M. Essage
Meski terbilang kecil bila dibandingkan dengan pertentangan yang pernah terjadi (polemik kebudayaan, polemik sastra kontekstual, polemik hadiah Magsaysasy untuk Pramoedya Ananta Toer, atau polemik puisi gelap), debat yang pernah berlangsung antara Ignas Kleden dengan Afrizal Malna amat menarik untuk saya kenang sebagai perdebatan penciptaan teks antara pengarang dengan pembaca. Bermula dari tulisan di harian Kompas (3 Agustus 1997) yang menyinggung cara pembacaan teks yang dilakukan Ignas Kleden atas cerpen “Usaha Membuat Telinga” karya Afrizal Malna. Dalam tulisan dengan judul yang sedikit seram, “Vampir Kebudayaan dan Tabrakan Wacana”, Afrizal memberi tanggapan: “Deskripsi Ignas terhadap teks tersebut jelas: peristiwa tekstualnya lemah, makna tekstualnya juga lemah. Kesimpulannya juga seharusnya jelas: Teks ini tidak ada nilainya sama sekali. Tidak ada cerpen.... Status teks itu lebih hancur lagi ketika Ignas membandingkannya dengan cerpen Putu Wijaya yang dianggapnya melakukan pemaknaan sangat kuat. Maka tumbanglah teks Usaha Membuat Telinga itu dengan tragis.”
Sepekan kemudian, Ignas Kleden memberikan balasannya melalui eseinya yang berjudul “Otonomi Semantik dan Intervensi Pengarang” (Kompas, 10 Agustus 1997). Ada beberapa poin yang disampaikan Ignas Kleden. Pertama, sebuah teks yang sudah dipublikasikan patut dianggap sanggup berdiri sendiri dan tidak perlu lagi dituntut dan dibela melalui intervensi pengarangnya. Hal ini karena, setiap teks yang telah ditulis mempunyai otonomi semantik. Kedua, teori apa pun tidak dapat menyulap sebuah teks yang berhasil menjadi gagal atau mengubah sebuah teks rombengan menjadi masterpiece. Ketiga, penerapan teori secara fleksibel sebagaimana yang dikehendaki Afrizal Malna, akan membawa orang pada eklektisisme yang dapat membawa kita kepada oportunisme epistimologis. Keempat, pengarang memiliki kebebasan penuh, tetapi saat dia bercerita akan berhadapan dengan disiplin naratif. Membaca cerpen Afrizal Malna bagaikan diajak makan malam enak, kemudian hanya diajak berputar-putar untuk akhirnya hanya duduk di tempat main kartu.
Seperti tidak puas dengan tanggapan Ignas Kleden, harian Kompas kembali memunculkan respon balik Afrizal Malna. Melalui tulisan berjudul “Menara Epistimologi Tanpa Telinga” (31 Agustus 1997), Afrizal berujar, “Saya tidak meragukan menilai karya sastra lewat dialektika makna dan peristiwa Paul Ricoeur yang digunakan Ignas Kleden. Saya tidak meragukan teori ini walaupun telah digunakan oleh Ignas Kleden untuk membuktikan cerpen saya jelek.... Saya ambil bagian dalam pembicaraan ini hanya karena Ignas Kleden telah melakukan penilaian. Sementara itu ia juga tetap bertahan melihat teks sebagai dunia yang otonom.”
Ignas Kleden pun kembali menyambut ujaran Afrizal Malna. Ignas merasa heran dengan prinsip-prinsip kritik sastra yang dianut Afrizal Malna. Dengan agak panjang, saya kutipkan sanggahan Ignas dalam esei “Wacana tentang Wacana, Menilai Kembali Penilaian” (Kompas, 7 September 1997) . “Afrizal membedakan dua pengertian yang tidak dijelaskan perbedaannya : pembahas dan penilai. Bila saya menghadapai sebuah cerpen, apakah saya hanya boleh membahasnya dan tidak boleh menilainya? .... Saya menduga, keberatan Afrizal didasarkan pada semacam pemaksaan pemaknaan terhadap sebuah karya. Pertanyaannya lalu: untuk apa sebuah karya dihadirkan di muka bumi? Apakah hanya untuk ditonton dan dikagumi? Ketakutan bahwa terjadi pemaksaan pemaknaan terhadap sebuah karya sastra tidak ada dasarnya, karena suatu penilaian akan diimbangi penilaian lain dalam suatu kontes dan kompetisi pemaknaan oleh pembaca.”
Sebulan lebih kemudian, Afrizal Malna mengakhiri debatnya dengan Ignas Kleden. Melalui tulisannya yang berjudul “Sampah yang Berputar di Luar Rahasia” (Kompas, 19 Oktober 1997), Afrizal mengutarakan tiga hal tanggapannya. Pertama, “Bantahan saya terhadap Ignas Kleden sebenarnya tidak lebih sebagai konsekuensi literer dari pijakan dasar Ignas Kleden sendiri yang berusaha membedakan teks sastra dengan yang bukan sastra”. Kedua, penilaian Ignas Kleden yang menggunakan kata “gagal” dan “lemah” untuk cerpen dianggap Afrizal Malna sebagai penilaian yang membeku. Cara penilaian Ignas dianggap menghentikan medan resepsi pembaca. Ketiga, mengubah tradisi literer pembaca yang membeku lebih prioritatif daripada melegitimasi keawaman pembaca. Toleransi literer dibutuhkan untuk mengatasi kondisi literer yang cenderung mempertahankan status quo.
Debat yang sebenarnya juga melibatkan Nirwan Dewanto dan Budi Darma, menurut saya amat menarik dan memberi nilai edukatif bagi siapa pun. Perdebatan Ignas Kleden dengan Afrizal Malna telah menunjukan sebuah kualitas akademik yang kokoh dengan argumentasinya sendiri-sendiri. Kedua orang tersebut tidak meninggalkan substansi materi yang menjadi bahan pembicaraan. Hanya saja memang terjadi perbedaan sudut pandang dan masing-masing tetap bertahan. Saya tidak hendak mencari mana yang benar antara Ignas dengan Afrizal. Meskipun jelas sekali perbedaan yang nyata antara keduanya. Bagi Ignas Kleden, membahas karya sastra harus berpijak pada teori yang digunakannya untuk sampai pada penilaian dengan tetap membuka kemungkinan teori lain menemukan makna yang berbeda terhadap karya yang sama. Sebaliknya, bagi Afrizal Malna mendekati karya sastra harus dengan prinsip emansipatif, yang dalam bahasa Afrizal Malna disebut dengan istilah toleransi literer. Mungkin maksudnya, seorang pembaca tidak bersikap kaku dalam menghadapi karya sastra. Dengan kata lain, membaca dan menilai sastra harus bisa menyesuaikan tatanan sastra yang sedang dimainkan pengarangnya.
Inilah kenangan saya untuk sosiolog Ignas Kleden yang setiap kali mengkaji karya sastra selalu memberikan nuansa objektif dan edukatif bagi siapa pun dalam memandang karya sastra. Meskipun bisa saja seseorang menolak atau tidak setuju atas penilaian yang diberikan Ignas Kleden, termasuk Afrizal Malna. Perdebatan keduanya mampu merangsang kita untuk berpikir dan bukan mengolok-olok. Bagi saya, ini sebuah perdebatan yang berkualitas dan bukan semacam perdebatan di luar sana yang artifisial dan memuakan.
Slawi, 27 Januari 2024
Sumber: https://www.facebook.com/share/p/UyzabXz4BsDgZK8v/?mibextid=oFDknk
0 komentar:
Posting Komentar