Oleh : Nasih Widya Yuwono
Tahun 1977 adalah masa ketika dunia saya masih penuh tanya, penuh celah untuk ingin tahu. Usia saya belum genap lima belas, duduk di bangku SMP dengan seragam putih biru yang sudah mulai pudar warnanya. Sekolah saya bukan sekolah favorit, bukan pula sekolah unggulan. Tapi perpustakaannya menyimpan sesuatu yang tak saya duga akan mengubah cara pandang saya terhadap kehidupan: sebuah buku tua bersampul lusuh berjudul Sistematika Filsafat, ditulis oleh seorang bernama Sidi Gazalba.
Saat itu, saya belum tahu siapa Sidi Gazalba. Namanya terdengar seperti tokoh luar negeri, padahal beliau adalah seorang filsuf dan akademisi Indonesia yang berpikir jernih, runtut, dan penuh semangat kebangsaan. Saya tertarik membaca buku itu bukan karena saya ingin menjadi filsuf, apalagi pemikir besar. Tidak. Saya hanya ingin tahu apa itu “filsafat” yang sering disebut-sebut guru kami dengan nada serius tapi tidak pernah dijelaskan secara mendalam. Kata itu seperti kabut: membayang, samar, dan menggoda.
Begitu saya membuka halaman pertama, saya langsung merasa masuk ke dalam dunia yang asing namun penuh daya tarik. Buku itu tidak mudah dibaca, apalagi untuk anak SMP. Bahasanya padat, susunannya sistematis, dan istilah-istilahnya asing bagi saya. Tapi ada sesuatu yang membuat saya tetap bertahan. Mungkin karena cara Sidi Gazalba menjelaskan filsafat seperti orang tua yang sabar menuntun anaknya memahami mengapa dunia ini berjalan seperti adanya, dan mengapa manusia harus berpikir, bukan sekadar hidup.
Saya membaca buku itu diam-diam, mencicil di sela jam istirahat, atau di rumah ketika semua orang sudah tidur. Halaman demi halaman saya tandai dengan pensil, saya catat istilah-istilah aneh seperti "epistemologi", "ontologi", dan "aksiologi". Saya belum benar-benar paham, tapi saya merasa seolah menemukan peta untuk menjelajahi dunia pikiran. Dan anehnya, setelah beberapa bab, saya mulai mengerti satu hal penting: filsafat bukan tentang menghafal, tetapi tentang bertanya. Filsafat adalah keberanian untuk bertanya, bahkan terhadap hal-hal yang selama ini kita anggap pasti.
Malam-malam saya yang biasanya diisi dengan belajar matematika atau menggambar peta buta mendadak berubah menjadi malam perenungan. Saya mulai bertanya, mengapa saya ada di dunia ini? Apa makna menjadi manusia? Apakah semua yang diajarkan itu benar? Mengapa kebaikan sering kalah oleh kekuasaan? Buku itu membuat saya merasa punya teman untuk berdiskusi, walau hanya melalui teks. Sidi Gazalba, dengan caranya yang tenang dan rasional, seperti membuka ruang bagi saya untuk berpikir secara jujur.
Saya masih ingat bagaimana beliau mengulas sistematika filsafat dengan membaginya ke dalam tiga cabang besar: metafisika, epistemologi, dan etika. Saat itu, saya hanya mengerti garis besarnya saja. Tapi saya merasa seperti menemukan struktur bagi segala macam kebingungan dalam kepala saya. Seperti diberi kerangka untuk menyusun bata-bata pemikiran yang berserakan.
Yang paling membekas adalah bagian ketika beliau membahas etika sebagai bagian dari filsafat praktis. Di situ saya seperti ditampar dengan halus. Betapa manusia itu, dalam sejarahnya, bukan hanya berpikir tentang apa yang ada, tetapi juga tentang apa yang seharusnya. Bahwa hidup bukan sekadar berlangsung, tapi juga harus diarahkan. Saya mulai menaruh perhatian pada perilaku, pada keputusan sehari-hari, pada kebaikan yang sering dianggap remeh.
Di sekolah, saya mulai sering diam dan berpikir lebih lama sebelum menjawab pertanyaan. Teman-teman menyangka saya jadi pendiam, padahal kepala saya penuh dengan dialog. Kadang saya berpikir dengan suara sendiri: apakah kebenaran harus selalu menang? Apakah kesetiaan pada prinsip lebih penting daripada kenyamanan? Apakah semua orang sebenarnya sedang mencari sesuatu yang tak mereka pahami?
Buku itu tidak menjadikan saya filsuf, tapi ia telah menanam benih dalam diri saya. Benih untuk tidak menerima begitu saja apa yang dikatakan dunia. Benih untuk berani ragu, dan melalui keraguan itu, mencari pemahaman yang lebih dalam. Sidi Gazalba, lewat Sistematika Filsafat, telah mengajari saya bahwa berpikir itu tidak mewah, tidak harus dimiliki oleh segelintir orang, tetapi seharusnya menjadi hak dan kebiasaan semua orang.
Tentu saja saya tidak langsung berubah menjadi pemikir hebat. Saya tetap menjalani hidup seperti anak SMP lainnya. Tapi saya mulai melihat hal-hal kecil dengan cara berbeda. Ketika guru menghukum teman saya tanpa sebab yang jelas, saya tidak sekadar merasa tidak adil, saya mencoba memahami dari sisi yang lain. Ketika melihat orang miskin dipinggirkan, saya bertanya apakah keadilan itu hanya untuk yang punya kuasa. Pertanyaan-pertanyaan itu saya simpan dalam hati, tapi pengaruhnya nyata.
Tahun-tahun berlalu. Saya menamatkan SMP, masuk SMA, kuliah, dan bekerja. Tapi buku itu tetap membekas. Saya sering menyebutnya sebagai “buku pertama yang membuat saya berpikir.” Banyak buku lain datang dan pergi. Ada yang lebih tebal, lebih modern, lebih rumit. Tapi Sistematika Filsafat tetap istimewa karena ia adalah pintu pertama. Ia hadir di usia yang lugu, ketika pikiran belum terbebani ambisi dan belum diracuni sikap sok tahu. Ia hadir sebagai teman yang memberi arah.
Kini, ketika saya melihat ke belakang, saya sadar betapa pentingnya pengalaman membaca buku itu. Ia bukan sekadar teks, tapi pengalaman intelektual pertama yang menggugah batin. Ia tidak mengajarkan saya untuk merasa pintar, tapi justru menumbuhkan rasa rendah hati karena saya sadar begitu banyak hal yang belum saya pahami. Dalam dunia filsafat, tidak ada jawaban mutlak—yang ada adalah usaha terus-menerus untuk memahami.
Sidi Gazalba, dalam tulisannya, tidak menggurui. Ia menuntun. Tidak menyombongkan diri, tapi memberi contoh bagaimana berpikir secara jernih dan sistematis. Ia menulis dengan keyakinan bahwa pembaca Indonesia, siapapun dia, layak mendapatkan filsafat dalam bahasa yang bisa dijangkau. Ia tidak menjadikan filsafat sebagai menara gading, tetapi sebagai obor kecil yang bisa dinyalakan di setiap rumah.
Saya masih menyimpan salinan buku itu, meskipun sudah sobek di sana-sini. Beberapa halaman terlepas dari jilidnya, ada coretan-coretan pensil remaja yang lugu. Tapi saya enggan membuangnya. Ia seperti sahabat lama yang pernah menemani masa-masa sepi, ketika tidak ada yang mengerti kegelisahan saya sebagai remaja. Setiap kali membacanya kembali, saya merasa seperti pulang ke masa ketika hidup masih penuh harapan dan pertanyaan.
Mungkin orang lain mengenang masa SMP-nya dengan kisah cinta monyet atau kenakalan khas remaja. Saya mengenangnya dengan buku filsafat. Mungkin terdengar aneh, tapi bagi saya itulah yang paling mengesankan. Di usia muda, saya diberi kesempatan untuk masuk ke dunia yang luas, yang membuka cakrawala berpikir, yang menyodorkan keindahan berpikir logis dan jujur.
Saya tidak tahu apakah anak-anak sekarang masih membaca buku semacam itu. Dunia telah berubah. Informasi datang seperti banjir, tapi seringkali dangkal. Ketika segalanya bisa dicari di mesin pencari, kita kehilangan keindahan dalam proses pencarian itu sendiri. Sistematika Filsafat mengajari saya bahwa proses itu penting. Bahwa jawaban yang baik lahir dari pertanyaan yang tulus dan tekun.
Kini, sebagai orang dewasa yang pernah melewati berbagai jalan hidup, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada Sidi Gazalba. Bukan karena saya setuju dengan semua isi bukunya, tetapi karena ia pernah menyalakan api kecil dalam jiwa saya. Api itu tidak pernah padam, meskipun kadang hanya menyala redup. Ia tetap ada, sebagai pengingat bahwa hidup bukan hanya soal kerja dan rutinitas, tetapi juga tentang makna, tentang pertanyaan, dan tentang keberanian berpikir.
Kalau ada yang bertanya kepada saya apa buku paling penting yang pernah saya baca, saya tidak akan ragu menjawab: Sistematika Filsafat karya Sidi Gazalba. Bukan karena ia buku paling mutakhir, tetapi karena ia hadir di saat yang tepat, dan menggugah saya dengan cara yang tak bisa dilupakan.
Maka hari ini, saya menulis refleksi ini bukan sebagai kenangan kosong, tapi sebagai penghormatan. Buku itu telah menemani saya menapaki awal jalan berpikir. Dan saya percaya, jika ada satu buku yang bisa menuntun seseorang untuk menjadi manusia yang lebih dalam, maka itulah buku yang pantas disebut “berkesan.” Bagi saya, buku itu ditulis oleh Sidi Gazalba. Dan saya akan terus mengingatnya.
---
Sumber: https://www.facebook.com/share/p/1AWFSZyRBR/
0 komentar:
Posting Komentar