Banyak orang mungkin tidak akan berpikir dua kali jika mendapat tawaran sebagai dosen. Apalagi yang menawari adalah rektornya sendiri. Lebih-lebih di tengah kondisi ekonomi yang carut marut. Tetapi tidak bagi Ujang (28), bukan nama sebenarnya, lulusan S3 di sebuah kampus di Jogja.
Ujang menolak tawaran tersebut. Dia takut kehilangan waktu luang untuk mancing. Menjadi dosen, dalam bayangannya, akan menyita banyak waktu karena dikejar banyak urusan.
Jadi dosen itu kering makna, lebih baik mancing
Alasan utama Ujang tidak kepincut dengan tawaran menjadi dosen adalah karena takut kehilangan waktu luang untuk membaca dan menulis. Mancing ada di urutan terakhir.
“Sebelum tagar jangan mau jadi dosen viral, aku tahu bahwa kerja sebagai dosen akan dikoyak-koyak pekerjaan administratif. Keilmuan menjadi sekunder karena fokus dengan laporan dan tetek bengeknya. Itu kering makna,” ucap Ujang saat saya temui pada Rabu (12/3/2025).
Gambaran kehidupan semacam itu juga Ujang dapat dari guru besar yang mengajarnya di sebuah kampus di Jogja. Bagi si guru besar, kini punya waktu luang untuk membaca novel menjadi kemewahan tersendiri. Saking waktunya dilahap oleh administrasi.
Mengerikan sekali, batin Ujang. Sebab, menurut lulusan S3 kampus Jogja tersebut, harta karun dalam hidup di zaman ketika industri merenggut jiwa manusia seperti sekarang, tidak lain adalah waktu luang. Saat ini Ujang telah memilikinya (waktu luang). Dia tak mau melepaskannya begitu saja.
Buktikan mancing tak melulu identik dengan pengangguran
Mancing bagi kebanyakan orang memang identik sebagai kegiatan pengangguran. Tetapi bagi Ujang, mancing adalah cara untuk menenangkan pikirannya yang berisik.
“Pertanyaan yang melintas di pikiranku bukan tentang bagaimana jika token listrik belum dibayar, melainkan ‘Kenapa daun ada banyak ya?’, ‘Adam dan Hawa kan sepasang, tapi kok bahasa di dunia jadi banyak, warna kulit juga berbeda-beda?’. Dan pertanyaan eksistensial lainnya yang berisik dalam kepalaku,” kata Ujang.
Maka untuk meredami pikiran dari pertanyaan-pertanyaan tersebut, Ujang memilih untuk mancing.
Syukurnya, orangtua Ujang tidak khawatir dan tidak menuntut apapun padanya: lulusan S3 kampus Jogja yang lebih suka mancing ketimbang berburu lowongan kerja prestisius.
“Aku bisa jamin ke orangtuaku, kebutuhan hidup bisa aku cari sendiri. Dari serabutan editor dan menulis. Dan itu sudah kulakukan,” beber Ujang. Toh selama kuliah pun dia nyaris tidak pernah meminta biaya dari orangtua. S1 hingga S3 dia biayai sendiri dengan beasiswa.
Trauma masa lalu bikin lulusan S3 kampus Jogja enggan jadi dosen
“Bapakku dulu sering ditipu orang-orang penting, seperti carik (sekretaris desa), lurah, kiai, pokoknya orang berpangkat yang tercitra baik di masyarakat,” tutur Ujang. Bapak ujang tertipu investasi menggandakan uang.
“Aku lupa detailnya gimana, intinya kalau kamu investasi di sini, dalam sebulan uang dua puluh juta bisa jadi tiga kali lipat. Sialnya, orang yang mengajak investasi ini ternyata lari. Pahitnya lagi, bapakku yang jadi perantara mengajak para warga untuk ikutan investasi. Otomatis malah bapakku yang disalahkan.”
Akibatnya, bapaknya Ujang harus menjual aset-aset yang dimilikinya, seperti sapi dan mobil. Keadaan pahit itu tidak hanya membuat keluarga Ujang jatuh miskin, tapi juga menimbulkan keretakan rumah tangga.
Dari kejadian itu, Ujang tumbuh dengan pilihan selalu menghindar untuk menduduki posisi yang mempunyai jabatan berpengaruh. Dosen salah satunya.
"Aku tumbuh dengan kemuakan kepada para orang berpangkat. Karena dengan kuasa, mereka bisa dengan seenaknya menipu orang,”
Lulusan S3 kampus Jogja ditawari merintis kampus
Tawaran menjadi dosen sebenarnya Ujang terima saat dia baru keterima S3, oleh rektor sebuah kampus di Bandung.
Tawaran itu kembali diberikan kepadanya setelah lulus S3 dari kampus Jogja pada awal 2025 lalu. Kali itu dari kepala prodi sebuah jurusan di kampus yang sama.
Namun, tawarannya bertambah: jadi dosen di kampus Bandung tersebut atau membantu kaprodi merintis sebuah kampus di Pangandaran.
“Oh nuhun pak, nantilah saya pertimbangkan.” Hanya begitu jawaban Ujang.
Muak dengan bagi-bagi jabatan
Dari S1 hingga S3, ujang tempuh di kampus yang kesemuanya berlabel Islam. Organisasi ekstra seperti PMII dan HMI tumbuh subur di sana.
Selama ini, lulusan S3 kampus Jogja itu merasa budaya paling kuat di kampusnya justru bukan pencarian ilmu, tetapi perebutan kursi jabatan antarkubu. Bukan hanya di level mahasiswa, tapi juga sampai di level dosen.
Transaksi jabatan tidak berhenti di jabatan dosen. Ketika seorang dosen dari kubu tertentu diangkat menjadi dekan, maka jajaran dekannya akan diisi oleh orang-orang dari kubu yang sama.
"Jabatan akademik diisi bukan base on capacity, melainkan dari hasil bagi-bagi,” gerutu Ujang.
Uniknya, Ujang tidak berangkat dari kubu manapun. Tapu dia justru dapat tawaran denga begitu mudahnya. Hanya, tetap saja dia tidak bisa berpikir yang positif-positif atas kebobrokan birokrasi apapun di negara ini.
“Sejelek apapun kualifikasi seseorang, kalau dia punya ijazah S3, tentu akan mendongkrak akreditasi jurusan. Itu mungkin alasanku ditawari, walau misal kualifikasinya seperti Bahlil,” tutup lulusan S3 kampus Jogja itu dengan senyum sumir.
Penulis: Rizky Benang
Editor: Muchamad Aly Reza
Sumber: https://mojok.co/liputan/kampus/lulusan-s3-kampus-jogja-tolak-tawaran-jadi-dosen-demi-mancing/2/
Baca juga:
https://mojok.co/liputan/sosok/lulusan-s2-ugm-jadi-penjual-cilok-power-rangers/#google_vignette
0 komentar:
Posting Komentar