Oleh: Arief Budiman
Saya diundang ke Korea Selatan untuk mengikuti sebuh konperensi internasional yang bertema “Masalah Ketergantungan dalam Pembangunan Korea: Sebuah Perspektif Perbandingan”. Konperensi ini diselenggarakan oleh Seoul National University. Yang diundang antara lain “jago-jago” dunia untuk Teori Ketergantungan (atau lebih dikenal dengan nama Teori Dependencia), seperti Samir Amin, Guillermo O’Donnel dan Peter Evans, di samping beberapa nama lainnya.
Tentu saja saya sangat tertarik dengan konperensi ini. Pertama, karena sudah beberapa lama saya bergumul dengan Teori Ketergantungan, untuk lebih mengerti masalah pembangunan di Dunia Ketiga. Kedua, saya memang ingin bertemu dengan “jago-jago” dunia ini. Ketiga, menarik sekali untuk mengetahui mengapa kaum intelektual dan akademisi Korea Selatan menjadi tertarik pada Teori Ketergantungan ini.
Teori Ketergantungan terutama populer di negara-negara Dunia Ketiga yang pembangunannya macet. Pembangunan di Korea Selatan sama sekali tidak macet, bahkan sebaliknya. Apakah tertariknya mereka terhadap teori ini hanya merupakan keingintahuan yang bersifat akademis saja? Berapa luas teori ini diminati olehkaum intelektual Korea Selatan?
Demam teori ketergantungan
Ternyata minat terhadap teori ketergantungan luas sekali. Rekan penyelenggara konperensi, yakni para profesor di universitas-universitas ternama di Korea Selatan, menyatakan bahwa pada saat ini sedang terjadi apa yang disebut sebagai demam Teori Ketergantungan di sana. Demam ini tidak hanya menjangkiti para dosen, tapi juga meluas di kalangan mahasiswa.
Mengapa? Bukankah Korea Selatan berhasil dalam pembangunan ekonominya? GNP per kapita yang tadinya cuma 82 dollar AS pada tahun 1961, pada tahun 1984 telah menjadi 1.910 dollar atau naik 14,5 kali dalam waktu 24 tahun. Para akademisi penyelenggara konperensi ini mengakui bahwa dalam hal pertumbuhan ekonomi negaranya memang telah berhasil. Tapi justru karena itu, mereka ingin mengetahui apakah keberhasilan ini merupakan keberhasilan yang benar, berdiri di atas fondasi yang kokoh, atau hanya merupakan keberhasilan semu, yang cuma merupakan bayangan dari pertumbuhan ekonomi di negara-negara maju, seperti yang dikatakan oleh Teori Ketergantungan. Hal ini, menurut saya, merupakan suatu keterlibatan yang sehat dan bertanggung jawab dari kaum intelektual Korea, yakni tetap waspada, tidak silau dan selalu mencari titik-titik lemah di tengah-tengah keberhasilannya.
Sebagaimana kita ketahui, Teori Ketergantungan merupakan varian dari teori neo-Marxis, yang berusaha menjelaskan masalah keterbelakangan negara-negara di Dunia Ketiga melalui teori imperialisme sistem kapitalisme dunia. Menurut Teori Keterganungan (yang klasik, misalnya yang dikemukan oleh Andre Gunder Frank pada tahun 1960-an), tidak mungkin negara-negara Dunia Ketiga berhasil melaksanakan pembangunannya, kalau negara-negara ini menyatukan dirinya ke dalam sistem kapitalisme dunia.
Negara-negara ini, yang kemudian membuka dirinya pada penanaman modal asing sebagai imbalan terhadap bantuan luar negeri yang diperolehnya, hanya akan menjadi mangsa negara-negara industri maju. Negara-negara ini hanya akan menjadi satelit dari negara-negara besar. Kalaupun ada yang berhasil di negara-negara Dunia Ketiga ini, itu adalah sekelompok kecil elit pengusaha dan penjabat negara yang menjadi agen-agen dari perusahaan raksasa dunia, yang bernama perusahaan multinasional itu. Sedang sebagian besar rakyat tetap tinggal miskin.
Teori ini ternyata menunjukkan kebenaranya di belahan selatan benua Amerika. Negara-negara Amerika Latin pada dasarnya menunjukkan ciri-ciri perkembangan di atas utang yang bertambah besar, sekelompok elit yang sangat kaya, dan massa rakyat yang sangat miskin. Indeks Gini negara-negara Amerika Latin pada tahun 1970an rata-rata ada di atas 0,5, dengan Honduras (0,71 pada tahun 1967), Brasil (0,706 pada tahun 1972) dan Peru (0,67 pada tahun 1972) menempati posisi teratas.
Indeks Gini di atas 0,5 dianggap sebagai tanda, bahwa pemerataan pendapatan di negara bersangkutan kurang baik. Untuk Indonesia, angka ini adalah 0,46 pada tahun 1980, menurut Dr Nurimansyah Hasibuan dari Universitas Gadjah Mada.
Ramalan yang meleset
Tetapa ketika Teori Ketergantungan dipakai di Asia, ternyata ada beberapa kenyataan yang tidak sejalan dengan ramalan teori ini. Tumbuhnya empat negara yang disebut NIB (Negara Industri Baru), yakni Korea Selatan, Taiwan, Hongkong dan Singapura, memberikan apa yang oleh Peter Evans sebagai “pelajaran-pelajaran baru untuk Teori Ketergantungan”. Pelajaran-pelajaran ini antara lain adalah:
(1) Peran negara yang sangat kuat. Pada tiga dari empat NIB Asia, yakni Korea Selatan, Taiwan dan Singapura, peran negara sangat dominan. Hanya di Hongkong peran negara tidak sekuat ketiga rekannya yang lain. Hal ini berbeda dengan uraian Teori Ketergantungan (yang klasik), yang meremehkan peran negara (seperti juga halnyateori Marxis klasik). Baginya, yang utama adalah persekutuan antara kaum borjuasi (pengusaha) di negara satelit dan negara induk; itulah yang menentukan. Negara hanyalah menjadi alat mereka saja.
Meskipun negara dari Teori Ketergantungan klasik ini sudah diperbaiki oleh misalnya teori Negara Otoriter Birokrasi oleh O’Donnel dan teori Aliansi Tiga Unsur dari Peter Evans (di mana peran negara disejajarkan dengan peran borjuasi nasional dan borjuasi internasional), tapi pada dasarnya peran negara masih tetap sekuat seperti yang terjadi di NIB Asia.
Di Korea Selatan misalnya, peran negara dalam pembangunan ekonomi sangat dominan, jauh di luar ramalan teori-teori Marxis maupun teori-teori Adam Smith sampai Keynes. Negara tidak lagi merupakan fasilitator ataupun dinamisator dari kegiatan ekonomi, tapi merupakan pelaku dari kegiatan tersebut.
Di Korea Selatan misalnya, negara membentuk kelas pengusaha di sana, antara lain dengan menyalurkan kredit bank yang diperolehnya melalui pinjaman luar negeri. Negara juga mengatur harga bahan-bahan pangan. Negara memaksakan pemakaian produksi dalam negeri, dan negara mencegah masuknya kekuatan-kekuatan perusahaan multinasional ke dalam negeri (Korea Selatan lebih mengutamakan pinjaman luar negeri daripada penanaman modal asing langsung, karena itulah utang luar negerinya tinggi). Meskipun pada saat ini campur tangan makin dikurangi (proses deregulasi), tidak dapat disangkal, bahwa peran negara di sana sangat menentukan sampai pada saat ini, dan barangkali masih akan sangat menentukan di kemudian hari.
(2) Seperti yang diramalkan oleh Teori Ketergantungan, di Korea Selatan muncul kelompok borjuasi/pengusaha yang sangat kaya. Tapi berbeda dengan apa yang dikatakan selanjutnya, ternyata borjuasi baru ini jauh lebih mandiri. Memang, mula-mula mereka menjadi agen perusahaan raksasa dunia, tapi lama-kelamaan mereka berhasil sampai batas-batas tertentu, membebaskan diri mereka.
Misalnya perusahaan motor Hyundae, yang didirikan pada tahun 1967 sebagai industri assembling. Kemudian melalui lisensi, perusahaan ini membuat mobil Ford Cortina. Kemdian lagi bekerja sama dengan perusahaan Italia untuk disainnya dan Mistsubishi untuk permesinannya, Huyande memproduksikan mobilnya sendiri. Pada saat ini mobil jenis Pony dari Hyundae sudah masuk pasaran Eropa dan Kanada, sedang akan memasuki pasaran Amerika Serikat, dan bersaing dengan perusahaan-perusahaan mobil dunia dari Amerika Serikat, Eropa dan Jepang, meskipun masih kecil-kecilan. Hal seperti ini tidak terjadi di negara-negara Amerika Latin.
Seperti yang dikatakan olehAidan Foster Carter, salah seorang peserta konperensi dari Inggris yang juga beraliran Marxis, memang ekonomi Korea Selatan bergantung pada perekonomian dunia, tapi pada saat yang sama, dia juga semakin mandiri di dalam ketergantungan itu.
(3) Foster Carter selanjutnya menunjukkan dalam makalahnya yang berjudul Standing Up:The Two Korean States and the Dependency Theory, A Bipartisan Approach, bahwa ada bayak ramalan Teori Ketergantungan yang meleset. Dia menunjuk misalnya ramalan tentang kegagalan negara yang bergantung untuk menumbuhkan pasar dalam negerinya, karena massa rakyat yang terlalu miskin. Dengan GNP per kapita hampir 2000 dollar, tampaknya pasar dalam negeri cukup kuat. Ini tentunya tidak lepas dari land reform yang telah berhasil dilaksanakan sebelum industrialisasi dijalankan. Sekali lagi tampak peran negara yang besar dalam soal ini, untuk dapat melepaskan dirinya dari tekanan kelompok pemilik tanah.
Pertumbuhan ekonomi yang pesat di Korea Selatan tampaknya dapat juga diikuti oleh pemerataan pendapatan, meskipun secara terbatas. Indeks Gini negara ini, dibandingkan dengan negara-negara Amerika Latin, cukup baik, yakni, 0,45 pada tahun 1976.
(4) Ramalan tentang negara yang tergantung tidak mampu melakukan industrialisasi dan hanya dapat mengekspor bahan mentah (atau paling-paling hasil industri yang sederhana seperti tekstil), ternyata tidak benar. Korea Selatan berhasil menjadi negara industri perkapalan kedua di dunia sesudah Jepang. Seperti dikatakan sebelumnya, mobil buatan Jepang juga sedang memasuki pasaran dunia.
(5) Tapi di pihak lain, memang ada juga ramalan-ramalan Teori Ketergantungan yang terbukti di Korea Selatan. Misalnya, utang luar negeri yang meningkat, sehingga negara ini menjadi negara nomor empat di antara Dunia Ketiga yang utangnya tinggi. Tapi harus dicatat pula, karena suksesnya dalam melakukan ekspor hasil-hasil industrinya, maka rasio antara cicilan utang dan pendapatan ekspornya (DSR ratio) tegolong kecil, suatu hal yang sekali lagi berbeda dengan apa yang terjadi di Amerika Latin (yang sekarang sedang mengalami kebangkrutan dalam mebayar utang-utangnya).
Kemudian, negara ini juga merupakan negara yang otoriter, seperti yang diramalkan Teori Ketergantungan. Upah buruh juga masih rendah, bila dibandingkan dengan negara-negara industri maju, serta jam kerjanya lebih lama. Tapi perlu dicatat, bahwa upah buruh di Korea Selatan lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara di Dunia Ketiga.
Teori sistem kapitalisme dunia
Kenyataan-kenyataan di Korea Selatan dan negara-negara industri baru pada umumnya menunjukkan, bahwa Teori Ketergantungan yang perkembangannya didasarkan pada pengalaman negara-negara di Amerika Latin, memang harus dipertanyakan kembali. Dan inilah yang dilakukan oleh “jago-jago” Teori Ketergantungan yang ikut dalam konperensi di Korea ini.
Teori Ketergantung memang sudah dipersoalkan (oleh sarjana-sarjana yang beraliran Marxis) sejak dasawarsa yang lalu. Majalah neo-Marxis di Inggris misalnya, New Left Review, pernah memuat sebuah tulisan Bill Warren pada tahun 1973 tentang masalah industrialisasi di Dunia Ketiga. Melawan persangkaan Teori Ketergantungan yang sedang sangat populer pada waktu itu, Warren yang juga seorang sarjana neo-Marxis, menyatakan bahwa industrialisasi di Dunia Ketiga mungkin terjadi.
Pendapatnya ini mengundang polemik yang cukup ramai, yang antara lain diikuti oleh jago-jago seperti Fernando Cardoso dan kemudian Peter Evans. Pada dasarnya mereka menyatakan, memang benar industrialisasi dimungkinkan di negara yang tergantung, tapi industrialisasi yang terjadi merupakan industrialisasi yang tidak mandiri, karena tidak didasarkan pada kekuatan di dalam negeri. Sumber pertumbuhannya terletak di luar negara yang tergantung itu.
Munculnya Teori Sistem Dunia dari Immanuel Wallerstein turut mendesak hegemoni Teori Ketergantungan. Pada teori baru ini dinyatakan, bahwa negara-negara di Dunia Ketiga dapat melakukan industialisasi secara mandiri, bahkan dapat naik kelas menjadi negara industri maju, kalau sistem kapitalis dunia memungkinkannya. Ini kedengarannya seperti teori pembangunan liberal, yang menyatakan hal yang sama.
Tidak! Teori Sistem Dunia, berlainan dengan teori pembangunan liberal, beranggapan, karena sistem kapitalis dunia didasarkan pada ketidakmerataan, maka tidak semua negara punya kesempatan untuk berhasil, meskipun semuanya mungkin sama mampunya dan sama kesungguhannya berusaha. Hanya ada sebagian (kecil) negara yang akan berada di atas, sebagian lagi di tengah dan sebagian (besar) lainnya di bawah.
Teori Sistem Dunia dari Wallerstein ini memang dapat menjelaskan apa yang terjadi di Korea Selatan sekarang. Dengan adanya perubahan dalam konteks dunia, maka Korea Selatan (dan beberapa negara lain barangkali) mungkin dapat “naik kelas”, tapi ini sama sekali tidak berarti bahwa semua negara Dunia Ketiga dapat melakukan keberhasilan yang sama dalam usahanya. Tempat di atas sudah terisi.
Dalam konteks inilah kiranya Samir Amin dalam konperensi di Seoul itu menyatakan, bahwa sebenarnya tidak ada apa yang disebut Teori Ketergantungan. Yang ada ialah studi-studi yang menggunakan pendekatan ketergantungan dalam melihat pembangunan di suatu negara. Perhatian kita sebaiknya dipusatkan pada teori kapitalisme dunia dan dampaknya bagi negara-negara di Dunia Ketiga.
Dalam teori kapitalisme dunia ini, tidak ada pendapat yang menyatakan, bahwa satu atau beberapa negara ditakdirkan untuk tidak bisa berkembang. Semua negara mempunyai kesempatan untuk berkembang, meskipun tidak semua negara bisa berhasil. Hanya sebagian kecil saja yang akan berhasil, dan yang berhasil ini, berdasarkan prinsip kapitalisme itu sendiri akan “menindas” yang kurang berhasil.
Jadi, pertanyaan yang harus kita kemukakan bukanlah apakah negara Dunia Ketiga dapat berhasil dalam pembangunannya, tapi ke mana arah pembangunan itu dalam hubungannya menciptakan dunia yang lebih sejahtera dan damai. Pertanyaan ini kiranya patut kita renungkan. Perjuangan kita hendaknya tidak terbatas hanya dalam perspektif nasionalisme saja, tapi harus kita perluas ke dalam perspektif kemanusiaan secara global. Samir Amin kemudian menutup dengan mengatakan, nasionalisme dalam konteks kapitalisme akan menghasilkan saling cakar; nasionalisme dalam konteks sosialisme punya harapan untuk menggalang persatuan dunia.
* Arief Budiman, sosiolog dan dosen UK Satya Wacana, Salatiga
Sumber: Kompas, 2 September 1985
0 komentar:
Posting Komentar