(Alumnus LK III Badko HMI Sumbagsel, Palembang, 2008)
Cak Nur, dalam Bab III NDP HMI,
menyebutkan bahwa keikhlasan yang insani itu tidak mungkin ada tanpa kemerdekaan.
Kemerdekaan yang dimaksud adalah kebebasan dalam memilih berdasarkan hati nurani. Semua perbuatan manusia di dunia (baik dan buruk) akan
berkonsekuensi langsung pada kehidupan di akhirat.[1]
Manusia dilahirkan sebagai individu, hidup di tengah alam dan masyarakat
sesamanya, kemudian menjadi individu kembali.[2]
Amal perbuatan manusia akan dipertanggungjawabkan di akhirat secara individu-individu
(Qs. 8:25).[3] Di
akhirat tak ada pertanggungjawaban bersama. Yang ada, semata-mata pertanggungjawaban
individu secara mutlak (Qs. 2:48, 31:33).[4]
Karena individu adalah penanggung
jawab terakhir dan mutlak terhadap perbuatannya, maka kemerdekaan pribadi adalah
haknya yang pertama dan asasi. Namun, kata Cak Nur, sekalipun kemerdekaan
adalah esensi daripada kemanusiaan, tidak berarti bahwa manusia selalu dan di mana
saja merdeka. Terdapat batas-batas kemerdekaan manusia sebagai suatu kenyataan.
Batas-batas tertentu itu dikarenakan adanya hukum-hukum yang pasti dan tetap
yang menguasai alam—hukum yang menguasai benda-benda maupun masyarakat manusia
sendiri—yang tidak tunduk dan tidak pula bergantung kepada kemauan manusia.
Hukum-hukum itu mengakibatkan adanya "keharusan universal" atau
"kepastian umum" dan “takdir” (57:22).[5]
Namun, walaupun terdapat keharusan
universal (takdir) yang tidak dapat ditaklukkan oleh manusia, bukan berarti
manusia harus pasrah. Pasrah berarti meniadakan kemerdekaan manusia.[6]
Padahal, manusia itu merdeka dalam berikhtiar. Hanya saja, maksudnya,
kemerdekaan manusia itu terbatas.
Jadi, pengakuan akan adanya
kepastian umum atau takdir, kata Cak Nur, hanyalah pengakuan akan adanya
batas-batas kemerdekaan manusia. Manusia tetap diberikan kebebasan yang dinamakan
"ikhtiar" (pilih merdeka).
Ikhtiar adalah kegiatan dimana
manusia tidak diperbudak oleh suatu yang lain kecuali oleh keinginannya sendiri
dan kecintaannya kepada kebaikan. Tanpa adanya kesempatan untuk berbuat atau
berikhtiar, manusia tidak bisa dimintai pertanggungjawaban secara pribadi terhadap
perbuatannya. Kegiatan merdeka berarti perbuatan manusia yang merubah dunia dan
nasibnya sendiri (13:11). Jadi sekalipun terdapat keharusan universal atau
takdir manusia dengan haknya untuk berikhtiar mempunyai peranan aktif dan
menentukan bagi dunia dan dirinya sendiri.
Kita harus percaya adanya takdir.
Namun, manusia, jelas Cak Nur dalam NDP, tidak dapat berbicara mengenai takdir
suatu kejadian sebelum kejadian itu menjadi kenyataan. Apa hikmah kita
mempercayai takdir? Percaya pada takdir akan membawa keseimbangan jiwa dan
ketenangan hidup.
Percaya pada takdir adalah salah
satu dari rukun iman yang harus kita yakini.[7] Percaya pada takdir, lanjut Cak Nur,
membuat kita tidak terlalu berputus asa karena suatu kegagalan dan tidak perlu
membanggakan diri karena suatu kemujuran.[8]
“Sebab, segala sesuatu tidak hanya tergantung pada manusia sendiri, melainkan
juga kepada keharusan yang universal itu[9],”
jelas Cak Nur.
[1] Rasulullah mengatakan, bahwa dunia ini adalah sawah
ladangnya akhirat. Dalam artian, apa yang kita tanam di dunia, itulah yang kita
petik di akhirat. Jadi, keliru kalau ada orang yang memisahkan antara urusan
dunia dengan urusan akhirat. Karena apa saja yang kita lakukan di dunia sudah
secara otomatis berkonsekuensi langsung di akhirat. Oleh karena itu, apa pun
yang kita lakukan di dunia bisa bernilai ibadah jika kita berorientasi kepada
Allah atau dalam rangka mencari ridha Allah. Seorang pedagang yang bekerja
dengan jujur, misalnya, sudah berkonsekuensi langsung saat itu juga dalam
bentuk pahala di akhirat. Seorang pegawai negeri, misalnya, yang bekerja dengan
jujur untuk mencari nafkah anak dan istrinya, itu juga sudah bernilai pahala
(ibadah). Jadi, ibadah itu adalah segala bentuk amal perbuatan manusia dalam
rangka mencari ridha Allah. Jangan di anggap urusan kantor itu urusan dunia,
sementara shalat adalah urusan akhirat. Semua yang kita lakukan di dunia
berkonsekuensi langsung di akhirat. Ibadah dibagi dua: yang utama seperti
shalat, puasa, haji, zakat, dsb; sedangkan urusan dunia lainnya juga bernilai
ibadah jika itu dalam rangka mencari ridha Allah. Untuk lebih jelas tentang
hubungan dunia-akhirat, bisa didengar ceramah Buya Hamka.
[2] Bandingkan dengan kata-kata Pramoedya Ananta Toer
dalam novelnya Bukan Pasarmalam. Bahwa hidup ini, kata Pram, tak seperti
pasarmalam di mana orang datang secara bersama-sama dan pulang pun secara
bersama-sama pula. Dalam kehidupan dunia, orang datang secara sendiri-sendiri
dan menghadap Sang Pencipta pun secara sendiri-sendiri pula. Bertanggung jawab
di hadapan Allah pun juga sendiri-sendiri.
[3] “Dan peliharalah
dirimu dari siksaan yang tidak hanya menimpa orang-orang yang zalim saja di
antara kamu. Ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksa-Nya.” (Qs.
Al-Anfal/8:25).
[4] “Wahai manusia!
Bertakwalah kepada Tuhanmu dan takutlah pada hari yang (ketika itu) seorang
bapak tidak dapat menolong anaknya, dan seorang anak tidak dapat (pula)
menolong bapaknya sedikit pun. Sungguh, janji Allah pasti benar, maka janganlah
sekali-kali kamu teperdaya oleh kehidupan dunia, dan jangan sampai kamu
teperdaya oleh penipu dalam (menaati) Allah.” (Qs. Luqman/31:33)
[5] “Setiap bencana
yang menimpa di bumi dan yang menimpa dirimu sendiri, semuanya telah tertulis
dalam Kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami mewujudkannya. Sungguh, yang demikian
itu mudah bagi Allah.” (Qs. Al-Hadid/57:22). Salah satu contoh keharusan
universal yang tidak tunduk pada kemauan manusia, misalnya, manusia tidak bisa
memilih untuk dilahirkan di negara mana, dari suku apa, dari Rahim siapa, dan
lain sebagainya. Contoh lain, manusia dalam detik yang sama tidak bisa berada
pada dua tempat yang berbeda. Dan masih banyak contoh lain.
[6] Bandingkan dengan pemahaman tentang Allah dan manusia
dalam aliran Jabariah. Tentang ini, silahkan baca literatur-literatur Ilmu
Kalam, terutama tentang aliran-aliran dalam Islam, seperti Jabariah, Qadariah,
Asy’ariyah, dll. Dan perlu dipahami, perdebatan tentang kebebasan manusia dan
takdir bukan baru muncul saat ini. Persoalan itu sudah diperdebatkan dari
beberapa abad yang lalu.
[7] Lihat 6 rukun iman.
[8] Bandingkan dengan Qarun yang sombong dan merasa
mendapat kekayaan karena kehebatannya sendiri bukan karena karunia Allah. Lihat
cerita Qarun dalam Al Qur’an.
[9] “Agar kamu tidak
bersedih hati terhadap apa yang luput dari kamu, dan jangan pula terlalu
gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai
setiap orang yang sombong dan membanggakan diri.” (Qs. Al -Hadid/57:23).
0 komentar:
Posting Komentar