual, dan penyeimbang yang tangguh. Ia penasihat hukum yang dihormati, pembangun fondasi yang kokoh di dalam rumah tangga mereka, yang memungkinkan Erros leluasa berkarya dan melakukan apa saja yang dilakukannya, tanpa direpoti urusan domestik. 


Dan Dewi Djarot adalah tempat pulang ketika situasi kami genting.


Setelah DeTIK dibredel, saya dan beberapa teman pernah tinggal lama di rumah mereka, rumah yang terbuka bagi siapa saja untuk datang, rumah yang tak pernah sepi dalam 24 jam. “Tinggal” adalah penghalusan untuk fakta bahwa kami memasrahkan diri, sebab kami tidak punya penghasilan dan Erros hampir setiap hari mengajak diskusi, membicarakan kemungkinan-kemungkinan yang bisa dilakukan. 


Suatu hari saya mengobrol dengan Erros di meja tempat kami biasa makan, membicarakan apa saja, dan situasi kami betul-betul genting: kami sama-sama tak punya uang. Ia tiba-tiba masuk ke kamar dan keluar tak lama kemudian sambil senyum-senyum. “Istriku menaruh uang sembarangan. Salahnya sendiri,” katanya. “Kita bagi dua, ya.”


Lama setelah itu saya baru menyadari bahwa itu pasti bukan kebetulan. Mbak Dewi bukan orang yang teledor. Saya yakin itu cara ia menyayangi dan menghormati kami. Ia membiarkan uangnya “ditemukan” oleh Mas Erros, agar bisa disalurkan kepada kami tanpa ia terlihat memberi dengan tangannya sendiri.


Saya mencintai mereka, dan akan selalu mencintai mereka, meskipun kadang saya jengkel terhadap cara Mas Erros. Tetapi Erros Djarot memiliki kekeraskepalaan untuk bertahan dengan caranya sendiri—cara yang membuatnya tak selalu mudah diterima, cara yang membuat orang mendekatinya atau menjauhinya, atau mendekatinya untuk kepentingan tertentu dan kemudian menjauhinya.[]

0 komentar:

Posting Komentar