Alam pikiran modern, sebagaimana dijelaskan A. Sudiarja dalam Majalah Basis, telah menggunakan istilah "teori", "praktik", dan "teknik" dengan pemahaman yang berbeda dari bahasa aslinya, Yunani. Dalam bahasa Yunani, Aristoteles mengartikan "theoria" sebagai pengetahuan yang diarahkan pada hal-hal yang abadi, yang tetap, dan tak berubah, yang bersifat ilahi. Pengetahuan luhur itu dijalankan melalui perenungan atau kontemplasi dan tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan atau kegunaan selain demi pengetahuan itu sendiri. Theoria dapat juga disebut ilmu murni, bagian dari episteme dan tidak diperuntukkan bagi semua orang. Theoria mempunyai sifat pasti dan tak meragukan.
"Praxis" sebaliknya merupakan pengetahuan praktis, untuk bertindak yang benar atau utama. Dalam hal ini, praxis berhubungan dengan situasi kehidupan berubah-ubah, yang tidak tetap dan karenanya juga tidak sampai pada kepastian. Dari penjelasan ini, kata Habermas, Aristoteles mau membedakan dengan tegas antara theoria dan praxis sebagai dua bidang pengetahuan.
Dalam peristilahan modern, sering digabungkan dua kata "teori" dan "praktik", seolah-olah keduanya berhubungan satu sama lain. Teori sering diartikan sebagai prinsip-prinsip atau hukum-hukum yang mempunyai kesatuan logis, yang menjadi dasar operasional ilmu-ilmu modern. Dari sini, praktik lantas diartikan sebagai sisi operasional atau penerapan hukum-hukum atau prinsip-prinsip tersebut dalam kasus konkret. Dengan demikian, setiap ilmu dibayangkan dapat mempunyai dua sisi teoretis dan praktis.
Dalam perkembangan ilmu-ilmu alam, kita mengenal akronim IPTEK yang mempunyai pengertian senada, yang menggabungkan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai satu kesatuan. Memang, dalam pemahaman ini, ilmu pengetahuan mengandung pengertian teoretis, sedangkan teknik merupakan segi penerapannya dalam kehidupan. Dari perkembangan ini, tampak bahwa "theoria" yang semula merupakan pengetahuan luhur pada hal-hal yang abadi diturunkan menjadi pengetahuan tentang hukum-hukum alam, yang meskipun bersifat tetap, tapi berbeda pengertiannya dengan keabadian yang dimaksud Aristoteles.
Sedangkan istilah "teknologi" berasal dari kata Yunani "techne", yang berarti pengetahuan keterampilan untuk membuat atau memproduksi sesuatu. (A. Sudiarja, "Tanpa Kemampuan Komunikatif, Masyarakat Hancur", dalam Majalah Basis, No. 11-12, Tahun ke-53, November-Desember 2004, h.43)
Menurut F Budi Hardiman, kata "theoria" berasal dari tradisi keagamaan kebudayaan Yunani kuno. "Theoros" adalah seorang wakil yang dikirim oleh polis untuk keperluan ritus keagamaan. Dalam perayaan itu, orang ini melakukan "theoria" atau "memandang" ke arah peristiwa sakral yang dipentaskan kembali dan dengan jalan itu ia berpartisipasi di dalamnya.
Melalui teori sekaligus ia mengalami emansipasi dari nafsu-nafsu rendah. Dengan demikian, lanjut Hardiman, dalam pemahaman primitifnya, teori memiliki kekuatan emansipatoris.
Jadi, arti harfiah dari "theoria" adalah "memandang". Dalam pemikiran filosofis, teori berarti "kontemplasi atas kosmos". Para filsuf memandang alam semesta dan menemukan suatu tertib yang tidak berubah-ubah, yaitu 'macrocosmos'. Dengan "memandang" makrokosmos, sang filsuf menyadari adanya gerak alamiah dan nada harmonis yang sama dalam dirinya sendiri. Apa yang dilakukannya adalah menyesuaikan diri dengan tertib alam semesta itu. Tertib harmonis makrokosmos merupakan keadaan yang baik dan pengetahuan akan yang baik itu mendorongnya untuk mewujudkan tertib itu dalam tingkah laku kehidupannya sendiri. Dengan jalan ini, sang filsuf melakukan kegiatan 'mimesis' (meniru). "Kontemplasi atas kosmos", dengan demikian, menjadi tingkah laku praktis melalui kesadaran akan dirinya sebagai mikrokosmos.
Munculnya pemikiran filosofis dalam masyarakat Yunani menimbulkan demitologolisasi pemikiran mitis. Melalui ungkapan filosofis, "teori" mulai dijauhkan dari ritus keagamaan, meskipun arti harfiahnya tetap, yaitu "memandang". Dalam bukunya Kritik Ideologi, Hardiman menelusuri bagaimana pemahaman kata "teori" menurut arti aslinya mengalami pergeseran dalam sejarah pemikiran Barat (F. Budi Hardiman, Kritik Ideologi: Menyingkap Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan Bersama Jurgen Habermas, Yogyakarta: Kanisius, 2009, h.22-23)
Referensi:
A. Sudiarja, "Tanpa Kemampuan Komunikatif, Masyarakat Hancur", dalam Majalah Basis, No. 11-12, Tahun ke-53, November-Desember 2004, h.43)
F. Budi Hardiman, Kritik Ideologi: Menyingkap Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan Bersama Jurgen Habermas, Yogyakarta: Kanisius, 2009, h.22-23)
0 komentar:
Posting Komentar