Kutipan-kutipan berikut saya ambil dari buku karya F Budi Hardiman, Seni Memahami: Hermeneutik dari Schleiermacher sampai Derrida (Yogyakarta: Kanisius, 2018).
***
Demokrasi kontemporer mendorong proses pembiasaan tidak hanya dengan berbagai pemahaman, melainkan juga dengan kesalahpahaman dan ketidaksepahaman. Kesalahpahaman dan ketidaksepahaman memang tidak selalu dapat dianggap sebagai "kurangnya" pemahaman, tetapi pasti berkaitan dengan bentuk pemahaman tertentu dan—jika masih dimungkinkan—kerinduan untuk memahami. Memahami harus dibuka seluas-luasnya sehingga mencakup tidak hanya memahami pemahaman, melainkan juga memahami kesalahpahaman dan ketidaksepahaman. Hermeneutik pemahaman yang dikembangkan oleh kedelapan tokoh yang diulas dalam buku ini membuka kemungkinan itu. Berbagai masalah ketaksepahaman dan kesalahpahaman mungkin tidak dapat diselesaikan oleh hermeneutik pemahaman—atau malah mungkin ditimbulkan olehnya?—tetapi hermeneutik dapat membantu kita bersikap terbuka untuk berkomunikasi dengan dan di dalam dunia-dunia dan pandangan-pandangan yang majemuk, dengan tradisi-tradisi dan subtradisi-subtradisi yang majemuk, dengan subyektivitas-subyektivitas dan intersubyektivitas-intersubyektivitas yang majemuk.
Meski demikian, hermeneutik modern memiliki keterbatasan. Sebagai pendekatan. rasional ia mengandaikan sikap rasional penggunanya. Kesulitan akan dijumpai ketika hermeneutik harus berhadapan dengan modus-modus interpretasi dalam agama yang menolak pendekatan rasional dan cenderung fideistis. Hermeneutik memperlakukan kitab-kitab suci, seperti Al Qur'an dan Alkitab, sebagai sebuah teks seperti teks-teks lain. Teks-teks sakral itu lalu juga dipahami dalam konteks-konteks sosio-historis mereka. Di sini hermeneutik menghadapi masalah yang tidak mudah. Umat beragama memercayai teks-teks sakral mereka sebagai wahyu ilahi.
Ada kecenderungan kuat di antara umat beragama untuk menentang analisis sosial-historis atas isi kitab suci mereka, karena mereka meyakini isi kitab suci mereka itu bersifat “ilahi, abadi dan melampaui batas kemampuan manusiawi untuk menentukan apa yang telah -diwahyukan oleh Allah”. Akan tetapi fakta bahwa kitab-kitab suci telah, sedang dan akan mendapat penafsiran yang berbeda-beda menunjukkan bahwa kekayaan makna wahyu ilahi itu tidak habis ditimba. Artinya, entah melarang atau memperbolehkan pemakaian hermeneutik, hermeneutik tetap berlangsung, sehingga literalisme skriptural juga dapat dipandang sebagai suatu modus hermeneutis. (h. 23-25)
***
Enam Definisi Hermeneutik menurut Richard E. Palmer
Menurut Richard E. Palmer dalam bukunya Hermeneutics. Interpretation Theory in Schleiermacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer (Northwestern University Press, Evanston, 1969, hlm. 44)—sebagaimana dikutip oleh F Budi Hardiman dalam bukunya Seni Memahami—ada enam definisi hermeneutik, yaitu:
Pertama, hermeneutik sebagai teori eksegesis Alkitab. Pengertian ini adalah yang paling tua—muncul pasca Reformasi Protestan—dan masih bertahan sampai hari ini.
Kedua, hermeneutik sebagai metodologi filologis. Definisi ini muncul lewat perkembangan rasionalisme di Eropa yang mencoba menafsirkan berbagai teks, termasuk Alkitab, dalam terang nalar.
Ketiga, hermeneutik sebagai ilmu pemahaman linguistik. Definisi ini dapat kita temukan dalam pemikiran Schleiermacher yang mencoba menggariskan "seni memahami” sebagai sebuah metode seperti yang terdapat dalam ilmu-ilmu modern.
Keempat, hermeneutik sebagai dasar metodologis ilmu-ilmu sosial-kemanusiaan. Definisi ini dirintis oleh Dilthey yang mencoba mendasarkan ilmu-ilmu sosial-kemanusiaan dengan metode interpretatif.
Kelima, hermeneutik sebagai fenomenologi Dasein dan pemahaman eksistensial. Definisi ini berasal dari Heidegger, sebuah pendalaman konsep hermeneutik yang tidak hanya mencakup pemahaman teks, melainkan menjangkau dasar-dasar eksistensial manusia.
Keenam, hermeneutik sebagai sistem interpretasi. Definisi yang berasal dari Ricoeur ini mengacu pada teori tentang aturan-aturan eksegesis dan mencakup dua macam sistem, yakni pertama, pemulihan makna sebagaimana dipraktikkan dalam demitologisasi Bultmann, dan kedua, ikonoklasme atau demistifikasi sebagaimana dipraktikkan oleh Marx, Nietzsche, dan Freud.
(lihat F Budi Hardiman, Seni Memahami: Hermeneutik dari Schleiermacher sampai Derrida, Yogyakarta: Kanisius, 2018, h. 13).
***

0 komentar:
Posting Komentar