Oleh: William Chang
Sistem pemerintahan Orba beranjak dari sebuah “fanatisme politik” untuk melumpuhkan kebangkitan antek-antek PKI. Akibatnya, dalam kasus-kasus tragis, seperti pembunuhan dukun santet di daerah Banyuwangi dan sekitarnya, PKI dikambinghitamkan, walaupun hingga kini belum bisa dipastikan kebenaran asumsi ini. Memenuhi tradisi formalisme, setiap WNI wajib mencantumkan "agama" dalam KTP-nya supaya tidak dicap sebagai "ateis" yang dianggap mengancam keselamatan nusa dan bangsa.
Korban "fanatisme politik" Orba masih bisa dilacak di Kabupaten Sambas, Pontianak dan Sanggau (Kalimantan Barat) dan beberapa kawasan dalam Republik ini. Sebuah dokumen historis berupa rekaman pemantauan J Widodo (Kompas, 23 November 1967) membenarkan peristiwa tragis yang diabadikan dengan siksaan dan darah manusia. Hingga kini masih terdapat "kamp pengungsian" di tengah bangsa yang pernah dijuluki "macan kecil" di kawasan Asia Tenggara.
Kesuburan "fanatisme politik" dipicu oleh penguasa Orba yang menghalalkan semua cara untuk mencapai tujuan politik sesuai dengan semangat Machiavellian. Tak heran kalau manusia Indonesia acapkali digebuk, disiksa, diperkosa dan malah dibunuh sewenang-wenang demi idealisme politik. Penguasa politik berusaha mengabadikan kursinya sehingga lawan politik tidak sanggup menggesernya. Sandiwara dan rekayasa politik tercatat sebagai agenda pokok dari seluruh sistem fanatisme ini. Akibatnya, masyarakat kecil dan terpencil dibodohi dan banyak yang dibingungkan oleh para pelaku fanatisme politik.
Salah satu metode pelestarian kekuasaan adalah mengontrol kebebasan rakyat. Lingkup gerak, cara berbicara dan tulisan-tulisan dari sejumlah tokoh (Pramoedya Ananta Toer) sangat dibatasi. Tindak kekerasan dan pelecehan kodrat kemanusiaan termasuk konsekuensi logis fanatisme ini. Aksi-aksi teror tersembunyi dan penculikan aktivis-aktivis demokratis termasuk gejala "fanatisme politik" yang ingin menakut-nakuti mereka yang bermaksud memperjuangkan keadilan dan kebenaran dalam hidup sosial politik.
Peristiwa dikotomis yang menerpa PDI sebenarnya menunjukkan masih aktifnya benih "fanatisme politik" di Indonesia. Kekuatan sebuah partai politik dilemahkan dan perjuangan partai yang kecil dipatahkan. Tidak ada pihak yang bersedia mempertanggungjawabkan keterpecahan tubuh partai. Seandainya tidak diaduk oleh "fanatisme politik", mungkinkah terjadi perpecahan dalam tubuh PDI? PDI dan PDI Perjuangan dapat dilukiskan sebagai buah pertengkaran elite politik.
Tingginya "fanatisme politik" tampak selama kampanye dan "peserta demokrasi" 1997. Sekurang-kurangnya 19 orang ditahan dengan pasal tindak kriminal, 15 tewas, 29 luka berat, 71 luka ringan dan 403 kena tilang (Kompas, 7 Mei 1997). Manusia rela mengorbankan diri demi kemenangan partai politiknya. Seolah-olah yang harus menang adalah partai politik yang sedang berkuasa. Kebesaran hati untuk menerima dan menghargai keunggulan partai politik lain hampir tak ada. Sebagai pemegang roda pemerintahan warga Golkar seakan- akan tak pernah membayangkan bahwa mereka akan kalah dalam pemilu. Akibatnya, menyongsong pemilu mendatang (Mei 1999) PDI takut akan paku, kuku dan komputer yang dapat mengubah data perhitungan suara. Karenanya, ada pihak yang mengusulkan supaya pemilu ditangani oleh pihak independen dan bukan Pemerintah (Kompas, 30 Oktober 1998).
Sebuah penyimpangan
Sebagai patologi tingkah laku manusia, fanatisme politik termasuk kategori penyimpangan perilaku politik yang sehat dan berdasarkan norma umum perpolitikan. Perilaku politik fanatis ini menganggap bahwa "perkauman" merekalah yang berhak memonopoli dan me- nguasai kebenaran mutlak sedangkan pihak lain tidak memiliki kebenaran sedikit pun. Pemilikan kebenaran ini dipandang sebagai pemberian dari kekuasaan adikodrati yang tak dapat dikritik, diganggu-gugat dan direbut oleh kelompok lain. Pemilik fanatisme ini memaksa kelompok lain untuk menerima pandangan yang mereka anggap sebagai kebenaran. Secara tidak langsung fanatisme ini menempuh jalur kekerasan (violence) yang merugikan manusia.
Perilaku fanatisme politik sebegitu mengutamakan ambisi politis, sehingga "epikeia" diabaikan dalam perwujudan cita-cita kesejahteraan dan kemajuan bersama. (Epikuris – penganut paham kenikmatan rohani lebih tinggi daripada kenikmatan jasmaniah —Red). Amat sukar muncul keluwesan dalam perilaku yang kaku dan dingin ini. Biasanya perilaku ini tercermin dalam pernyataan- pernyataan atau keputusan-keputusan politik yang arogan. Rakyat dipaksa untuk menerima "satu-satunya keputusan politik", seperti satu-satunya pakaian seragam, satu-satunya calon presiden dan satu-satunya asas yang harus dianut. Alternatif lain dalam dunia politik disingkirkan dan malah tidak diperhatikan. Suara rakyat diremehkan! Kekuasaan pemerintah yang memutuskan dan menentukan segala-galanya. Fanatisme ini menolak segala bentuk kritik, termasuk kritik konstruktif, sebab kritik itu dianggap sebagai saingan yang bakal melemahkan kelompok fanatisme politik.
Pembelaan diri kelompok fanatisme politik, menurut P Palazzini, seringkali dilakukan secara disproporsional dengan maksud membela diri dan ide irasional. Kemenangan dalam pembelaan diri merupakan sasaran akhir pembelaan diri. Jarang terdengar bahwa kaum fanatik politik ini rela "mengakui kesalahan" atau "meminta maaf" di depan umum. Seakan-akan mereka tak pernah bersalah dalam kebijaksanaan politik. Padahal, fanatisme politik ini sangat kuat didominasi oleh pandangan yang keliru, berlebihan dan superfisial.
Perbaiki perilaku politik
Memasuki era pasca-Orba proses perbaikan perilaku berpolitik adalah mutlak, sebab fanatisme politik telah dan akan menimbulkan tindak kekerasan, teror mental dan kerugian material yang tak terhitungkan. Tameng pembelaan diri berupa segala bentuk keyakinan irasional tak sanggup mematahkan kejelian masyarakat majemuk yang sarat informasi kritis. Para pelaku politik seharusnya semakin meningkatkan dan memasyarakatkan riset kebenaran yang tak pernah direkayasa. Yang benar adalah benar dan yang salah adalah salah. Penerapan hukum sipil tidak mengenal pola diskriminatif. Masyarakat harus dididik dan dibebaskan dari aneka kebodohan supaya mereka sanggup memilih yang terbaik pada saat pemilu. Perbaikan perilaku ini perlu memperhatikan kecenderungan fanatisme politik untuk "memaksakan" kehendak dengan aneka sistem intimidasi terselubung yang menggelisahkan masyarakat yang berkehendak baik.
Sudah waktunya bahwa iklim hidup sosial dan politik di Indonesia menciptakan sistem yang sungguh transparan dan terbuka untuk menerima kritik konstruktif dari semua pihak yang merasa bertanggung jawab atas kemajuan nusa dan bangsa. Daya pendengaran pemerintah dipertajam dan suara rakyat kecil sama sekali tak boleh diabaikan. Sikap-sikap arogan, tidak mau mengakui keterbatasan, kelemahan dan kesalahan, keinginan menang sendiri, penyelesaian masalah tanpa kompromi, sapu bersih dan ketidakjujuran merupakan ciri-ciri fanatisme politik. Fanatisme ini tetap tinggal dan bakal berkembang subur kalau iklim hidup sosial dan politik di negara kita tidak berubah.
Perbaikan perilaku politik dalam dirinya bertujuan memerangi fanatisme politik yang memancing tindak kekerasan dan menyakitkan pihak-pihak lain. Perbaikan ini bakal terwujud kalau setiap pelaku politik sungguh memegang teguh etika politik dan mengutamakan kepentingan masyarakat luas. Jika nilai-nilai moral dalam etika politik diabaikan, maka lambat-laun akan terkondisi "fanatisme politik". Menghadapi fanatisme ini sangat perlu dikembangkan "rasionalitas" dalam pembicaraan dan pemikiran politis yang kritis dan terbuka terhadap pandangan-pandangan luar.
Kecenderungan kodrati manusia untuk menang sendiri, kaya sendiri, berkuasa sendiri perlu diimbangi dengan sikap dasar membangun kesejahteraan bersama. Kekayaan negara bukan sumber pengayaan diri pribadi atau kelompok tertentu, melainkan dipergunakan secara bertanggung jawab demi kemajuan bersama. Perbaikan perilaku politik ini harus segera dimulai, supaya sikap dasar berpolitik di bumi Nusantara dapat dipertanggungjawabkan secara etis.
Dr William Chang, dosen moral dan pemerhati masalah- masalah sosial.
Sumber: Kompas, 19 November 1998

0 komentar:
Posting Komentar