alt/text gambar

Rabu, 12 Maret 2025

Topik Pilihan: ,

Seni dan Pendangkalannya dalam Masyarakat Kapitalistik-Positivistik


Filsuf Jerman dari Mazhab Frankfurt Theodor W Adorno menolak realisme dalam seni. Realisme menuntut karya seni untuk merepresentasikan realitas apa adanya, menghadirkan kembali dunia seakurat mungkin. Bagi Adorno, realisme atau naturalisme adalah bentuk kemerosotan ke seni pramodern, yakni ketika seni masih dipahami sebagai representasi realitas, sebagaimana dalam alam pikir Yunani. 

Dengan mengutip Schonberg, Adorno mengatakan, “orang melukis lukisan, bukan melukis apa yang direpresentasikan.” Paham realisme atau naturalisme ini, demikian Goenawan Mohamad (GM), sebenarnya berakar dari positivisme, yakni sebuah paham yang didasarkan atas prinsip sains (ilmu alam) yang menganggap bahwa realitas satu-satunya adalah realitas empiris yang dapat diobservasi. 

Padahal, demikian GM mengkritik paham ini, hal-hal yang dapat diobservasi itu tidak ada di sana sungguh-sungguh secara objektif. Sebab apa yang menurut ilmu-ilmu alam itu merupakan realitas objektif sesungguhnya, hingga tingkat tertentu, adalah juga hasil konstruksi subjek, dan konstruksi itulah yang menghasilkan objek-objek yang stabil, sebagaimana kita persepsi. Karena itu, bagi Adorno, realisme sosialis adalah palsu.

Senada dengan Adorno, GM juga menggugat tendensi dalam masyarakat kita untuk mempertanyakan arti atau fungsi praktis karya seni. Karya seni selalu diharapkan memiliki fungsi praktis, seperti alat-alat. Ini tentu adalah ciri masyarakat yang dirasuki oleh kapitalisme yang menilai segala sesuatu cenderung dari fungsi praktisnya. 

Masyarakat demikian adalah masyarakat yang dangkal karena tidak mampu lagi memahami dimensi makna yang lebih dalam, selain apa yang berguna dalam kenyataan empiris-praktis. Adorno juga selalu menggugat mentalitas keberartian karena hal itu dianggap sama dengan sifat eksploitataif modernitas. 

GM mengatakan, dengan mengutip Adorno, bahwa justru fungsi sosial karya seni adalah "tak punya fungsi.” Maksudnya di sini tentu saja bahwa seni tidak berfungsi secara praktis sebagaimana misalnya fungsi ilmu pertukangan, ilmu komputer atau handphone bagi masyarakat. Seni memiliki fungsi yang lain. 

Adorno juga menolak kalau seni dianggap sebagai hiburan. Seni dinikmati bukan demi kesenangan, dan seniman menghasilkan karya seni juga bukan karena kesenangan, melainkan karena dorongan emansipatoris.  (Fitzerald Kennedy Sitorus, "Adornoisme Goenawan Mohamad dalam Filsafat dan Seni: Tentang Pembacaan Dialektika Negatif GM atas Filsafat Dialektika Negatif Adorno", dalam Ayu Utami [ed], Membaca Goenawan Mohamad, Jakarta: Penerbit KPG, 2022 hlm. 280-281).

***

Seni dan filsafat


Theodor Adorno mengatakan bahwa seni membutuhkan filsafat untuk mengungkapkan maksudnya, yakni melalui tafsir yang diberikan filsafat atas karya seni. Tanpa filsafat, maka kebenaran yang diusung karya seni akan tetap tersembunyi. Tentu Adorno tidak memaksudkan bahwa filsafat akan membuat maksud yang hendak disampaikan oleh karya seni(man) menjadi jelas dan terang. Sebab bila ini yang terjadi maka itu akan menghasilkan identitas dengan karya seni, dan sesuai dengan filsafat non-identitas, itu tidak mungkin. 

Kontribusi yang dapat diberikan oleh filsafat terhadap karya seni adalah bahwa filsafat membantu karya seni untuk mengatakan apa yang tidak dikatakannya. Filsafat mencoba menjelaskan maksud yang hendak disampaikan karya seni. “Untuk alasan inilah maka seni membutuhkan filsafat, yakni untuk menafsirkan agar seni mengatakan apa yang tidak dapat dikatakannya, karena seni hanya dapat mengatakan sesuatu dengan cara tidak mengatakannya.” 

Tentu bila seni mengatakan dengan jelas apa yang dimaksudkannya maka, dari segi hakikat, dia telah berhenti menjadi seni; dia mungkin menjadi sebuah traktat filsafat dengan kebenaran-kebenaran proposisional.
Jadi, dalam pandangan Adorno, filsafat adalah juru bicara, penerjemah dan penafsir seni. Filsafat membuat seni berbicara. Filsafat dan seni bertemu dalam isi kebenaran mereka.

 "Tugas estetika bukanlah untuk memahami karya seni sebagai objek hermeneutik; dalam situasi kontemporer, ketidakmungkinan untuk memahami karya seni itulah yang perlu dipahami," tulis Adorno. (Fitzerald Kennedy Sitorus, Ibid., hlm. 286-287


0 komentar:

Posting Komentar