Oleh: Nani Efendi
Telah jelas bahwa hubungan yang
benar antara individu manusia dengan dunia sekitarnya bukan hubungan
penyerahan. Sebab penyerahan meniadakan kemerdekaan dan keikhklasan dan
kemanusiaan. Tetapi jelas pula bahwa tujuan manusia hidup merdeka dengan segala
kegiatannya ialah kebenaran. Oleh karena itu sekalipun tidak tunduk pada
sesuatu apapun dari dunia sekelilingnya, namun manusia merdeka masih dan mesti
tunduk kepada kebenaran. Karena menjadikan sesuatu sebagai tujuan adalah
berarti pengabdian kepada-Nya.
Jadi kebenaran-kebenaran menjadi
tujuan hidup dan apabila demikian maka sesuai dengan pembicaraan terdahulu maka
tujuan hidup yang terakhir dan mutlak ialah kebenaran terakhir dan mutlak
sebagai tujuan dan tempat menundukkan diri. Adakah kebenaran terakhir dan
mutlak itu? Ada, sebagaimana tujuan akhir dan mutlak daripada hidup itu ada.
Karena sikapnya yang terakhir (ultimate) dan mutlak maka sudah pasti kebenaran
itu hanya satu secara mutlak pula.
Dalam perbendaharaan kata dan
kulturiil, kita sebut kebenaran mutlak itu "Tuhan", kemudian sesuai
dengan uraian Bab I, Tuhan itu menyatakan diri kepada manusia sebagai Allah
(31:30). Karena kemutlakannya, Tuhan bukan saja tujuan segala kebenaran (3:60).
Maka dia adalah Yang Maha Benar. Setiap pikiran yang maha benar adalah pada
hakikatnya pikiran tentang Tuhan YME.
Oleh sebab itu seseorang manusia
merdeka ialah yang ber-ketuhanan Yang Maha Esa. Keiklasan tiada lain adalah
kegiatan yang dilakukan semata-mata bertujuan kepada Tuhan YME, yaitu kebenaran
mutlak, guna memperoleh persetujuan atau "ridho" daripada-Nya.
Sebagaimana kemanusiaan terjadi karena adanya kemerdekaan dan kemerdekaan ada
karena adanya tujuan kepada Tuhan semata-mata. Hal itu berarti segala bentuk
kegiatan hidup dilakukan hanyalah karena nilai kebenaran itu yang terkandung
didalamnya guna mendapat pesetujuan atau ridho kebenaran mutlak. Dan hanya
pekerjaan "karena Allah" itulah yang bakal memberikan rewarding bagi
kemanusiaan (92:19-21).
Kata "iman" berarti
percaya dalam hal ini percaya kepada Tuhan sebagai tujuan hidup yang mutlak dan
tempat mengabdikan diri kepada-Nya. Sikap menyerahkan diri dan mengabdi kepada
Tuhan itu disebut Islam. Islam menjadi nama segenap ajaran pengabdian kepada
Tuhan YME (3:19). Pelakunya disebut "Muslim". Tidak lagi diperbudak
oleh sesama manusia atau sesuatu yang lain dari dunia sekelilingnya, manusia
muslim adalah manusia yang merdeka yang menyerahkan dan menyembahkan diri
kepada Tuhan YME (33:39). Semangat tauhid (memutuskan pengabdian hanya kepada
Tuhan YME) menimbulkan kesatuan tujuan hidup, kesatuan kepribadian dan
kemasyarakatan. Kehidupan bertauhid tidak lagi berat sebelah, parsial dan
terbatas. Manusia bertauhid adalah manusia yang sejati dan sempurna yang
kesadaran akan dirinya tidak mengenal batas.
Dia adalah pribadi manusia yang
sifat perorangannya adalah keseluruhan (totalitas) dunia kebudayaan dan
peradaban. Dia memiliki seluruh dunia ini dalam arti kata mengambil bagian
sepenuh mungkin dalam menciptakan dan menikmati kebaikan-kebaikan dan peradaban
kebudayaan.
Pembagian kemanusiaan yang tidak
selaras dengan dasar kesatuan kemanusiaan (human totality) itu antara lain
ialah pemisahan antara eksistensi ekonomi dan moral manusia, antara kegiatan
duniawi dan ukhrowi antara tugas-tugas peradaban dan agama. Demikian pula
sebaliknya, anggapan bahwa manusia adalah tujuan pada dirinya membela
kemanusiaan seseorang menjadi: manusia sebagai pelaku kegiatan dan manusia
sebagai tujuan kegiatan. Kepribadian yang pecah berlawanan dengan kepribadian
kesatuan (human totality) yang homogen dan harmonis pada dirinya sendiri: jadi
berlawanan dengan kemanusiaan.
Oleh karena hakikat hidup adalah
amal perbuatan atau kerja, maka nilai-nilai tidak dapat dikatakan ada sebelum
menyatakan diri dalam kegiatan-kegiatan konkrit dan nyata (26:226). Kecintaan
kepada Tuhan sebagai kebaikan, keindahan dan kebenaran yang mutlak dengan
sendirinya memancar dalam kehidupan sehari-hari dalam hubungannya dengan alam
dan masyarakat, berupa usaha-usaha yang nyata guna menciptakan sesuatu yang
membawa kebaikan, keindahan dan kebenaran bagi sesama manusia "amal
saleh" (harfiah: pekerjaan yang selaras dengan kemanusiaan) merupakan
pancaran langsung daripada iman (lihat Qur’an: aamanu wa’amilushshaalihaat, tdk
kurang dari 50 x pengulangan kombinasi kata). Jadi Ketuhanan YME memancar dalam
perikemanusiaan. Sebaliknya karena kemanusiaan adalah kelanjutan kecintaan
kepada kebenaran maka tidak ada perikemanusiaan tanpa Ketuhanan YME.
Perikemanusiaan tanpa Ketuhanan adalah tidak sejati (24:39). Oleh karena itu
semangat Ketuhanan YME dan semangat mencari ridho daripada-Nya adalah dasar
peradaban yang benar dan kokoh. Dasar selain itu pasti goyah dan akhirnya
membawa keruntuhan peradaban (9:109).
"Syirik" merupakan
kebalikan dari tauhid, secara harafiah artinya mengadakan tandingan, dalam hal
ini kepada Tuhan. Syirik adalah sifat menyerah dan menghambakan diri kepada
sesuatu selain kebenaran baik kepada sesama manusia maupun alam. Karena
sifatnya yang meniadakan kemerdekaan asasi, syirik merupakan kejahatan terbesar
kepada kemanusiaan (31:13). Pada hakikatnya segala bentuk kejahatan dilakukan
orang karena syirik (6:82). Sebab dalam melakukan kejahatan itu dia
menghambakan diri kepada motif yang mendorong dilakukannya kejahatan tersebut
yang bertentangan dengan prinsip-prinsip kebenaran. Demikian pula karena syirik
seseorang mengadakan pamrih atas pekerjaan yang dilakukannya (Hadist,
“sesunggunya sesuatu yang paling aku khawatirkan menimpa kamu sekalian adalah
syirik kecil, yaitu riya - pamrih”. Rawahu Ahmad, hadist hasan). Dia bekerja
bukan karena nilai pekerjaan itu sendiri dalam hubungannya dengan kebaikan,
keindahan dan kebenaran, tetapi karena hendak memperoleh sesuatu yang lain.
"Musyrik" adalah pelaku
daripada syirik. Seseorang yang menghambakan diri kepada sesuatu selain Tuhan
baik manusia maupun alam disebut musyrik, sebab dia mengangkat sesuatu selain
Tuhan menjadi setingkat dengan Tuhan (3:64). Demikian pula seseorang yang
menghambakan (sebagaimana dengan tiran atau diktator) adalah musyrik, sebab dia
mengangkat dirinya sendiri setingkat dengan Tuhan (28:4). Kedua perlakuan itu
merupakan penentang terhadap kemanusiaan, baik bagi dirinya sendiri maupun
kepada orang lain.
Maka sikap berperikemanusiaan
adalah sikap yang adil, yaitu sikap menempatkan sesuatu kepada tempatnya yang
wajar, seseorang yang adil (wajar) ialah yang memandang manusia. Tidak
melebihkan sehingga menghambakan dirinya kepada-Nya. Dia selau menyimpan itikad
baik dan lebih baik (ikhsan). Maka ketuhanan menimbulkan sikap yang adil kepada
sesama manusia (16:90).
0 komentar:
Posting Komentar