alt/text gambar

Minggu, 21 Desember 2025

Topik Pilihan: ,

Surat dari Melbourne (1) MELAMAR UNTUK JABATAN GURU BESAR

(Kompas, 15 Desember 1997)

Oleh: Arief Budiman


Ketika menjadi penganggur pada akhir tahun 1994 (dipecat dari Universitas Kristen Satya Wacana), saya berusaha mencari pekerjaan tetap. Kalau pekerjaan tidak tetap sebagai penulis di media massa, ini terus saya jalankan. Untunglah gaji dosen di Indonesia relatif rendah sehingga dengan menulis beberapa tulisan saja, praktis gaji saya tergantikan. 

Saya tetap ingin mengabdikan diri di dunia akademik, karena di dunia inilah saya merasa bisa mengekspresikan diri secara jujur sambil menggunakan daya pikir dan kreativitas. Lamaran saya bukan saja ke universitas di Indonesia, tapi juga di luar negeri. 

Salah satu yang saya lamar adalah sebuah posisi di Universitas Melbourne. Mula-mula ada dua hambatan yang membuat saya ragu-ragu melamar ke universitas ini. 

Pertama, posisi ini ada di bawah naungan Sekolah Bahasa dari Fakultas Humaniora. Dengan demikian, saya pikir posisi ini merupakan posisi untuk mengajar Bahasa Indonesia, baik segi penggunaannya maupun linguistiknya. Tapi pada iklan untuk posisi ini jelas-jelas dinyatakan bahwa jabatan ini bukan semata-mata untuk ahli bahasa. Ahli dari bidang lain juga diharapkan. Atas dasar ini, dengan latar belakang pendidikan sosiologi, saya melamar. 

Kedua, pekerjaan yang saya lamar adalah sebuah jabatan guru besar. sampai saat ini hampir tidak pernah ada orang Indonesia menduduki jabatan tertinggi itu di univeritas Australia. Karena itu, saya merasa kemungkinan untuk bisa mendapatkannya sangat kecil. Tapi, apa salahnya mencoba? 

Dipanggil ke Melbourne

Suatu hari saya mendapat telepon dari Melbourne. Rupanya dari Kepala Jurusan Bahasa di sana. Dia mengatakan apakah saya bisa datang ke Melbourne untuk berkenalan. Cuma untuk berkenalan, belum untuk wawancara. Semua biaya ditangung mereka. 

Tentu saja saya mau datang, karena biaya ditanggung. Hitung-hitung jalan-jalan ke Melbourne secara gratis. Saya berpikir seperti itu karena beranggapan hampir mustahil saya akan mendapatkan jabatan yang sangat tinggi itu. 

Saya tinggal di Melbourne selama tiga hari dua malam, dipertemukan dengan beberapa orang, termasuk Dekan Fakultas Humaniora yang membawahi Jurusan Bahasa. Pada waktu itu baru saya ketahui bahwa meskipun jurusannya adalah studi Bahasa Indonesia, di sana diberikan juga kuliah-kuliah nonbahasa, seperti Kebudayaan Indonesia, Politik Indonesia, Ekonomi Indonesia, dan sebagainya. 

Meskipun fokusnya masih bahasa, tapi jurusan Indonesia ini sudah menjadi sebuah lembaga yang melakukan Studi Kawasan, di mana bahasa hanya merupakan salah satu komponennya yang terbesar. Pada saat itulah saya jadi paham mengapa mereka mencari seorang guru besar yang bukan ahli bahasa untuk memimpin lembaga ini. 

Saya juga diberi tahu bahwa pelamarnya ada sekitar 20 orang dari seluruh dunia, kebanyakan tentunya dari Australia. Pada saat itu mereka sudah membuat daftar pendek dari enam calon yang dianggap terbaik, dan mereka diminta datang untuk berkenalan dengan pejabat-pejabat universitas tersebut. Saya termasuk dalam daftar enam orang ini. 

Wawancara pertama

Pembicaraan dengan berbagai orang di Universitas Melbourne bersifat santai dan menyenangkan. Tujuannya untuk memperkenalkan program-program yang ada di universitas itu, beserta fasilitasnya. Hanya pembicaraan dengan Kepala Sekolah Bahasa dan Dekan Fakultas Humaniora yang agak serius.

Salah satu pertanyaan yang menarik adalah: “Kalau Anda bekerja di sini, mengingat peran Anda sebagai dissident di Indonesia, apakah ini akan mempersulit hubungan Universitas Melbourne dengan pemerintah Indonesia?”

Saya tersentak ketika pertanyaan itu dilontarkan. Saya dengan mudah bisa mengatakan “tidak”, tapi tentunya ini tidak sepenuhnya benar. Setelah mempertimbangkan jawaban saya sejenak, antara lain karena toh saya tidak terlalu berharap untuk diterima, maka saya memutuskan bahwa saya akan menjawab berdasarkan prinsip honesty is the best policy. 

Maka, dengan santai saya menjawab: “Saya kira memang begitu. Anda harus ingat bahwa di Indonesia, hubungan pribadi sangat penting. Saya punya beberapa teman di kalangan pemerintahan, karena beberapa di antaranya adalah teman-teman seperjuangan dulu pada tahun 1966. Dengan mereka saya bisa berhubungan secara pribadi, dan mereka mengenal saya dengan cukup baik. Dan saya kira, meskipun dianggap dissident, kritik-kritik saya tidak asal saja. Juga, dengan melakukan kritik, saya tidak mengambil keuntungan materiel apa-apa. Saya melakukannya murni karena saya mau berbuat sesuatu yang baik bagi bangsa ini. Karena itu, saya merasa, orang yang yang saya kritik pun menghormati saya secara pribadi.”  

Saya tidak tahu apakah jawaban ini membuat mereka terkesan. Yang jelas mereka tidak melanjutkan pertanyaannya.

Wawancara kedua

Setelah kembali ke Indonesia, saya beranggapan proses ini berakhir sampai di sini. Artinya, saya gagal dan paling-paling mendapatkan sepucuk surat yang isinya menyatakan terima kasih tapi “dengan sangat menyesal...” dan seterusnya. Saya sudah menjadi biasa mendapatkan surat seperti ini.

Tapi, ternyata saya mendapatkan panggilan lagi. Sekarang cuma ada tiga calon, yang akan diwawancarai oleh sebuah panitia seleksi di mana rektor dan beberapa guru besar di universitas tersebut juga dilibatkan. Di samping itu, ada tiga orang akademisi Australia yang ahli Indonesia dari beberapa universitas di luar Melbourne yang didatangkan khusus untuk ikut serta  dalam proses pemilihan ini. Untuk jabatan guru besar, mereka memang sangat hati-hari melakukan pemilihan. 

Ketiga calon diminta memberikan sebuah presentasi tentang penelitian masing-masing di muka umum. Kemudian, baru diadakan wawancara dengan panitia seleksi tersebut. 

Kali ini, meski tetap merasa pesimis, ada semacam perasaan harap-harap cemas bahwa mungkin juga saya akan mendapatkan pekerjaan ini. Bahwa mereka mau membiayai saya datang ke Australia untuk kedua kalinya, bukankah ini berarti bahwa saya mungkin dianggap lebih baik ketimbang dua calon lainnya? Karena kalau nilainya sama, ambil saja yang dari Australia, ‘kan lebih murah? (Dua calon lain adalah akademisi Australia). Tapi, karena dalam hidup ini saya sering dikecewakan, maka saya masih tidak berani berharap. 

Dengan sikap “kalau dapat syukur, kalau tidak juga tidak apa-apa”, saya mempresentasikan rencana penelitian saya tentang munculnya kembali gerakan Islam politik di Indonesia. 

Wawancara yang diselenggarakan di ruang yang formal, di hadapan sekitar 20 orang guru besar dan ahli-ahli Indonesia, sekaligus Chancellor dari universitas ini, membuat saya sedikit merinding. Tapi saya kembali tenang setelah mengatakan kepada diri saya bahwa anggap saja ini sebuah pengalaman yang menarik. Tidak dapat, juga tidak apa-apa. Maka, pertanyaan-pertanyaan dapat saya jawab dengan cukup lancar, rasanya. 

Salah satu pertanyaan “politis” yang diajukan adalah apakah saya akan terus melakukan kritik terhadap pemerintah Indonesia, kalau saya bekerja di Univeristas Melbourne. Saya jawab: “Saya melakukan kritik karena saya mau menyumbangkan pikiran saya bagi perkembangan bangsa saya. Kritik ini saya lakukan baik ketika saya ada di Indonesia, maupun di luar negeri. Juga harus diingat, kritik saya sedapat mungkin saya lengkapi dengan argumen-argumen ilmiah, bukan hanya sekadar melontarkan kritik. Karena itu, kritik yang saya lontarkan, saya anggap sebagai bagian dari fungsi saya sebagai seorang akademikus dan cendekiawan. Ya, dari sini pun, saya tetap akan melontarkan kritik-kritik saya terhadap apa yang saya anggap tidak benar dan harus diperbaiki.” 

Malam itu, ketika saya kembali ke hotel sehabis makan malam dengan seorang teman lama, penjaga hotel memberikan kunci kamar bersama secarik kertas di mana tertulis sebuah pesan telepon. Di kamar, saya buka kertas itu dan saya baca pesan telepon dari Prof Tony Stephen, Kepala Sekolah Bahasa di Universitas Melbourne. Bunyinya: “Selamat Anda sekarang seorang guru besar!” 

Saya cuma terperangah! Hampir tidak percaya!

Arief Budiman, guru besar di Universitas Melbourne, Australia 


Sumber: Kompas, 15 Desember 1997


0 komentar:

Posting Komentar