alt/text gambar

Sabtu, 04 Oktober 2025

Topik Pilihan: , ,

KEBIJAKAN ANGGARAN NEGARA YANG ANTISIKLIS?

Drs. Kwik Kian Gie


Oleh: Kwik Kian Gie


Tampaknya ada pola baru dalam bidang politik ekonomi makro. Menteri Keuangan Mar'ie Muhammad mengatakan kepada DPR pada tanggal 10 Desember 1996, "Pemerintah menjadikan kebijakan fiskal sebagai katup pengaman dengan melakukan kontraksi semaksimal mungkin mengimbangi sektor moneter yang ekspansif.” Antara lain lalu dikatakan, "Dengan bahasa itu, sebagai Menkeu, pesan yang disampaikan sudah sangat jelas.” (Kompas 11 Desember 1996). 

Saya tidak tahu apakah bagi para anggota DPR yang terhormat pesan itu sudah jelas, karena praktis tidak ada reaksi, tidak ada pertanyaan, dan tidak ada perdebatan tentang pernyataan perubahan politik ekonomi yang demikian mendasarnya. 

Terlepas dari setuju atau tidaknya dengan kebijakan baru tersebut, ini adalah pola yang buat Indonesia baru. Bahkan bertentangan dengan GBHN yang masih berlaku. GBHN mengatakan bahwa anggaran RI adalah berimbang dan dinamis. 

Sekarang Menkeu mengatakan bahwa pihaknya menjalankan secara maksimal kebijakan surplus anggaran. Saya setuju dengan perubahan kebijakan Menkeu tersebut. Saya hanya terheran-heran bahwa DPR diam saja. Biasanya perubahan yang demikian fundamentalnya menimbulkan perdebatan yang seru. 

GBHN kita selalu mencantumkan bahwa anggaran negara harus dinamis dan berimbang. Jadi anggaran yang berimbang adalah amanat MPR sebagai pemegang kekuasaan tertinggi. Apa artinya berimbang memang tidak pernah jelas betul, karena anggaran kita selalu defisit, yang ditutup dengan pinjaman luar negeri dari CGI (Consultative Group on Indonesia). Jadi sejak dahulu sampai pernyataan Menkeu pada tanggal 10 Desember 1996, APBN kita secara keseluruhan, yaitu anggaran rutin ditambah anggaran pembangunan selalu defisit. 

Sejumlah defisit ini kita utang dari negara-negara donor CGI. Anggaran yang demikian itu terus disebut seimbang, walaupun seimbangnya dibuat seimbang dengan utang luar negeri. Dengan demikian anggaran tidak pernah dipakai sebagai instrumen untuk mengendalikan konjungtur ekonomi. Anggaran hanya berfungsi sebagai tertib keuangan negara, dan untuk menghitung berapa yang akan diutang dari CGI. 

Apa artinya terus-menerus utang dari luar negeri untuk menutupi kekurangan anggaran pembangunan? Artinya adalah bahwa pengeluaran anggaran pembangunan itu sama dengan investasi oleh pemerintah. Investasinya tidak ditutup dari tabungan pemerintah, tetapi dari utang luar negeri. Maka investasi oleh negara selalu lebih besar daripada tabungannya. Di sektor swasta juga tampak jelas bahwa investasi lebih 

besar dari tabungan. Maka arus modal asing sangat deras dan besar jumlahnya. Bahwa investasi tidak cukup dibiayai oleh tabungan adalah ciri yang umum buat negara-negara berkembang. Namanya saja masih berkembang, sehingga modal masih langka dibandingkan dengan kesempatan berinvestasi.

Dengan gambaran yang demikian, yaitu investasi selalu lebih tinggi dari tabungan, defisit transaksi berjalan selalu merupakan kenyataan. Jadi, defisit transaksi berjalan tidak disebabkan oleh kemampuan ekspor kita yang minimal. Tidak. Ekspor boleh hebat, tetapi selama investasi lebih besar dari tabungan, defisit transaksi berjalan merupakan ancaman. Ini per definisi. Bagaimana hubungannya? 

Hubungan ini bisa kita jelaskan dengan formula sebagai berikut, yang menggunakan simbol-simbol: 

Y = pendapatan nasional. C = konsumsi. S = tabungan. I = investasi. X = ekspor. M = impor. 

Y = C + I + X — M
Y — C = I + X — M 
S = I + X — M, sehingga 
I + X = S + M. 

Jelas bahwa kalau I (investasi) lebih besar dari S (tabungan), keseimbangan hanya dapat dipertahankan oleh M (impor) yang lebih besar dari X (ekspor). 

Karena I (investasi) yang harus dipacu terus, walaupun lebih besar dari S (tabungan) itu bagi pemerintah Orde Baru adalah doktrin, maka di balik pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan, defisit transaksi berjalan juga seperti doktrin kenyataannya. Defisit transaksi berjalan terus-menerus merupakan tekanan.

Sejak tahun 1969, defisit transaksi berjalan telah mengakibatkan tiga kali devaluasi dan satu kali "Gebrakan Sumarlin”. 
Dengan defisit transaksi berjalan yang 6,8 milyar dolar AS di tahun 1995, dan diperkirakan akan membengkak terus menjadi 8,8 milyar dolar AS di tahun 1996 dan 10,7 milyar dolar AS di tahun 1997, benarlah kata Menkeu bahwa defisit transaksi berjalan sudah menunjukkan lampu kuning. 

Dari Gubernur Bank Indonesia juga kita dengar berkali-kali bahwa ekonomi memanas. Dari pihaknya dikatakan, semuanya akan dilakukan untuk mendinginkannya, tetapi tanpa gebrakan-gebrakan. Disebutkan olehnya, Bank Indonesia mempunyai banyak instrumen, seperti politik diskonto, operasi pasar, pengetatan reserve requirement, pengendalian uang beredar, dan sebagainya. Maka saya heran mengapa Menkeu dalam penjelasannya yang saya kutip tadi mengatakan "mengimbangi sektor moneter yang ekspansif”. 

Rasanya sektor moneter tidak ekspansif. Bahwa tidak atau kurang efektif bisa saja, bahkan sangat mungkin. Politik ekonomi selalu dihadapkan pada dilema. Membutuhkan pemilihan yang tegas kepentingan mana yang ingin dicapai, dan kepentingan mana yang bersedia dikorbankan.

Berbagai instrumen ada di tangan banyak menteri, sehingga perlu koordinasi yang ketat. Kebijakan pemerintah sebagai satu kesatuan harus komprehensif dan konsisten. Kalau berbagai kepentingan itu dibela sendiri-sendiri oleh menteri-menteri yang bersangkutan, kebijakannya akan saling bertabrakan dampaknya. 

Kita lihat dari formula di atas, bahwa untuk mengurangi defisit transaksi berjalan, masuknya investasi asing harus direm, karena lebih memperburuk diskrepansi antara tabungan dan investasi. Tetapi justru dengan defisit transaksi berjalan yang ada, cadangan devisa terancam habis. 

Cadangan devisa hanya bisa dipertahankan dengan masuknya arus modal asing. Kepentingan mempertahankan cadangan devisa bertentangan dengan kepentingan memperkecil defisit transaksi berjalan. Kepentingan mana yang dipilih? Meninvest berkepentingan menunjukkan prestasinya dengan menunjukkan angka masuknya modal asing yang sebesar-besarnya. Bahwa kita sedang berada pada konjungtur yang tidak menguntungkan tidak dipedulikan, atau mungkin tidak disadari, atau sangat mungkin tidak ada koordinasinya. Menkeu sendiri dihadapkan pada lingkaran setan. 

Defisit transaksi berjalan menguras cadangan devisa, yang hanya bisa dikurangi kalau masuknya investasi asing dibatasi. Tetapi membatasi masuknya investasi asing berarti membiarkan cadangan devisa terkuras habis oleh defisit transaksi berjalan yang demikian membengkaknya. 

Maka yang sekarang diupayakan adalah memakai instrumen anggaran negara atau public finance. Melakukan kontraksi dengan memupuk sisa anggaran lebih semaksimal mungkin. Tetapi membiarkan, bahkan menganjurkan masuknya investasi asing secara besar-besaran? 

Jadi kebijakan anggaran yang kontraktif diberlakukan semaksimal mungkin. Mampukah membendung kekuatan tekanan pada defisit transaksi berjalan yang disebabkan langsung oleh masuknya modal asing, yang mengakibatkan investasi selalu melebihi tabungan? 

Pertanyaan lain lagi, apakah sisa anggaran yang dipupuk oleh Menkeu akan mungkin sebesar defisit yang dibiayai oleh negara-negara donor? 
Bagaimanapun juga, visi Menkeu perlu dipuji dan didukung. Dia yang dengan tegas mengatakan untuk pertama kalinya akan memakai anggaran sebagai instrumen pengendalian konjungtur. Kita harus sadar, bahwa kalau berhasil, pilihan sebenarnya sudah kita jatuhkan, yaitu menurunkan pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan pengangguran. 

Di parlemen negara-negara demokratis yang sudah maju, benturan kepentingan antara mendinginkan ekonomi dengan akibat menurunnya pertumbuhan ekonomi dan meningkatnya pengangguran merupakan debat yang seru, emosional, dan tidak jarang mengakibatkan jatuhnya pemerintah. Di Indonesia, DPR kita tidak memberi reaksi apa-apa. Kita patut bersyukur. 

Bahwa Menkeu memberlakukan kebijakan yang bertentangan dengan ketentuan di dalam GBHN tentang anggaran berimbang juga urusan lain. Yang jelas, saya setuju dengan visi Menkeu, dan saya setuju sudah waktunya kita menggunakan anggaran sebagai pengendali konjungtur ekonomi. Saya juga sadar akan konsekuensinya, bahwa untuk sementara waktu, pertumbuhan ekonomi dan kesempatan kerja dikorbankan. 

Kwik kian Gieekonom senior

Kompas, 23 Desember 1996 


Sumber

Kwik Kian Gie, Gonjang-Ganjing Ekonomi Indonesia: Badai Belum Akan Segera Berlalu, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama dan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi IBII, 1998, h. 387-392.



0 komentar:

Posting Komentar