Oleh: NANI EFENDI
Dunia pers kita sedang diuji. Tantangan dunia pers saat ini cukup berat: menjaga netralitas di antara pergolakan kepentingan-kepentingan politik. Goncangan paling hebat terhadap independensi pers di Indonesia, dalam pandangan saya, dimulai sejak momen pemilu legislatif dan pilpres pada 2014. Ada yang lolos ujian, tetap independen, tapi, ada juga yang “tak lolos”. Masyarakat tentu punya penilaian sendiri tentang lembaga pers mana yang saat ini masih independen dan kredibel—baik cetak, elektronik, maupun online—dan mana yang selalu “membeo” pada kepentingan-kepentingan politik sempit kelompok tertentu.
Wartawan senior, yang juga pendiri dan mantan
Pemimpin Redaksi (Pemred) Majalah Tempo, Goenawan
Mohamad, mengatakan, “Yang paling sulit dalam bekerja di media kini bukanlah
keberanian, tapi sikap yang adil dan bebas dari kepentingan sepihak.” Ya,
pekerjaan jurnalis adalah pekerjaan idealisme. Ia harus tetap
menjaga independensi dan idealisme
demi memperjuangkan kebenaran dan keadilan. Tapi, lanjut Goenawan Mohamad,
“Beban moral media kini tak mudah: mengayuh biduk di antara karang-karang
kepentingan politik.”
Padahal, fungsi dan idealisme pers tidak boleh tergerus
oleh kepentingan-kepentingan politik sempit yang bersifat partisan. Pers adalah salah satu pilar demokrasi: penyuara
kebenaran dan keadilan yang objektif dan berimbang. Ia adalah agen of social control. Sangatlah menyedihkan
bagi publik jika pers sudah berpihak dan menjadi corong kepentingan-kepentingan
kekuasaan
belaka dan dengan sengaja menggiring opini publik untuk meloloskan
tujuan sempit kelompok-kelompok politik tertentu dengan mengabaikan kepentingan rakyat yang lebih besar.
Inspirasi
Dalam tulisan ini, saya ingin mengingatkan
tentang perjuangan dan idealisme Bapak Pers Indonesia—sesuatu yang, menurut saya, masih dan sangat relevan
untuk menjadi sumber spirit, inspirasi, dan kesadaran bagi insan-insan pers saat ini. Mungkin banyak
yang sudah mengenal siapa Bapak atau Perintis Pers Indonesia. Tapi, tak
sedikit juga yang belum mengenalnya.
Ya, namanya: Tirto Adhi Soerjo, yang
sering juga dikenal dengan inisial T.A.S. Pada 2006, T.A.S. ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional berdasarkan
Keppres No. 85 Tahun 2006 pada masa
pemerintahan SBY.
Pramoedya Ananta Toer, dalam bukunya Sang Pemula, menjelaskan tentang sosok Tirto
Adhi Soerjo “secara lebih dekat”. T.A.S. lahir di Blora pada tahun 1880 dan meninggal tahun 1918. Dialah
orang pertama yang mendirikan pers nasional dengan menerbitkan surat kabar Soenda Berita. Dengan modal penjualan
semua harta bendanya, surat kabar Soenda
Berita mulai terbit pada Februari 1903. Inilah terbitan pertama dalam sejarah
pers Indonesia (Toer, 1985:38). Ia pula yang mengawali praktek
penggunaan daya cetak untuk membentuk pendapat umum, yang kemudian menjadi
tradisi dalam sejarah pers, sehingga pers bukan saja menjadi alat perjuangan
nasional, tetapi juga menjadi pemersatu bangsa.
T.A.S.-lah orang pertama yang menggunakan
pers sebagai senjata pembela keadilan bagi si kecil. Pramoedya Ananta Toer juga
menggambarkan karakter T.A.S dengan menuliskannya dalam bentuk novel: Bumi Manusia (1985). T.A.S yang
digambarkan dalam sosok Minke, tak tertarik dengan dunia pangkat, jabatan,
gaji, dan kecurangan. Dunianya adalah bumi manusia dengan segala permasalahannya. Tiga kali ia pernah mendapat tawaran bekerja
pada pemerintah kolonial, namun ia tolak mentah-mentah. Ia menolak
kecenderungan umum untuk menjadi pegawai negeri (ambtenaar) dengan kehormatan
semu. Ia ingin tetap pada idealismenya sebagai
penyuara keadilan. Sekiranya ia tidak memulai tradisi menggunakan pers sebagai
alat perjuangan dan pemersatu dalam masyarakat heterogen di Hindia Belanda, rasanya
sulit negara Indonesia akan terbentuk.
Percaya pada diri sendiri, berdiri di atas
kaki sendiri, tak takut pada kemiskinan, tak takut tidak berpangkat, sebagaimana yang
diajarkan oleh neneknya, adalah
unsur-unsur pembentuk pribadi T.A.S yang tak dikenal dalam tradisi kastanya—kasta
bangsawan priyayi. Ia memang berasal dari keluarga priyayi. Tapi, ia tak
tertarik dengan kehidupan priyayi. Di antara 9 bersaudara, hanya ia
sendiri yang tak ada sangkut pautnya dan tak tertarik dengan jabatan negeri
(istilah untuk pejabat negara dan PNS pada masa kolonial Belanda).
Tjokrosiswoyo dalam bukunya Sekilas Perjuangan Suratkabar (1958),
mengatakan, “T.A.S. adalah wartawan Indonesia yang pertama menggunakan surat
kabar sebagai pembentuk pendapat umum, dengan berani menulis kecaman-kecaman
pedas terhadap pihak kekuasaan dan menentang paham-paham kolot.”
Karena kekritisannya pada pemerintah kolonial,
ia dibuang ke Telukbetung, Lampung. Tapi, dari pembuangan, ia tetap berjuang
sebagai jurnalis dengan mengangkat pena: menulis untuk melawan kesewenang-wenangan
pejabat pemerintah kolonial. Ia mengirimkan tulisan-tulisannya ke Betawi dan
diterbitkan dalam surat kabar Perniagaan
yang terbit di Batavia 1903 (lihat Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula, Jakarta: Hasta Mitra, 1985).
T.A.S prototipe ideal insan pers
Bagaimanapun juga, jurnalis sejati harus
tetap pada independensi dan objektifitas. Ia harus selalu berpihak pada
kebenaran—tak tergoda dengan iming-iming harta, pangkat, jabatan, dan
kepentingan duniawi lainnya, seperti yang telah dicontohkan oleh T.A.S.
(Bapak Pers Indonesia). Ya, T.A.S. adalah simbol jurnalis
sejati. Ia tak kenal kompromi dengan yang namanya ketidakadilan. Baginya,
idealisme dan independensi pers adalah harga mati. Kebenaran dan keadilan harus
tetap diperjuangkan
dan disuarakan secara objektif untuk kepentingan rakyat banyak.
Sosok T.A.S adalah prototipe insan pers yang
ideal. Insan pers sejati “wajib” meneladani sosok T.A.S.
Semoga, semua insan pers di Tanah Air dapat mewarisi
keberanian, kejujuran, keikhlasan, dan idealisme T.A.S. dalam berjuang untuk kebenaran, kebaikan, dan keadilan. Dan, kita doakan semoga Tirto Adhi Soerjo (T.A.S.)—sang
Perintis Pers Indonesia itu—beristirahat dengan tenang dalam pangkuan Keabadian dan selalu tersenyum melihat para jurnalis-jurnalis yang masih setia menyuarakan kebenaran
dan amanat penderitaan rakyat—sesuatu yang telah ia teladankan
semasa hidupnya.
NANI EFENDI, Alumnus HMI, Penulis, dan Kritikus Sosial
0 komentar:
Posting Komentar