alt/text gambar

Jumat, 22 September 2023

Topik Pilihan: , , , ,

NDP HMI: Mengurai Bab I tentang Dasar-Dasar Kepercayaan

 


Oleh: Nani Efendi

 

Dalam Bab I NDP HMI yang membahas tentang dasar-dasar kepercayaan, Cak Nur menjelaskan bahwa manusia memerlukan suatu bentuk kepercayaan. Kepercayaan akan melahirkan tata nilai dalam kehidupan manusia (sosial, ekonomi, budaya, dan lain-lain).[1] Oleh karena itu, manusia harus percaya pada “yang benar” dan dengan “cara yang benar” pula. Dan Kebenaran mutlak hanyalah Allah.

Tentang kepercayaan ini, saya berikan satu contoh. Ketika kita naik pesawat terbang, misalnya. Mengapa kita berani terbang ke suatu tempat dengan menggunakan pesawat terbang? Salah satu jawabannya: karena kita percaya bahwa kita akan sampai pada tujuan dengan cepat dan selamat. Dengan dasar percaya, kita tidak perlu lagi mengecek kelaikan pesawat (BBM-nya, olinya, jam terbang pilot, dan lain sebagainya). Kita bermodal percaya saja. Tanpa ada kepercayaan seperti itu, kemungkinan kita tidak akan berani naik pesawat. Nah, dalam hal percaya itu, pertanyaannya, apakah kita percaya pada teknologi (sains) pesawat terbang, atau kepada kemampuan pilot, atau kepada Allah sendiri Yang Maha Menjaga? Di situ persoalannya. Para pengagum sains yang bersifat positivistik, mereka hanya percaya pada hukum alam dengan berbagai penjelasan logika ilmiah semata. Tapi, bagi yang percaya Allah, ia hanya meyakini peran Allah saja. Allah-lah yang akan menjaga. Sains dan lain sebagainya itu hanyalah “perantara” saja. Dari sisi cara dan arah percaya itulah yang membedakan manusia beriman atau tidak. Bagi yang tak beriman pada Allah, mereka semata-mata hanya meyakini sains atau kekuatan lain selain Allah.

Perjanjian primordial

Oleh beberapa kader HMI, Bab I ini dianggap sebagai inti dari keseluruhan bab dalam NDP.  Karena di bab I ini dibahas tentang tauhid—inti dari ajaran semua nabi.

Jadi, menurut saya—sebagaimana yang saya baca dari banyak tulisan Cak Nur—dalam NDP Bab I ini, Cak Nur ingin menjelaskan juga bahwa manusia itu cenderung untuk memiliki kepercayaan dan memiliki naluri untuk menyembah. Mengapa itu terjadi? Menurut Cak Nur—bisa kita baca dari berbagai tulisan-tulisannya—itu karena setiap manusia pada dasarnya sudah bertauhid semenjak lahir.

Sebelum manusia dilahirkan ke dunia manusia sudah menyatakan dirinya bertuhan kepada Allah (Tuhan Yang Maha Esa). Cak Nur menyebutnya dengan ”perjanjian primordial” (primordial covenant) berdasarkan firman Allah:

Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): ”Bukankah aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: ”Betul (Engkau Tuhan kami). Kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: ”Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)”.  (Q.,s. al-A’raaf/ 7:172).

Dengan adanya perjanjian primordial ini, maka manusia memiliki fitrah (kesucian/hati nurani). Fitrah itu pada hakikatnya suci dan cenderung pada kebenaran (hanif). Fitrah itu tidak akan berubah sepanjang masa.[2] Ia disebut lokus kearifan abadi (sophia perrenis/al-hikmat al-khalidah)[3]. Dengan adanya fitrah itu pula manusia mempunyai naluri untuk menyembah dan mencari sasaran-saran penyembahan. Hal ini dapat dilihat dalam kehidupan manusia. Berbagai bentuk praktek dan aktivitas manusia dilakukan sebagai ”bentuk penyaluran” naluri menyembah dan mengabdi dalam diri manusia. Manusia secara terus-menerus rindu dan mencari Tuhan yang telah dikenalnya sewaktu bersaksi sebelum ruh ditiupkan oleh Tuhan.

Dikarenakan naluri menyembah sebagai konsekwensi dari perjanjian primordial itulah maka problem yang  banyak dihadapi oleh manusia adalah politeisme (menyembah banyak Tuhan/syirik atau menserikatkan Tuhan) bukan ateisme. Fenomena yang banyak terjadi dalam kehidupan manusia bukan tidak percaya Tuhan, tapi mempercayai banyak Tuhan (politeisme). Oleh karena itu, dalam Al Qur’an, yang banyak disebut bukanlah ateisme (orang yang tak percaya Tuhan), tapi politeisme atau syirik (mempercayai banyak Tuhan). Hanya sedikit ayat yang berbicara tentang ateisme. Kata Cak Nur, ”Tantangan manusia ialah bagaimana menyalurkan naluri dan hasrat alamiahnya untuk berbakti dan memuja itu ke arah sasaran pemujaan yang benar dan dengan cara yang benar, sehingga memiliki konsekuensi yang benar pula”.[4]

Fungsi kalimat syahadat ”la ilaha illa Allah

Fungsi kalimat Tauhid laa ilaaha illa-Allah sebenarnya adalah meluruskan kembali arah serta cara penyembahan dari naluri menyembah yang ada dalam diri manusia dan menunjuki, membantu, serta membersihkan kembali nurani atau fitrah manusia supaya tetap berada dalam kesucian, dan cenderung kepada kebenaran (hanif)  sebagai mana awal diciptakannya fitrah itu oleh Allah s.w.t. semenjak manusia dilahirkan. Dengan kata lain, supaya manusia tetap berada dalam fitrahnya (yang senantiasa cenderung kepada kesucian, kebenaran, kebaikan dan kesempurnaan atau yang disebut hanif).[5]

Jadi, jika penyaluran naluri menyembah dalam diri manusia yang bersumber dari fitrah (nurani) itu tidak terbimbing atau ditunjuki ke jalan yang benar, maka naluri alamiah itu bisa terperosok ke lembah kesesatan dan keburukan. Di sinilah fungsi kalimat syahadat ”la ilaha illa Allah”. Dengan kata lain, fitrah (nurani) manusia yang hanif  (cenderung kepada kebenaran) itu harus dibantu oleh Allah sendiri melalui wahyu yang disampaikan melalui para nabi dan rasul.

Jadi, hasrat untuk percaya (bertuhan) adalah bawaan azali manusia. Oleh karena itu, kata Cak Nur dalam NDP, yang dipercayai atau yang dituhankan haruslah sesuatu benar terlebih dahulu. Dan Kebenaran yang mutlak adalah Tuhan Allah saja. Lebih lanjut dalam teks NDP dijelaskan: perumusan kalimat persaksian (syahadat) Islam yang kesatu: tiada tuhan selain Allah mengandung gabungan antara peniadaan dan pengecualian. Perkataan "Tidak ada tuhan" (dengan t kecil) meniadakan segala bentuk kepercayaan, sedangkan perkataan "selain Allah" memperkecualikan satu kepercayaan kepada Kebenaran. Dengan peniadaan itu dimaksudkan, kata Cak Nur, agar manusia membebaskan dirinya dari belenggu segenap kepercayaan yang ada dengan segala akibatnya, dan dengan pengecualian itu dimaksudkan agar manusia hanya tunduk pada ukuran kebenaran dalam menetapkan dan memilih nilai-nilai, itu berarti tunduk pada Allah, Tuhan Yang Maha Esa. Tunduk dan pasrah pada Tuhan YME itu yang disebut islam atau ber-islam.

Agar kepercayaan kepada Tuhan itu sempurna, manusia memerlukan pengetahuan secukupnya tentang Ketuhanan. Diperlukan "wahyu" yaitu pengajaran atau pemberitahuan yang langsung dari Tuhan sendiri kepada manusia yang disampaikan melalui para rasul. Jadi, jelas Cak Nur, untuk memahami Ketuhanan Yang Maha Esa dan ajaran-ajaran-Nya, manusia harus berpegang kepada Al-Quran dengan terlebih dahulu mempercayai kerasulan Muhammad SAW. Maka kalimat kesaksian yang kedua ialah percaya bahwa Muhammad adalah Rasul Allah.

Konsekuensi Pemahaman Kalimat Syahadat dalam Diri Seseorang

Abdullah Ibnu Sinan sebagaimana dikutip oleh Taufiq Pasiak dalam bukunya Revolusi IQ/EQ/SQ; Antara Naurosains dan Al-Qur’an, menafsirkan fitrah sebagaimana yang dinyatakan dalam al-Qur’an surat Ar Ruum ayat 30 adalah al-islam[6]. Naluri menyembah yang ada pada diri manusia bersentuhan dengan lingkungannya yang bersifat materil telah membuat naluri itu menyembah berbagai bentuk benda dan kecenderungan sebagai tuhan selain Allah. Dulu manusia menyembah berbagai bentuk benda-benda seperti berhala, batu, pohon-pohon besar yang dianggap keramat, bintang, bulan, matahari, dan lain sebagainya. Di zaman kontemporer, manusia yang tidak bertauhid secara benar menyalurkan naluri menyembahnya kepada berbagai bentuk benda dan kecenderungan termasuk hawa nafsunya sendiri. Mempertuhankan hawa nafsu ialah memperturutkan keinginan nafsu, sehingga ia diperbudak oleh nafsunya sendiri, dengan kata lain ia dibelenggu oleh tuhan-tuhan palsu yang ia ciptakan sendiri.

Meminjam istilah Bang Imaduddin Abdurrahim dalam bukunya Kuliah Tawhid sebagai tuhan triple Ta (harta, tahta, dan wanita).[7] Tuhan tripel Ta adalah merupakan bentuk tuhan yang diciptakan oleh hawa nafsu. Untuk itulah, kalimat tauhid menyadarkan manusia untuk hanya bertuhan kepada Tuhan yang Maha Esa dengan hidup sesuai fitrah (hanif). Orang yang hanif selalu mengikuti nuraninya yang bersih dan tidak diperbudak atau dibelenggu oleh tuhan-tuhan palsu (keinginan hawa nafsunya sendiri) yang mengakibatkan kenistaan dalam hidupnya. Mempertuhankan nafsu berarti hidup menyimpang dari fitrah manusia itu sendiri.

Kalimat laa ilaaha illa-Allah  adalah bentuk pernyataan negasi atau pengingkaran dan juga afirmasi atau penegasan. La ilaah artinya tidak ada tuhan. Tuhan dalam pengertian pertama ini adalah segala bentuk hal-hal yang dipertuhankan oleh manusia selain Allah, yang membelenggu kebebasan dan memperbudak manusia itu sendiri. Tuhan yang harus diingkari (dinegasi) adalah tuhan-tuhan palsu[8] (tuhan-tuhan lokal[9]) bikinan-bikinan manusia itu sendiri.

Setelah kalimat pengingkaran akan segala bentuk tuhan yang tidak benar itu baru diikuti dengan kalimat afirmasi atau penegasan: ”kecuali Allah” (atau Tuhan yang Sebenarnya). Artinya menegaskan bahwa hanya ada satu Tuhan di alam semesta ini (Tuhan yang universal). Mengakui dan menyatakan Allah adalah satu-satunya Tuhan semesta alam ialah dengan cara tunduk dan patuh serta berserah diri kepada-Nya (ber-islam).

Dalam Al-Quran didapat keterangan lebih lanjut tentang Ketuhanan Yang maha Esa antara lain: surat Al-Ikhlas. Juga diterangkan bahwa Tuhan adalah yang pertama dan yang penghabisan, Yang lahir dan Yang Bathin (57:3), dan "kemana pun manusia menghadap di sanalah wajah Tuhan" (2:115). Dan "Dia bersama kamu kemana pun kamu berada" (57:4). Jadi Tuhan tidak terikat dengan ruang dan waktu.

Karena Allah adalah "yang pertama dan yang penghabisan", maka Allah adalah asal sekaligus tujuan segala yang ada (inna lillahi wainna ilaihi rojiun). Mengorientasikan diri kepada Allah adalah melakukan sesuatu dengan ikhlas (lillahita’ala) semata-mata untuk mencari ridha Allah. Keikhlasan ialah melakukan sesuatu bukan oleh sesuatu yang lain, tetapi dikarenakan keinginannya sendiri sebagai pancaran dari nurani yang suci. Keikhlasan inilah yang menimbulkan kebahagiaan.

Dengan kita mengingkari ”tuhan-tuhan” (dengan t kecil) selain Allah, maka kita telah memutlakkan hanya satu Kebenaran saja, yakni Allah SWT. Konsekuensi lebih lanjut, kita akan terbebas dari segala hal yang membelenggu kebebasan kita. Terbebas dari segala hal memperbudak kita.[10] Terbebas dari segala hal yang menakuti kita. Kita terbebas dari segala kekhawatiran karena kita berpegang dan yakin pada Allah semata. Dengan kata lain: tidak ada yang kita harapkan dalam hidup ini kecuali ridha Allah, tidak ada yang kita takuti kecuali Allah, karena kita yakin bahwa tidak ada kekuatan lain dalam semesta ini kecuali kekuatan Allah saja.[11]

Iman dan ilmu

Manusia, terang Cak Nur dalam NDP, harus selalu berorientasi kepada kebenaran, dan untuk itu harus mengetahui jalan menuju kebenaran itu (17:72). Oleh karena itu kehidupan yang baik, lanjutnya, adalah kehidupan yang disemangati oleh iman dan diterangi oleh ilmu (58:11). “Bidang iman dan pencabangannya menjadi wewenang wahyu, sedangkan bidang ilmu pengetahuan menjadi wewenang manusia untuk mengusahakan dan mengumpulkannya dalam kehidupan dunia ini. Ilmu itu meliputi tentang alam dan tentang manusia (sejarah),” terang Cak Nur.

Di akhir Bab I NDP, Cak Nur menjelaskan, “Kesudahan sejarah atau kehidupan duniawi ini ialah "hari kiamat". Kiamat disebut juga "hari agama", atau yaumuddin, karena di situ tidak lagi terdapat kehidupan historis, seperti kebebasan, usaha dan tata masyarakat. Tetapi yang ada adalah pertanggungjawaban individu yang bersifat mutlak di hadapan illahi atas segala perbuatannya dahulu di dalam sejarah (2:48). Dengan demikian, kata Cak Nur, tugas hidup manusia itu sangatlah sederhana, yakni beriman, berilmu, dan beramal—sebuah segi tiga yang saling terkait. Iman (kepercayaan) harus benar terlebih dahulu. Kemudian iman mesti diterangi dengan ilmu pengetahuan (berpikir kritis, logis, sistematis, dan rasional). Setelah itu, manusia mesti mengamalkan imannya yang benar itu dalam kehidupan. Begitu seterusnya.

NANI EFENDI, Alumnus Latihan Kader III (Advance Training) Badko HMI Sumbagsel

 

 

Daftar Bacaan

Dr. Ir. Muhammad ‘Imaduddin ‘Abdulrahim. Kuliah Tauhid. Jakarta: Gema Insani, 2002

Hidayat, Komaruddin dan Ahmad Gaus AF (ed). Pasing Over: Melintasi Batas Agama. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama bekerjasama dengan Yayasan wakaf Paramadina, 1998.

Nurcholish Madjid dkk. Nilai-Nilai Dasar Perjuangan HMI. Jakarta, tt

Nurcholish Madjid. Dialog Ramadlan bersama Cak Nur. Jakarta: Penerbit Paramadina, 2000

Nurcholis Madjid. Islam, Doktrin dan Peradaban. Paramadina, 1995.

Pasiak, Taufiq. Revolusi IQ/EQ/SQ; Antara Naurosains dan Al-Qur’an. (Bandung: Mizan 2003).

Tarigan, Azhari Akmal. Islam Mazhab HMI; Tafsir Tema Besar Nilai Dasar Perjuangan (NDP). (Jakarta: Kultura. GP Press Group, 2007)

 



[1] Percaya pada sains secara membabi buta, misalnya, akan melahirkan kehidupan masyarakat manusia yang mengagung sains semata tanpa sikap kritis. Contoh lain, misalnya, kepercayaan dalam dinamisme masyarakat primitif akan melahirkan masyarakat yang irasional. Dan kita masih bisa mencari contoh-contoh lain dari hubungan kepercayaan terhadap lahirkan tata nilai dalam kehidupan manusia dan masyarakatnya. Kepercayaan pada sistem sosial tertentu, misalnya—komunisme, kapitalisme, sosialisme, fasisme, dan lain-lain—juga akan melahirkan tata nilai dan budaya tertentu.

[2] “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada Agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (Q.,s. Ar-Ruum/ 30:30).

[3] Nurcholish Madjid, ”Dialog Agama-agama dalam Perspektif Universalisme al-Islam” dalam Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF (ed), Pasing Over: Melintasi Batas Agama. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama bekerjasama dengan Yayasan wakaf Paramadina, 1998. hlm. 13

[4]Nurcholish Madjid, ”Dialog Agama-agama dalam Perspektif Universalisme al-Islam” dalam Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF (ed) Passing Over; Melintasi Batas Agama, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama bekerjasama dengan Yayasan Wakaf Paramadina. 1998), hlm. 12.

[5] Kebaikan yang diakui oleh nurani manusia yang hanif itulah yang disebut sebagai kebajikan universal, kearifan abadi (al hikmat al khalidah; sophia perennis).

[6] Taufiq Pasiak.  Revolusi IQ/EQ/SQ; Antara Naurosains dan Al-Qur’an, Bandung: Penerbit Mizan, 2003.

[7] Dr. Ir. Muhammad ‘Imaduddin ‘Abdulrahim. Kuliah Tauhid. Jakarta: Gema Insani, 2002.

[8] Istilah Cak Nur.

[9] Istilah yang digunakan Azhari Akmal Tarigan. Lihat  Azhari Akmal Tarigan, Islam Mazhab HMI; Tafsir Tema Besar Nilai Dasar Perjuangan (NDP), (Jakarta: Kultura. GP Press Group, 2007)

[10] Saya pernah membaca tulisan dari Amien Rais yang kira-kira begini: sekali manusia merasa dirinya lebih tinggi atau lebih rendah dari orang lain, maka ia telah jatuh ke dalam syirik.

[11] “Laa hawla wala quwwata illa billaah” (tak ada daya dan kekuatan kecuali dengan Allah semata); la tataharraku dzarratun illa bi idznillah” (tidak bergerak satu zarrah pun melainkan dengan izin Allah). Tentang tauhid, baca juga Syekh Muhammad Nafis bin Idris Al Banjarie. Ilmu Ketuhanan: Permata yang Indah (Ad-Durrun Nafis. (Alih Bahasa: DR. K.H. Haderani HN). Surabaya: Nur Ilmu, tt. Dalam buku Permata yang indah, dijelaskan tentang konsep tauhid (tauhidul af’al, tauhidul asma, tauhidussifat dan tauhidudzat).

 

0 komentar:

Posting Komentar