alt/text gambar

Rabu, 17 Juni 2015

Topik Pilihan: , , , , , , ,

MENGENANG BAPAK PERS INDONESIA: SEBUAH CATATAN KRITIS TERHADAP IDEALISME PERS SAAT INI



Oleh: NANI EFENDI


Dunia pers kita sedang diuji. Tantangan dunia pers saat ini cukup berat: menjaga netralitas di antara pergolakan kepentingan-kepentingan politik. Goncangan paling hebat terhadap independensi pers di Indonesia, dalam pandangan saya, dimulai sejak momen pemilu legislatif dan pilpres pada 2014. Ada yang lolos ujian, tetap independen, tapi, ada juga yang “tak lolos”. Masyarakat tentu punya penilaian sendiri tentang lembaga pers mana yang saat ini masih independen dan kredibel—baik cetak, elektronik, maupun online—dan mana yang selalu “membeo” pada kepentingan-kepentingan politik sempit kelompok tertentu.

Wartawan senior, yang juga pendiri dan mantan Pemimpin Redaksi (Pemred) Majalah Tempo, Goenawan Mohamad, mengatakan, “Yang paling sulit dalam bekerja di media kini bukanlah keberanian, tapi sikap yang adil dan bebas dari kepentingan sepihak.” Ya, pekerjaan jurnalis adalah pekerjaan idealisme. Ia harus tetap menjaga independensi dan idealisme demi memperjuangkan kebenaran dan keadilan. Tapi, lanjut Goenawan Mohamad, “Beban moral media kini tak mudah: mengayuh biduk di antara karang-karang kepentingan politik.”

Padahal, fungsi dan idealisme pers tidak boleh tergerus oleh kepentingan-kepentingan politik sempit yang bersifat partisan. Pers adalah salah satu pilar demokrasi: penyuara kebenaran dan keadilan yang objektif dan berimbang. Ia adalah agen of social control. Sangatlah menyedihkan bagi publik jika pers sudah berpihak dan menjadi corong kepentingan-kepentingan kekuasaan belaka dan dengan sengaja menggiring opini publik untuk meloloskan tujuan sempit kelompok-kelompok politik tertentu dengan mengabaikan kepentingan rakyat yang lebih besar.

Inspirasi

Dalam tulisan ini, saya ingin mengingatkan tentang perjuangan dan idealisme Bapak Pers Indonesia—sesuatu yang, menurut saya, masih dan sangat relevan untuk menjadi sumber spirit, inspirasi, dan kesadaran bagi insan-insan pers saat ini. Mungkin banyak yang sudah mengenal siapa Bapak atau Perintis Pers Indonesia. Tapi, tak sedikit juga yang belum mengenalnya. 

Ya, namanya: Tirto Adhi Soerjo, yang sering juga dikenal dengan inisial T.A.S. Pada 2006, T.A.S. ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional berdasarkan Keppres No. 85 Tahun 2006 pada masa pemerintahan SBY.

Pramoedya Ananta Toer, dalam bukunya Sang Pemula, menjelaskan tentang sosok Tirto Adhi Soerjo “secara lebih dekat”. T.A.S. lahir di Blora pada tahun 1880 dan meninggal tahun 1918. Dialah orang pertama yang mendirikan pers nasional dengan menerbitkan surat kabar Soenda Berita. Dengan modal penjualan semua harta bendanya, surat kabar Soenda Berita mulai terbit pada Februari 1903. Inilah terbitan pertama dalam sejarah pers Indonesia (Toer, 1985:38). Ia pula yang mengawali praktek penggunaan daya cetak untuk membentuk pendapat umum, yang kemudian menjadi tradisi dalam sejarah pers, sehingga pers bukan saja menjadi alat perjuangan nasional, tetapi juga menjadi pemersatu bangsa.

T.A.S.-lah orang pertama yang menggunakan pers sebagai senjata pembela keadilan bagi si kecil. Pramoedya Ananta Toer juga menggambarkan karakter T.A.S dengan menuliskannya dalam bentuk novel: Bumi Manusia (1985). T.A.S yang digambarkan dalam sosok Minke, tak tertarik dengan dunia pangkat, jabatan, gaji, dan kecurangan. Dunianya adalah bumi manusia dengan segala permasalahannya. Tiga kali ia pernah mendapat tawaran bekerja pada pemerintah kolonial, namun ia tolak mentah-mentah. Ia menolak kecenderungan umum untuk menjadi pegawai negeri (ambtenaar) dengan kehormatan semu. Ia ingin tetap pada idealismenya sebagai penyuara keadilan. Sekiranya ia tidak memulai tradisi menggunakan pers sebagai alat perjuangan dan pemersatu dalam masyarakat heterogen di Hindia Belanda, rasanya sulit negara Indonesia akan terbentuk.

Percaya pada diri sendiri, berdiri di atas kaki sendiri, tak takut pada kemiskinan, tak takut tidak berpangkat, sebagaimana yang diajarkan oleh neneknya, adalah unsur-unsur pembentuk pribadi T.A.S yang tak dikenal dalam tradisi kastanya—kasta bangsawan priyayi. Ia  memang berasal dari keluarga priyayi. Tapi, ia tak tertarik dengan kehidupan priyayi. Di antara 9 bersaudara, hanya ia sendiri yang tak ada sangkut pautnya dan tak tertarik dengan jabatan negeri (istilah untuk pejabat negara dan PNS pada masa kolonial Belanda).

Tjokrosiswoyo dalam bukunya Sekilas Perjuangan Suratkabar (1958), mengatakan, “T.A.S. adalah wartawan Indonesia yang pertama menggunakan surat kabar sebagai pembentuk pendapat umum, dengan berani menulis kecaman-kecaman pedas terhadap pihak kekuasaan dan menentang paham-paham kolot.” 

Karena kekritisannya pada pemerintah kolonial, ia dibuang ke Telukbetung, Lampung. Tapi, dari pembuangan, ia tetap berjuang sebagai jurnalis dengan mengangkat pena: menulis untuk melawan kesewenang-wenangan pejabat pemerintah kolonial. Ia mengirimkan tulisan-tulisannya ke Betawi dan diterbitkan dalam surat kabar Perniagaan yang terbit di Batavia 1903 (lihat Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula, Jakarta: Hasta Mitra, 1985).

T.A.S prototipe ideal insan pers

Bagaimanapun juga, jurnalis sejati harus tetap pada independensi dan objektifitas. Ia harus selalu berpihak pada kebenaran—tak tergoda dengan iming-iming harta, pangkat, jabatan, dan kepentingan duniawi lainnya, seperti yang telah dicontohkan oleh T.A.S. (Bapak Pers Indonesia). Ya, T.A.S. adalah simbol jurnalis sejati. Ia tak kenal kompromi dengan yang namanya ketidakadilan. Baginya, idealisme dan independensi pers adalah harga mati. Kebenaran dan keadilan harus tetap diperjuangkan dan disuarakan secara objektif untuk kepentingan rakyat banyak.

Sosok T.A.S adalah prototipe insan pers yang ideal. Insan pers sejati “wajib” meneladani sosok T.A.S. Semoga, semua insan pers di Tanah Air dapat mewarisi keberanian, kejujuran, keikhlasan, dan idealisme T.A.S. dalam berjuang untuk kebenaran, kebaikan, dan keadilan. Dan, kita doakan semoga Tirto Adhi Soerjo (T.A.S.)—sang Perintis Pers Indonesia itu—beristirahat dengan tenang dalam pangkuan Keabadian dan selalu tersenyum melihat para jurnalis-jurnalis yang masih setia menyuarakan kebenaran dan amanat penderitaan rakyat—sesuatu yang telah ia teladankan semasa hidupnya.

NANI EFENDIAlumnus HMI, Penulis, dan Kritikus Sosial



                                

0 komentar:

Posting Komentar