Oleh: Nezar Patria
Kerusuhan yang masih merebak di beberapa daerah, diikuti dengan aksi penjarahan rakyat terhadap sentra-sentra distribusi sembako (sembilan bahan pokok), serta kembali maraknya aksi buruh dan mahasiswa pada tiga bulan masa pemerintahan Habibie menunjukkan proses reformasi mengalami involusi. Secara politik, ia seakan tampil sebagai regresi dari proses perubahan yang dicita-citakan. Suatu pendalaman krisis sedang terjadi, dengan taruhan yang sangat kritis masa depan kehidupan politik dan ekonomi nasional.
Di tengah krisis politik dan ekonomi yang berlarut-larut itu, secara teoritis sangat menarik menyimak artikel Rizal Mallarangeng “Menuju Pelembagaan Reformasi” (Kompas, 9/9/98). Rizal menyebutkan, setidaknya ada dua alternatif yang bakal terjadi, yaitu anarki yang terkonsolidasi (consolidated anarchy) dan demokrasi yang terkonsolidasi (consolidated democracy). Yang pertama menunjukkan proses regresi, involusi, pendalaman krisis tanpa ada perkembangan kelembagaan politik yang lebih baik. Dalam situasi itu, aksi-aksi reformasi akan menjadi jalan keluar yang sementara, reaksioner, tanpa pola dan kreasi untuk sebuah dasar kelembagaan politik yang baru. Keadaan itu, tambahnya, jika terus memburuk justru akan melahirkan kembali periode otoritarian yang berwatak militeristik dan sultanistik.
Jika fase krisis ini berhasil dilalui secara mulus, maka kita akan menuju consolidated democracy. Sebuah pelembagaan politik baru akan muncul, dengan aturan main demokratis, sehingga proses penyelesaian konflik politik dalam masyarakat menjadi terlembaga dan terarah. Secara implisit Rizal seakan ingin mengatakan, sebuah normalitas politik akan terwujud jika pelembagaan political society menjadi ajang penyelesaian konflik, tanpa harus mengganggu dinamika kegiatan keseharian civil society.
Rizal juga mengajukan dua prasyarat agar alternatif kedua bisa dicapai. Pertama adalah keinginan dan kemampuan bernegosiasi, serta kedua adalah pemilihan prioritas politik yang jelas dan realistis. Dua prasyarat itu bagi Rizal merupakan lubang yang harus diisi dari proses reformasi yang tak “tuntas”.
Secara umum pandangan Rizal adalah semacam assesment terhadap proses reformasi yang berlangsung, dan tidak membuat semacam prediksi kecenderungan apa yang terjadi dari realitas politik yang serba tak pasti belakangan ini. Tulisan ini mengambil posisi yang berbeda dengan Rizal, walaupun dalam beberapa hal bersepakat dengan garis besar kesimpulannya.
Proses perubahan politik di mana pun pasti akan menghadapi dua pokok soal, yaitu legitimasi dan stabilisasi. Terlebih perubahan politik yag terjadi secara radikal, atau dengan metode partisipasi yang nonkonvensional. Apa yang terjadi pada kita adalah meluasnya partisipasi politik nonkonvensional (aksi massa) yang terjadi akibat otoriterisme menyumbat seluruh saluran politik konvensional pada masa Orde Baru. Tulisan ini akan mencoba menyorot proses transformasi yang sedang terjadi saat ini dari sudut legitimasi dan stabilisasi sebuah pemerintahan transisi.
***
Harus diakui yang terjadi saat ini bukanlah suatu transformasi politik yang mulus, melainkan konsesi rezim lama (Orde Baru) menghadapi meluasnya gerakan massa demokratik yang menuntut perubahan. Celakanya, proses perubahan yang terjadi bukanlah pola replacement menurut kategorisasi Huntington. Replacement mengisyaratkan pergantian secara total oleh kekuatan politik baru menggeser kekuatan lama. Naiknya Habibie sebagai presiden yang mewakili kekuatan lama, justru lebih tepat disebut dengan proses transplacement, dimana ada negosiasi atau konsesi dari kelompok reformis di luar sistem dengan di dalam sistem untuk merumuskan agenda perubahan.
Proses replacement pada umumnya didahului oleh jatuhnya popularitas politik rezim lama, serta meluasnya protes dari gerakan massa. Pimpinan baru yang muncul biasanya melalui jalur nonkonvensional. Dalam konteks tumbangnya rezim otoriter melalui kekuatan rakyat, maka pemimpin yang muncul mendapat legitimasi secara meta-legal dan ekstra-konstitusional. Ia seakan mendapat mandat melalui sebuah kekuatan yang tak terlihat, namun secara material berwujud pada gelombang gerakan massa rakyat yang mendukungnya.
Pada momen seperti itu, legitimasi tak menjadi masalah, karena ia berkuasa atas kepercayaan rakyat secara penuh. Pemimpin baru hasil transformasi kekuasaan secara radikal hanya membutuhkan penataan politik kembali melalui pelembagaan politik baru. Sedangkan pada proses transplacement, legitimasi masih akan menjadi masalah. Pertama, ia merupakan jalur kompromi, dimana sisa-sisa kekuatan politik lama mendapat tempat sama kuatnya (bisa jadi tetap dominan) dalam sebuah sistem baru. Dengan demikian, tuntutan mayoritas rakyat terhadap perubahan menyeluruh tidak terakomodasi secara total. Kedua, proses tumbangnya rezim otoriter dengan kekuatan rakyat seharusnya menghasilkan sebuah pemerintahan transisi yang diisi oleh kekuatan-kekuatan yang memenangkan pertarungan politik melawan kediktatoran. Jika ia diisi oleh bagian rezim lama yang berbicara “atas nama reformasi” maka krisis legitimasi akan tetap terjadi.
Rezim transisi hasil kompromi biasanya akan menghadapi masalah tarik-menarik antara konservatisme politik dan progresivisme tuntutan perubahan yang disokong oleh sumber-sumber radikalisme politik baru. Yang tersaksikan saat ini adalah, bagaimana elemen sumber radikalisme politik baru tersebut (mahasiswa, buruh, dan urban poor) menjadi rintangan besar bagi rezim saat ini untuk mendapat legitimasi. Aksi-aksi mahasiswa yang semakin terorganisasi, telah menjadi kategori politik yang penting. Sementara aksi buruh yang semakin menderita akibat krisis ekonomi berpadu dengan tindakan pernjarahan oleh urban poor, adalah representasi penderitaan rakyat yang semakin terpuruk dalam kemiskinan dan kekumuhan. Protes-protes yang dijalankan oleh tiga elemen sosial itu cukup berpengaruh, bukan hanya secara politik namun juga ekonomi.
Konservatisme politik sendiri merujuk pada tendensi cara pandang ancient regim pada rezim transisi. Hal ini disebabkan konsesi perubahan politik tidak seluruhnya dimenangkan oleh kelompok pro perubahan, melainkan suatu kondisi zero sum game. Dalam bahasa Rizal, kelompok lama tidak sepenuhnya kalah, dan kaum reformis pun cuma menang sebagian. Dalam kondisi seperti itu, negosiasi sebagai jalan stabilisasi politik dan bahkan rintisan ke arah pelembagaan politik baru, menjadi problem tersendiri. Persoalannya bukan pada keterampilan bernegosiasi, namun pada perimbangan kekuatan.
Rezim lama jelas masih mewarisi sejumlah sumber daya politik dan ekonomi walaupun tidak lagi terkonsolidasi dengan baik. Sementara proses konsolidasi kekuatan kekuatan pro perubahan belum mengkristal ke arah “institusionalisasi”. Pukulan kekuatan rakyat yang menggulingkan kediktatoran, pada akhirnya cuma melahirkan suatu kondisi mengambang. Jatuhnya kekuasaan lama, tidak diikuti penyiapan wadah-wadah kaum reformis, dimana transformasi kekuasaan dapat dijalankan sebagaimana harusnya. Dalam keadaan seperti ini, bukanlah cuma terjadi krisis legitimasi, namun lebih jauh adalah disorientasi.
***
Rezim transisi yang lahir dari tumbangnya kediktatoran seharusnya menjalankan agenda politik utama, yaitu liberalisasi alat-alat politik dan demokratisasi sistem politik ekonomi. Dua tugas utama ini akan menjadi prasyarat ke arah perubahan yang menyeluruh. Suatu rezim transisi ala transplacement sesungguhnya tak berhak atas legitimasi, namun lebih pada kredibilitasnya dalam menjalankan agenda perubahan prioritas. Dalam situasi kekuasaa yang terfragmentasi, legitimasi paling besar ditentukan oleh gelombang gerakan massa yang menjadi stakeholder perubahan politik dan ekonomi.
Dengan demikian, jika sebuah rezim transisi hasil sebuah konsesi memaksakan legitimasi untuk melakukan stabilisasi, justru akan memancing kondisi ke arah anarki yang lebih luas. Stabilisasi tersebut pasti bermakna pada pengakhiran mobilisasi-mobilisasi massa mayoritas yang menuntut perubahan. Rambu-rambu “baru” dibuat secara tergesa-gesa tanpa ada penyelesaian politik atas tuntutan utama gerakan massa yang menggulingkan kediktatoran. Ketidakpuasan akan semakin merebak dan lalu menjadi anarki politik yang parah.
Komposisi rezim transisi yang “separuh hati” itu tentu saja berbahaya bagi proses perubahan yang dicita-citakan. Rezim transisi itu bersifat elitis, penuh demagogi, dan tak mampu melewati ujian tuntutan massa. Alih-alih menyiapkan perubahan, yang terjadi justru suatu prakondisi ke arah kediktatoran politik baru yang fasistik. Bung Hatta pernah mengingatkan kita akan bahaya kondisi ini lebih dari setengah abad yang lampau. Bahwa politik yang fasistis akan muncul justru karena kaum borjuiasi tak mampu menanggung ongkos demokratisasi yang mereka gembar-gemborkan.
Jadi jelaslah, sebuah transisi politik dari kediktatoran ke rezim demokratis haruslah memiliki prasyarat yang mutlak bahwa ia adalah representasi yang jelas dari kekuatan politik yang menuntut perubahan. Proses institusionalisasi reformasi hanya dapat terjadi bila ia mampu merumuskan dan mewujudkan perubahan secara nyata. Tanpa hal itu, stabilisasi akan jauh dari harapan. Bukan tak mungkin, kondisi yang anarkis justru menguntungkan bagi kekuatan-kekuatan kediktatoran untuk tampil berkuasa kembali.
Nezar Patria, alumnus Filsafat UGM
Sumber: Kompas, 28 September 1998
0 komentar:
Posting Komentar