alt/text gambar

Kamis, 25 Juli 2024

Topik Pilihan:

“DE-JAWANISASI” POLITIK INDONESIA (Bagian Pertama)

Oleh: Sindhunata


Tanggal 28 Desember 1930 – 2 Januari 1931 diadakan Kongres “Indonesia Moeda” yang pertama di Solo. Dalam kongres tersebut terjadi perdebatan di sekitar soal peradaban dan kebudayaan Indonesia. Sementara peserta berpendapat, peradaban Indonesia sejauh dimengerti sebagai “kesatuan kultural” tidak pernah ada. 

Mr RT Wongsonegoro Djaksodipoero dari Jong Java membantah pendapat tersebut. Pada hematnya, Indonesia dapat membentuk kesatuan kebudayaan, betapa pun ada perbedaan –perbedaan di dalamnya. Ia juga mengemukakan, nasionalisme Indonesia bukanlah tujuan akhir dari suatu proses evolusi, nasionalisme adalah sarana untuk sampai pada tujuan akhir yang sejati, yakni kemanusiaan sendiri (J Th Petrus Blumberger 1987)

Sayang, cita-cita di atas belum pernah tercapai dalam sejarah Indonesia. Bung Karno malah memelesetkan nasionalisme menjadi tujuan pada dirinya sendiri. Nasionalisme menjadi proyek kebanggan politik semata-mata. Ketika ia harus memeras Pancasila menjadi satu-satunya sila, bukan kemanusiaan yang disarikannya melainkan gotong royong. 

Kemanusiaan itu universal, gotong royong itu Jawa. Epistemologi Bung Karno sangatlah Jawa, demikian pula tak kalah Jawanya, adalah penerusnya, Soeharto. Kejawaan memang telah mendominasi politik Indonesia lebih dari lima puluh tahun lamanya. Sekarang dominasi iru mulai digugat. Orang Jawa dikesankan imperialis dan intervensionis. Politik Orde Baru adalah politik Jawa, yang tertutup dan sentralistik. Jawananisasi kehidupan politik itu kelihat memendam bom waktu. Kini mulai muncul gejala anti-Jawa. Celakanya, gejala ini muncul berbarengan dengan bahaya perpecahan di tingkat elite, sehingga tak mustahil sekelompok elite politik memanfaatkan sentimen anti-Jawa untuk manuver politiknya. 

Bagaimana gejala di atas mesti dicermati? Tulisan singkat berikut ini tak bermaksud mengadakan analisis contoh-contoh peristiwa. Tulisan ini mencoba memahami tuduhan dan prasangka negatif terhadap kejawaan, sejauh menyangkut kekuasaan dan kehidupan sosial, lalu memeriksanya, apakah paham dan kebudayaan Jawa sendiri memang potensial untuk menyebabkan prasangka-prasangka itu. 

Pengagung-agungan kekuasaan

Untuk mengetahui konsep kekuasaan Jawa, perlu diteliti filsafat sejarah apa yang mendasari penulisan-penulisan historiogarfi Jawa. Studi C Berg pernah menarik suatu kesimpulan keras, bahwa penulisan sejarah Jawa itu tidak didasarkan pada realitas sejarah sendiri, melainkan pada pola-pola mitos. Akibatnya, faktisitas sejarah sulit dicek kebenarannya. Lebih tepat adalah bertanya, bagaimana genesis dari delusi dalam historiografi Jawa. 

Contoh yang dikemukakan Berg adalh penulisan tentang Ken Angrok, sebagai leluhur Wisnuwardhana dalam buku Nagarakrtgama. Keng Angrok atau Ranggah Rajasa adalah raja Singosari, yang diperkirakan memerintah dari tahun 1222-1227, disusul anaknya Anusapati atau Nusapati pada tahun 1227-1248. Anehnya, kedua nama tesebut tidak pernah tersebut dalam prasasti-prasasti. Menurut prasasti-prasasti, raja pertama Singosari adalah Jayawisnuwardhana, yang baik dalam Pararaton maupun Nagarakrtgama, disebutkan sebagai cucu Angrok atau Rajasa. Toh Prapanca, pengarang Nagarakrtgama itu memasukkan Ken Angrok dalam penuturan sejarahnya. 

Menurut Berg, asal usul Angrok, yang sangat sulit dibuktikan dari kenyataan itu, berkaitan dengan mitos Mpu Sindok , yang dianggap leluhur Erlangga. Dengan demikian Angrok mempunyai legitimasi mistis. Angrok sendiri dianggap sebagai titisan Batara Guru, yang mempunyai dua istri, Uma dan Durga. Dengan meletakkan Wisnuwardhana dalam deretan leluhur yang punya keilahian ini, maka Prapanca juga memberi Wisnuwardhana watak keilahiannya. 

Cara penulisan adalah khas sejarah Jawa. Historiografi gaya Prapanca itu dengan mudah dapat dijumpai dalam komposisi Babad Tanah Jawi. Jelas sejarah Mataram pun mengikuti pola historiografi itu. Genealogi Sultan Agung dibuat sedemikian rupa, sampai ia dapat dikembalikan kepada Nabi Adam. Penulis Babad ingin memberi legitimasi mitis bagi Sultan Agung dengan cara seperti Prapanca itu. Maka diciptakanlah Senapati sebagai kakek leluhur Sultan Agung, seperti Angrok adalah kakek dari Wisnuwardhana. 

Konsep pembesaran mitis semacam itu juga dikenakan geografi kerajaan Majapahit. Secara aktual, Majapahit mungkin hanya meliputi Jawa, Bali dan Madura. Tetapi di samping itu ada the empire of the myth of Great Majapahit. Sulitlah kita membuktikan adanya “kewilayahan politik” kerajaan Majapahit. Yang ada adalah pembesar-besaran wilayah mitis. Yak terakhir ini tak menarik untuk studi sejarah empiris dalam arti sempit, tetapi merupakan bahan yang sangat menarik bagi studi sejarah kultural, khususnya untuk mengamati konsep kekuasaan Jawa sendiri. 

Konsep historiografi macam ini mirip dengan konsep filsafat sejarah Yunani di zaman Herodotus (484-420) dan Thukydides (465-395). Kendati sudah mengupayakan suatu “sekularisasi sejarah”, konsep sejarah Herodotus dan Thukydides masihlah menganut motif sejarah mitologis, yakni motif “mengenangkan” dan “mengagungkan”. Dengan motif itu, manusia yang fana ditinggikan sedemikian rupa, sehingga melebihi kemanusiaannya. 

Motif mengenang dan mengagungkan itu jelas-jelas juga menjadi motif penulisan sejarah Jawa, dari periode Jawa Kuno sampai penulisan model babad di zaman Mataram. Pemberian watak dan kualitas mitologis pada tokoh-tokoh sejarah, seperti Jayabaya dan Wisnuwardhana, atau Senapati dan Sultan Agung bertujuan semata-mata untuk memberi keagungan dan kebesaran pada tokoh-tokoh itu serta tindakannya. 

Nasionalisme mitis

Konsep penulisan sejarah macam itu berlanjut sampai ke zaman Indonesia modern ini. Contoh menarik adalah penulisan sejarah Prof H Muhammad Yamin, misalnya “Gadjah Mada, Tokoh Persatuan Nusantara” (1945) dan “6000 Tahun Sang Merah Putih” (1958). Dalam rangka memperingati 30 tahun Sumpah Pemuda, Yamin menguraikan bahwa Sang Merah Putih itu sudah ada sejak zaman prasejarah, merah putih ada dalam kakawin-kakawin dan kidung-kidung. Jauh sebelum Negara Indonesia diproklamirkan, merah putih telah menjadi warna, umbul-umbul atau piagam dalam kerajaan-kerajaan Singosari, Majapahit, dan Mataram. Indonesia sendiri adalah Nusa Emas dan Perak, yang identik dengan Kepulauan Merah-Putih, seperti dituturkan dalam syair Ramayana karangan pujangga Walmiki. 

Dalam perjuangan kemerdekaan, Soekarno sendiri dengan gigih mengembalikan zaman keemasan Majapahit ke zaman sekarang. Dalam de propaganda-vergadering PNI di Batavia, Soekarno menegaskan tidaklah benar, bahwa kedatangan orang-orang Eropa telah memperbaiki peradaban dan ekonomi Indonesia. Jauh sebelum kedatangan orang Eropa, Indonesia di zaman Majapahit telah menapaki peradaban yang tinggi. 

Soekarno memang sangat obsesif akan zaman keemasan Majapahit. Sementara, seperti pernah dikatakan sejarawan babad Peter Carey pada penulis, Soeharto sangat obsesif pada kekuatan dan kegagalan Mataram, lebih-lebih zaman Sultan Agung dengan konsolidasi tentaranya. Terjadi siklus mitis baru, seperti Wisnuwardhana mengaitkan diri dengan Angrok yang punya kekuatan mitis Mpu Sindok, Soekarno mengaitkan diri dan visinya dengan zaman keemasan Majapahit. Dan seperti Sultan Agung mengaitkan diri dengan Senapati, Soeharto mengaitkan dirinya dengan zaman kegagahan Mataram. 

Motif penulisan sejarah yang menjurus mitologis ini secara mencolok hidup kembali dalam historiografi peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta. Sekarang mulai muncul keraguan banyak sejarawan tentang kebenaran historiografi itu. Banyak diskusi-diskusi menunjukkan bahwa histroriografi Serangan Umum 1 Maret bersumberkan pada subyektivitas Orde Baru untuk mengetengahkan kehebatan Soeharto secara berlebih-lebihan. Pengagung-agungan tokoh Soeharto hampir meniadakan peran tokoh-tokoh lainnya. Ini menunjukkan, bahwa sejarah telah ditempatkan di bawah bayang-bayang kekuasaan Soeharto. Bagaimana sejarah dapat dimitologisasikan sebegitu jauh? Alasan represi Orde Baru kiranya tidak memadai untuk menjawab pertanyaan itu. Mentalitas histroriografi kitalah yang membuat kita tidak kritis terhadap histroriografi yang manipulatif itu. 

Banyak hal perlu dikaji ulang, jika kita hendak mendudukkan kebenaran empiris dalam penulisan dam pemahaman sejarah kita, termasuk di dalamnya adalah konsep nasionalisme. Apakah nasionalisme kita bukan suatu mistifikasi, akibat pengagung-agungan peristiwa masa lampau yang kebenarannya sulit dibuktikan? Apakah nasionalisme kita kuat atau rapuh terletak pada jawaban atas pertanyaan itu. 

Jelas, nasionalisme akan sangat rapuh, jika ia hanyalah hasil mistifikasi sejarah. Menurut sejarawan terkenal dunia, Eric J Hobsbawn, nasionalisme adalah pengertian yang sama sekali baru dalam sejarah dunia. Sebagai program bernegara, nasionalisme itu tak pernah terjadi sebelum abad ke sembilan belas. Pada zaman sebelum abad sembilan belas itu, tidaklah realistis membentuk suatu negara nasional yang homogen. Karena itu adalah keajaiban sejarah, bahwa Indonesia dengan keragaman yang luar biasa ini dapat menjadi sebuah negara nasional. 

Namun, keajaiban itu akan buyar bagaikan mimpi, jika nasionalisme hanya kita pertahankan dengan mitos-mitos lama, yang secara historis tak pernah ada. Nasionalisme itu harus kita kerjakan, dan mengingat nasionalisme berada di tanah yang demikian pluralistis, maka tak ada lain untuk mengerjakannya kecuali lewat demokrasi. Upaya ini pun harus diberi orientasi baru, yakni bahwa nasionalisme bukanlah tujuan pada dirinya sendiri, melainkan sarana untuk mencapai kemanusiaan bagi setiap warga negara. 

Negara kekuasaan

Erat dengan konsep nasionalisme yang berbau mitis itu adalah konsep negara dalam paham Jawa. Para pakar seperti Benedict Anderson (1972), Soemarsaid Moertono (1968), dan Clifford Geertz (1980) sepakat, bahwa dalam paham Jawa, negara tidak ditentukan oleh perimeternya, tetapi oleh pusatnya. Wilayah dikontrol oleh pusat. Kekuasaan pusat mengalir dalam gelombang fluidum ke periferi. Makin kekuasaan pusat itu sakti dan berkarisma, makin ia bisa menguasai wilayahnya. Negara yang kuat, adalah negara yang padang obore, artinya kekuasaan di pusat memancarkan sinarnya sampai jauh ke luar. Dalam konsep negara demikian, kesatuan pertama-tama tidak dimengerti sebagai keastuan wilayah politis, tetapi sebagai pancaran kesaktian dari penguasa di pusat. Maka penguasa sangat berkepentingan untuk mempersatukan negara, hanya dengan demikian ia tidak kehilangan kesaktiannya dan dapat menunjukkan dirinya sakti. 

Menurut Anderson, paham kekuasaan Jawa sangat gandrung dengan kesatuan itu. Karena itu, perlawanan terhadap Republik Indonesia Serikat (1949-1950), bukanlah semata-mata kecurigaan, bahwa negara-negara diperalat oleh Belanda untuk dijadikan boneka-bonekanya, melainkan karena perasaan, bahwa bersatu itu sakti, dan bermacam-macam berarti perpecahan dan kelemahan. Soekarno sendiri di satu pihak selalu khawatir akan banyaknya partai. Di lain pihak, ia mau merengkuh semua partai. Akhirnya ia sendiri kehilangan kesabaran dengan segala proses demokratis lewat partai-partai setelah Pemilu 1955. Ia mencetuskan Demokrasi Terpimpin. Kesatuan yang mitis dan sakti itu dimasukkan ke dalam konsep demokrasi. Campuran ini dianggap sah, karena kemanunggalan lebih penting daripada demokrasi. 

Rezim Soeharto sama saja. Konsep yang melatarbelakangi Demokrasi Pancasila tak ubahnya dengan konsep yang melatarbelakangi Demokrasi Terpimpin. Kesatuan Nasional itu suci tak boleh diganggugugat. Maka Pancasila pun harus ditafsirkan secara tunggal. Dan untuk memelihara kesatuan diciptakanlah kategori-kategori yang mirip kategori-kategori ritual-religius, yakni SARA. Siapa melanggar SARA, ia tidak hanya bersalah tetapi berdosa. SARA menjadi institusi yang demikian otonom dan otoriter, karena SARA adalah hamba bagi kesatuan yang suci dan sakti. Orba juga menciptakan birokrasi penjamin kesatuan itu, yakni Golkar. 

Kesatuan mitis yang kejawen itu pula kiranya yang mendasari staatside integralistik yang dikemukakan Prof Dr Soepomo. Itu sangat jelas terbaca dalam kata-kata Soepomo pada sidang BPUPKI, 31 Mei 1945: ... Semangat kebatinan, struktur kerohanian dari bangsa Indonesia bersifat dan bercita-cita persatuan hidup, persatuan kawulo dan gusti, yaitu persatuan antara dunia luar dan dunia batin, antara mikrokosmos dan makrokosmos, antara rakyat dan pemimpin-pemimpinnya. Segala manusia sebagai seseorang, golongan manusia dalam sesuatu masyarakat dan golongan-golongan lain dari masyarakat itu dan tiap-tiap masyarakat dalam pergaulan hidup di dunia seluruhnya dianggapnya mempunyai tempat dan kewajiban hidup (dharma) sendiri-sendiri menurut kodrat alam dan segala-galanya, ditujukan kepada kesemibangan lahir batin. Manusia sebagai seseorang tidak terpisah dari seseorang lain atau dari dunia luar, golongan-golongan manusia, malah segala golongan makhluk, segala sesuatu bercampur baur, bersangkut paut. Inilah ide totaliter, ide integralistik dari bangsa Indonesia ... (Kutipan Soepomo, dlm Adnan Buyung Nasution, 1999, 69-70). 

Adnan Buyung Nasution menyebutkan, konsep negara integral itulah sumber dari totaliterisme dalam UUD ’45, yang kemudian memberi perspektif totaliter pula bagi kekuasaan presiden. Nasution menunjukkan betapa kelompok Jawa sangat dominan dalam proses penyusunan UUD ’45. Soepomo sendiri adalah Ketua Panita Kecil Perancang UUD. Anggotanya antara lain adalah Prof Achmad Soebardjo. Sementara di BPUPKI duduk banyak priyayi Jawa, seperti KRT Radjiman Wediodiningrat, RP Soeroso, KRMT Wongsonegoro, R Soekardjo, R Sastromoeljo, KRM Sosrodiningrat. Mereka semua adalah pendukung Soepomo. UUD ’45 kita sebenarnya sangatlah njawani, khususnya dalam hal memberi kekuasaan yang demikian besar pada presiden. Presiden kita bagaikan raja Jawa, yang sakti, memancarkan kekuasaan dari pusat, dan kekuasaan itu harus meliputi seluruh wilayah Nusantara. 


Sindhunata, Pemimpin Redaksi Majalah Basis. Tulisan ini disunting dari makalah penulis untu diskusi “Prasangka Jawa-Non Jawa dalam Politik dan Kebudayaan Indonesia”, yang diselenggaraka Institut Studi Arus Infromasi di Jakarta.

Sumber: Kompas, 22 Juli 1999

0 komentar:

Posting Komentar