Oleh: Nani Efendi
Filsuf Jerman, Friedrich Wilhelm Nietzsche (1844–1900),
atau yang lebih dikenal dengan Nietzsche (baca: Nice) adalah seorang filsuf
yang pemikirannya sangat berat dan cukup sulit dipahami. Tapi pemikiran Nietzsche
sangat tajam dan kritis tentang berbagai persoalan-persoalan kehidupan dan
kebenaran. Banyak pencerahan yang akan kita dapatkan kalau kita serius membaca
dan mempelajari filsafat Nietzsche.
Selain filsuf, Nietzsche adalah juga kritikus
budaya, penyair dan komposer. Ia menulis beberapa teks kritis terhadap agama,
moralitas, budaya kontemporer, filsafat dan ilmu pengetahuan, menampilkan
kesukaan untuk metafora, ironi, dan pepatah. Ia merupakan salah seorang tokoh
pertama dari eksistensialisme modern yang ateistis.[1] Salah
satu ucapan Nietzsche yang terkenal adalah “Tuhan telah mati”.
Bahasa dan kebenaran
Yulius Tandyanto, seorang alumnus Sekolah Tinggi
Filsafat (STF) Driyarkara, dalam kanal youtube “Penerbit KPG”, yang berjudul, “Nietzsche:
Kebenaran adalah Ilusi”, menjelaskan tentang “Nietzsche, kebenaran dan
bahasa”. Dengan bahasa yang ringan dan mudah dimengerti, Yulius Tandyanto bisa memberikan penjelasan
yang sangat membantu dalam memahami beberapa pemikiran Nietzsche, khususnya
tentang hakikat bahasa dan kebenaran.
Menurut Nietzsche, tak ada yang namanya
fakta. Yang ada adalah tafsiran. Klaim objektivitas bergantung pada orang yang
mengklaim. Artinya, klaim terhadap sesuatu itu tak netral. Bahasa, menurut Nietzsche,
menyelubungi realitas, atau memalsukan realitas. Tak ada suatu korespondensi
yang erat antara bahasa dan realitas.[2] Dengan kata
lain, menurut Nietzsche, fakta yang sebenarnya bisa disalahpahami oleh seseorang
karena bahasa yang digunakan. Itulah yang dimaksudkan bahwa bahasa menyelubungi
realitas, atau memalsukan realitas.
Kebenaran
Menurut filsafat Nietzsche, untuk
mengetahui kebenaran, harus diartikan dulu apa itu kata. Kata, menurut Nietzsche,
adalah “gambaran mental (citra) suatu rangsangan saraf dalam bunyi”. Urutannya:
rangsangan-rangsangan saraf—imaji/gambaran mental—kata, bunyi, suara (bahasa). Peralihan
(atau “metafora” istilah Nietzsche), dari ketiga urutan itu bersifat
sewenang-wenang atau suka-suka. Contohnya: ketika kita melihat pemandangan
indah, misalnya, maka terjadi rangsangan-rangsangan pada saraf kita. Dari rangsangan
saraf itu terjadilah atau terbentuklah imajinasi atau gambaran mental dalam
diri kita. Reaksi selanjutnya, akan terucap bahasa (kata-kata, bunyi, suara).
Proses peralihan dari ketiga
urutan itu tak sama pada masing orang-orang. Dari rangsangan saraf, bisa jadi
imajinasi yang terbentuk dalam diri seseorang berbeda-beda satu sama lain. Ada yang
takjub, ada yang biasa-biasa saja, ada yang histeris, dan lain sebagainya. Nah,
kemudian, orang akan berkata-kata atau mengeluarkan suara (bahasa) sebagai
ungkapan ekspresi dari gambaran mental. Bahasa, kata, atau ucapan yang muncul
dari mulut setiap orang itu bersifat sewenang-wenang (suka-suka). Artinya, bahasa
yang keluar bisa berbeda-beda. Ada yang mengatakan “wah”, "wow indahnya”, “ya Allah
cantiknya”, “amboi”, “keren”, dan sebagainya.
Contoh lain: ketika seseorang
dicubit, sarafnya mengalami rangsangan. Kemudian terjadilah imaji/gambaran mental
pada diri orang itu. Dan keluarlah kata-kata atau ucapan, atau bahasa dari orang
itu. Kata-kata itu bersifat sewenang-wenang atau suka-suka. Bisa keluar ucapan “aduh”,
“ih”, “aaah”, “geli, ah”, “kurang ajar”, “tidak sopan kamu”, “nakal”, dan lain
sebagainya.
Itu baru contoh tentang melihat pemandangan
yang indah dan respon ketika dicubit. Belum kita berbicara tentang hal-hal yang
lebih rumit dan lebih besar dari itu dalam kehidupan manusia, seperti tentang
Tuhan, kemanusiaan, keadilan, demokrasi, hukum, politik, sosial, budaya, dan lainnya.
Oleh karena itu, kita jangan terlalu cepat menghakimi seseorang itu salah atau
benar hanya dari bahasa yang ia keluarkan.
Persoalan hubungan bahasa dan kebenaran ini penting kita pahami. Agar kita tak mudah saling menyalahkan satu sama lain. Dalam kehidupan sehari-hari, di TV misalnya, sering kita lihat perdebatan yang tak kunjung selesai, kegaduhan, keributan, pertengkaran hanya karena ucapan atau kata-kata yang digunakan. Bahkan itu terjadi di kalangan yang “terdidik” sekalipun. Padahal, bisa jadi, yang mengucapkan bermaksud lain, tapi dipahami lain oleh yang mendengarkan atau yang melihat sesuatu itu. Persoalan inilah yang terkadang menjadi biang keributan dan permasalahan dalam kehidupan manusia. Lagi-lagi, itu karena kebanyakan orang tak paham hakikat bahasa dan kebenaran. Oleh karena itu, kata Ludwig Wittgenstein, "Jangan tanyakan apa makna sebuah kata, tapi lihat dan amati, dalam konteks apa sebuah kata digunakan."[3] Wittgenstein merupakan salah seorang filsuf yang memiliki kontribusi besar dalam filsafat bahasa yang berpendapat bahwa masalah filsafat sebenarnya adalah masalah bahasa.
Menarik, kan, pemikiran Nietzsche?
Ini baru sebagian kecil tentang pemikiran Nietzsche. Untuk memahami tentang
filsafat Nietzsche lebih dalam, silakan baca karya-karya Nietzsche dan
literatur-literatur tentang filsafat Nietzsche. Sebagai penutup, saya ingin
mengutip kata-kata Nietzsche, “If you wish to strive for peace of soul and
happiness, then believe; if you wish to be a disciple of truth, then inquire;
Jika Anda ingin berjuang untuk kedamaian jiwa dan kebahagiaan, maka percayalah;
tapi jika Anda ingin menjadi murid kebenaran, maka tanyakan atau bertanyalah.” Bertanya
yang dimaksudkan adalah mempersoalkan segala hal dalam kehidupan. Jadi, jika
ingin mencari kebenaran, tidak cukup hanya percaya, tapi mempersoalkannya.
Nani Efendi,
Alumnus HMI dan Kritikus Sosial
[2] Lihat Yulius Tandyanto (alumnus STF
Driyarkara), “Nietzsche: Kebenaran adalah Ilusi”, dalam https://www.youtube.com/watch?v=ldGzbiuYqDs&t=1413s.
[3] Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik, (Jakarta: Paramadina, 1996, khususnya di halaman 59.
0 komentar:
Posting Komentar