Oleh: Nani Efendi
Dalam Bab I NDP HMI yang membahas
tentang dasar-dasar kepercayaan, Cak Nur menjelaskan bahwa manusia memerlukan
suatu bentuk kepercayaan. Kepercayaan akan melahirkan tata nilai dalam
kehidupan manusia (sosial, ekonomi, budaya, dan lain-lain).[1]
Oleh karena itu, manusia harus percaya pada “yang benar” dan dengan “cara yang
benar” pula. Dan Kebenaran mutlak hanyalah Allah.
Tentang kepercayaan ini, saya
berikan satu contoh. Ketika kita naik pesawat terbang, misalnya. Mengapa kita
berani terbang ke suatu tempat dengan menggunakan pesawat terbang? Salah satu
jawabannya: karena kita percaya bahwa kita akan sampai pada tujuan dengan cepat
dan selamat. Dengan dasar percaya, kita tidak perlu lagi mengecek kelaikan
pesawat (BBM-nya, olinya, jam terbang pilot, dan lain sebagainya). Kita bermodal
percaya saja. Tanpa ada kepercayaan seperti itu, kemungkinan kita tidak akan
berani naik pesawat. Nah, dalam hal percaya itu, pertanyaannya, apakah kita
percaya pada teknologi (sains) pesawat terbang, atau kepada kemampuan pilot,
atau kepada Allah sendiri Yang Maha Menjaga? Di situ persoalannya. Para
pengagum sains yang bersifat positivistik, mereka hanya percaya pada hukum alam
dengan berbagai penjelasan logika ilmiah semata. Tapi, bagi yang percaya Allah,
ia hanya meyakini peran Allah saja. Allah-lah yang akan menjaga. Sains dan lain
sebagainya itu hanyalah “perantara” saja. Dari sisi cara dan arah percaya
itulah yang membedakan manusia beriman atau tidak. Bagi yang tak beriman pada
Allah, mereka semata-mata hanya meyakini sains atau kekuatan lain selain Allah.
Perjanjian primordial
Oleh beberapa kader HMI, Bab I
ini dianggap sebagai inti dari keseluruhan bab dalam NDP. Karena di bab I ini dibahas tentang
tauhid—inti dari ajaran semua nabi.
Jadi, menurut saya—sebagaimana yang
saya baca dari banyak tulisan Cak Nur—dalam NDP Bab I ini, Cak Nur ingin
menjelaskan juga bahwa manusia itu cenderung untuk memiliki kepercayaan dan
memiliki naluri untuk menyembah. Mengapa itu terjadi? Menurut Cak Nur—bisa kita
baca dari berbagai tulisan-tulisannya—itu karena setiap manusia pada dasarnya sudah bertauhid
semenjak lahir.
Sebelum manusia dilahirkan ke dunia manusia sudah menyatakan dirinya
bertuhan kepada Allah (Tuhan Yang Maha Esa). Cak Nur menyebutnya dengan ”perjanjian
primordial” (primordial covenant)
berdasarkan firman Allah:
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari
sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya
berfirman): ”Bukankah aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: ”Betul (Engkau Tuhan
kami). Kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat
kamu tidak mengatakan: ”Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang
lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)”. (Q.,s. al-A’raaf/ 7:172).
Dengan adanya perjanjian primordial ini, maka
manusia memiliki fitrah (kesucian/hati nurani). Fitrah itu pada hakikatnya suci
dan cenderung pada kebenaran (hanif). Fitrah itu tidak akan berubah sepanjang masa.[2] Ia
disebut lokus kearifan abadi (sophia
perrenis/al-hikmat al-khalidah)[3]. Dengan adanya fitrah itu
pula manusia mempunyai naluri untuk menyembah dan mencari sasaran-saran
penyembahan. Hal ini dapat dilihat dalam kehidupan manusia. Berbagai bentuk
praktek dan aktivitas manusia dilakukan sebagai ”bentuk penyaluran” naluri
menyembah dan mengabdi dalam diri manusia. Manusia secara terus-menerus rindu
dan mencari Tuhan yang telah dikenalnya sewaktu bersaksi sebelum ruh ditiupkan
oleh Tuhan.
Dikarenakan naluri menyembah sebagai konsekwensi
dari perjanjian primordial itulah maka problem yang banyak dihadapi oleh manusia adalah
politeisme (menyembah banyak Tuhan/syirik atau menserikatkan Tuhan) bukan
ateisme. Fenomena yang banyak terjadi dalam kehidupan manusia bukan tidak
percaya Tuhan, tapi mempercayai banyak Tuhan (politeisme). Oleh karena itu, dalam
Al Qur’an, yang banyak disebut bukanlah ateisme (orang yang tak percaya Tuhan),
tapi politeisme atau syirik (mempercayai banyak Tuhan). Hanya sedikit ayat yang
berbicara tentang ateisme. Kata Cak Nur, ”Tantangan manusia ialah bagaimana menyalurkan naluri dan
hasrat alamiahnya untuk berbakti dan memuja itu ke arah sasaran pemujaan yang
benar dan dengan cara yang benar, sehingga memiliki konsekuensi yang benar
pula”.[4]
Fungsi kalimat syahadat ”la ilaha illa Allah”
Fungsi kalimat Tauhid laa ilaaha illa-Allah
sebenarnya adalah meluruskan kembali arah serta cara penyembahan dari naluri
menyembah yang ada dalam diri manusia dan menunjuki, membantu, serta
membersihkan kembali nurani atau fitrah manusia supaya tetap berada dalam
kesucian, dan cenderung kepada kebenaran (hanif) sebagai mana awal diciptakannya fitrah itu
oleh Allah s.w.t. semenjak manusia dilahirkan. Dengan kata lain, supaya manusia
tetap berada dalam fitrahnya (yang senantiasa cenderung kepada kesucian,
kebenaran, kebaikan dan kesempurnaan atau yang disebut hanif).[5]
Jadi, jika penyaluran naluri menyembah dalam diri
manusia yang bersumber dari fitrah (nurani) itu tidak terbimbing atau ditunjuki
ke jalan yang benar, maka naluri alamiah itu bisa terperosok ke lembah
kesesatan dan keburukan. Di sinilah fungsi kalimat syahadat ”la ilaha illa
Allah”. Dengan kata lain, fitrah (nurani) manusia yang hanif (cenderung kepada kebenaran) itu harus
dibantu oleh Allah sendiri melalui wahyu yang disampaikan melalui para nabi dan
rasul.
Jadi, hasrat untuk percaya
(bertuhan) adalah bawaan azali manusia. Oleh karena itu, kata Cak Nur dalam
NDP, yang dipercayai atau yang dituhankan haruslah sesuatu benar terlebih
dahulu. Dan Kebenaran yang mutlak adalah Tuhan Allah saja. Lebih lanjut dalam
teks NDP dijelaskan: perumusan kalimat persaksian (syahadat) Islam yang kesatu:
tiada tuhan selain Allah mengandung gabungan antara peniadaan dan pengecualian.
Perkataan "Tidak ada tuhan" (dengan t kecil) meniadakan segala bentuk
kepercayaan, sedangkan perkataan "selain Allah" memperkecualikan satu
kepercayaan kepada Kebenaran. Dengan peniadaan itu dimaksudkan, kata Cak Nur,
agar manusia membebaskan dirinya dari belenggu segenap kepercayaan yang ada
dengan segala akibatnya, dan dengan pengecualian itu dimaksudkan agar manusia
hanya tunduk pada ukuran kebenaran dalam menetapkan dan memilih nilai-nilai,
itu berarti tunduk pada Allah, Tuhan Yang Maha Esa. Tunduk dan pasrah pada
Tuhan YME itu yang disebut islam atau ber-islam.
Agar kepercayaan kepada Tuhan itu
sempurna, manusia memerlukan pengetahuan secukupnya tentang Ketuhanan. Diperlukan
"wahyu" yaitu pengajaran atau pemberitahuan yang langsung dari Tuhan
sendiri kepada manusia yang disampaikan melalui para rasul. Jadi, jelas Cak
Nur, untuk memahami Ketuhanan Yang Maha Esa dan ajaran-ajaran-Nya, manusia
harus berpegang kepada Al-Quran dengan terlebih dahulu mempercayai kerasulan
Muhammad SAW. Maka kalimat kesaksian yang kedua ialah percaya bahwa Muhammad
adalah Rasul Allah.
Konsekuensi Pemahaman Kalimat Syahadat dalam Diri
Seseorang
Abdullah Ibnu Sinan sebagaimana dikutip oleh
Taufiq Pasiak dalam bukunya Revolusi
IQ/EQ/SQ; Antara Naurosains dan Al-Qur’an, menafsirkan fitrah sebagaimana
yang dinyatakan dalam al-Qur’an surat Ar Ruum ayat 30 adalah al-islam[6]. Naluri menyembah yang ada
pada diri manusia bersentuhan dengan lingkungannya yang bersifat materil telah
membuat naluri itu menyembah berbagai bentuk benda dan kecenderungan sebagai
tuhan selain Allah. Dulu manusia menyembah berbagai bentuk benda-benda seperti
berhala, batu, pohon-pohon besar yang dianggap keramat, bintang, bulan,
matahari, dan lain sebagainya. Di zaman kontemporer, manusia yang tidak
bertauhid secara benar menyalurkan naluri menyembahnya kepada berbagai bentuk
benda dan kecenderungan termasuk hawa nafsunya sendiri. Mempertuhankan hawa
nafsu ialah memperturutkan keinginan nafsu, sehingga ia diperbudak oleh
nafsunya sendiri, dengan kata lain ia dibelenggu oleh tuhan-tuhan palsu yang ia
ciptakan sendiri.
Meminjam istilah Bang Imaduddin Abdurrahim dalam
bukunya Kuliah Tawhid sebagai tuhan triple Ta (harta, tahta, dan
wanita).[7]
Tuhan tripel Ta adalah merupakan bentuk tuhan yang diciptakan oleh hawa nafsu.
Untuk itulah, kalimat tauhid menyadarkan manusia untuk hanya bertuhan kepada
Tuhan yang Maha Esa dengan hidup sesuai fitrah (hanif). Orang yang hanif selalu mengikuti nuraninya yang bersih dan
tidak diperbudak atau dibelenggu oleh tuhan-tuhan palsu (keinginan hawa
nafsunya sendiri) yang mengakibatkan kenistaan dalam hidupnya. Mempertuhankan
nafsu berarti hidup menyimpang dari fitrah manusia itu sendiri.
Kalimat laa
ilaaha illa-Allah adalah bentuk
pernyataan negasi atau pengingkaran dan juga afirmasi atau penegasan. La ilaah artinya tidak ada tuhan. Tuhan
dalam pengertian pertama ini adalah segala bentuk hal-hal yang dipertuhankan
oleh manusia selain Allah, yang membelenggu kebebasan dan memperbudak manusia
itu sendiri. Tuhan yang harus diingkari (dinegasi) adalah tuhan-tuhan palsu[8]
(tuhan-tuhan lokal[9])
bikinan-bikinan manusia itu sendiri.
Setelah kalimat pengingkaran akan segala bentuk
tuhan yang tidak benar itu baru diikuti dengan kalimat afirmasi atau penegasan:
”kecuali Allah” (atau Tuhan yang Sebenarnya). Artinya menegaskan bahwa hanya
ada satu Tuhan di alam semesta ini (Tuhan yang universal). Mengakui dan
menyatakan Allah adalah satu-satunya Tuhan semesta alam ialah dengan cara
tunduk dan patuh serta berserah diri kepada-Nya (ber-islam).
Dalam Al-Quran didapat keterangan lebih lanjut
tentang Ketuhanan Yang maha Esa antara lain: surat Al-Ikhlas. Juga diterangkan
bahwa Tuhan adalah yang pertama dan yang penghabisan, Yang lahir dan Yang
Bathin (57:3), dan "kemana pun manusia menghadap di sanalah wajah
Tuhan" (2:115). Dan "Dia bersama kamu kemana pun kamu berada"
(57:4). Jadi Tuhan tidak terikat dengan ruang dan waktu.
Karena Allah adalah "yang pertama dan yang
penghabisan", maka Allah adalah asal sekaligus tujuan segala yang ada
(inna lillahi wainna ilaihi rojiun). Mengorientasikan diri kepada Allah adalah
melakukan sesuatu dengan ikhlas (lillahita’ala) semata-mata untuk mencari ridha
Allah. Keikhlasan ialah melakukan sesuatu bukan oleh sesuatu yang lain, tetapi
dikarenakan keinginannya sendiri sebagai pancaran dari nurani yang suci.
Keikhlasan inilah yang menimbulkan kebahagiaan.
Dengan kita mengingkari ”tuhan-tuhan” (dengan t
kecil) selain Allah, maka kita telah memutlakkan hanya satu Kebenaran saja,
yakni Allah SWT. Konsekuensi lebih lanjut, kita akan terbebas dari segala hal
yang membelenggu kebebasan kita. Terbebas dari segala hal memperbudak kita.[10]
Terbebas dari segala hal yang menakuti kita. Kita terbebas dari segala
kekhawatiran karena kita berpegang dan yakin pada Allah semata. Dengan kata
lain: tidak ada yang kita harapkan dalam hidup ini kecuali ridha Allah, tidak
ada yang kita takuti kecuali Allah, karena kita yakin bahwa tidak ada kekuatan
lain dalam semesta ini kecuali kekuatan Allah saja.[11]
Iman dan ilmu
Manusia, terang Cak Nur dalam
NDP, harus selalu berorientasi kepada kebenaran, dan untuk itu harus mengetahui
jalan menuju kebenaran itu (17:72). Oleh karena itu kehidupan yang baik,
lanjutnya, adalah kehidupan yang disemangati oleh iman dan diterangi oleh ilmu
(58:11). “Bidang iman dan pencabangannya menjadi wewenang wahyu, sedangkan
bidang ilmu pengetahuan menjadi wewenang manusia untuk mengusahakan dan
mengumpulkannya dalam kehidupan dunia ini. Ilmu itu meliputi tentang alam dan
tentang manusia (sejarah),” terang Cak Nur.
Di akhir Bab I NDP, Cak Nur
menjelaskan, “Kesudahan sejarah atau kehidupan duniawi ini ialah "hari kiamat".
Kiamat disebut juga "hari agama", atau yaumuddin, karena di situ
tidak lagi terdapat kehidupan historis, seperti kebebasan, usaha dan tata
masyarakat. Tetapi yang ada adalah pertanggungjawaban individu yang bersifat
mutlak di hadapan illahi atas segala perbuatannya dahulu di dalam sejarah
(2:48). Dengan demikian, kata Cak Nur, tugas hidup manusia itu sangatlah
sederhana, yakni beriman, berilmu, dan beramal—sebuah segi tiga yang saling
terkait. Iman (kepercayaan) harus benar terlebih dahulu. Kemudian iman mesti
diterangi dengan ilmu pengetahuan (berpikir kritis, logis, sistematis, dan
rasional). Setelah itu, manusia mesti mengamalkan imannya yang benar itu dalam
kehidupan. Begitu seterusnya.
NANI EFENDI, Alumnus
Latihan Kader III (Advance Training) Badko HMI Sumbagsel
Daftar Bacaan
Dr. Ir. Muhammad ‘Imaduddin
‘Abdulrahim. Kuliah Tauhid. Jakarta: Gema Insani, 2002
Hidayat,
Komaruddin dan Ahmad Gaus AF (ed). Pasing Over: Melintasi Batas Agama.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama bekerjasama dengan Yayasan wakaf Paramadina,
1998.
Nurcholish
Madjid dkk. Nilai-Nilai Dasar Perjuangan HMI. Jakarta, tt
Nurcholish
Madjid. Dialog Ramadlan bersama Cak Nur. Jakarta: Penerbit Paramadina,
2000
Nurcholis
Madjid. Islam, Doktrin dan Peradaban. Paramadina, 1995.
Pasiak, Taufiq. Revolusi IQ/EQ/SQ;
Antara Naurosains dan Al-Qur’an. (Bandung: Mizan 2003).
Tarigan, Azhari Akmal. Islam Mazhab HMI; Tafsir Tema Besar Nilai
Dasar Perjuangan (NDP). (Jakarta: Kultura. GP Press Group, 2007)
[1] Percaya pada sains secara membabi buta, misalnya, akan melahirkan
kehidupan masyarakat manusia yang mengagung sains semata tanpa sikap kritis.
Contoh lain, misalnya, kepercayaan dalam dinamisme masyarakat primitif akan
melahirkan masyarakat yang irasional. Dan kita masih bisa mencari contoh-contoh
lain dari hubungan kepercayaan terhadap lahirkan tata nilai dalam kehidupan
manusia dan masyarakatnya. Kepercayaan pada sistem sosial tertentu,
misalnya—komunisme, kapitalisme, sosialisme, fasisme, dan lain-lain—juga akan
melahirkan tata nilai dan budaya tertentu.
[2] “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada Agama (Allah);
(tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu.
Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi
kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (Q.,s. Ar-Ruum/ 30:30).
[3] Nurcholish Madjid, ”Dialog Agama-agama
dalam Perspektif Universalisme al-Islam” dalam Komaruddin Hidayat dan Ahmad
Gaus AF (ed), Pasing Over: Melintasi Batas Agama. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama bekerjasama dengan Yayasan wakaf Paramadina, 1998. hlm. 13
[4]Nurcholish Madjid, ”Dialog Agama-agama
dalam Perspektif Universalisme al-Islam” dalam Komaruddin Hidayat dan Ahmad
Gaus AF (ed) Passing Over; Melintasi
Batas Agama, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama bekerjasama dengan
Yayasan Wakaf Paramadina. 1998), hlm. 12.
[5] Kebaikan yang
diakui oleh nurani manusia yang hanif itulah yang disebut sebagai kebajikan
universal, kearifan abadi (al hikmat al khalidah; sophia perennis).
[6] Taufiq Pasiak. Revolusi
IQ/EQ/SQ; Antara Naurosains dan Al-Qur’an, Bandung: Penerbit Mizan, 2003.
[7] Dr. Ir. Muhammad
‘Imaduddin ‘Abdulrahim. Kuliah Tauhid.
Jakarta: Gema Insani, 2002.
[8] Istilah Cak Nur.
[9] Istilah yang digunakan Azhari Akmal Tarigan. Lihat Azhari Akmal Tarigan, Islam Mazhab HMI;
Tafsir Tema Besar Nilai Dasar Perjuangan (NDP), (Jakarta: Kultura. GP Press
Group, 2007)
[10] Saya pernah membaca tulisan dari Amien Rais yang kira-kira begini:
sekali manusia merasa dirinya lebih tinggi atau lebih rendah dari orang lain,
maka ia telah jatuh ke dalam syirik.
[11]
“Laa hawla wala quwwata illa billaah” (tak ada daya dan
kekuatan kecuali dengan Allah semata); la tataharraku dzarratun illa bi
idznillah” (tidak bergerak satu zarrah pun melainkan dengan izin Allah).
Tentang tauhid, baca juga Syekh Muhammad Nafis bin Idris Al Banjarie. Ilmu
Ketuhanan: Permata yang Indah (Ad-Durrun Nafis. (Alih Bahasa: DR.
K.H. Haderani HN). Surabaya: Nur Ilmu, tt. Dalam buku Permata yang indah,
dijelaskan tentang konsep tauhid (tauhidul af’al, tauhidul asma,
tauhidussifat dan tauhidudzat).
0 komentar:
Posting Komentar