alt/text gambar

Rabu, 24 Desember 2025

Topik Pilihan: ,

Seputar Dekonstruksi Derrida


Penjelasan tentang filsafat dekonstruksinya Jacques Derrida berikut ini saya ambil dari buku F Budi Hardiman, Seni Memahami: Hermeneutik dari Schleiermacher sampai Derrida (Yogyakarta: Kanisius, 2015, h. 273-307).

Keraguan Menyimpulkan

Boleh diragukan bahwa sebuah kesimpulan untuk ulasan tentang dekonstruksi dapat diberikan. Bukankah penarikan kesimpulan bertentangan dengan dekonstruksi karena menyimpulkan berarti memutuskan? Namun untuk tujuan pembelajaran kita tetap perlu mengambil pokok yang telah dibahas di atas. Pertanyaan yang sama seperti yang telah dilontarkan dalam bab-bab sebelumnya kita ulang di sini: Apakah memahami menurut Derrida?

Memahami sebagai menangguhkan makna

Jika dekonstruksi adalah sebuah cara baca, memahami teks yang dibaca itu lebih merupakan proses kognitif—meski bukan proses metodologis seperti pada Dilthey—dan bukan konsep eksistensial seperti pada Heidegger. Namun jika di dalam hermeneutik biasa targetnya adalah memahami makna, entah dengan mereproduksinya (Schleiermacher dan Dilthey) atau memproduksinya (Gadamer), di dalam hermeneutik radikal Derrida makna selalu ditangguhkan dengan munculnya kemungkinan-kemungkinan makna lain, sehingga tindakan memahami juga tidak pernah dipastikan. Memahami itu sendiri sebuah kegiatan penangguhan karena hermeneutik radikal membiarkan makna tidak pernah definitif. Pertanyaan, apakah makna teks dipahami, akan dijawab dengan provokasi bahwa teks itu dipahami sekaligus tidak pernah dipahami karena cara-cara baca lain akan menangguhkan klaim pemahaman yang telah dicapai. h. 306

**

Teks Benjamin adalah sebuah dekonstruksi: pembacaan Derrida atas teks Benjamin juga sebuah dekonstruksi, dan menurut saya interpretasi Derrida lebih radikal daripada yang dilakukan Benjamin karena Benjamin memutuskan, sedangkan Derrida tidak, sehingga bagi Derrida dasar makna yang menjadi acuan hilang atau tak pernah ada. Penafsir tidak perlu mencari pegangan di sana, yang perlu dilakukan penafsir adalah differance, yakni tak memutuskan oposisi-oposisi biner (karena memang tidak bisa diputuskan) dalam sebuah teks dan mengganti-ganti perspektif terus-menerus, sehingga sebuah teks dapat diinterpretasi sampai tak terhingga. 

**

Apakah dengan demikian kita dapat menyamakan dekonstruksi Derrida dengan kritik Benjamin atas kekerasan? Di bagian akhir ceramahnya, Derrida memberikan pendiriannya, dan pendiriannya itu menurut saya penting untuk menjelaskan kekhasan dekonstruksinya sebagai hermeneutik radikal. Seperti sudah saya jelaskan di atas, dekonstruksi sebagai hermeneutik radikal ditandai dengan pergantian perspektif terus-menerus sehingga makna “tidak dapat diputuskan”. Namun apa yang dilakukan oleh Benjamin justru berkebalikan dari Derrida: Dia memutuskan. Di mana keadilan: di luar atau di dalam sistem hukum? Benjamin memutuskan: di luar sistem hukum, yaitu dalam kekerasan ilahi (Yahudi), maka seluruh oposisi biner dalam sistem hukum yang berpangkal dari kekerasan mitis (Yunani) meruntuhkan dirinya, dan sejarah mempertontonkan hal itu. Keputusan itu membuat makna dikembalikan pada sebuah dasar primordial, yaitu keadilan ilahi. 

**


Tiadanya Dasar untuk Interpretasi

Kita lalu dapat mengerti mengapa dekonstruksi sebuah hermeneutik radikal. Prioritas tulisan atas tuturan berarti tiadanya dasar untuk interpretasi. Setiap hermeneutik yang masih memiliki dasar untuk memahami, entah dasar itu bernama intensi penulis, otoritas atau horizon tradisi, belum radikal, karena akarnya (dari kata Latin “radix”) masih menjadi sumber interpretasi. Namun dekonstruksi adalah sebuah hermeneutik radikal, karena bahkan radix itu tidak ada, sehingga seluruhnya diserahkan kepada interpretasi. Namun karena makna juga tidak dapat distabilkan, melainkan selalu ditangguhkan lewat diferance, hermeneutik radikal bukan upaya membakukan makna, melainkan mencairkannya lewat interpretasi dalam pergantian perspektif terus-menerus, sehingga makna itu tinggal sebagai jejak, seperti jejak-jejak kaki yang menghilang di pasir pantai. “Tugas dekonstruksi,” demikian Madison, “nyatanya adalah menunjukkan bahwa teks-teks filosofis tidak berarti apa yang tampak mereka artikan, tidak berarti apa yang para penulis mereka ingin mengartikan mereka (apa yang mereka “maksudkan"), nyatanya tidak memiliki arti yang dapat diputuskan sama sekali. Cara baca seperti itu memang sia-sia untuk memahami makna, namun bagaimanapun sebuah pergumulan dengan makna yang memang tak pernah diputuskan, maka ia tetap adalah sebuah hermeneutik, hermeneutik yang mengingkari tujuannya sendiri.

Pokok Gagasan 

Hermeneutik radikal tidak menawarkan suatu cara baca teks, melainkan upaya untuk mengatasi logosentrisme dengan praktik interpretasi tanpa dasar apapun, yakni tanpa kehadiran subyek. Prioritas tulisan atas tuturan berarti bahwa subyek itu absen, dan teks menjadi otonom, terbuka untuk interpretasi tanpa batas.
**

Menghentikan Rehabilitasi makna asli

Hermeneutik mulai dari Schleiermacher, Dilthey sampai Gadamer mencoba merekonstruksi (dalam kasus Schleiermacher dan Dilthey) atau mengkonstruksi (dalam kasus Gadamer) makna yang terkandung di dalam sebuah teks lewat aktivitas interpretasi dan pemahaman. Di dalam hermeneutik reproduktif Schleiermacher dan Dilthey kegiatan interpretasi dimaksudkan untuk menemukan “makna asli” teks, sedangkan dalam hermeneutik produktif Gadamer kegiatan interpretasi dimaksudkan untuk menemukan susunan makna yang baru dalam horizon baru. Kegiatan interpretasi seperti itu dapat disebut hermeneutik normal, karena memang hermeneutik — termasuk hermeneutik kritis dan hermeneutik kecurigaan —bertujuan untuk memahami susunan makna teks, entah untuk merehabilitasi makna asli ataupun mengkonstruksi makna baru. Dekonstruksi menghentikan upaya rehabilitasi ataupun konstruksi seperti itu. Berbeda dari hermeneutik normal, dekonstruksi justru mengandaikan bukan hanya tiadanya makna asli sebuah teks, melainkan juga ketidakmungkinan keutuhan makna sebuah teks. Jika demikian, aktivitas interpretasi tidak lagi memiliki fondasi dan menunda setiap upaya konstruksi makna yang koheren. Sebuah teks dapat diinterpretasi sampai tak terhingga. Itulah sebabnya dekonstruksi dapat disebut hermeneutik radikal. h. 283-284

Apakah dekonstruksi, hermeneutik radikal, juga bertujuan untuk Verstehen? Baik hermeneutik Gadamer maupun dekonstruksi Derrida merupakan perkembangan kreatif dari pemikiran Heidegger yang memberi prioritas pada bahasa. Namun seperti telah dikatakan di atas, tekanan keduanya berbeda. Hermeneutik meyakini kemungkinan untuk mendapatkan kesatuan makna, maka penguatan tradisi merupakan hasil yang dapat diharapkan. Dalam hal ini hermeneutik, juga dalam versi Habermas dan Ricoeur, menganggap makna sebagai sesuatu yang dapat diputuskan, sehingga “makna yang benar” itu dapat dicari dan ditemukan. Dengan demikian, bagi hermeneutik memahami (Verstehen) masih mungkin. Dekonstruksi justru menganggap bahwa makna tidak dapat diputuskan. Setiap upaya untuk menentukan suatu makna “diintai” oleh suatu makna yang berbeda dari makna yang ingin diputuskan itu, karena saat membaca seorang penafsir terbuka terhadap “yang lain” di dalam maupun dari sebuah teks. Dalam arti ini dekonstruksi adalah, seperti disebut Kimmerle, sebuah interpretasi yang ditandai dengan “pergantian perspektif terus-menerus”. Dalam arti ini tujuan dekonstruksi bukanlah memahami (Verstehen) lewat peleburan horizon-horizon, melainkan mengolah perbedaan-perbedaan yang tidak dapat ditangkap dalam sebuah keutuhan.

Pokok Gagasan
Dekonstruksi merupakan sebuah hermeneutik radikal karena mengandaikan bukan hanya tiadanya makna primordial yang dicari di dalam interpretasi, melainkan juga menunjukkan tidak mungkinnya koherensi makna suatu teks, sehingga interpretasi bergerak sampai tak terhingga. h. 284-285
***

Karena tidak lagi dapat merehabilitasi makna asli teks, sebuah teks menjadi otonom dari maksud-maksud penulisnya, dan penulisnya tidak dapat mengontrol makna teks yang dihasilkannya. Teks menjadi terbuka untuk interpretasi dari arah manapun. Teks dapat dibaca dalam konteks-konteks yang silih berganti secara arbiter. Hal itu sama saja dengan mengatakan bahwa makna teks itu selalu ditangguhkan dan tidak dapat diputuskan. h. 287
**

Membebaskan tulisan dari tuturan

Apakah duduk perkara metafisika Barat sebagai fonosentrisme itu? Duduk perkaranya tak lain daripada persoalan interpretasi makna. Tuturan atau suara mengandaikan kehadiran subyek. Kita dapat mendengarnya dan merasakannya. Di dalam bahasa lisan terdapat kehadiran serentak si penutur, pendengar, obyek yang dibicarakan, sedemikian sehingga bahasa lisan itu menjadi medium sempurna untuk kehadiran kebenaran. Tuturan menjamin bahwa makna dapat dimengerti sepenuhnya. Kehadiran subyek itu lalu menjadi kontrol atas interpretasi kebenaran yang dihasilkan. Yang dipinggirkan dalam fonosentrisme dan logosentrisme adalah tulisan. h. 293

***

Kontaminasi oposisi-oposisi biner

Dekonstruksi menyangkut kontaminasi atau “bartardisasi” oposisi-oposisi biner, pasangan makna yang berlawanan. Oposisi-opisisi biner, seperti: kultur/natur, rasional/irasional, maskulin/feminin, fiksi/realitas, manusia/hewan, aktivitas/pasivitas, absen/presen, ordol/chaos, dst., beroperasi dalam seluruh peradaban Barat dan membangun hierarki makna dengan mengunggulkan salah satu. Menurut McQuillan, dekonstruksi menempuh dua "tahap”. Pertama, oposisi biner itu harus dibalikkan, misalnya, pria/wanita menjadi wanita/pria, lalu ditunjukkan bahwa seluruh makna teks sebenarnya telah didikte oleh oposisi biner itu. Dengan membalikkan oposisi itu, tercipta semacam keseimbangan, tetapi hal itu tidak cukup tanpa tahap selanjutnya. Kedua, setelah dibalik, sekarang seluruh sistem pemikiran yang didikte oposisi biner itu harus disingkirkan, sehingga istilah-istilah dalam oposisi biner itu dipikirkan tanpa pemikiran biner lagi. Tanpa menghentikan pemikiran biner ini, pembacaan hanya akan terjebak ke dalam logika biner yang lain. McQuillan hanya menyuratkan tahap-tahapnya; dalam proses tersebut akan memperlihatkan bahwa kutub-kutub dalam oposisi-oposisi itu tidak bisa dijaga kemurniannya dan konsistensinya; kedua kutub akan saling menodai, yaitu mendekonstruksi diri. Nanti kita akan berkenalan dengan apa yang disebut Derrida differance untuk menjelaskan kontaminasi itu. h. 279-280
***

Dekonstruksi bukan metode, melainkan peristiwa pembacaan

Pemikiran Derrida dikenal dengan nama “dekonstruksi”, dan dekonstruksi tidak dapat disamakan dengan hermeneutik yang telah kita bahas di sini. Suatu alasan yang mungkin untuk memasukkannya ke dalam hermeneutik adalah bahwa dekonstruksi merupakan sebuah cara baca teks. Apakah dekonstruksi itu? Pertanyaan itu tidak mudah dijawab karena dekonstruksi tidak dapat didefinisikan. McQuillan dapat membantu kita untuk memperjelas hal itu. Menurutnya sekurangnya ada “lima strategi” untuk memahami dekonstruksi.” Pertama, kata “cara” (dalam cara baca) atau “metode” sebetulnya tidak tepat dipakai untuk dekonstruksi. Derrida sendiri menyebutnya “pas de methode”, dan kata pas dalam bahasa Prancis berarti baik “tidak” maupun langkah”. Jika begitu, dekonstruksi bukan metode, karena--seperti dikatakan McQuillan “tak ada perangkat aturan, tak ada kriteria, tak ada prosedur, tak ada program, tak ada urutan langkah-langkah, tak ada teori untuk diikuti dalam dekonstruksi”. Akan tetapi ia juga sekaligus suatu “langkah”. Apakah bukan metode sekaligus langkah metodologis itu? Peristiwa pembacaan. Ia tidak bisa diulangi seperti metode, ia singular dan unik, karena ia adalah peristiwa. Dekonstruksi itu mustahil karena membiarkan yang lain berbicara, sehingga tujuan pemahaman atau--lebih tepat--Sang pemahaman dibuat sia-sia oleh kemunculan yang lain itu. h. 278-279

***




0 komentar:

Posting Komentar