![]() |
| (Kompas, 16 Desember 1997) |
Oleh: Arief Budiman
Berbagai perasaan dan pikiran bercampur-aduk menjadi satu setelah membaca pesan Prof Stephens, Kepala Sekolah Bahasa di Universitas Melbourne, yang menyebutkan bahwa saya kini menjadi guru besar.
Selama ini saya mempersiapkan diri untuk menerima kegagalan. Jadi yang ada dalam bayangan saya adalah akan kembali ke Indonesia setelah mendapatkan berita bahwa orang lain yang terpilih. Dan saya kemudian bekerja lagi menulis di koran-koran. Saya akan kembali ke rumah saya yang ekologis di Salatiga, pergi ke sana-kemari lagi untuk berceramah, menghadiri rapat RT desa sebulan sekali, memberi makan angsa piaraan yang masih terus berusaha menggigit tangan saya, dan semua hal rutin dari hidup saya yang saya cintai. Inilah yang ada dalam benak saya ketika kembali ke hotel tersebut.
Tapi, sekarang lain. Setelah ada pesan dari Prof Stephens itu, berarti saya harus pindah ke Melbourne, karena sebagai guru besar, pekerjaan saya bukan kontrak, tapi tetap. Ini jelas merupakan sebuah perubahan drastis. Siapa yang akan menjaga rumah saya? Bagaimana koleksi buku-buku saya yang jumlahnya sudah mencapai ribuan? Bagaimana ini, dan bagaimana itu? Semua membuat saya gelisah, sehingga malam itu tidur saya tidak nyenyak.
Tapi lambat laun semuanya menjadi tenang kembali. Saya mulai meyakinkan diri bahwa memang begitulah yang terjadi: saya akan jadi guru besar di Universitas Melbourne. Dan saya pun mulai mempersiapkan diri untuk berangkat, meskipun dengan perasaan yang masih tidak keruan.
Persoalan sebelum berangkat
Semboyan Universitas Melbourne adalah “Postera Crescam Laude.” Artinya, “saya akan bekerja untuk generasi mendatang.’ Semboyan sederhana ini memang mengandung arti mendalam.
Universitas ini (paling sedikit dalam teori), tidak mau hanya sekadar bersikap pragmatis dalam menghadapi masa sekarang. Masa mendatang menjadi perhitungan. Misalnya, dalam menggunakan sumber-sumber alam, kelestarian alam akan sangat diperhitungkan, supaya apa yang diambil sekarang tidak merugikan masa depan. Kemudian, dalam menghadapi tekanan politik, universitas ini tidak akan tunduk kepada regim yang sedang berkuasa. Kepentingan masa depan masyarakat secara keseluruhan juga diperhatikan.
Prinsip ini teruji ketika saya mengalami sebuah pesoalan dalam proses keberangkatan ke Melbourne.
Suatu ketika di bulan April 1997, Menteri Pendidikan Negara Bagian Victoria (Melbourne adalah ibu kotanya), Phil Honeywood, mengunjungi Indonesia. Di Jakarta ia dicegat wartawan dan salah satu yang ditanyakan adalah penunjukan saya sebagai guru besar di Universitas Melbourne.
Pertama-tama, dia ditanya apakah benar bahwa universitas di Australia sekarang sudah menjadi pelabuhan yang aman bagi dissident dari Indonesia. Tentu saja sang menteri menjawab “tidak”. Pertanyaan selanjutnya, bagaimana dengan kasus saya yang baru ditunjuk sebagai guru besar di Universitas Melbourne. Jawab sang menteri: “Kalau Universitas Melbourne memutuskan untuk memakai dananya sendiri untuk program ini, saya tidak bisa mencegahnya.” Tapi, kalau dana pemerintah yang dipakai, hal ini akan diteliti, katanya lebih lanjut. (The Age, 17/4/97)
Dari Universitas Melbourne segera muncul bantahan dari Kepala Sekolah Bahasa Prof. Tony Stephens, yang menyatakan penunjukan saya sebagai guru besar sudah melalu rposedur resmi.
Tapi, jawaban yang keras diberikan oleh Rektor (Vice Chancellor) dari universitas ini. Dalam pernyataannya yang dimuat di harian The Australian (18/4/97), dia menyatakan bahwa tidak benar Universitas Melbourne menyediakan pelabuhan yang aman bagi dissident dari Indonesia. Bahwa sang menteri ingin meninjau kembali penunjukan saya sebagai guru besar kalau uang negara dipakai, ini dinilai sebagai usaha mencampuri kebebasan akademik. Pernyataan seperti ini, hanya dilakukan oleh “para diktatur Afrika dan anggota-anggota negara totaliter, baik yang fasis maupun yang komunis.”
Akhirnya rektor menyatakan dia percaya banhwa sang menteri sudah salah dikutip oleh wartawan yang mewawancarainya.
Polemik ini dilanjutkan dengan datangnya surat-surat pembaca yang dimuat di harian di sana, yang pada umumnya melakukan kritik kepada menteri tersebut. Mereka menambahkan bahwa saya merupakan orang yang memadai untuk jabatan ini.
Maka, ketika saya datang ke Universitas Melbourne untuk mulai bekerja pada permulaan buan Juni yang lalu, banyak orang yang sudah mengenal saya. Tanpa sengaja, Menteri Phil Honeywell telah melakukan semacam promosi gratis bagi kedatangan saya.
Itulah kehidupan. Apa yang tadinya tampak merupakan hal yang bisa memperburuk, ternyata akhirnya berubah menjadi nasib baik buat saya.
Kebebasan akademik dijunjung tinggi
Pada titik ini saya jadi teringat kembali kepada semboyan universitas ini, yakni “saya akan bekerja untuk generasi mendatang.” Dengan menolak campur-tangan pemerintah, untuk kegiatan akademis, meskipun universitas ini dibiayai negara, rektor menegakkan suatu prinsip bahwa kebenaran ilmu tidak bisa ditundukkan oleh kekuasaan. Karena kalau hal ini terjadi, masa depan generasi ini akan terancam.
Prinsip kebebasan akademik yang dijalankan oleh rektor sebenarnya juga sudah dilaksanakan dalam proses penunjukan saya. Seperti diuraikan pada seri sebelumnya, salah satu pertanyaan yang diajukan dalam wawancara adalah apakah Universitas Melbourne tidak akan mengalami kesulitan dengan Pemerintah Indonesia kalau memperkerjakan saya. Menurut informasi, faktor ini menjadi pembicaraan di kalangan panitia seleksi. Tapi keputusan yang diambil, faktor ini bukan merupakan bahan pertimbangan sama sekali. “Kalau untuk memperkerjakan ahli tentang Burma, kita harus minta semacam ‘persetujuan’ dari pemerintah militer Burma, apa jadinya bagi masa depan universitas ini,” kata salah seorang guru besar anggota panitia seleksi.
Begitulah, setelah melalui banyak liku-liku, saya akhirnya berhasil bekerja di Universitas Melbourne.***
Sumber: Kompas, 16 Desember 1997


0 komentar:
Posting Komentar