Oleh: A. Sudiarja
Pada suatu hari di awal Januari
1889, Nietzsche yang pada waktu itu berada di Torino, Italia melihat seorang
sais memukul kudanya. Ia berlari ke arah tempat itu dan jatuh pingsan dengan
kedua belah tangannya merangkul leher sang kuda. Kemudian ia diangkat ke tempat
kediamannya dan setelah siuman menulis beberapa surat dengan isi yang amat
aneh. Itulah awal Nietzsche mengalami gangguan jiwa. Ibunya kemudian merawatnya
untuk beberapa lama. Setelah ibunya meninggal, saudarinya membawanya ke Weimar
dan mengambil alih perawatan itu. Pada tanggal 25 Agustus 1900, filsuf yang
memaklumkan "kematian Allah" itu meninggal dunia dalam usia 56 tahun,
setelah menjalani hidup yang berat dan sepi.[1]
Itulah akhir hidup yang tragis
dari perjalanan hidup Nietzsche. Namun Nietzsche tidak hanya
"menjalani" hidup yang pahit, melainkan "menghayati"-nya.
Ini tercermin tidak saja dalam karangan-karangannya melainkan dari
surat-suratnya juga. Pengalaman yang paling memukul adalah perpisahan yang
beruntun dengan rekan-rekannya yang dekat karena berlainan paham.[2]
Nietzsche menganggap bahwa mereka
tidak bisa memahami pemikirannya. Tambahan lagi kesehatannya memburuk setelah
ia meninggalkan masa profesoratnya di Basel. Ia menderita terutama pada mata
dan perutnya. Namun cara hidupnya yang suka bentrok dan lebih baik berpisah
dari orang lain demi pendiriannya itu sudah diyakininya sebagai jalan ke arah
kebenaran. Banyak orang menyayangkan, terutama ibunya, kelepasan Nietzsche dari
masa sukses sebagai profesor di Basel yang hanya berlangsung setahun.
Kalau Nietzsche sulit dipahami,
itu benar. Banyak orang mengagumi karangan-karangan Nietzsche sebagai karya
sastra yang bermutu dan memikat. Namun dengan gaya bahasa yang simbolis dan
penuh provokasi tersebut keseluruhan maksud filosofisnya menjadi sulit
ditangkap. Jaspers menyebut filsafat Nietzsche "self-contradictory".
Beberapa kali Nietzsche menggunakan istilah tidak secara konsisten serta amat
tergantung pada konteks, bahkan tidak jarang pemakaian yang satu bertentangan
dengan pemakaiannya dalam konteks yang lain.[3]
Tentulah kesulitan ini dapat
dilacak dari sikap Nietzsche sendiri terhadap peran akal budi dan filsafat.
Nietzsche yakin bahwa filsafat dengan perangkat akal budinya tidak menunjukkan
keadaan manusia yang sebenarnya. Akal budi manusia dianggap sebagai dalih yang
kuat untuk melarikan diri dari kenyataan hidup yang pahit. Nietzsche dengan
demikian, menurut Ricoeur, termasuk di antara apa yang disebutnya sebagai
"pengajar-pengajar kecurigaan" (Maitres de Soupcon), yang
mencurigai kesadaran akal budi mau menandaskan adanya dasar yang lebih dalam
lagi.[4]
Sikap Nietzsche terhadap filsafat
merupakan salah satu pokok yang menarik juga untuk dibahas, namun di sini kami
hanya bermaksud merumuskan beberapa pokok dari anggapan ateismenya, yang tak
ayal merupakan hal yang penting untuk mengetahui konteks pemikiran Nietzsche,
dan mengkajinya seberapa dapat dari sudut religius.
A. Anggapan ateisme Nietzsche
1. Kematian Allah
Sulit untuk diketahui dengan
pasti kapan Nietzsche mulai mendapat gagasan untuk melancarkan kritik terhadap
teisme. Yang jelas ketika masih berusia 21 tahun, sebagai murid profesor
Ritschl di Leipzig, ia sudah meninggalkan agamanya. Pada saat itu juga
menemukan buku Schopenhauer The Word as Will and Idea yang sangat
memikatnya. Dari buku Nietzsche yang pertama The Birth of the Tragedy out of
the Spirit of Music yang terbit pada 1872, pengaruh Schopenhauer masih
dapat dirasakan. Meskipun dalam buku itu sama sekali belum termuat tema
ateistis, namun kritiknya terhadap tradisi metafisis yang dimulai oleh Socrates
menunjukkan betapa ia membenci cara hidup yang mau mencari keselarasan dan
ketenangan batin. Pada pokok inilah Nietzsche berlainan pendapat dengan
Schopenhauer yang menganut jalan asketisme Timur. Kalau hakikat hidup adalah
kehendak, maka sikap kita haruslah berani untuk menerimanya dan bukan
menolaknya. Demikian anggapan Nietzsche.
Jika Nietzsche tidak percaya pada
Allah, itu disebabkan karena kepercayaan baginya menunjukkan sikap yang lemah,
yang segan mengejar kebenaran sampai tuntas. Kepercayaan tidak menunjukkan
kehendak yang kuat yang pantang menyerah kendati berbagai kesulitan yang ada,
serta hanya akan mengarahkan pada hidup yang mandek, setelah mencapai
ketenangan jiwa.[5] Dengan
demikian, nampaklah bahwa ateisme Nietzsche semula bersembunyi di balik
penghargaannya akan kehendak yang kokoh, penghargaan akan dorongan hidup yang
asli, yakni hidup yang meriah dan bebas seperti ditampakkan dalam pesta
pemujaan dewa Dyonisius. Hidup yang tenang pada hakikatnya bukan hidup lagi.
Baru dalam perkembangan
berikutnya, Nietzsche secara terang-terangan memaklumkan ateismenya.
"Tuhan sudah mati, kitalah yang membunuhnya."[6]
Dengan maklumat ini, Nietzsche menyerang secara langsung segala anggapan yang
mengakui kekuatan supernatural. Ia tidak mengatakan bahwa adanya Allah tidak
mungkin dibuktikan, melainkan bahwa kesadaran manusia sudah sedemikian dirasuk
oleh agama Kristen sehingga tak dapat lepas dari anggapan akan adanya Allah.
Kesadaran manusia, dengan demikian, tidak asli lagi, melainkan menjadi semacam
"topeng" yang pada suatu saat mesti dibuka.
Bahwa kepercayaan akan Allah yang
dibina oleh agama Kristen itu sedemikian berakar dapat dilihat dari sejarah
filsafat di Eropa. Dalam anggapan Nietzsche, filsafat belum benar-benar
merdeka, masih dirembesi oleh teologi. Hal ini masih kentara, pun sesudah abad
pertengahan, ketika orang sudah menolak peran filsafat sebagai sekedar "ancilla"
(abdi) teologi. Rasionalisme Descartes misalnya yang dengan meragukan seluruh
realitas bermaksud mendapatkan kepastian yang kokoh, pada akhirnya menyerah
pada ide bawaan dan adanya Allah sebagai postulat yang harus diterima dan Hegel
mengakui perkembangan dialektis dari apa yang disebutnya "Roh
Absolut". Meskipun iman tidak lagi disebut-sebut dalam rangka pembicaraan
filsafat, namun sikap-sikap teologis dari para filsuf itu masih juga
terwariskan.
Bagi Nietzsche dengan kematian
Allah ditutuplah sudah segala kemungkinan perlindungan dari kekuasaan
supernatural. Manusia menjadi bebas, tetapi di lain pihak kehilangan arah.
Tepatnya, terbukalah kini bagi manusia kesempatan yang seluas-luasnya untuk
menentukan dirinya. Di hadapannya terbentang tanah kosong, suatu daerah yang
tak bertuan, yang belum pernah dijamah. Dengan demikian sampailah kita pada
nihilisme yang dipeluk Nietzsche.
2. Anti Kristus — Anti Moral
Kalau Allah sudah mati, maka yang
dimaksud Nietzsche terutama adalah Allah orang Kristen, baru kemudian
allah-allah lainnya. Bahwa Nietzsche amat anti kepada Kristus dan lebih-lebih
pada kristianisme dengan segera bisa dilihat. Dalam bukunya The Antichrist
(1888), Nietzsche melontarkan berbagai kritik yang pedas pada kristianisme.
Pada akhir buku itu ia menyatakan segala kutukan yang belum pernah dilontarkan
oleh lawan-lawan kristiani yang lain.
Kenapa Nietzsche sedemikian
membenci kristianisme? Karena bagi Nietzsche, kristianisme merupakan asal mula
kebobrokan kebudayaan Eropa. Kristianisme menurut Nietzsche telah menanamkan
suatu jenis kebudayaan yang bertentangan dengan kodrat manusia dan
mempertahankannya hingga berabad-abad. Dengan ajarannya, kristianisme telah
menanamkan keyakinan yang keliru. Keutamaan seperti kerendah-hatian, belas
kasih, altruisme, kesalehan, rela
menderita dan sebagainya yang amat dihargai oleh kristianisme bagi Nietzsche
sebaliknya menjadi sikap-sikap pengecut dan memuakkan karena berlawanan dengan
keunggulan manusia. Karena menerima yang lemah dan sakit-sakitan, yang bodoh
dan penurut, maka kristianisme terjerumus ke dalam kepercayaan yang fatal.
Kristianisme lalu mengharapkan belas kasihan Allah, mengharapkan efektivitas
penebusan dan kurang mempercayai lagi kemampuan dirinya sendiri.
Dengan pemaklumannya akan
kematian Allah dan nihilisme, Nietzsche menghadapi konsekuensi yang sama
seperti ditemukan Dostoevsky.[7]
Dalam novelnya The Brothers Karamazov novelis Rusia ini menaruh
keterkejutannya dalam mulut Ivan: "Kalau Allah tak ada, segalanya menjadi
halal."
Namun Nietzsche agaknya sudah
siap dengan konsekuensi ini. Ia tahu apa arti "segalanya menjadi
halal". Moralitas harus ditumpas. Dia ia memaklumkan diri sebagai
immoralis yang pertama.
Bagi Nietzsche cukup jelas juga
bahwa kristianisme-lah yang menjadi kambing hitam dalam menyebarluaskan
moralitas. Pada anggapan Nietzsche, moralitas tidak jujur karena bermaksud
menjinakkan hidup sebagaimana adanya, yang berarti tidak lain menolak hidup itu
sendiri. Moralitas berusaha mengelabui kenyataan hidup yang memang pahit dan
penuh pertentangan. Karena moralitas tak "meng-iya-kan" hidup ini,
maka Nietzsche lebih suka memilih apa yang dianggap immoral demi menerima hidup
ini dengan hati jujur. Pretensi moral untuk meluruskan hidup bagi Nietzsche
adalah bohong karena tak ada dasar yang bisa menjamin hidup ini selain diri
sendiri.
Meskipun Nietzsche menolak moralitas, namun ia sendiri mengakui bahwa mempunyai moralitas yang jauh lebih keras. Tentu dua hal ini harus dipisahkan dengan tegas. Moralitas yang dicela Nietzsche moralitas yang mau mengatur manusia dalam satu kriteria baik dan buruk, serta menggariskan norma tersebut sebagai mewajibkan untuk semua orang. Pada Nietzsche, moralitas seperti itu tak dapat diterapkan justru karena Nietzsche menganut nihilisme. Kalau ia harus menunjukkan suatu "nilai" yang harus dicapai, maka "nilai" itu harus keluar dari disiplin pribadi, bukan seperti yang diakui oleh banyak orang. Itulah yang dimaksud "moral tuan" (Herren Moral). Orang yang demikian sungguh-sungguh menjadi tuan karena menciptakan sendiri nilai-nilai untuk dirinya sendiri. "Moral kawanan" (Herden Moral) sebaliknya seperti diajarkan kristianisme, adalah moral yang menggiring orang-orang menjadi satu kawanan yang seragam, yaitu dengan menaruhkan moral yang sama pada setiap kepala. Dengan "moral tuan" itu Nietzsche menganggap dirinya sudah berada di seberang "moral kawanan".
Jelaslah Nietzsche tak hanya
menolak moral Kristen, tapi menjungkirbalikkan seluruh tatanan moral etis.
Penilaian "baik dan buruk" secara moral tak berlaku lagi, digantikan
dengan penilaian "unggul dan hina". Yang hina harus lenyap, demikian
alasan Nietzsche untuk mencintai manusia. Moralitas dapat dibenarkan hanya bila
mendukung keunggulan dan mengangkat derajat manusia. Karena nilai-nilai moral
etis sudah tak berlaku lagi bagi Nietzsche, maka nilai-nilai baru mesti
diciptakan. Karena itu Nietzsche mengajukan peneraan kembali semua nilai (Revaluation
of all values).[8]
3. Manusia tanpa Allah[9]
Nietzsche pernah berkata,
"Andai kata ada Allah, aku tak tahan untuk tidak menjadi Allah."
Dengan kata lain, Nietzsche tak mau menerima adanya kenyataan yang lebih
berkuasa dari dirinya, sehingga padanya ia mesti bergantung. Hidup itu sendiri
merupakan "kehendak untuk berkuasa" (The Will to power).
Karena itu dapat dimaklumi bahwa manusia yang bisa menerima kenyataan ini,
berkehendak untuk menjadi bebas dari kekuasaan lain. Dengan cara inilah
manusia, menurut Nietzsche, sampai pada cita-cita "manusia unggul" (The
Superman).[10]
Dengan kematian Allah, manusia
menjadi bebas, tetapi di lain pihak menjadi amat berat dan berbahaya hidupnya
karena tak lagi mempunyai pegangan yang pasti. Satu-satunya pegangan ialah
kemampuan dirinya sendiri. Justru di sinilah manusia ditantang: Beranikah ia
hidup sendiri? Apakah ia akan tahan menghadapi frustrasi tanpa menolehkan
pandangannya pada kekuatan lain? Menjadi jelas bahwa tanpa Allah manusia
menjadi amat individual sebab tak ada lagi ikatan bersama. Ia berdiri sendiri
untuk menentukan dirinya sendiri dan karena itu hidupnya akan menjadi sepi. Hal
ini sejajar dengan kenyataan bahwa jika manusia melepaskan diri dari kungkungan
massa demi pendiriannya, maka segala tindakannya akan dicela umum.
Manusia massal yang ikut arus
jaman, mengikuti pola-pola umum yang mengatur mereka adalah hal yang paling
dibenci oleh Nietzsche. Inilah keadaan Eropa waktu itu menurut Nietzsche.
Sehubungan dengan itu, Nietzsche pernah mencita-citakan jenis aristokrasi
Yunani sebagai jenis kepribadian yang unggul yang bisa menghargai kekuatan dan
kecerdikan, kepandaian dan ketampanan, kekuasaan dan keunggulan. Timbulnya
kesadaran akan kesamaan derajat manusia yang dipromosikan oleh agama Kristen
bagi Nietzsche merupakan hambatan yang besar bagi terciptanya "Manusia
Unggul". Tetapi di lain pihak, Nietzsche menyadari bahwa dengan demikian
menjadi syarat agar "manusia unggul" dikehendaki. Sudah dalam abad
itu kemuakan terhadap borjuasi misalnya menjadi tanda yang jelas bagi Nietzsche
akan datangnya pergolakan yang besar, bukan untuk membina "kesejahteraan
manusia", melainkan menurut Nietzsche untuk "keunggulan
manusia".
Dapatkah manusia hidup sendiri
dan tahan mengatasi kesepian? Itulah pertanyaan yang dilontarkan Nietzsche
dalam Thus Spoke Zarathustra. Namun, hanya dalam kesepian yang menggigit,
manusia mendapat tantangan untuk berkreasi dari diri sendiri. Dengan demikian,
kreativitasnya adalah asli. Hanya dengan cara demikian daya cipta manusia boleh
diharapkan menghasilkan sesuatu yang baru. Ia tidak mendapat bantuan dari siapa
pun, tidak juga dari kekuatan yang disebut Allah. Jelaslah individualitas yang
dimaksud Nietzsche bukan terutama suatu usaha mengisolir diri dari masyarakat
melainkan penyadaran akan eksistensinya secara lebih dalam. Kreativitas dengan
demikian menjadi tanda perubahan mentalitas yang sangat berarti dalam diri manusia.
Dengan demikian, baru boleh
diharapkan "Manusia Unggul" dari bumi ini. Manusia tanpa Allah secara
ringkas menjadi manusia pencipta, melewati masa-masa sepi dan berat karena
melepaskan diri dari massa, lepas pula dari segala ikatan terutama moral dan
agama, serta berani menyatakan dengan jujur "kehendak untuk berkuasa"
yang mendorong dirinya ke arah cita-cita "Manusia Unggul".
B. Pengkajian
1. Ateisme Nietzsche
Dari uraian di atas nampaklah
bahwa tidak begitu mudah, kalau tak boleh dikatakan tidak bisa sama sekali,
untuk menarik beberapa aspek religius dalam filsafat Nietzsche. Kritik
Nietzsche benar-benar pedas dan tajam dan lebih dari itu betul-betul
melumpuhkan anggapan-anggapan agama akan Allah dan moralitas. Bagi Nietzsche
tak berlaku lagi jenis-jenis apologi yang pernah diutarakan pada abad
pertengahan ataupun yang diteruskan kemudian untuk melawan ateisme abad 18 yang
berbau positivis dan empiris. Hal itu disebabkan karena eksistensi Allah yang mereka ingkari
adalah Allah metafisis—meminjam istilah Pascal—Allah para filsuf saja.
Dengan nihilisme bukan saja
"Allah para filsuf yang dibunuh melainkan juga Allah Abraham, Ishak,
Yakub", Allah para teolog dan semua Allah yang lain. Dengan demikian,
seluruh sandaran kebenaran dan nilai-nilai menjadi hancur. Tak ada lagi nilai
tertinggi bagi semua orang, tak ada lagi kebenaran mutlak. Hal ini tidak saja
berlaku bagi agama tetapi juga berbagai macam ajaran dan ideologi lain yang mau
menggantikan peran agama.
Kematian Allah karena itu bagi Nietzsche
bukanlah persoalan filosofis lagi, melainkan persoalan kultural. Tak ada
gunanya membicarakan ataupun berargumentasi mengenai ada tidaknya Allah. Kultur
Eropa saat itu telah menunjukkan bahwa manusia mulai meninggalkan perhatiannya
pada iman dan kepercayaan, sadar atau tidak. Karena itu kematian Allah di mulut
Nietzsche adalah ramalan akan datangnya jenis kebudayaan baru tanpa Allah.
2. Beberapa Kesulitan
Meskipun Nietzsche mengritik
habis-habisan agama Kristen dan moralitas serta memaklumkan nihilismenya, namun
cukup jelas bahwa ia bukan seorang anarkis yang merusak begitu saja tanpa ada
usaha untuk membangun sesuatu. Hal ini cukup jelas dalam perhatiannya yang
besar akan makna eksistensi manusia dan usaha mengisi nihilisme yang telah
dipeluknya. Peran Nietzsche untuk abad 19 boleh disamakan dengan peran Rousseau
untuk abad ke-18. Mereka masing-masing mendobrak kebudayaan dan kebobrokan
masyarakat dan mengalirkan angin baru untuk jamannya.[11]
Namun usaha Nietzsche untuk
memerangi pemikiran metafisis yang sudah berkembang sejak Socrates ternyata
tidak mudah. Pada Nietzsche nampak usahanya memulihkan kesatuan primordial
antara pikiran dan kehendak, esensi dan eksistensi, yang universal dan individual,
yang absolut dan yang sementara. Tetapi sesudah perkembangan yang berabad-abad
itu mungkinkah kemenduaan tersebut dapat disatukan lagi? Nampaknya Nietzsche
tidak mampu menyatukan kemenduaan tersebut selain dengan cara membinasakan yang
transenden dan mendasarkan diri melulu pada yang imanen, membebaskan dominasi
pikiran demi kehendak, atau dalam konteks agama "membunuh Allah" dan
"tetap setia pada bumi". Demikian misalnya untuk menjelaskan
keabadian, Nietzsche mengambil gagasan mengenai perulangan kejadian -kejadian
di bumi ini secara tak terbatas (the eternal recurence). Konsep ini
selain menghindari anggapan akan suatu tempat di balik kehidupan ini yang
bersifat kekal dan transenden, juga di lain pihak bersesuaian dengan hukum
kekekalan energi yang berlaku pada ilmu alam.
Kesulitan yang mungkin timbul
juga adalah dalam memahami konsep
"Manusia Unggul" (Superman). Siapakah "Manusia
Unggul" yang dimaksud Nietzsche? Memang konsep ini tidak begitu jelas.
Dalam pengertian Nietzsche, "Manusia Unggul" tentu bukan suatu yang
sudah definitif sebagai ide yang tinggal menunggu pemenuhannya saja, sebab
kalau demikian ia kembali pada moralisme yang sudah ditolaknya, di lain pihak
juga bukan manusia yang akan datang dalam arti evolutif sebab dengan demikian
akan mengingkari peranan kehendak dan kebebasan. "Manusia Unggul"
seolah-olah berdiri antara ramalan dan anjuran Nietzsche, dan ini dapat memberi
kesan optimisme Nietzsche dalam mengisi nihilismenya berupa optimisme
psikologis saja.
3. Dimensi Religius
Sekitar 15 tahun yang lalu di
Eropa orang asyik berbicara mengenai dekadensi moral dan krisis iman. Pada saat
itu orang boleh bertanya apakah ramalan Nietzsche mulai terlaksana? Sekitar
tahun yang sama di Amerika terutama berkembang pula apa yang disebut dengan
"Teologi Allah sudah mati" (God is dead theology). Tema ini cukup
menujukkan betapa pemikiran Nietzsche mulai menggerakkan—kalau tidak boleh
disebut menggoncangkan—kehidupan kristiani. Barangkali di sinilah kalau kita
boleh mengkaji makna religius dalam pemikiran ateisme Nietzsche. Di balik
kritik Nietzsche dan seluruh pendobrakan kulturalnya, terbukalah cakrawala baru
yang belum pernah disentuh agama dan teologi.
Ateisme Nietzsche menurut Paul
Ricoeur, merupakan jembatan yang menghubungkan agama dan iman yang baru, yang
disebutnya iman post-religieuse.[12]
Ateisme merupakan jembatan karena di satu pihak meninggalkan apa yang telah
ditolak, yang tidak lagi bermakna dan di lain pihak mengarah ke depan pada yang
dituju, pada sesuatu yang baru. Namun Ricoeur selanjutnya memperingatkan,
langkah ini tidak boleh disederhanakan dengan membedakan agama dan iman begitu
saja, kemudian dengan memperalat ateisme berusaha berusaha menyelamatkan iman
(sauver la foi). Sikap filsafat—dan bukan teologi—dalam menelaah dialektika
agama, ateisme dan iman ini menurut Ricoeur harus sangat hati-hati, kalau perlu
berani menempuh jalan baru yang belum jelas arahnya.
Kenapa ateisme Nietzsche justru
yang menjadi minat Ricoeur untuk ditelaah? Karena Nietzsche—menurut
Ricoeur—mencipta suatu jenis hermeneutika yang sama sekali tidak terdapat pada
ateis-ateis sebelumnya. Kritik Nietzsche tidaklah ditujukan pada ide tentang
Allah, tetapi pertama-tama pada kondisi kesadaran manusia sebagai representasi
kultural. Sekali lagi sebagai "pengajar kecurigaan", Nietzsche
menganggap kepercayaan akan Allah adalah ilusi yang menopengi sumber yang
sebenarnya yakni "kehendak yang berkuasa". Oleh karena itu, untuk
mencari makna religius yang mungkin terdapat dalam ateisme Nietzsche, tidak bisa
dengan cara langsung menghadapi ide tentang Allah. Ricoeur mencoba
membandingkan sikap Nietzsche dengan kepekaan religius yang paling purba
(archaique) yakni "keinginan akan hukuman" dan "kedambaan akan
perlindungan". Allah dalam pengalaman religius ini adalah Allah yang tidak
hanya menyayangi dan melindungi melainkan juga Allah yang mengadili dan
menghukum, yang marah dan cemburu.
Kritik dan pendobrakan Nietzsche
yang tuntas di satu pihak menunjukkan luapan kemarahan, kutukan, penghukuman
yang keras, tetapi di lain pihak pembebasan, pembukaan jalan baru, kelepasan
dari ikatan moral yang merintangi kreativitas manusia. Bukankah di sini
Nietzsche seolah-olah mengulangi pesan pembebasan bangsa Israel dari Mesir?
Pembebasan Kristus dari hukum Taurat? Tetapi di lain pihak matinya Allah
memberi pengalaman baru, pengalaman tidak adanya Allah, pengalaman akan
kekosongan. Tak ada lagi Allah yang menyayangi manusia. Manusia seolah-olah
dibiarkan dalam keadaan penantian yang amat pekat dan gelap (nuit de
l'entendement). Tidakkah nihilisme Nietzsche di sini boleh disejajarkan
dengan keputus-asaan Ayub yang tidak bisa memahami Allah?
Akan tetapi menurut Ricoeur,
langkah yang diambil Nietzsche masih teralu pagi untuk jaman ini, di mana
kristianisme masih berupa "institusi kultural", filsafat masih di
tengah jalan antara ateisme dan iman, dan nihilisme sendiri belum sampai pada
batasnya. Kesimpulan-kesimpulan yang diambil Nietzsche secara demikian tegas
itu karenanya masih belum sesuai untuk jaman sekarang. Nietzsche lebih berperan
sebagai nabi daripada seorang filsuf.
A. Sudiarja, alumnus
STF Driyarkara (sarjana muda) 1977, dan studi filsafat di Universitas
Gregoriana, Roma 1980. Belajar teologi di Institut Filsafat Teologi, Kentungan,
Yogyakarta. Menulis esai di Majalah Basis
[1]
The Portable Nietzsche, (selected and translated with an introduction
by Walter Kaufmann), Viking Press, New York, 1969 hal. 684.
[2]
Dari antara mereka itu dapat disebut antara lain profesor Ritschl, yang
sebelumnya sangat menyanjungnya sebagai murid yang pandai; Rohde, sahabatnya
sekuliah dan kemudian juga seprofesorat; Wagner, komponis musik yang semula
dikaguminya sebagai pembaharu budaya Jerman, sahabatnya yang paling kental; Lou
Salome, yang untuk beberapa lama menjadi murid setia.
[3] Karl Jaspers mencatat antara lain
istilah-istilah "illusion", "truth", "being",
"people", "will", yang justru sebenarnya merupakan
kata-kata kunci. Dalam hal adanya pertentangan- pertentangan yang menyolok
dalam pemakaian istilah, Jaspers menganjurkan untuk memperhatikan apa yang
kiranya bukan dimaksud Nietzsche dan mencari maksud tersembunyi yang menyatukan
pertentangan tersebut. Lihat Jaspers, Karl, Nietzsche, an introduction to
the understanding of his philosophical activity, (translated by
Charles F. Wallraff and Frederick J. Schmitz), Tucson, 1966 hal 418-420.
[4] Lihat Ricoeur, Paul, De l'interpretation, essai sur Freud, Paris, 1965, hal. 40. Cara interpretasi Nietzsche menurut Ricoeur sejajar dengan cara Freud yang mengalihkan perhatiannya dari kesadaran manusia ke unsur yang tersembunyi yakni libido, atau juga Karl Marx yang mengalihkannya pada perjuangan kelas.
[5]
Dalam suratnya kepada saudarinya, Nietzsche menulis: "....If you wish
to strive for peace of soul and pleasure then believe, if you wish to be a
devotee of truth, then inquire...." (The Portable Nietzsche,
hal. 30).
[6]
Kutipan klasik ini terdapat dalam The Gay Science, aphorism 125. Di
situlah Nietzsche memproyeksikan dirinya sebagai "orang gila" (the
madman) yang membawakan misi kematian Allah, namun khalayak belum dapat
menerima misi tersebut secara serius. The Portable Nietzsche, hal. 95.
[7]
Meskipun Nietzsche baru mengenal nama Dostoevsky pada tahun 1887, seperti
ditulis dalam suratnya kepada rekannya, Overbeck, namun tak dapat disangkal
Nietzsche mempunyai perhatian tertentu terhadapnya. Seperti diakuinya
Dostoevsky pada tahun tersebut menggemakan instink yang sama seperti pernah
ditemuinya dari Schopenhauer pada tahun 1865. The Portable Nietzsche,
hal. 454.
[8] Revaluation of All Values
direncanakan ditulis sebagai karangan dalam empat jilid. Namun sampai ajalnya
Nietzsche hanya berhasil menulis pengantarnya dan jilid pertama: The
Antichrist.
[9] Di sini kita sampai pada anggapan Nietzsche
tentang manusia. Menurut Jaspers, ada dua macam konsep tentang manusia yang
terdapat dalam tulisan Nietzsche. Konsep yang pertama yang disebut existing forms
menyangkut manusia-manusia yang actual dan hidup dalam masyarakat seperti:
pastor, pedagang, seniman, filsuf, dan sebagainya. Konsep yang kedua adalah
proyeksi manusia-manusia superior sejauh dimungkinkan yakni yang harus
mengungguli jenis-jenis yang pertama tersebut, lihat Jaspers, Karl, Nietzsche,
an introduction to understanding of his philosophical activity, hal. 162.
Dalam karangan ini kami mencoba merumuskan gambaran manusia
menurut Nietzsche, terutama yang amat nampak dalam bukunya The Spoke Zarathustra,
yang lebih bersesuaian dengan konsep yang kedua: menuju “Manusia Unggul”.
[10]
"Uebermensch" umumnya diterjemahkan menjadi "Superman"
[Ingg]. W. Kaufmann berkeberatan atas terjemahan ini dan mengusulkan "Overman"
sebagai gantinya. Alasannya: awalan "over" mengartikan aspek
pengunggulan [manusia] seperti terdapat dalam beberapa kata Inggris. Dalam
bahasa Inggris, misalnya, ada kata "overcome" [mengatasi], dan
ini persis bersesuaian dengan maksud Nietzsche apabila ia mengatakan bahwa
manusia harus "diatasi"), bahkan secara lebih keras harus “lenyap” (go
under)—lihatlah permainan kata “over” dan “under”—demi
munculnya “Uebermensch”. Lihat The Portable Nietzsche, hal.115. Untuk
sementara kami tidak bermaksud mempermasalahkan istilah tersebut dalam bahasa
Indonesia.
[11] Karl Lowith mensejajarkan Nietzsche dengan Rousseau sebagai pendobrak kebudayaan borjuis. Namun Nietzsche yang hidup seabad kemudian tentu tak akan menerima ide Rousseau tentang "humanisme" dan "demokrasi". Bagi Nietzsche hal ini menjadi tanda yang jelas bahwa Rousseau pun masih termasuk borjuis. Lowith, Karl, From Hegel to Nietzsche, the revolution in nineteenth century thought (transl. by David E. Green), New York, 1964, hal. 260-262.
[12] Ricoeur, Paul, Le Conflit des Interpretations, Paris, 1969, hal. 431 dst. Ricoeur terutama tertarik pada berbagai macam interpretasi filsafat dan dari sudut inilah segi religius dari ateisme Nietzsche ditinjau.
Sumber: A. Sudiarja, "Pergulatan Manusia dengan Allah dalam Antropologi Nietzsche", dalam M. Sastrapratedja [ed], Manusia Multi Dimensional: Sebuah Renungan Filsafat, Jakarta: PT Gramedia, 1983, h. 3-14).
0 komentar:
Posting Komentar