Oleh: Pramoedya Ananta Toer
Tambah jauh dengan surat-suratnya, tambah banyak Kartini bicara tentang Tuhan, dan tambah jauh ia meninggalkan bentuk-bentuk keibadahan atau agama. Ia adalah seorang yang religius, tanpa berpegang pada bentuk-bentuk keibadahan ataupun syariat, jadi ia termasuk dalam golongan javanis Jawa, atau golongan kebatinan, di mana Tuhan dipahami sebagai sumber hidup, yang mengikat setiap orang dengan-Nya, tak peduli apapun agama yang dianut, bahkan juga bagi si ateis sekalipun, sebagaimana jelasnya dinyatakannya dalam hubungan dengan buku Edna Lyall We Two.
Ia dapat menerima agama apapun, dan ia tidak dapat menerima pemutarbalikan atas agama apapun, sebagaimana halnya pernyataannya dalam hubungan dengan buku Sienkiewicz Quo Vadis?
Dan bagaimana tentang kepercayaannya sendiri sebagai seorang pemeluk agama Islam?
"Tahun-tahun datang dan mereka kemudian pergi...... Kami bernama orang-orang Islam karena kami keturunan orang-orang Islam, dan kami adalah orang-orang Islam hanya pada sebutan belaka, tidak lebih. Tuhan, Allah, bagi kami adalah seruan, adalah kata, adalah bunyi tanpa makna...... Demikianlah kami hidup terus—sampai terbitlah hari yang akan mendatangkan pergulingan di dalam kehidupan rohani kami."
Kalau Kartini menyatakan seperti itu, bukan berarti ia memunggungi agama nenek-moyangnya, tetapi hanyalah suatu pengakuan jujur tentang suasana hati sesaat, di mana ia merasa tidak puas terhadap sikap orang-orang yang menamakan dirinya orang Islam, tetapi melakukan perbuatan-perbuatan yang justru tidak patut dilakukan oleh orang-orang yang menyebut dirinya beragama. Dan perlakuan semacam itu terlalu banyak diterima oleh Kartini dari orang-orang yang justru mengakui dirinya Islam, terutama perlakuan dalam bentuk fitnah dan bisik-desus. Memang Kartini banyak bicara tentang religi, tetapi sebenarnya ia lebih banyak seorang humanis, yang melihat segala dari jurusan kepentingan manusia: amal manusia kepada manusia sebagai dasar moral dunia modern. Asas ini yang menyebabkan ia dengan kata-kata yang terasa keluar dari hati jengkel menulis:
In 't kort, zendingsarbeid—doch zonder doop,
atau:
Pendeknya, kerja amal—tapi tanpa baptis.
Ini dinyatakannya kepada E.C. Abendanon sebagai syarat-jawaban, yang mungkin sekali hendak mempergunakan krisis pengertian Kartini atas religi yang tidak memuaskan hatinya sebagai kesempatan untuk berpindah kepercayaan Protestan, sebagaimanamana dilakukan oleh Pandita Ramabai di Hindia Inggris. Dan selanjutnya ia menyatakan, bahwa, kalau Belanda hendak mengajarkan kesalehan mutlak pada orang Jawa, haruslah diajarkan kepada mereka itu cara mengenal Tuhan yang Mahaesa, Bapa Cinta. Bapa seluruh Makhluk-Nya, tak peduli Orang Nasrani, Islam, Buddha, ataupun Yahudi. Kemudian Kartini menyatakan pula, bahwa:
".... agama yang sesungguhnya ialah kebatinan, dan agama itu bisa dipeluk baik sebagai Nasrani maupun sebagai Islam dan lain-lain.”
Kembali di sini orang berhadapan dengan sinkretisme dalam jiwa Kartini, yang selalu mencoba meninggalkan syarat, untuk tidak terpeleset dari asas ajaran. Tapi lebih jelas ialah sebagaimana ia rumuskan sendiri:
"Selalu menurut paham dan pengertian kami, inti segala agama adalah 'Kebajikan', yang membuat setiap agama menjadi baik dan indah. Tapi, duh! Orang-orang ini apakah yang telah kalian perbuat atasnya!
Agama adalah dimaksudkan sebagai karunia, untuk membentuk ikatan antara semua makhluk Tuhan, coklat dan putih, dari kedudukan, jenis, kepercayaan apapun, semua kita adalah anak-anak dari satu Bapa, dari satu Tuhan!
Tak ada Tuhan lain terkecuali Allah! Kata kami orang-orang Islam, dan bersama kami juga semua orang beriman, kaum monoteis, Allah adalah Tuhan, Pencipta Sekalian Alam.
Anak-anak dari satu Bapa, saudara dan saudari jadinya, harus saling cinta-mencintai, artinya tunjang-menunjang bertolong-tolongan. Tolong-menolong dan tunjang-menunjang, cinta-mencintai, itulah nada-dasar segala agama.
Duh, kalau saja pengertian ini dipahami dan dipenuhi, agama akan menguntungkan kemanusiaan, sebagaimana makna asal dan makna ilahiah daripadanya: karunia!
Itu yang justru membuat kami bersiaga terhadap agama, ialah bahwa para pemeluk agama yang satu menghinakan, membenci, kadang memburu-buru yang lain, malah..."
Jadi, sebagai humanis Kartini memandang, tanpa kemanusiaan dalam batin manusia itu sendiri, agama tidak bakal memenuhi gunanya. Jelas sekali pendapat ini berasal dari golongan javanis dan dirumuskan secara modern sejalan dengan humanisme Eropa dan yang oleh Multatuli dalam Minnebrieven-nya dikristalisasikannya dengan kata-kata: “Tugas Manusia ialah menjadi Manusia.”
Sejalan dengan gaya Kartini yang bermakna-ganda, pernyataan-pernyataannya tentang soal yang sangat khusus nampaknya ini, bukan tidak mungkin mempunyai latar belakang lain lagi, yaitu hubungan tanpa berperikemanusiaan antara penjajah putih dan terjajah coklat. Meninggalkan kemungkinan adanya makna-ganda dalam pernyataannya tersebut menarik adalah istilah-istilah Nasrani yang dipergunakannya dalam membicarakan bidang ini, hampir tak pernah dipergunakannya istilah Arab. Benar ia pernah menyatakan, di lingkungannya tiada seorang pun paham bahasa Arab, tapi sedikit atau banyak mengherankan juga keadaan ini.
Namun apapun kekurangannya di bidang agama Islam, ia tiada pernah mencederai agamanya, sebagaimana ia pun tiada pernah mencederai Rakyatnya.
R.M. Notosuroto menyatakan, bahwa “perasaan keagamaan Kartini nampak pada keteguhan imannya, dalam mana ia terdidik, tetapi suatu keteguhan yang berbareng dengan pengertian yang lembut di mana sekaligus diberikan tempat yang luas bagi kebajikan agama-agama lain. Penghargaannya ini menyebabkan kalbunya tidak membeku dalam dogma-dogma kaku, tapi sebaliknya menyebabkan ia menjadi lebih kaya dan membuat ia mengerti quintessence atau inti setiap religi: kebajikan dan cinta sesama.
Dari bagian kehidupan kalbunya ini kita dapat mengenal garis-garis watak Kartini yang menyebabkan ia menjadi permata toleransi, kesadaran harga diri, dan penghargaan terhadap kebajikan yang juga berasal dari orang-orang lain."
“Keseimbangan yang sama dengan anggapannya terhadap religinya sendiri serta orang lain dapat kita temukan kembali di dalam penghargaannya terhadap sifat pandangan hidup Timur maupun Barat.”
Jadi yang manakah Tuhan Kartini sesungguhnya? Segera atas pertanyaan ini Mr. C. Th. van Deventer menjawab: “Kalau orang hendak tahu tentang Tuhannya Kartini? Yah, Dialah Yang Tertinggi tanpa Batas, yang menyebabkan orang-orang Islam, Kristen, dan Yahudi bersaudara satu dengan yang lain, yang menyebabkan juga orang-orang Brahma dan bahkan juga orang Kafir dijiwai dan bahwa Kebajikan dan Cinta merupakan ketentuan-ketentuannya yang terutama. Kepercayaan pada Tuhan itulah yang terutama baginya, keibadahan hanya soal tradisi. Sebagai orang yang terdiri secara Islam, ia ingin tetap menjadi Islam sekalipun ia tidak buta terhadap beberapa kelemahan dari ajaran itu, karena bentuk kepercayaan itu baginya akhir-akhirnya adalah soal kedua, dan setiap bentuk itu pun punya kelemahannya sendiri.
"... Tidak pernah dihadapkan kepada kita dengan lebih jelas betapa perasaan-perasaan keagamaan pada orang Jawa yang telah bersentuhan dengan peradaban Barat mendapatkan suatu pentahbisan yang lebih tinggi tanpa harus memunggungi agama Islam.”
Dan setelah memahami Tuhan-nya Kartini, barulah orang dapat memahami pula ucapan-ucapannya dalam mana Tuhan disebut-sebutnya.
Sungguh mengherankan, sekalipun begitu banyak menyebut-nyebutnya, hampir selalu ia mempergunakan istilah dan isi yang ada dalam ajaran Nasrani yang dicampuraduknya dengan ajaran-ajaran Islam yang diterimanya hanya secara tradisional dan asimilatif dan nampak sekali Kartini tidak pernah berkenalan dengan teologi baik menurut Islam maupun Nasrani, dan di sana-sini muncul teori-teori yang berasal dari bacaan. Baik teori-teorinya sendiri maupun yang telah menjadi kepunyaannya sendiri, tidak pernah meninggalkan pengutamaan nilai manusia serta amalnya kepada masyarakat.
Manusia dan batas kemampuannya
Sekalipun pengutamaannya atas nilai manusia serta amalnya kepada masyarakat, Kartini tidak melupakan kenyataan, bahwa usaha dan kesanggupan manusia ada batasnya. Dan kebijaksanaan Kartini justru terletak pada kemampuannya mengenal batas ini, sehingga, sekalipun Abu Hanifah menamainya sebagai “wanita idealis dari Jepara”, ia tidaklah termasuk idealis yang tak kenal batas. Sebaliknya, bukankah kemampuannya mengenal batas itu justru salah satu ciri dari realisme? Sekalipun pada tarafnya yang permulaan? Tetapi apakah Kartini seorang idealis ataukah seorang realis, sebenarnya tidak mengurangi maknanya dalam sejarah Indonesia, terutama dalam sejarah kebudayaan Indonesia.
Dalam suratnya kepada Nyonya Ovink-Soer pada bulan Oktober tahun 1900, ia mengatakan, bahwa “Pemenuhan dari hasrat-hasrat hati, banyak kali dibarengi dengan penerimaan luka-luka pada hati itu pula.”
"Dan begitu banyak kejadian pada hari-hari belakangan ini menunjukkan: Manusia menimbang—Tuhan jua yang menentukan. Itulah peringatan bagi kami orang-orang berpemandangan cetek ini, peringatan agar terutama sekali tidak congkak: merasakan sungguh-sungguh, bahwa kita sendiri mempunyai kemauan sendiri."
Dan kemudian:
"Ada suatu Kekuasaan, yang lebih besar daripada seluruhnya yang ada di atas muka bumi ini; ada suatu Kemauan, lebih kuat, lebih berkuasa daripada seluruh kemauan umat manusia. Celakalah manusia, yang menyombongkan kemauan besi dan dahsyatnya sendiri!
Hanya ada satu Kemauan, yang boleh dan harus kita punyai; kemauan untuk mengabdi kepadanya: Kebajikan!... "
Teori-teori semacam itu selamanya dinyatakan oleh Kartini sewaktu ia berada dalam situasi jiwa yang pelik, dan ada dirasainya suatu tenaga yang lebih besar daripada tenaganya sendiri, usaha yang lebih besar daripada usahanya sendiri, yang semuanya itu membatasi kemampuannya, gerak-geriknya, usahanya. Jadi teori-teori semacam itu seakan-akan menjadi kebutuhan baginya sebagai kompensasi atas kegagalan-kegagalannya, atau semacam hiburan yang lahir karena kesadaran akan keterbatasan manusia. Lama-kelamaan, karena terlalu sering mengalami yang demikian, ia lebih hati-hati dalam usahanya, bahkan dalam pemikirannya pun, sehingga memberinya sifat baru padanya, yaitu sifat mengenal batas.
Juga di masa-masa ia merasa di dalam jurang penderitaan yang paling dalam, dari keyakinannya akan keterbatasan manusia, timbul anakkepercayaan, bahwa pasti ada sesuatu penjelasan atau jalan keluar, entah dari mana datangnya—yang pasti datang—dan karena tiada diketahuinya sebelumnya dari mana datangnya, maka dinamainya "tenaga gaib". Dan tenaga ini mengangkatnya ke atas dari dasar jurang, melalui salah satu peristiwa, keadaan, yang mungkin tak pernah disangka-sangka sebelumnya, tetapi yang mana ia menolaknya dinamai "kebetulan". Dengan demikian sampailah ia kemudian pada teorinya tentang Takdir.
"Kebetulan!—tidak, bukan kebetulan, itulah takdir Tuhan. Allah, Bapa kami, yang mengirimkan kemari mereka ke sini, untuk mengisi jiwa-jiwa muda kami yang muda dan berjuang dengan tenaga dan ketabahan segar. Pertemuan itu merupakan titik balik di dalam hidup kami. Mulanya kami masih ragu-ragu, tapi setelah itu mantaplah tekad kami untuk mencapai cita-cita kami, apapun korban yang dipintanya.
Dahulu nampaknya begitu gaib; sekarang telah menjadi jelas, bening, sederhana.
Tuhan sajalah yang mengerti rahasia dunia; tangan-Nya mengendalikan alam semesta; Dialah, yang mempertemukan jalan-jalan yang berjauhan menjadi satu jalan baru.
Demikianlah ia telah arahkan jalan kawan-kawan itu kepada kami, agar kami menjadi lebih kuat oleh pertemuan-pertemuan itu, disatukan dengan jiwa-jiwa besar dan kuat, menjadi jalan baru yang dapat dilalui oleh mereka yang berada di belakang kami. Kami tidak mengenal sama sekali satu daripada yang lain, dan kami sama sekali tidak mengetahui tentang mereka. Maka tiba-tiba kami pun berhadap-hadapan, dan roh-roh yang tadinya asing itu, kemudian memancarkan simpati satu kepada yang lain. Beberapa jam hanya pertemuan kami itu; waktu kami berpisahan, tahulah kami, bahwa kami akan bersahabat.
Keajaiban itu telah dimulai, dan ia mengembangkan dirinya! Sebulan setelah pertemuan itu terjadi sesuatu, yang tiada pernah kami duga-duga sebelumnya, mengimpikannya pun tidak. Nyonya tahu bukan, bahwa keluar rumah bagi gadis-gadis Jawa bukanlah adat, bahwa mereka semestinya harus terus dikurung di balik tembok atau pagar bambu, sedemikian lamanya sampai datang seorang yang sama sekali tak dikenalnya, “seorang suami yang ditakdirkan Tuhan” itu dan datang menuntutnya dan menyeretnya ke rumahnya. Begitu pendek kami baru mengenal kebebasan, atau bagaimana sajalah Nyonya menamainya. Kejadian yang tak pernah terduga-duga itu ialah: kami berada di Batavia di tempat sahabat-sahabat baru.
“Rasanya aku harus jelajahi seluruh Jawa untuk dapat bertemu dengan kalian, aku harus temukan kalian. Dan kalau sudah aku temukan kalian, puaslah hatiku.”
Kami ditakdirkan untuk bertemu, pertemuan untuk mengemudiankan pengaruh besar atas hidup kita.
Sebelum kedatangan mereka kami telah melayang-layang dalam keraguan, maklumlah, waktu itu masih gelap-gulita di sekeliling kami. Tanpa sadar kami, mau atau tidak, mereka telah obori arah yang pasti ketika kami dalam keadaan melayang-layang. Ke sanalah kami harus pergi, menempuh jalan menuju Cita!"
Jelaslah bahwa Takdir bagi Kartini bukan kata lain daripada defiatisme, fatalisme, atau penyerahan diri dalam kehilangan kepercayaan diri, tapi berasal dari wawasan yang luas serta mendalam tentang tugas sang kebajikan itu bagi peningkatan terus-menerus umat manusia ke arah yang baik dan lebih baik, pendeknya bagi evolusi manusia dan masyarakatnya.
***
Kalau diperhubungkan pengertian Kartini tentang Tuhan dan tentang Takdir, orang mendapatkan, bahwa Tuhan adalah Kebajikan sedang Takdir adalah Pimpinan yang diberikan oleh Kebajikan itu pada evolusi manusia dan masyarakatnya. Dan karena Tuhan adalah Kebajikan, dengan sendirinya Ia berada di tengah-tengah kehidupan manusia, Ia hidup di dalam hati dan jiwa manusia. Maka tanpa Tuhan, manusia sebenarnya tiada berhati, tiada berjiwa, dia adalah binatang, hewan yang tiada mengenal Kebajikan. Kembali orang bertemu dengan rumusan humanis Multatuli: “Tugas Manusia ialah menjadi Manusia.”
Paham tentang Tuhan dan akal
Paham Kartini tentang Tuhan lebih banyak bersifat realistik daripada metafisik. Karena Tuhan adalah Kebajikan, sudah pastilah bahwa makna yang diberikan Kartini pada-Nya mengandung faal yang positif, tanpa sesuatu kesamaran, jelas. Malah pada kesempatan lain ia perjelas lagi dengan keterangan yang lebih realistik:
"Tuhan kami adalah nurani, neraka dan sorga kami adalah nurani kami. Dengan melakukan kejahatan, nurani kamilah yang menghukum kami, dengan melakukan kebajikan, nurani kami pulalah yang memberi kurnia."
Antara Kebajikan dan Nurani memang ada perbedaan yang besar, yang bisa menyebabkan orang bertanya-tanya, yang mana sesungguhnya pengertian Kartini tentang Tuhan. Dalam hal ini perlu dijelaskan bahwa Kebajikan dan Nurani merupakan kesatuan yang tak terpisahkan, yaitu kebajikan sebagai panji-panji dan Nurani sebagai pengawasnya, seorang humanis pejuang sebagaimana Kartini ini sebenarnya tidak pernah mengalami jalan buntu dalam perjuangannya.
Ciri kemodernan Kartini di bidang ini pun nampak dari tuntutannya, bahwa segala-galanya harus bisa dipertanggungjawabkan kepada akal, dan sudah tentu sesuai dengan kriteria pemikirannya. Pertanggungjawaban ini selalu nampak pada penolakannya terhadap syariat dan mengambil sarinya, yakni filsafatnya. Dari pengertian ini dengan lebih mudah orang dapat memahami, mengapa pada suatu kali ia menyatakan:
Sebagai bocah kuperbuat semua (maksudnya syariat) dengan sendirinya, tanpa bertanya, karena orang-orang lain sebelum aku dan bersama aku melakukannya juga. Kemudian tibalah waktunya, jiwaku mulai bertanya: “Mengapa aku lakukan ini begini dan itu begitu?” Mengapa—mengapa—tiada habis-habisnya mengapa!
Dan kemudian aku memutuskan tidak lagi melakukan sesuatu yang tak kuketahui hukum dan keterangannya. Aku tak mau lagi melakukan sesuatu dengan sendirinya tanpa mengetahui mengapa, buat apa, dan dengan tujuan apa. Tak mau lagi aku membaca Qur'an, menghafal kalimat-kalimat asing, yang tak kuketahui maknanya, dan barangkali kiai-kiaiku sendiri, lelaki dan perempuan, juga tidak mengerti. “Katakan padaku apa artinya dan aku mau mempelajari semuanya.” Aku telah melakukan dosa, kitab dari segala kitab itu terlalu kudus untuk dapat kami pahami. Jadi kami putuskanlah untuk tidak lagi berpuasa dan melakukan hal-hal lain yang dahulu kami kerjakan tanpa berpikir dan yang kami pikir sekarang ini tak dapat lagi kami kerjakan. Gelap—kami merasa kegelapan—tiada seorang pun mau menerangkan kepada kami apa yang kami tidak mengerti.”
Kembali orang dapat dengarkan suara humanis Multatuli: “Tugas Manusia adalah menjadi Manusia.” Manusia itu berakal karena itu harus menggunakan akalnya. Kartini menolak tiadanya pertanggungjawaban terhadap akal. Ia tidak mengerti mengapa harus berpuasa, harus membaca Quran, tiada seorang pun dapat memberikannya penjelasan yang bisa dipertanggungjawabkan pada akalnya, karena itu ia tinggalkan syariat yang telah menjadi adat ini. Ia tidak mau dipaksakan dalam situasi tanpa pikir, dengan kondisi akal yang dinonaktifkan sebagai penganggur.
Bagaimanapun Kartini berteori sendiri di bidang ini, ia sebenarnya tidak pernah memunggungi agamanya, sesuai dengan pepatah Melayu:
“Sekali lancung ke ujian....”, yang juga terdapat dalam anggapan Jawa yang berbunyi kurang lebih “Sekali bertukar kesetiaan, dia tak punya kesetiaan lagi,” atau seperti kata-kata yang dipergunakannya sendiri, bahwa ia takkan “mengabdi pada dua tuan”.
Sumber:
Pramoedya Ananta Toer, Panggil Aku Kartini Saja, Jakarta: Lentera Dipantara, 2003,
h. 260-267, dan 269-271.
Keterangan:
Tulisan Pramoedya Ananta Toer ini saya ambil dalam bukunya berjudul Panggil Aku Kartini Saja, yaitu dari halaman 260 sampai 267 dan 269-271. Judul di atas dari saya sendiri.
0 komentar:
Posting Komentar