Oleh Ahmad Nurcholish
Jika kita bicara soal filsafat Islam tentunya tidak bisa dilepaskan dari pembicaraan filsafat secara umum. Berpikir filsafat merupakan hasil upaya manusia yang berkesinambungan di seluruh semesta alam. Akan tetapi, berpikir filsafat dalam pengertian berpikir bebas dan mendalam atau radikal yang tidak dipengaruhi oleh dogmatis dan tradisi disponsori oleh filosof-filosof Yunani.
Oleh karenanya, sebelum kita membahas lebih jauh tentang filsafat Islam secara khusus, ada baiknya jika kita me-remind terlebih dahulu pengetahuan kita tentang filsafat secara umum.
Tahap berikutnya kita akan membahas lebih mendalam apa itu filsafat Islam, apa saja obyek yang menjadi topic bahasannya, serta tokoh-tokoh di dunia filsafat Islam dan pemikirannya. Di bagian akhir kita akan membahas tentang metodologi kajian filsafat Islam agar kita mendapatkan hasil kajian yang agak mendalam tentang filsafat Islam itu sendiri.
Pengertian Filsafat
Filsafat, sebagaimana diulas K. Bertens (1984: 13), juga Sirajudin Zar, 2012: 2), adalah kata majemuk yang berasal dari bahasa Yunani, yakni philosophia dan philosophos. Philo berarti cinta (loving), sedangkan Sophia atau sophos artinya pengetahuan atau kebijaksanaan (wisdom).
Dengan demikian, secara sederhana filsafat adalah cinta pada
pengetahuan atau kebijaksanaan. Pengertian cinta yang dimaksudkan di
sini adalah dalam arti yang seluas-luasnya, yaitu ingin dan rasa
keinginan itulah ia berusaha mencapai atau mendalami hal yang
diinginkan. Demikian pula yang dimaksudkan dengan pengetahuan, yaitu
tahu dengan mendalam hingga ke akar-akarnya atau sampai ke dasar segala
dasar. (Zar, 3).
Dalam perkembangan selanjutnya, orang Arab memindahkan kata Yunani philosophia ke dalam bahasa Arab menjadi falsafa. Hal ini sesuai dengan tabiat susunan kata-kata Arab dengan pola fa’lala, fa’lalah dan fi’lal. Karenanya, kata benda dari kata kerja falsafa seharusnya falsafah dan filsafat. (Harun Nasution, 1973: 7). Kata filsafat pun yang kemudian dipakai dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 1990: 342).
Lalu, siapakah orang yang pertama kali menggunakan kata filsafat?
Dialah Pythagoras (w. 497 M). mulanya, kata ini digunakannya sebagai
reaksi terhadap orang yang menamakan dirinya ahli pengetahuan. Manusia,
menurut Pythagoras, tidak akan mampu mencapai pengetahuan secara
keseluruhan meski akan menghabiskan semua umurnya. Oleh karena itu, yang
lebih tepat bagi manusa adalah pencinta pengetahuan (filosof). Hal ini mengacu pada ungkapan Pythagoras sendiri,
“Aku tidaklah ahli pengetahuan, karena ahli pengetahuan itu khusus
bagi Tuhan saja. Aku adalah filosof, yakni pecinta ilmu pengetahuan.”
(Zar, 3).
Namun, jika kita telusuri lebih cermat, kata filsafat popular
pemakaiannya sejak masa Sokrates dan Plato. (Bertens, 13). Tetapi yang
pasti, kata filsafat ini telah ada sejak masa filosof Yunani.
Dalam sejumlah buku atau referensi akan kita temukan pelbagai
definisi filsafat. Namun, pada prinsipnya dalam keragaman tersebut
terdapat keragaman tujuan. Dari situlah kemudian, secara simple dapat
diuraikan, bahwa filsafat adalah hasil proses berpikir rasional dalam
mencari hakikat sesuatu secara sistematis, menyeluruh (universal), dan
mendasar (radikal).
Mengacu pada pemaparan di atas, maka kita dapat mencermati bahwa
berfikir dilsafat mengandung ciri-ciri rasional, sistematis, universal
atau menyeluruh, dan mendasar atau radikal. Berfikir rasional mutlak
diperlukan dalam berfilsafat. Rasional mengandung arti bahwa
bagian-bagian pemikiran tersebut berhubungan antara satu dan lainnya
secara logis. Jika diibaratkan sebagai satu bagan, bagan tersebut adalah
bagan yang berisi kesimpulan yang “diperoleh dari premis-premis.”
(Louis O. Kattsoff, 1986: 10-11). Sistematis artinya, ia harus
berdasarkan aturan-aturan penalaran atau logika.
Pada dasarnya berfikir filsafat ialah berusaha untuk menyusun suatu
sistem pengetahuan yang rasional dalam rangka memahami segala sesuatu
termasuk diri kita sendiri. Sedangkan menyeluruh artinya suatu sistem
filsafat harus bersifat komprehensif. (Zar, 4).
Keempat karakteristik tersebut oleh Jujun S. Suriasumantri (1985:
22), ditambahkan satu karakteristik lagi, yakni spekulatif. Penambahan
ini dapat diterima, karena spekulatif adalah dasar ilmu pengetahuan.
Inilah baragkali yang kemudian memunculkan gap atau jurang pemisah antara pengetahuan filsafat dan pengetahuan sains.
Obyek Bahasan dan Metode Filsafat
Paling tidak terdapat tida bahasan pokok yang menjadi obyek dari pembahasan filsafat. Obyek tersebut adalah sebagai berikut:
- Ontologi atau al-Wujud;
- Epistimologi atau al-Ma’rifat;
- Aksiologi atau al-Qayyim.
Pembahasan ontology mencakup hakikat segala yang ada (al-manjudat).
Dalam dunia filsafat “yang mungkin ada” termasuk dalam pengertian “yang
ada”. Dengan kata lain, “yang mungkin ada” merupakan salah satu jenis
“yang ada”. Dan ia tidak dapat dimasukkan ke dalam kelompok “yang
tiada”, dalam arti tidak ada atau “mustahil ada.” Umumnya bahasan “yang
ada” terbagi menjadi dua bidang, yakni fiska dan metafisika. Bidang
fisika mencakup tentang manusia, alam semesta, dan segala sesuatu yang
terkandung di dalamnya, baik benda hidup maupun benda mati. Sedangkan
bidang metafisika membahas masalah ketuhanan dan masalah imateri. (Zar,
6).
Pembahasan epistimologi berkaitan dengan hakikat pengetahuan dan cara
bagaimana atau dengan sarana apa pengetahuan dapat diperoleh. Ada dua
teori dalam hal ini. Teori pertama yang disebut dengan realisme,
berpandangan bahwa pengetahuan adalah gambar atau kopi yang sebenarnya
dari apa yang ada dalam alam nyata. Gambaran atau pengetahuan yang ada
dalam akal adalah kopi dari yang asli yang terdapat di luar akal. Namun,
pengetahuan tersebut, menurut teori ini, sesuai dengan kenyataan yang
ada.
Teori kedua disebut dengan idealisme, berpandangan bahwa pengetahuan
adalah gambaran menurut pendapat atau penglihatan orang yang mengetahui.
Berbeda dengan realisme, pengetahuan menurut teori ini berarti
menggambarkan kebenaran yang sebenarnya karena, menurutnya, pengetahuan
yang sesuai dengan kenyataan adalah mustahil. (Ibid, 7)
Sementara itu, tentang metode-metode untuk memperoleh pengetahuan terdapat dua teori pula. Pertama,
teori empirisme, yakni berpandangan bahwa pengetahuan diperoleh dengan
perantaraan pancaindra. Alat utama inilah yang memperoleh kesan-kesan
dari apa yang ada di alam nyata. Kesan-kesan tersebut berkumpul dalam
diri manusia yang kemudian menyusun, dan mengaturnya menjadi
pengetahuan.
Kedua, teori yang disebut dengan rasionalisme, berpandangan
bahwa pengetahuan diperoleh dengan perantaraan akal. Memang untuk
memperoleh data-data dari alam nyata dibutuhkan pancaindra, tetapi untuk
menghubung-hubungkan satu data dengan data lainnya atau untuk
menerjemahkan satu kejadian dengan kejadian lainnya yang terjadi di alam
nyata ini diperlukan sekali akal.
Andai bersandar pada pancaindra semata, manusia tidak akan mampu
menafsirkan proses alamiah yang terjadi di semesta raya ini. Jadi,
akalah yang menyusun konsep-konsep rasional yang disebut dengan
pengetahuan. (Nasution, 10-11). Pengetahuan inilah yang kemudian dapat
berkembang menjadi ilmu pengetahuan yang berguna bagi kehidupan manusia.
Pembahasan aksiologi berkaitan dengan hakikat nilai. Dalam menentukan
hakikat atau ukuran baik dan buruk dibahas dalam filsafat etika atau
akhlak. Dalam menentukan hakikat atau ukuran salah dan benar dibahas
dalam filsafat logika atau mantiq. Sementara dalam menentukan ukuran indah dan tidaknya dibahas dalam filsafat estetika atau jamal.
Pengertian Filsafat Islam
Ada sejumlah pengertian yang dinisbatkan pada filsafat Islam. Prof.
Dr. H. Sirajuddin Zar (2012: 15) misalnya, menjelaskan bahwa filsafat
Islam adalah perkembangan pemikiran umat Islam dalam masalah ketuhanan,
kenabian, manusia dan alam semesta yang disinari ajaran Islam. Ada
sejumlah definisi pula yang dirangkum oleh para penulis Muslim, di
antaranya adalah sebagai berikut:
- Ibrahim Madkur, filsafat Islam adalah pemikiran yang lahir dalam dunia Islam untuk menjawab tantangan zaman, yang meliputi Allah dan alam semesta, wahyu dan akal, agama dan filsafat.
- Ahmad Fu’at Al-Ahwaniy, filsafat Islam adalah pembahasan tentang alam dan manusia yang disinari ajaran Islam.
- Muhammad ‘Athif Al-‘Iraqy, filsafat Islam secara umum di dalamnya tercakup di dalamnya ilmu kalam, ilmu ushul fiqih, ilmu tasawuf, da ilmu pengetahuan lainnya yang diciptakan oleh intelektual Islam. Pengertiannya secara khusus, ialah pokok-pokok atau dasar-dasar pemikiran filosofis yang dikemukakan para filosof Muslim.
Sebagai sebuat ilmu, filsafat Islam juga memiliki karakteristik
sendiri yang berbeda dengan filsafat umum lainnya, misalnya filsafat
Yunani. Secara sederhana karakteristik filsafat Islam dapat dirangkum
menjadi tiga.
- Filsafat Islam membahas masalah yang sudah pernah dibahas dalam filsafat Yunani dan lainnya, seperti ketuhanan, alam, dan roh. Akan tetapi, selain cara penyelesaian dalam filsafat Islam berbeda dengan filsafat lain, para filosof Muslim juga mengembangkan dan menambahkan ke dalamnya hasl-hasil pemikiran mereka sendiri. Sebagaimana bidang lainnya (teknik), dilsafat sebagai induk ilmu pengetahuan diperdalam dan disempurnakan oleh generasi yang datang sesudahnya.
- Filsafat Islam membahas masalah yang belum pernah dibahas oleh filsafat sebelumnya seperti filsafat kenabian (al-nazhariyyat al-nubuwwat).
- Dalam filsafat Islam terdapat pemaduan antara agama dan filsafat, antara akidah dan hikmah, antara wahyu dan akal. Bentuk ini banyak terlihat dalam pemikiran filosof Muslim, seperti al-Madinat al-Fadhilat (Negara Utama) dalam filsafat Al-Farabi: bahwa yang menjadi kepala Negara adalah nabi atau filosof. Begitu pula pendapat Al-Farabi pada Nadhariyyat al-Nubuwwat (filsafat kenabian): bahwa nabi dan filosof sama-sama menerima kebenaran dari sumber agama, yakni Akal Aktif (Akal X) yang juga disebut Malaikat Jibril. Akan tetapi, berbeda dari segi teknik, filosof melalui Akal Perolehan (mustafad) dengan latihan-latihan, sedangkan nabi dengan akal had yang memiliki daya yang kuat (al-qudsiyyat) jauh kekuatannya melebihi Akal Perolehan filosof. (Ibid., 14).
Dengan demikian jelaslah bahwa filsafat Islam merupakan hasil
pemikiran umat Islam secara keseluruhan. Pemikiran umat Islam ini
merupakan buah dari dorongan ajaran Al-Qur’an dan hadits. Kedudukan akal
yang tinggi dalam kedua sumber ajaran Islam tersebut bertemu dengan
peranan akal yang besar dan ilmu pengetahuan yang berkembang maju dalam
peradaban umat lain, terutama peradaban Yunani, Persia, dan India.
Dengan kata lain, umat Islam merupakan pewaris tradisi peradaban ketiga
bangsa tersebut, yang sebelumnya telah mewarisi pula peradaban bangsa
sekitarnya seperti Babilonia, Mesir, Ibrani, dan lainnya. (Nurcholish
Madjid, 1991: 16).
Tokoh dan Pemikiran
- Al-Kindi (801 – 865M)
Nama lengkapnya adalah Abdul Yusuf Ya’qub bin Ishaq bin Ash-Shabah
bin ‘Imran bin Isma’il bin Muhammad bin al-Asy’ats bin Qeis al-Kindi. Ia
berasal dari Kabilah Kindah, termasuk kabilah terpandang di kalangan
masyarakat Arab da bermukim di daerah Yaman dan Hijaz. (Ahmad Fuad
Al-Ahmawi, 2008: 64). Ia lahir di Kuffah tahun 185 H (801 M) dari
keluarga kaya dan terhormat. Kakek buyutnya, Al-Asy’as ibnu Qais, adalah
seorang sahabat Nabi Muhammad Saw yang gugur sebagai syuhada bersama
Sa’ad ibnu Abi Waqqas dalam poeperangan antara kaum Muslimin dengan
Persia di Irak. Ayahnya, Ishaq ibnu Al-Shabbah, adalah Gubernur Kufah
pada masa pemerintahan Al-Mahdi (775-785) dan Al-Rasyid (786-809 M).
(Zar, 38)
Al-Kindi mempelajari berbagai cabang ilmu keagamaan seperti hukum
syariat dalam ilmu Kalam. Ia turut menyumbangkan pemikirannya secara
efektif dalam memasukkan filsafat dalam khazanah pengetahuan Islam. Ia
menerjemahkan beberapa buku filsafat Suryani yang dikuasainya dengan
baik dan meperbaiki penerjemahan buku-buku lain, seperti Theologia (Ar-Rububiyyah atau ketuhanan) yang diterjemahkan oleh Ibn Na’imah al-Himshi. (Ahmawi, 65)
Ia merupakan orang pertama yang merintis jalan menyesuaiakan filsafat
Yunani dengan prinsp-prinsip ajaran Islam sehingga lahirlah filsafat
Islam. Ia juga telah membuka pintu bagi penafsiran filosofis terhadap
Al-Qur’an, sehingga menghasilkan persesuaian antara wahyu dan akal dan
antara filsafat dan agama. Lebih lanjut ia kemukakan bahwa pemaduan
antara filsafat dan agama didasarkan pada tiga alas an: (1) Ilmu agama
merupakan bagian dari filsafat; (2) Wahyu yang diturunkan kepada nabi
dan kebenaran filsafat saling bersesuaian; dan (3) Menurut ilmu, secara
logika, diperintahkan dalam agama. (Zar, 47)
Jika kita petakan, pada garis berasnya pemikiran filsafat Al-Kindi,
ada tiga pokok utama, yakni: Filsafat Ketuhanan, Alam, Filsafat Jiwa.
Tentang ketuhanan, al-Kindi membahasnya antara lain dalam Fi al-Falsafat al-Ula dan Fi Wahdaniyyat Allah wa Tanahi Jirm al’Alam.
Dari uraian-uraian yang tertuang dalam tulisan-tulisan tersebut dapat
kita simak bahwa pandangan Al-Kindi tentang ketuhanan sesuai dengan
ajaran Islam dan bertentangan dengan pendapat Aristoteles, Plato, dan
Plotinus. Allah adalah wujud yang sebenarnya, bukan berasal dari tiada
kemudian ada. Ia mustahil tidak ada dan akan ada selamanya. Allah adalah
wujud yang sempurna dan tidak didahului wujud lain. Wujud-Nya tidak
berakhir, sedangkan wujud lain disebabkan wujud-Nya. Ia adalah Maha Esa
yang idak dapat dibagi-bagi dan tidak ada zat lain yang menyamai-Nya
dalam berbagai aspek.
Menurut Al-Kindi, benda-benda yang ada di alam ini, mempunyai dua hakikat: hakikat sebagai juz’i (al-haqiqat juz’iyyat) yang disebut ‘aniah dan hakikat sebagai kulli (alhaqiqat kulliyat), dan ini disebut mahiah, yaitu hakikat yang bersifat universal dalam bentuk genus (jins) dan species (nau’). (Nasution, 9)
Tentang alam, dalam risalahnya yang berjudul al-Ibaat ‘an al’illat al-Fa’ilat al-Qaribat fi kawn wa al-Fasad,
pendapat Al-Kindi sejalan dengan Aristoteles bahwa benda di alam ini
dapat dikatakan wujud yang actual apabila terhimbun empat ‘illat, yakni:
- al’Ushuriyyat (materi benda);
- al-Shuriyyat (bentuk benda);
- al-Fa’ilat (pembuat benda, agent);
- al-Tamamiyyat (manfaat benda). (Zar, 54-55)
Selanjutnya, Al-Kindi membagi ‘illat al-Fa’ilat menjadi qaribat (dekat) dan ba’idat (jauh). ‘Illat yang dekat ada yang bertalian dengan alam dan ada pula yang bertalian dengan Allah. Sedangkan ‘illat yang jauh hanya bertalian dengan Allah. Jika dicontohkan dengan sebatang kapur tulis, pabrik yang memproduksi kapur disebut ‘illat yang dekat dan manusia yang menciptakan pabrik disebut ‘illat yang jauh berasal dari alam (ba’idat thabi’iy). Namun, pada hakikatnya yang menciptakan pencipta pabrik (manusia) tersebut adalah ‘illat ba’idat Ilahiy (sebab yang jauh dari Tuhan), yakni Allah. (Ibid.)
Sementara tentang jiwa, Al-Kindi menolak pendapat Aristoteles yang
mengatakan bahwa jiwa manusa sebagaimana benda-benda, tersusun dari dua
unsur, materi dan bentuk. Materi ialah badan dan bentuk ialah jiwa
manusia. Hubungan jiwa dengan badan sama dengan hubungan bentuk dengan
materi. Pendapat Al-Kindi tentang jiwa lebih dekat pada pendapat Plato
yang mengatakan bahwa kesatuan antara jiwa dan badan adalah accident,
binasanya badan tidak membawa binasa pada jiwa, Namun, ia tidak menerima
pendapat Plato yang mengatakan bahwa jiwa berasal dari alam idea.
Al-Kindi, dalam tulisannya, sebagaimana dinukil Harun Nasution (1983:
9), menjelaskan bahwa jiwa manusia terdapat tiga daya: daya bernafsu (al-quwwat al-syahwaniyyah) yang terdapat di perut, daya marah (al-quwwat al-ghadabiyyat) yang berada di dada, dan daya pikir (al-quwwat al-‘aqliyyat) yang berpusat di kepala.
Al-Farabi (259-339 H/870-950 M.)
Jika Al-Kindi merupakan filosof Muslim yang meletakkan dasar-dasar
filsafat Islam, maka Abu Nashr al-Farabi-lah yang memperkokoh dan
memantapkan dasar-dasar yang telah diletakkan oleh Al-Kindi. Orang Arab
menamakan al-Farabi Guru Kedua (al-Mu’allimuts-Tsani), karena mereka memandang Aristoteles sebagai Guru Pertama (al-Mu’allimuts-Awwal). Al-Farabi seorang filosof Islam berkebangsaan Turki, lahir di sebuah pedusunan terkenal dengan nama Bousij di daerah Farab.
Nama lengkapnya adalah Abu Nashr Muhammad ibnu Muhammad ibnu Tarkhan
ibnu Auzalagh, yang lagir tahun 257 H/870 M. Ayahnya seorang jendral
berkebangsaan Persia dan ibunya berkebangsaan Turki. (Sirajuddin Zar, Filsat Islam: Filosof dan Filsafatnya,
h. 65). Sebagaimana filosof Yunani, Al-Farabi menguasai berbagai
disiplin ilmu. Keadaan ini memungkinkan karena didukung oleh ketekunan
dan kerajinannya serta ketajaman otaknya. Jika mengacu pada karya
tulisnya, ia menguasai matematika, kimia, astronomi, music, ilmu alam,
logika, filsafat, bahasa, dan lain-lainnya. Dalam hal bahasa, menurut
riwayat, al-Farabi menguasai 70 bahasa. Namun, menurut Ibrahim Madkur
riwayat ini lebih mendekati dongeng daripada kenyataan. (Ibid. 66)
Pemikiran-pemikiran penting dari filsafat al-Farabi, antara lain tentang filsafat emanasi, krtuhanan, kenabian, jiwa, dan akal.
Dalam filsafat emanasinya, al-Farabi mencoba menjelaskan bagaimana
yang banyak bias timbul dari Yang Satu. Tuhan bersifat Mahasatu, tidak
berubah, jauh dari materi, jauh dari arti banyak, Mahasempurna dan tidak
berhajat pada apapun. Jika demikian hakikat sifat Tuhan, maka
terjadinya alam menurut al-Farabi terjadi dengan cara emanasi. Tuhan
sebagai akal, berpikir tentang diri-Nya, da dari pikiran ini timbul
suatu maujud lain.
Tuhan merupakan Wujud Pertama (al-Wujud al-Awwal) dan dengan pemikiran itu timbul Wujud Kedua (al-Wujud al-Tsani) yang juga memiliki subtansi. Ia disebut Akal Pertama (al-Aql al-Awwal), first Intellegence yang tak bersifat materi. Wujud kedua ini berpikir tentang wujud pertama dan dari opemikiran ini muncullah Wujud Ketiga (al-Wujud al-Tsani) disebut Akal Kedua (al-Aql al-Tsani), Second Intellegence. Wujud Kedua atau Akal Pertama itu juga berfikir tentang dirinya dan dari situ timbullah Langit Pertama (First Heaven, al-Sama’ al-‘Ula). (Harun Nasution, Falsafat dan Mistisme dalam Islam, h. 21)
Dalam hal ketuhanan al-Farabi mengompromomikan antara filsafat Aristoteles dan Neo-Platonisme, yakni al-Maujud al-Awwal
(Wujud Pertama) sebagai sebab pertama bagi segala yang ada. Konsep ini
tidak bertentangan dengan keesaan yang mutlak dalam ajaran Islam. Dalam
membuktikan adanya Allah al-Farabi mengemukakan dalil Wajib al-Wujud dan mumkin al-wujud, menurutnya, segala yang ada ini hanya dua kemungkinan dan tidak ada alternative yang ketiga, yakni Wajib al-Wujud dan mumkin al-wujud. (Sirajuddin Zar, Op. Cit., h. 70)
Tentang kenabian al-Farabi merupakan filosof Muslim pertama yang
mengemukakan filsafat kenabian secara lengkap, sehingga hampir tidak ada
penambahan oleh filosof-filosof sesudahnya. Filsafat ini didasarkan
kepada psikologi dan metafisika yang erat hubungannya dengan ilmu
politik dan etika. Menurutnya, manusia dapat berhubungan dengan Akal
Fa’al (Jibril) melalui dua cara, yakni penalaran atau renungan pemikiran
dan imajinasi atau inspirasi (ilham). Cara pertama hanya daopat
dilakukan oleh para filosof yang dapat menembus alam materi dan dapat
mencapai cahaya ketuhanan, sedangka cara kedua hanya dapat dilakukan
oleh nabi.(Ibid, 79)
Sedangkan mengenai jiwa, menurut al-Farabi, jiwa manusia beserta materi asalnya memancar dari Akal Kesepuluh. Jiwa adalah jauhar
rohani sebagai form jasad. Kesatuan keduanya merupakan kesatuan secara
accident, artinya masing-masing keduanya mempunyai subtansi yang berbeda
dan binasanya jasad tidak membawa binasa pada jiwa. Jiwa manusia
disebut dengan al-nafs al-nathiqah, berasal dari alam Ilahi, sedangkan
jasad berasal dari alam khalq, berbentuk, berupa, berkadar, dan
bergerak. Jiwa ini diciptakan ketika jasad siap menerimanya.(Ibid., 87)
Ibnu Sina (370-428 H/ 989-1036 M.)
Puncak kecermelangan filsafat Islam dicapai pada zaman hidupnya
Syaikh ar-Rais Abu ‘Ali al-Husein bin ‘Abdullah Ibn Sina. Filosof
kelahiran Afsyana dekat Bukhara pada tahun 980 M ini merupakan filosof
Islam paling banyak menulis buku-buku ilmiah sampai soal-soal yang
bersifat cabang dan ranting. (Ahmad Fuad Al-Ahwani, Filsafat Islam, h. 82; , Harun Nasution, Falsafat dan Mistisme dalam Islam, h. 28).
Di Barat ia popular dengan sebutan Avicenna akibat dari terjadinya
metamorphose Yahudi-Spanyol-Latin. Dengan lidah Spanyol kata ibnu
diucapkan Aben atau Even. Perubahan ini berawal dari usaha penerjemahan
naskah-naskah Arab ke dalam bahasa Latin pada pertengahan abad ke-12 di
Spanyol. (Lihat Nurcholish Madjid, Kaki Langit Peradaban Islam, 1997: 94)
Meski sibuk bekerja dalam pemerintahan, Ibnu Sina merupakan seorang
penulis yang luar biasa produktif, sehingga ia banyak meninggalkan karya
tulis yang sangat besar pengaruhnya kepada gerenari sesudahnya, baik di
dunia Barat maupun di dunia Timur. Diantara karya tulisnya adalah
sebagai berikut:
Al-Syifa’, berisikan uraian tentang filsafat yang terdiri atas empat bagian: ketuhanan, fisika, matematika, dan logika.
- Al-Najat, memuat intisari dari kitab al-Syifa’. Karya ini ditujukan khusus untuk kalangan terpelajar yang ingin mengetahui dasar-dasar ilmu hikmah secara lengkap.
- Al-Qanun fi al-Thibb, berisikan ilmu kedokteran yang terbagi atas lima kitab dalam berbagai ilmu dan berjenis-jenis penyakit dan lain-lain.
- Al-Isyarat wa al-Tanbihat, beris uraian tentang logika dan hikmah.( Sirajuddin Zar, Filsat Islam: Filosof dan Filsafatnya, h. 94)
Pemikiran filsafat Ibnu Sina di antaranya mencakup soal al-Tawfiq
(Rekonsiliasi) antara agama dan filsafat, Ketuhanan, dan Jiwa. Dalam
soal rekonsiliasi, sebagaimana al-farabi, ia juga mengupayakan pemaduan
antara agama dan filsafat. Menurutnya nabi dan filosof menerima
kebenaran dari sumber yang sama, yakni Malaikat Jibril yang juga disebut
Akal Kesepuluh atau Akal Aktif. Perbedaannya hanya terletak pada cara
memperolehnya. Bagi nabi terjadinya hubungan dengan Malaikat Jibril
melalui akal materiil yang disebut hads (kekuatan suci, qudsiyyat), sedangkan filosof melalui Akal Mustafad.( Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam, h. 18 dan 84)
Dalam hal Ketuhanan, Ibnu Sina dalam membuktikan adanya Tuhan (isbat wujud Allah) dengan dalil wajib al-wujud dan mumkin al-wujud
mengesankan duplikat al-Farabi. Bahkan nampaknya tidak ada penambahan
sama sekali. Ia hanya menjelaskan bahwa untuk membuktikan adanya Tuhan
tidak perlu mencari dalil dengan salah satu makhluk-Nya, tetapi cukup
dengan dalil adanya wujud Pertama, yakni wajib al-wujud. Jagad raya ini mumkin al-wujud yang memerlukan suatu sebab (‘illat) yang mengeluarkannya menjadi wujud karena wujudnya tidak dari zatnya sendiri.
Al-Razi (251-313 H/ 865-925 M.)
Abu Bakar Muhammad ibnu Zakaria ibnu Yahya Al-Razi lahir di Rayy,
sebuah kota tua yang dulu bernama Rhogee, dekat Teheran, Republik Islam
Iran pada 1 Sya’ban 251 H/865 M. di dunia Barat ia dikenal dengan
sebutan Rhazes. Ada beberapa nama tokoh yang juga dipanggil Al-Razi,
yakni Abu Hatim Al-Razi, Fakhruddin Al-Razi dan Najmuddin Al-Razi. Oleh
karena itu, untuk membedakan Al-Razi, sang filosof ini dari tokoh-tokoh
lain, perlu ditambahkan dengan sebutan Abu Bakar, yang merupakan nama kun-yah-nya (gelarnya).( Sirajuddin Zar, Filsat Islam: Filosof dan Filsafatnya, h. 113)
Dalam perjalaan karirnya, Al-Razi terkenal sebagai seorang dokter
yang dermawan, penyanyang keada pasien-pasiennya, karena itu ia sering
memberikan pengobatan cuma-cuma kepada orang-orang miskin. Karena
reputasinya di bidang kedokteran ini, Al-Razi pernah diangkat menjadi
kepala rumah sakit Rayy pada masa pemerintahan Gubernur Al-Mansur ibnu
Ishaq. Lalu ia pindah ke Baghdad dan memimpin rumah sakit di sana pada
masa pemerintahan Khalifah Al-Muktafi. (Ibid., 115)
Disiplin ilmu Al-Razi meliputi ilmu falak, matematika, kimia,
kedokteran, dan filsafat. Ia lebih dikenal sebagai ahli kimia dan ahli
kedokteran dibanding sebagai filosof. Ia juga rajin menulis dan membaca
yang kemudian membuat penglihatanya melemah. Anehnya ia menolak untuk
diobati dan mengatakan bahwa hal itu akan sia-sia karena sebentar lagi
ia akan meninggal. (Ibid., 116-117)
Filsafat Al-Razi terkenal dengan ajarannya Lima yang Kekal, yakni al-Bary Ta’ala (Allah Ta’ala), al-Nafs al-Kulliyyat (Jiwa Universal), al-Hayula al-Ula (Materi Pertama), al-Makan al-Mutlhaq (Tempat/Ruang Absolud) dan al-Zaman al-Mutlhaq
(Masa Absolud). Menurutnya, dua dari Lima yang Kekal itu hidup dan
aktif: Allah dan ruh. Satu di antaranya tidak hidup dan pasif, yakni
materi. Dua lainnya tidak hidup, tidak aktif, dan tidak pula pasif,
yakni ruang dan masa.( Harun Nasution, Falsafat dan Mistisme dalam Islam, h. 16-17)
Al-Razi juga dikenal sebagai seorang rasionalis murni. Akal,
menurutnya, adalah karunia Allah yang terbesar untuk manusia. Dengan
akal mausia dapat memperoleh manfaat sebanyak-banyaknya, bahkan dapat
memperoleh pengetahuan tentang Allah. Oleh sebab itu, manusia tidak
boleh menyia-nyiakan dan mengekangnya, tetapi harus memberikan kebebasan
padanya dan harus merujuknya dalam segala hal. (Sirajuddin Zar, Op. Cit., h. 121)
Pandangan tersebut bahkan memunculkan pendapat bahwa Al-Razi telah
menyimpang dari agama. Bahkan Harus Nasution mengatakan bahwa Al-Razi
adalah filosof Muslim yang berani mengeluarkan pendapat-pendapatnya
sungguhpun ia bertentangan dengan paham yang dianut umat Islam, yaitu:
(1) Tidak percaya pada wahyu; (2) Qur’an tidak mukjizat; (3) Tidak
percaya pada nabi-nabi; (4) Adanya hal-hal yang kekal dalam arti tidak
bermula dan tidak berakhir selain Tuhan. Kendati demikian, namanya
tercantum di antara pemikir-pemikir Islam lain dalam Tarikh Hukuma al-Islam
karya Zahir al-Din al-Baihaqi. Bahkan dalam Tabaqat al-Umam karangan
Abu al-Qasim Said ibnu Ahmad al-Andalusi, Al-Razi disebut sebagai dokter
umat Islam yang tiada tandingannya. (Harun Nasution, Op. Cit., h. 19)
Ibnu Miskawaih (330 H/941 – 1030 M)
Abu Ali Ahmad ibnu Muhammad ibnu Ya’kub ibnu Miskawaih lahir di kota
Rayy, Iran pada tahun 330 H/ 941 M. filosof yang satu ini memang tidak
banyak diketahui orang.( Sirajuddin Zar, Op. Cit., h. 127). Ada
yang menduga ia penganut Syi’ah. Indikasi ini didasarkan pada
pengabdiannya kepada sultan dan wazir-wazir Syiah dalam masa
pemerintahan Bani Buwaih (320-448 H). ketika Sultan Ahmad ‘Adhud
Al-Daulah memegang tampuk pemerintahan, ia menduduki jabatan penting,
seperti diangkat menjadi Khazim, penjaga perpustakaan besar dan
bendahara Negara. (Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam, 1986: 265)
Disiplin ilmu Miskawaih meliputi kedokteran, bahasa, sejarah, dan filsafat. Tetapi ia lebih popular sebagai filosof akhlak (al-falsafat al-‘amaliyat) ketimbang filosof Ketuhanan (al-falsafat al-nazhariyyat al-Ilahiyyat).
Agaknya ini dimotivasi oleh siatuasi masyarakat yang sangat kacau di
masa itu, seperti minuman keras, pelacuran, dan lain-lain.
Tak kurang dari 20-a buku telah ditulisnya. Sebagai seorang moralis
terkenal, hampir setiap pembahasan akhlak dalam Islam, filsafatnya
selalu mendapat perhatian utama. Keistimewaan yang menarik dalam
tulisannya ialah pembahasan yang didasarkan pada ajaran Islam (al-Qur’an
dan Hadits) dan dikombinasikan dengan poemikiran lain sebagai
penunjang, seperti filsafat Yunani Kuno dan pemikiran Persia.
(Sirajuddin Zar, Op. Cit., h. 134)
Meski filsafat Yunani Kuno banyak mewarnai pemikiran filsafat
Miskawaih, namun ajaran Islam memiliki pengaruh yang paling dominan
dalam filsafatnya, terutama dalam masalah akhlak atau moral/etika.
Sumber gambar: http://a-filsafat.com
Ahmad Nurcholish, santri program doctoral Studi Islam UMJ, pengajaran Studi Agama UPJ, Tangsel
Izin share ya min
BalasHapusIzin save min yak buat bahan kuliah
BalasHapusGa boleh
HapusMakasih informasinya
BalasHapus