alt/text gambar

Jumat, 27 Desember 2024

Topik Pilihan:

PENDIDIKAN YANG MEMANUSIAKAN



Oleh: Haidar Bagir


Dalam bukunya yang paling mutakhir berjudul Truth, Beauty, and Goodness Reframed. Educating for the Virtues in the Twenty First Century, ahli pendidikan paling terkemuka dari Harvard, Howard Gardner, seperti menyesali pemikiran-pemikiran pendidikannya sendiri yang terdahulu. Sebab, meski sudah menawarkan paradigma kecerdasan majemuk (multiple intelligences) yang amat revolusioner bagi dunia pendidikan, sebelumnya ahli psikologi ini tetap saja cenderung melihat pendidikan dari sudut pandang dua disiplin yang amat dominan pada masa-masa modern ini: biologi dan ekonomi. Dengan kata lain, perspektifnya lebih materialistik dan pragmatik. Maka, dalam buku terbarunya ini, Gardner merasa perlu melihat upaya-upaya perumusan pendidikan dari sudut pandang yang lebih humanioristik, yang meliputi sudut pandang filsafat, psikologi, sejarah, dan studi budaya (cultural studies). 

Sementara itu, beberapa waktu lalu, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan meluncurkan konsep kurikulum baru pendidikan dasar dan menengah di Indonesia, agar bisa dilakukan uji publik atasnya. Mempelajari konsep tersebut, setiap pendidik bisa merasakan adanya upaya serius kementerian ini untuk benar-benar mempertimbangkan dan memasukkan beberapa unsur yang krusial dari suatu kurikulum yang lengkap, baik, dan relevan dengan kebutuhan. Namun, yang segera terasa, kurangnya perspektif filosofi pendidikan yang dapat menjadi integrator bagi suatu kurikulum yang dapat benar-benar meraih tujuan sejati setiap upaya pendidikan. Sebagai gantinya, justru masih meruap keras perspektif materialistik dan pragmatik yang kronis itu. 

Apa tujuan pendidikan itu? Kalau mau ringkas, memanusiakan manusia. Dengan kata lain, pendidikan adalah suatu kegiatan untuk mengatualkan potensi manusia sehingga benar-benar menjadi manusia sejati, yakni mengaktualkan berbagai potensinya untuk dapat benar-benar menjadi manusia yang memiliki kehidupan yang penuh makna, bagi orang lain dan bagi dirinya sendiri. Mengutip ungkapan E.F. Schumacher dalam buku klasiknya yang luar biasa, Small is Beautiful, pendidikan kita hendaknya tak hanya menekankan pada know how, tapi justru harus mengembangkan aspek know why-nya, yakni makna (meaning) dari kemampuan dan keterampilan yang kita miliki itu dalam mencapai kebahagiaan hidup. Tulisan ini berusaha menawarkan suatu filosofi pendidikan—suatu pergeseran paradigma—yang diharapkan dapat memberikan perspektif yang benar sekaligus mengikat semua unsur dari sebuah kurikulum yang baik. 

Pertama sekali, perlu ditegaskan di sini bahwa manusia bukanlah sebuah artificial intelligence, betapapun canggihnya. Selain kekuatan fisik dan kemampuan berpikir, manusia adalah makhluk yang—terutama—memiliki jiwa dan hati. Dan, sebagaimana kemampuan fisik serta kemampun berpikir harus dikembangkan dan diaktualkan, demikian pula halnya dengan kemampuan kejiwaan dan kemampuan rohaniah manusia. Karena itu, pendidikan pasti bukanlah sekadar pengembangan vokasional, apalagi jika istilah ini dipahami secara sempit sebagai sekadar keterampilan-keterampilan praktis, ataupun kompetensi akademik dalam bentuk kemampuan berpikir logis-analitis dan kemampuan melakukan penelitian, sepenting apa pun keduanya dalam menentukan kesejahteraan hidup seseorang. 

Jika demikian halnya, setiap upaya dan proses pendidikan haruslah mampu melihat dan menggarap seluruh aspek potensi kemanusiaan. Ia harus mampu mengembangkan perspektif holistik sekaligus integratif. Dalam pemahaman seperti ini, kemampuan personal-eksistensial—yang sedikit banyak bersifat spiritual—dan kemampuan sosial adalah dasar sekaligus puncaknya. Ia bukan saja krusial dalam menentukan kebahagiaan hidup seseorang, bahkan juga dalam penguasaaan kemampuan-kemampuan teknis yang menentukan kesuksesan. Mengenai ini, penting diingat bahwa Abraham Maslow belakangan merasa perlu menjungkirbalikkan segitiga kebutuhan manusia yang dikembangkannya, karena pemenuhan kebutuhan spiritual-personal dan sosial ternyata justru menjadi dasar yang baik bagi pemenuhan kebutuhan fisik. Dan bukan sebaliknya. 

Kegagalan pendidikan kita dalam mengembangkan kecerdasan sosial-emosional menyebabkan anak-anak kita tak memiliki kemampuan untuk mengembangkan emosi positif dan empati, yang sangat menentukan kesejahteraan psikologis dan sosial mereka: mudah patah dan menyerah, mudah “galau”, tak punya solidaritas sosial—padahal pertemanan merupakan sumber, bukan hanya kesuksesan, melainkan juga kebahagiaan. Kegagalan mengembangkan kecerdasan rohaniah membuat anak kita tak bahagia akibat keterasingan sumber keberadaannya sekaligus, meminjam William James, Kawan Agung (The Great Socius)-nya. 

Yang tak kurang penting, harus kita sadari bahwa kesuksesan materialistik sekalipun ditentukan juga oleh kecerdasan emosional dan spiritual: oleh kekuatan cita-cita (visi), leadership, karakter, kekuatan imajinasi, dan unsur-unsur sejenisnya. Daniel Goleman, dalam bukunya yang fenomenal, Emotional Intelligence, menyatakan, “Kecerdasan emosional kita menentukan potensi kita untuk belajar keterampilan praktis.... Kompetensi emosional kita menunjukkan berapa banyak potensi kita yang telah diaplikasikan menjadi kemampuan yang bisa dipakai saat bekerja.” 

Mengenai spiritual intelligence, Danah Zohar dan Ian Campbell menyimpulkan bahwa kecerdasan rohaniah ini memberi kemampuan untuk dapat bekerja secara adaptif-kompleks (berdasarkan prinsip chaos, yang tidak sekadar logis-linear), yang lebih sesuai dengan lingkungan kegiatan yang luar biasa cepat berubah seperti yang terjadi sekarang ini. Dalam bisnis, yang satu disebut social capital, yang lain spiritual capital. 

Berdasarkan itu semua, apa pun bentuk kurikulum yang hendak dikembangkan, kiranya ia harus memberi penekanan pada pengembangan daya rohaniah, yang melibatkan kegiatan-kegiatan spiritual yang berorientasi pada pembinaan hubungan vertikal dengan sang Kawan Agung, kegiatan tafakur dan tadabur—yakni, selain kegiatan observasional-saintifik, refleksi intelektual-filosofis dan estetik. Ia juga menanamkan budi pekerti luhur, mengembangkan akhlak sosial, khususnya sikap empati, penuh cinta kasih, pemaaf, dan bebas rasa benci, pengembangan dan pelatihan etos hidup dan kerja yang baik—termasuk etos kerja keras, kedisiplinan, ketelatenan, keuletan, kesiapan untuk mendapatkan delayed gratification, sikap tak pantang menyerah, dan bahkan sebatas tertentu asketisisme. Karena itu, setiap kurikulum yang baik juga harus mementingkan kepekaan dan kepedulian sosial, baik dalam teori maupun praktek di lapangan. 

Selanjutnya kemampuan imajinatif, yang terkait erat dengan kemampuan kreatif, mesti benar-benar digalakkan, termasuk pemberian ruang sebesar-besarnya bagi upaya belajar berkhayal (berimajinasi), mengeskplor seluas mungkin segala sesuatu dan mencoba-coba sebanyak-banyaknya, serta berpikir sebebas-bebasnya, termasuk untuk berbuat salah (trial and error) sebanyak-banyaknya. Di sini menjadi penting pengembangan proses belajar-mengajar berbasis proyek penelitian (project-based learning). 

Dalam konteks ini, pendidikan kesenian sangatlah sentral. Bukan saja dalam mendorong pengembangan daya imajinasi dan kreatif, serta memberikan rasa kepuasan (kebahagiaan) dari kemampuan mengapresiasi karya-karya keindahan, melainkan juga sebagai sarana melembutkan hati dan memperbaiki budi pekerti. Pendidikan bahasa juga bersifat sangat krusial, khususnya sebagai sarana untuk pengembangan daya dan minat baca yang mendukung upaya perluasan horizon, dan peningkatan kemampuan literer (sastrawi). 

Sejalan dengan itu, pelajaran lain—termasuk sejarah, dan sebagainya—berperan penting, selain untuk keperluan perluasan pengetahuan dan wawasan, harus tetap diarahkan kepada pencapaian-pencapaian kemampuan rohaniah dan imajinatif. Bahkan pengembangan skill dan enterpreneurship juga tak boleh dibatasi hanya pada pelatihan vokasional dalam makna keterampilan praktis ataupun kemampuan berorganisasi, manajemen, dan berbagai soft skill lainnya, tapi dalam makna asli kata vocation sebagai panggilan jiwa (life calling). Sebab, hanya dengan bekerja yang didorong oleh panggilan jiwa seperti ini, orang akan bekerja dengan penuh passion (kegairahan dan cinta), sehingga bekerja bisa menjadi sumber kebahagiaan serta, sekaligus, menghasilkan profesionalisme, performance, dan daya tahan maksimum. 

Meski demikian, hendaknya “ambisi” mendidik ini tak menyebabkan proses belajar-mengajar menjadi terasa menekan dan membosankan. Dalam segala keadaan, proses harus selalu mengedepankan pemeliharaan suasana gembira serta kerehatan pikiran dan jiwa. Sebab, kerehatan pikiran dan jiwa tak hanya mendukung proses peyerapan pelajaran dengan maksimum, tapi juga membantu pengembangan daya imajinatif dan rohaniah peserta didik. 


Haidar Bagir, pendidik


Sumber: TEMPO, Edisi 17-23 Desember 2012

0 komentar:

Posting Komentar