alt/text gambar

Jumat, 22 September 2023

Topik Pilihan: , , , ,

NDP HMI: Mengurai Bab III tentang Kemerdekaan Manusia (Ikhtiar) dan Keharusan Universal (Takdir)

 

 Oleh: Nani Efendi

(Alumnus LK III Badko HMI Sumbagsel, Palembang, 2008) 

 

Cak Nur, dalam Bab III NDP HMI, menyebutkan bahwa keikhlasan yang insani itu tidak mungkin ada tanpa kemerdekaan. Kemerdekaan yang dimaksud adalah kebebasan dalam memilih berdasarkan hati nurani. Semua perbuatan manusia di dunia (baik dan buruk) akan berkonsekuensi langsung pada kehidupan di akhirat.[1] Manusia dilahirkan sebagai individu, hidup di tengah alam dan masyarakat sesamanya, kemudian menjadi individu kembali.[2] Amal perbuatan manusia akan dipertanggungjawabkan di akhirat secara individu-individu (Qs. 8:25).[3] Di akhirat tak ada pertanggungjawaban bersama. Yang ada, semata-mata pertanggungjawaban individu secara mutlak (Qs. 2:48, 31:33).[4]

Karena individu adalah penanggung jawab terakhir dan mutlak terhadap perbuatannya, maka kemerdekaan pribadi adalah haknya yang pertama dan asasi. Namun, kata Cak Nur, sekalipun kemerdekaan adalah esensi daripada kemanusiaan, tidak berarti bahwa manusia selalu dan di mana saja merdeka. Terdapat batas-batas kemerdekaan manusia sebagai suatu kenyataan. Batas-batas tertentu itu dikarenakan adanya hukum-hukum yang pasti dan tetap yang menguasai alam—hukum yang menguasai benda-benda maupun masyarakat manusia sendiri—yang tidak tunduk dan tidak pula bergantung kepada kemauan manusia. Hukum-hukum itu mengakibatkan adanya "keharusan universal" atau "kepastian umum" dan “takdir” (57:22).[5]

Namun, walaupun terdapat keharusan universal (takdir) yang tidak dapat ditaklukkan oleh manusia, bukan berarti manusia harus pasrah. Pasrah berarti meniadakan kemerdekaan manusia.[6] Padahal, manusia itu merdeka dalam berikhtiar. Hanya saja, maksudnya, kemerdekaan manusia itu terbatas.

Jadi, pengakuan akan adanya kepastian umum atau takdir, kata Cak Nur, hanyalah pengakuan akan adanya batas-batas kemerdekaan manusia. Manusia tetap diberikan kebebasan yang dinamakan "ikhtiar" (pilih merdeka).

Ikhtiar adalah kegiatan dimana manusia tidak diperbudak oleh suatu yang lain kecuali oleh keinginannya sendiri dan kecintaannya kepada kebaikan. Tanpa adanya kesempatan untuk berbuat atau berikhtiar, manusia tidak bisa dimintai pertanggungjawaban secara pribadi terhadap perbuatannya. Kegiatan merdeka berarti perbuatan manusia yang merubah dunia dan nasibnya sendiri (13:11). Jadi sekalipun terdapat keharusan universal atau takdir manusia dengan haknya untuk berikhtiar mempunyai peranan aktif dan menentukan bagi dunia dan dirinya sendiri.

Kita harus percaya adanya takdir. Namun, manusia, jelas Cak Nur dalam NDP, tidak dapat berbicara mengenai takdir suatu kejadian sebelum kejadian itu menjadi kenyataan. Apa hikmah kita mempercayai takdir? Percaya pada takdir akan membawa keseimbangan jiwa dan ketenangan hidup.  

Percaya pada takdir adalah salah satu dari rukun iman yang harus kita yakini.[7] Percaya pada takdir, lanjut Cak Nur, membuat kita tidak terlalu berputus asa karena suatu kegagalan dan tidak perlu membanggakan diri karena suatu kemujuran.[8] “Sebab, segala sesuatu tidak hanya tergantung pada manusia sendiri, melainkan juga kepada keharusan yang universal itu[9],” jelas Cak Nur.

 

Catatan kaki:

[1] Rasulullah mengatakan, bahwa dunia ini adalah sawah ladangnya akhirat. Dalam artian, apa yang kita tanam di dunia, itulah yang kita petik di akhirat. Jadi, keliru kalau ada orang yang memisahkan antara urusan dunia dengan urusan akhirat. Karena apa saja yang kita lakukan di dunia sudah secara otomatis berkonsekuensi langsung di akhirat. Oleh karena itu, apa pun yang kita lakukan di dunia bisa bernilai ibadah jika kita berorientasi kepada Allah atau dalam rangka mencari ridha Allah. Seorang pedagang yang bekerja dengan jujur, misalnya, sudah berkonsekuensi langsung saat itu juga dalam bentuk pahala di akhirat. Seorang pegawai negeri, misalnya, yang bekerja dengan jujur untuk mencari nafkah anak dan istrinya, itu juga sudah bernilai pahala (ibadah). Jadi, ibadah itu adalah segala bentuk amal perbuatan manusia dalam rangka mencari ridha Allah. Jangan di anggap urusan kantor itu urusan dunia, sementara shalat adalah urusan akhirat. Semua yang kita lakukan di dunia berkonsekuensi langsung di akhirat. Ibadah dibagi dua: yang utama seperti shalat, puasa, haji, zakat, dsb; sedangkan urusan dunia lainnya juga bernilai ibadah jika itu dalam rangka mencari ridha Allah. Untuk lebih jelas tentang hubungan dunia-akhirat, bisa didengar ceramah Buya Hamka.

[2] Bandingkan dengan kata-kata Pramoedya Ananta Toer dalam novelnya Bukan Pasarmalam. Bahwa hidup ini, kata Pram, tak seperti pasarmalam di mana orang datang secara bersama-sama dan pulang pun secara bersama-sama pula. Dalam kehidupan dunia, orang datang secara sendiri-sendiri dan menghadap Sang Pencipta pun secara sendiri-sendiri pula. Bertanggung jawab di hadapan Allah pun juga sendiri-sendiri.

[3] “Dan peliharalah dirimu dari siksaan yang tidak hanya menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksa-Nya.” (Qs. Al-Anfal/8:25).

[4] “Wahai manusia! Bertakwalah kepada Tuhanmu dan takutlah pada hari yang (ketika itu) seorang bapak tidak dapat menolong anaknya, dan seorang anak tidak dapat (pula) menolong bapaknya sedikit pun. Sungguh, janji Allah pasti benar, maka janganlah sekali-kali kamu teperdaya oleh kehidupan dunia, dan jangan sampai kamu teperdaya oleh penipu dalam (menaati) Allah.” (Qs. Luqman/31:33)

[5] “Setiap bencana yang menimpa di bumi dan yang menimpa dirimu sendiri, semuanya telah tertulis dalam Kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami mewujudkannya. Sungguh, yang demikian itu mudah bagi Allah.” (Qs. Al-Hadid/57:22). Salah satu contoh keharusan universal yang tidak tunduk pada kemauan manusia, misalnya, manusia tidak bisa memilih untuk dilahirkan di negara mana, dari suku apa, dari Rahim siapa, dan lain sebagainya. Contoh lain, manusia dalam detik yang sama tidak bisa berada pada dua tempat yang berbeda. Dan masih banyak contoh lain.

[6] Bandingkan dengan pemahaman tentang Allah dan manusia dalam aliran Jabariah. Tentang ini, silahkan baca literatur-literatur Ilmu Kalam, terutama tentang aliran-aliran dalam Islam, seperti Jabariah, Qadariah, Asy’ariyah, dll. Dan perlu dipahami, perdebatan tentang kebebasan manusia dan takdir bukan baru muncul saat ini. Persoalan itu sudah diperdebatkan dari beberapa abad yang lalu.

[7] Lihat 6 rukun iman.

[8] Bandingkan dengan Qarun yang sombong dan merasa mendapat kekayaan karena kehebatannya sendiri bukan karena karunia Allah. Lihat cerita Qarun dalam Al Qur’an.

[9] “Agar kamu tidak bersedih hati terhadap apa yang luput dari kamu, dan jangan pula terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong dan membanggakan diri.” (Qs. Al -Hadid/57:23).

0 komentar:

Posting Komentar