alt/text gambar

Rabu, 24 April 2024

Topik Pilihan: ,

Seputar Habermas

TINDAKAN KOMUNIKATIF DALAM MODERNITAS


"Habermas tetap mempertahankan bahwa patologi modernitas tidak dapat diatasi dengan meninggalkan modernitas, melainkan dengan pencerahan terus-menerus dalam paradigma tindakan komunikatif atau intersubjektivitas. Modernisasi di hadapan Habermas adalah sebuah proyek yang belum selesai dan sekarang harus dilanjutkan dengan kritik terus-menerus terhadap segala manifestasi rasio yang berpusat pada subjek dengan tindakan komunikatif." (F. Budi Hardiman, Melampaui Positivisme, h. 163).
HABERMAS: KOMUNIKASI, KRITIK, KONSENSUS, DAN DISENSUS
"Praksis kehidupan bermasyarakat adalah komunikasi. Dan praksis ini dalam modernitas sudah berkembang menjadi argumentasi, baik dalam bentuk diskursus maupun kritik. Setiap bentuk komunikasi memiliki intensi untuk mencapai konsensus yang tidak dipaksakan. Meski demikian, Habermas memberi kemungkinan untuk 'disensus'. Jadi, sementara diskursus adalah bentuk argumentasi yang mungkin untuk mencapai konsensus, kritik muncul kalau konsensus tak mungkin dicapai ataupun terganggu." (F. Budi Hardiman, Melampaui Positivisme, h. 163)

RASIONALITAS KOGNITIF-INSTRUMENTAL
Rasionalitas instrumentaI ialah mencontoh sikap ilmu-ilmu alam dalam menghadapi objeknya. Lawan dari 'rasionalitas instrumental' adalah 'rasionalitas komunikatif'. Rasionalitas instrumental ini dalam paradigma metode-metode ilmu-ilmu alam. Sedangkan rasionalitas komunikatif diinginkan oleh Habermas dalam paradigma metode untuk ilmu-ilmu sosial (lebih jelas, lihat F. Budi Hardiman, Melampaui Positivisme, h. 167)

MITOS DAN LOGOS
"Mitos dan Logos adalah dua saudara kandung yang sebenarnya memiliki musuh bersama, yaitu Khaos atau kekacaubalauan. Manusia tidak tahan hidup dalam sebuah dunia yang tidak mampu memberikan jawaban atas 'mengapa'-nya kehidupan dan realitas, dan  Mitos adalah kakak kandung Logos yang menyelamatkan manusia dari Khaos. Logos yang datang kemudian tampil lebih maju, menawarkan sebuah Kosmos yang lebih leluasa untuk didiami dan menimbulkan tilikan yang  dapat lebih dimengerti dan diterima. Pertarungan keduanya, dan juga metamorfosis mereka, tergelar dalam satu arena dan satu cerita yang sama: sejarah rasionalisasi." (F. Budi Hardiman, Melampaui Positivisme, h. 172-173).

"Mazhab Frankfurt merintis Teori Kritis dengan maksud meneruskan tradisi ilmiah yang sudah dicapai modernitas tanpa terjerumus dalam determinisme ala ilmu-ilmu alam. Artinya, mereka tetap bergerak dalam tradisi borjuasi yang menjunjung otonomi pribadi dan rasionalitas, namun sudah dimuati dengan kesadaran sosial. Mereka ingin mencapai sebuah cita-cita 'otonomi kolektif', suatu bentuk kebebasan yang disertai rasa tanggung jawab moral universal." ( F. Budi Hardiman, Melampaui Positivisme, h. 154) 


"Rasio teknis bisa digunakan untuk pengelolaan alam, melalui pengembangan ilmu dan teknologi, tetapi tidak bisa digunakan untuk mengelola komunikasi dan pergaulan manusia." --A. Sudiarja, "Tanpa Kemampuan Komunikatif, Masyarakat Hancur", dalam Majalah Basis, No. 11-12, Tahun ke-53, November-Desember 2004, h.46.


"Selama pseudo-komunikasi masih mewarnai praktik sosio-politik dalam masyarakat kita, apalagi jika dibenarkan dengan alasan 'ciri budaya' yang kita warisi, kiranya juga akan sulit menyejajarkan diri dengan bangsa-bangsa demokratis dalam diskursus internasional, sebab demokrasi hanyalah retorika atau kosmetik dan tidak menjadi substansi dunia-kehidupan sehari-hari. Dalam wawasan teori rasionalisasi, kita dapat mempelajari bahwa apa yang disebut sebagai 'integritas nasional' yang begitu dijaga teguh oleh negara kita, tidak identik dengan 'integrasi sistem', melainkan terlebih memuat 'integrasi sosial' atau solidaritas sosial yang hanya dapat dihasilkan lewat komunikasi sejati. Kalau integrasi sistem menjadi begitu dominan, malah terbuka kemungkinan terjadinya 'erosi solidaritas' dari dalam yang tak kurang daripada membusuknya organisme sosial." --F. Budi Hardiman, "Mengatasi Paradoks Modernitas: Habermas dan Rasionalitas Masyarakat, dalam Tim Redaksi Driyarkara (peny), Diskursus Kemasyarakatan dan Kemanusiaan, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993, h.159.


"Kemampuan mengenali adanya krisis itu sendiri sudah merupakan langkah penting untuk membebaskan diri darinya." --F. Budi Hardiman, Melampaui Positivisme, h. 109


I condemn the political parties. Our politicians have long been incapable of aspiring to anything whatsoever other than being re-elected. They have no political substance whatsoever, no convictions; saya mengutuk partai politik. Politisi kita sudah lama tidak mampu bercita-cita apa pun selain terpilih kembali. Mereka tidak punya substansi politik apa pun, tidak punya keyakinan. --Jurgen Habermas, German sociologist and philosopher


Perbedaan Komunikasi dalam kearifan lokal di Nusantara dengan Komunikasi dalam teori Habermas:

Dalam budaya Nusantara komunikasinya--dalam hal klaim kebenaran--bersifat feodalistik, paternalistik, kolektivistik. Sementara dalam teori Habermas bersifat konsensus rasional hasil perdebatan atau diskursus
Lihat https://youtu.be/bvu_kktTyAw (menit 34) 


"Netralitas hukum vis-a-vis keragaman etis internal muncul dari fakta bahwa dalam masyarakat yang kompleks, kewargaan secara keseluruhan tidak dapat disatukan oleh suatu konsensus substantif mengenai nilai-nilai, melainkan hanya oleh suatu konsensus mengenai prosedur untuk pemberlakuan hukum yang legitim dan praktik kekuasaan yang legitim." --Jurgen Habermas


"Dalam tradisi teori politik, kepentingan umum selalu bersifat sementara dan mudah dicurigai sebagai bungkus kehendak sekelompok elite untuk berkuasa." --B. Hari Juliawan, "Ruang Publik Habermas: Solidaritas Tanpa Intimitas", dalam Majalah Basis, 

0 komentar:

Posting Komentar