![]() |
Drs. Kwik Kian Gie |
Oleh: Kwik Kian Gie
Banyak gejala dan terutama diskusi mengindikasikan bahwa masyarakat banyak, terutama yang intelektual dan semi intelektual, menghendaki perubahan. Perubahan yang dikehendakinya dalam banyak bidang, antara lain yang penting tentunya adalah bidang politik dan ekonomi.
Namun kalau kita perhatikan dengan sungguh-sungguh perilaku dan pikiran-pikiran para politisi yang merupakan pimpinan bangsa ini, hiruk pikuknya justru sama sekali tidak ada hubungannya dengan materi dan substansi yang dengan istilah besar disebut it dengan kata "perubahan” atau "reformasi".
Dalam bidang ekonomi, yang paling mendasar tentunya adalah sistem ekonomi, orde ekonomi atau tata ekonomi yang kita anut dan yang kita praktekkan. Diskusi mengenai ini ada, bahkan ada buku yang ditulis oleh Prof. Mubyarto mengenai Sistem Ekonomi Pancasila. Tetapi diskusinya sangat semrawut dan membingungkan. Pikiran-pikirannya juga banyak dalam bentuk negarif, yaitu sistem ekonomi
kita bukan sosialis, bukan komunis, bukan kapitalis, bukan liberal. Sistem ekonomi kira adalah yang Pancasila. Sistem ekonomi yang Pancasila itu yang seperti apa, tetap saja tidak jelas.
Yang berdiskusi tetap berdiskusi, roda ekonominya ber. jalan terus. Produksi dan distribusi berjalan terus. Produk Domestik Bruto tumbuh. Semuanya berjalan dalam satu sistem yang riil, yang bekerja secara efektif, tanpa meng. hiraukan diskusi yang ada. Mengapa demikian? Karena diskusi yang ada tidak memberikan gambaran yang konkret, jelas, dan bisa dimengerti. Apalagi formulasinya yang serba negatif dan serba bukan, sehingga oleh Frans Seda dijuluki sebagai paham ”bukanisme”. |
Kalau ada yang setuju bahwa sistem yang berlaku di Indonesia sebaiknya adalah sistem kapitalisme atas dasar mekanisme pasar, serta merta ada saja yang mengatakan bahwa mereka itu ekstrem kanan, kebarat-baratan. Masih saja ada yang mengatakan bahwa kapitalisme itu jelek, karena kapitalisme menghasilkan imperialisme yang menjadikan kita dijajah oleh Belanda sekian lamanya, dengan segala kesengsaraan yang menyertainya.
Kenyataannya adalah bahwa orang per orang sebagai individu boleh memiliki kapital. Kapital ini boleh dipakai untuk berusaha, berproduksi, dan berdistribusi untuk meraih laba. Besarnya laba yang bisa diraih tergantung dari kekuatannya di pasar dalam persaingan. Batasan mengenai besarnya akumulasi kapital yang dibolehkan dari laba tidak dibatasi. Batasan laba yang boleh diraih juga tidak dibatasi. Besarnya laba diserahkan kepada harga yang dapat diperoleh dari pasar dan dari volume penjualan yang dihasilkan dari bekerjanya mekanisme pasar yang didasarkan atas persaingan bebas. Tidak ada satu suara pun yang mengatakan bahwa yang demikian itu jelek, bertentangan dengan Pancasila dan bertentangan dengan UUD 1945. Kalau ada yang mengatakan bahwa yang demikian itu kapitalisme, langsung saja banyak yang mengutuk, bahwa itu tidak benar. Indonesia tidak mengenal kapitalisme. Sekali lagi, kalau kepada yang mengatakan demikian diminta untuk menguraikan yang seperti apa yang sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945, tidak keluar pikiran yang konkret, operasional dan bisa dimengerti.
Dikatakan kita tidak menganut kapitalisme, tetapi dalam kenyataan, paham yang dianut adalah dibolehkannya individu memiliki kapital sebagai hak miliknya yang dilindungi oleh undang-undang. Besarnya kapital yang boleh dimilikinya juga tidak dibatasi sama sekali. Buat saya ini adalah kapitalisme. Apakah ini perlu direformasi? Menurut saya tidak perlu.
Jadi pemilikan kapital boleh, besarnya tidak dibatasi, boleh digelembungkan terus melalui usaha, yaitu berproduksi dan berdistribusi. Ini yang sudah berjalan dan menaikkan PDB kita setiap tahunnya, meningkatkan pendapatan per kapita kita, memakmurkan bangsa kita, tetapi kurang merata dan kurang adil. Jadi dalam pahamnya tidak perlu ada reformasi. Yang perlu adalah bagaimana membuat lebih adil dan lebih merata. Caranya nanti dalam tulisan khusus lagi, karena cakupannya yang luas, dan rinciannya yang banyak.
Mekanisme bekerjanya paham ini bagaimana? Dalam berproduksi dan berdistribusi, semua orang boleh ikut serta. Apa yang harus diproduksi, berapa banyak yang harus diproduksi, bagaimana spesifikasi produknya tidak dikomandokan oleh pemerintah. Yang menentukan adalah selera konsumen, yang memberikan sinyal-sinyalnya kepada pasar. Semua berproduksi menurut tafsirannya sendiri-sendiri tentang apa yang dikehendaki oleh konsumen. Ada yang tepat, barangnya laku, usahanya menjadi besar dan pemiliknya menjadi kaya. Ada yang meleset, usahanya merugi dan pemiliknya menjadi miskin. Jatuh-bangunnya para usahawan melalui mekanisme pasar dengan persaingan. Apakah mekanisme tentang pengaturan produksi dalam jumlah, macam ragam, kualitas, harga, dan sebagainya yang demikian itu jelek, sehingga perlu perubahan atau reformasi? Saya kira tidak perlu ada reformasi dalam bidang ini.
***
Apakah praktek kita sudah seperti yang digambarkan di atas? Tidak. Pasar didistorsi oleh oknum-oknum penguasa yang berkolusi dengan pengusaha menghalang-halangi persaingan. Akibatnya monopoli atau kondisi monopolistik adalah kenyataan. Praktek persaingan kotor dan praktek bisnis yang kotor menggejala, seperti menyalahgunakan Bursa Efek, menyalahgunakan kredit bank, ekspor fiktif, dan sebagainya. Apakah ini baik? Tidak.
Dalam bidang ini kita perlu reformasi. Bagaimana? Yang paling fundamental adalah harus ada campur tangan pemerintah, agar praktek-praktek demikian terjaring oleh hukum. Jadi dalam bidang mekanisme pasar dan persaingan yang berlaku, perlu ada pembaruan dan reformasi. Bagaimana bentuknya yang konkret sudah banyak yang memberikan sumbangan pikiran. Sayang bahwa kebanyakan orang hanya mampu dan asyik berdebat mengenai kulit-kulit yang hiruk pikuk.
Kita sangat kurang mampu memahami dan menelurkan gagasan-gagasan yang teknokratik, yang operasional, dan yang konkret. Kepada mereka yang menghendaki pembaruan atau reformasi, marilah kita berdiskusi pada dataran yang ini.
Cepat atau lambat, kita nantinya akan tiba pada formulasi-formulasi tentang aturan main mengenai praktek bisnis, mekanisme pasar, dan persaingan yang kita terima sebagai baik melalui konsensus. Ketika itu nanti akan ternyata, bahwa tanah, kekayaan alam, dan aset produktif dalam magnitude yang sangat luar biasa besarnya sudah telanjur dimiliki oleh individu-individu tertentu melalui cara-cara yang kita anggap kotor, sehingga harus direformasi. Cara-caranya memiliki segala kekayaan ini melalui praktek kotor yang didasarkan atas nepotisme, kolusi, dan korupsi.
Pada suatu saat nanti, kita akan bisa mewujudkan secara efektif semua konsep, pikiran, dan pola-pola yang kita anggap sebagaimana mestinya, yang wajar, adil, dan fair. Pada satu saat nanti, kita akan mampu menegakkan hukum. Apakah kerika itu nantinya, semua yang sudah telanjur dimiliki oleh individu-individu tertentu melalui cara-cara yang kotor perlu kena reformasi, yang harus digugat, dan disita kembali oleh negara? Inilah yang perlu didiskusikan untuk mencapai konsensus. Diskusi melalui konsensus harus diupayakan, terutama kalau kita khawatir bahwa alternatifnya adalah kemungkinan pemaksaan reformasi melalui kekerasan.
Artikel ini adalah pengantar, sekelumit yang elementer tentang reformasi yang banyak kita bicarakan, tetapi belum tahu harus berubah menjadi apa? Masih banyak yang perlu kita teropong. Marilah kita mulai diskusikan secara terbuka dan transparan, karena proses yang demikian menjamin reformasi yang tertib dan damai.
Kwik Kian Gie, ekonom senior
Kompas, 22 Juli 1996
Sumber:
Kwik Kian Gie, Gonjang-Ganjing Ekonomi Indonesia: Badai Belum Akan Segera Berlalu, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama dan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi IBII, 1998.
0 komentar:
Posting Komentar