![]() |
Drs. Kwik Kian Gie |
Oleh: Kwik Kian Gie
Di Kompas 21 April 1997 saya menulis tentang "Kapitalisme di Indonesia”. Pada 7 Mei 1997 Prof. Mubyarto menanggapi dengan judul: ”Kapitalisme, UUD 1945, dan Kwik Kian Gie”. Banyak terima kasih atas tanggapan tersebut. Pada 12 Mei 1997, Tajuk Kompas membahas hal yang sama dengan judul "Mengacu ke Manakah Jalan Ekonomi Pasar yang Kita Tempuh Ini”. Karena telah beberapa kali saya sempat berdiskusi dengan Prof. Mubyarto tentang masalah yang sama, maka banyak yang sudah diketahui olehnya, jawaban apa yang akan saya berikan terhadap sanggahan atau pikiran beliau. Supaya lebih produktif, sesuai dengan yang dianjurkan oleh Prof. Mubyarto dan Tajuk Kompas, bahwa diskusi ini bermanfaat, saya akan memberikan gambaran operasional tentang Sistem Ekonomi Pancasila (SEP) tanpa menggunakan istilah "kapitalisme” sama sekali. Tentu akan banyak pengulangan dari apa yang telah sering saya tulis. Semoga tidak membosankan.
***
SEP menurut saya adalah ekonomi kerakyatan yang berarti bahwa seluruh rakyat, atau setiap warga negara dibolehkan ikut serta dalam proses produksi dan distribusi. Artinya, mereka dibolehkan memiliki modal yang menjadi hak milik pribadinya. Modal ini boleh dipadukan dengan faktor-faktor produksi lainnya untuk membuat barang dan jasa, yang dijual kepada para konsumen dengan memperoleh laba. Bentuk hukum dari organisasinya boleh apa saja. Yang lazim adalah perusahaan perorangan (eenmanszaak), persekutuan perorangan (maatschap), firma, firma komanditer, perseroan terbatas, koperasi, usaha bersama (onderlinge). Dengan demikian, akan terbentuk sangat banyak produsen yang dalam menjajakan barang dan jasa hasil produksinya saling bersaingan. Setiap produsen bebas menentukan sendiri barang apa yang akan diproduksi, berapa jumlahnya, dan berapa harga yang dimintanya. Semuanya ini tidak ditentukan oleh pemerintah secara sentral. Yang menjadi petunjuk bagi mereka tentang barang apa, berapa jumlahnya dan harga berapa yang akan dipasang adalah harga yang terbentuk di pasar. Harga yang terbentuk di pasar adalah hasil dari bekerjanya kekuatan permintaan dan penawaran.
Ada banyak sekali produsen dari barang yang sama yang saling bersaing di pasar. Karena mereka mempunyai daya kreasi dan daya inovasi, cara-caranya bersaing juga seribu satu macam. Di antaranya banyak sekali yang kotor, melanggar kewajaran, melanggar etika, melanggar kejujuran. Cara-cara yang tidak baik ini dicoba ditiadakan atau diminimumkan dengan peraturan dan pengaturan. Yang lazim adalah undang-undang anti-monopoli, undang-undang antitrust, undang-undang tentang persaingan.
Walaupun semua boleh berusaha, dan cara bersaingnya sudah wajar, adil, jujur, dan fair, ada yang mandek sama sekali, ada yang maju sedikit, maju agak banyak, maju sangat banyak, dan maju menjadi raksasa dan konglomerat. Di antara semua pengusaha terbentuk satu mosaik dalam skala dan besarnya usaha dari yang gurem, seperti pedagang asongan dan pedagang kaki lima, pengusaha kecil, menengah, sampai yang raksasa dan konglomerat. Mosaik ini dinamis. Yang gurem bisa tumbuh, yang sudah besar bisa menyusut dan hancur.
Jadi ekonomi kerakyatan akan menghasilkan mosaik tersebut. Karena SEP juga berasaskan kekeluargaan, maka sebagai sesama anggora keluarga, kita tidak tega kalau ada yang tertinggal terlampau jauh, sehingga terus-menerus kecil saja skala usahanya. Maka dengan bermodalkan uang rakyat seluruhnya yang dihimpun secara gotong royong sebagai hasil pajak, yang tertinggal ini didongkrak, dilindungi, dan didukung. Di Indonesia, landasan pengaturannya adalah Undang-undang Koperasi dan UU Usaha Kecil. Lembaganya adalah Departemen Koperasi dan Pembinaan Usaha Kecil. Pemimpinnya, tidak tanggung-tanggung, diberi pangkat menteri. Program kerjanya banyak sekali, misalnya proyek IDT, KUK, KMKP Kemitraan, dan masih banyak lagi.
Yang kita bicarakan tadi adalah pengusaha yang tidak punya majikan. Ada banyak sekali orang yang menjadi pegawai dari para pengusaha tersebut. Mereka adalah kaum buruh. Dalam SEP karena kita mengenal Sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, kaum buruh adalah manusia yang upahnya tidak boleh sebagai harga yang tingginya diserahkan pada hasil kekuatan perpaduan antara permintaan dan penawaran. Kita mengenal UMR dan sejumlah perangkat peraturan dan pengaturan yang sifatnya mempertahankan derajat dan martabat buruh sebagai manusia. Di Indonesia, ada UU Perburuhan, ada Departemen Tenaga Kerja yang juga tidak tanggung-tanggung kekuasaannya, karena berpangkat menteri.
Setiap orang mempunyai pendapatan dari nafkah dan usahanya. Besarnya sangat bervariasi. SEP tidak bisa menerima perbedaan yang terlampau mencolok itu, karena bertentangan dengan asas kekeluargaan dan kebersamaan. Maka yang pendapatannya sampai dengan Rp 1.728.000 per tahun bebas pajak. Yang lebih tinggi dari ini, dikenakan pajak yang tarifnya progresif. Kita mengenal tiga tarif, yaitu 10, 15 dan 30 persen. Dengan demikian sedikit banyak dilakukan redistribusi pendapatan, yang sifatnya pemerataan, karena pendapatannya dipakai untuk kepentingan rakyat seluruhnya yang dikoordinir oleh pemerintah. Yang menentukan penggunaannya rakyat seluruhnya, karena DPR ikut menentukan.
Asas kebersamaan dan asas kekeluargaan yang begitu dominan di dalam UUD 1945 sebenarnya adalah gotong royong, yaitu yang sedang beruntung karena mempunyai pendapatan, memberikan sumbangannya untuk dijadikan dana santunan kepada mereka yang sedang membutuhkan. Yang sudah ada adalah Astek dan beberapa program lainnya. Kalau mau, untuk setiap kebutuhan bisa dibuat program asuransi wajib ini, misalnya untuk memberantas biaya pengobatan, untuk memberi pendapatan yang kehilangan pekerjaan karena sedang sakit, santunan kepada janda, yatim piatu, santunan kepada yang cacat, yang sedang menganggur dan sebagainya. Keseluruhan ini disebut sistem jaminan asuransi sosial.
Dengan demikian, asas kebersamaan dan kekeluargaan menjadi gotong royong menyangkut seluruh rakyat. Karena begitu besar jumlahnya, dan tersebar dalam kepulauan yang demikian banyak dan luasnya, maka cakupan pemikiran kita tidak bisa seperti gotong royong yang berlaku di pedesaan, tetapi haruslah organisasi raksasa yang modern. Mau tidak mau menjadi rumit dan membutuhkan keahlian dan profesionalisme yang canggih.
Barang yang penting bagi negara dan yang menguasai, hajat hidup orang banyak, serta bumi, air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dikuasai tidak diartikan dimiliki, melainkan diatur. Yang berlaku sekarang, untuk banyak komoditas, rakyat mendapat porsi sekitar 10 persen.
***
Dahulu, jauh sebelum saya menulis artikel tentang "Kapitalisme di Indonesia” di Kompas tanggal 21 April 1997 tersebut, saya sering kali ditanya oleh wartawan dan kawan-kawan diplomat asing. Mereka bertanya, sistem ekonomi Indonesia itu apa? Saya katakan Sistem Ekonomi Pancasila.
Mereka bertanya lagi, apakah itu berbeda dengan sistem komunis? Saya jawab sangat berbeda. Lantas ditanya lagi, apakah berbeda dengan sistem yang berlaku di negara-negara Eropa Barat, Amerika Serikat, Jepang dan negara-negara lain yang bukan komunis? Saya jawab lagi berbeda SEP adalah orisinal Indonesia yang bersumber dari Pancasila, yang hanya dimiliki oleh Indonesia. Mereka lalu minta saya menggambarkannya dalam tulisan. Saya menuliskan yang kurang lebih seperti di atas. Setelah membaca, mereka bertanya kepada saya: "Anda kan pernah lama sekali tinggal di Eropa, dan lagi pula belajar ekonomi di sana. Apa bedanya dengan sistem ekonomi yang berlaku di Eropa Barat, terutama yang sangat maju dalam keadilan sosialnya, yaitu di Skandinavia, Inggris, dan Belanda”?
Setelah merenung terpaksa saya jawab, bedanya adalah bahwa dalam praktek dan kehidupan sehari-hari, yang berlaku di negara-negara para penanya itu jauh lebih manusiawi, karena sistem jaminan asuransi sosialnya lebih lengkap cakupannya dan lebih besar jumlah santunannya, sehingga setiap manusia hidup sangat layak. Kedudukan kaum buruh mereka juga sangat kuat, sehingga mempunyai partai politik yang sering kali memerintah.
Buruh juga mempunyai kedudukan di dalam apa yang mereka namakan "dewan perusahaan”, yang harus memberikan persetujuan atas keputusan-keputusan penting tentang kebijaksanaan perusahaan. Tingkat upah minimum mereka sangat tinggi. Mereka mempunyai undang-undang yang mengatur persaingan ekonomi yang tidak kita miliki.
Perbedaan tingkat gaji antara yang terendah dan tertinggi sekitar 15 kali, sedangkan di Indonesia boleh tidak terbatas. Banyak sekali yang 300 kali atau lebih. Tarif pajak yang tertinggi sampai melampaui 70 persen. Mereka mengenal pajak kekayaan dan pajak warisan yang kita tidak punya. Dan masih sangat banyak sekali yang berbeda.
Kwik Kian Gie, ekonom senior
Kompas, 19 Mei 1997
Sumber:
Kwik Kian Gie, Gonjang-Ganjing Ekonomi Indonesia: Badai Belum Akan Segera Berlalu, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama dan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi IBII, 1998.
0 komentar:
Posting Komentar