Pada Jumat kemarin, 6 Oktober 2023, beredar posting-an di grup-grup WhatsApp tentang penolakan sekelompok masyarakat terhadap nama-nama calon Pj Bupati Kerinci yang diusulkan oleh DPRD Kabupaten Kerinci. Sekelompok masyarakat menolak beberapa nama karena dianggap tak mencerminkan aspirasi masyarakat. Pertanyaannya, apakah pengangkatan Pj Bupati suatu daerah mesti memperhatikan aspirasi masyarakat? Bukankah Pj itu hanyalah sebatas jabatan administratif ASN, yang bersifat penugasan, bukan jabatan politik yang dipilih melalui mekanisme pemilihan umum?
Apa itu Pj Bupati?
Pj adalah singkatan dari
"Penjabat", bukan "Pejabat". Harus dibedakan istilah "penjabat"
dan "pejabat". “Penjabat” artinya orang yang menjabat untuk sementara,
menunggu terpilihnya pejabat definitif. Pj Bupati bukanlah jabatan politik yang
dipilih oleh masyarakat secara langsung melalui mekanisme demokrasi, yakni pilbup.
Ia hanyalah “jabatan administratif” pemerintahan yang berasal dari ASN. Karena
itu, untuk menjadi Pj, syaratnya haruslah seorang ASN aktif.
Karena bukan jabatan politik,
maka Pj tak memiliki wewenang seluas wewenang bupati definitif. Salah satu
contoh, dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, Pj Bupati dilarang melakukan
mutasi ASN. Ia juga dilarang membatalkan perijinan yang telah dikeluarkan oleh
pejabat sebelumnya dan/atau mengeluarkan perijinan yang bertentangan dengan
yang dikeluarkan bupati sebelumnya.
Pj Bupati dilarang membuat
kebijakan tentang pemekaran daerah yang bertentangan dengan kebijakan bupati
sebelumnya. Juga Pj Bupati tak boleh membuat kebijakan-kebijakan yang bertentangan
dengan kebijakan penyelenggaraan pemerintahan dan program pembangunan bupati
sebelumnya. Ini artinya apa? Artinya, Pj tak lebih sebagai "pelaksana
tugas (plt)" administratif pemerintahan daerah menunggu dipilihnya bupati
melalui pilbup.
Tapi, dan ini yang harus
dipahami, meskipun wewenangnya terbatas, dalam praktiknya, Pj Bupati saat ini sudah
bisa disebut "setengah bupati". Bahkan, di daerah tertentu, Pj sudah
"rasa bupati", bergaya bupati, dan dipanggil sebagai "Pak
Bupati". Saya terkadang merasa lucu juga mendengar orang memanggil seorang
Pj dengan sebutan "Pak Bupati". “Sejak kapan ia dipilih oleh
masyarakat,” pikirku. Bukankah ia hanya seorang pegawai ASN, tak ubahnya seorang
sekda, kepala dinas, kepala instansi, dan semacamnya? Mestinya Pj dipanggil "Pj"
saja, bukan "bupati". Karena ia memang bukan bupati. Pj itu hanyalah
seorang ASN, bukan pejabat politik yang dipilih berdasarkan prinsip kedaulatan
rakyat dalam demokrasi.
Namun demikian, dalam praktik, Pj
juga punya peran besar yang berdampak luas bagi kehidupan masyarakat. Bahkan,
sebagaimana saya sebutkan di atas, ia seolah-olah menjadi "setengah
bupati". Artinya, saat ini, Pj tak bisa juga dipandang sebagai ASN belaka.
Pj memiliki tugas, kewenangan, kewajiban, dan larangan yang sama dengan tugas,
wewenang, kewajiban, dan larangan bupati sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan mengenai pemerintahan daerah. Walaupun dalam hal-hal
tertentu wewenangnya terbatas dan tak bisa bertindak layaknya bupati definitif sebagaimana yang saya jelaskan di atas.
Dalam melaksanakan tugas,
wewenang, dan kewajiban, Pj Bupati juga memiliki hak keuangan dan hak
protokoler yang setara dengan kepala daerah definitif sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, dalam perspektif negara hukum demokratis,
ada benarnya juga Pj itu diangkat dengan memperhatikan aspirasi masyarakat.
Masyarakat, dalam perspektif
politik, menurut saya, idealnya memang harus didengarkan aspirasinya dalam
pengangkatan Pj. Karena Pj tak bisa dipandang sebagai pegawai administratif ASN
biasa. Pj punya akses luas dan pengaruh besar dalam memimpin administrasi
pemerintahan daerah. Karena itulah mekanisme pengusulannya ke presiden tak
murni dari menteri, maupun gubernur sebagai wakil pemerintah pusat. Pj juga
diusulkan melalui mekanisme politik oleh DPRD Kabupaten. Nah, kalau sudah
melibatkan DPRD, berarti Pj tak murni lagi jabatan ASN. Ia sudah bermuatan
politik.
Kalau sudah bermuatan politis,
maka masyarakat berhak ikut terlibat dalam penentuan Pj Bupati. Protes masyarakat
dalam konteks ini tidaklah keliru. Hanya saja, persoalannya, dalam pengusulan
nama-nama Pj Bupati, adakah DPRD—yang merupakan wakil rakyat—mendengarkan
pertimbangan, masukan, dan aspirasi masyarakat? DPRD Kabupaten semestinya
membuka ruang-ruang diskusi publik terkait nama-nama yang dinilai layak untuk
menjabat Pj Bupati. Mesti ada transparansi kepada publik. Harus ada penjelasan
rasional: mengapa si A, mengapa tidak si B, dan seterusnya.
Mekanisme pengangkatan Pj
Bupati
Ada yang mengatakan wewenang itu ada pada gubernur. Ada juga yang mengatakan wewenang itu dimiliki oleh DPRD Kabupaten. Padahal, DPRD Kabupaten hanya sebatas punya kewenangan mengusulkan, bukan menetapkan. Yang punya kewenangan mengangkat dan menetapkan Pj Bupati adalah Presiden. Bagaimana mekanismenya? Mekanisme pengangkatan Pj Bupati diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2023 tentang Penjabat Gubernur, Penjabat Bupati, dan Penjabat Wali Kota.
Pengusulan Pj Bupati dilakukan
oleh Menteri, gubernur, dan DPRD melalui ketua DPRD kabupaten. Menteri mengusulkan
3 (tiga) orang calon. Gubernur juga dapat mengusulkan 3 (tiga) orang calon. Dan
DPRD melalui ketua DPRD kabupaten dapat juga mengusulkan 3 (tiga) orang calon
Pj Bupati yang memenuhi persyaratan kepada Menteri. Nama yang diusulkan bisa berjumlah
9 (sembilan) orang. Kemudian dilakukan pembahasan oleh Mendagri dan mengerucut menjadi
3 (tiga) nama. Mendagri menyampaikan 3 (tiga) nama usulan calon Pj Bupati kepada
Presiden melalui Mensesneg untuk dipilih satu di antara tiga nama. Pengangkatan Pj Bupati ditetapkan dengan Keputusan
Menteri.
Jadi, kalau dilihat dari dasar
hukumnya, yakni Permendagri Nomor 4 Tahun 2023, wewenang pengusulan itu ada
pada Mendagri. Gubernur dan DPRD hanya sebatas “dapat” mengusulkan. Keputusan ada
di tangan Presiden. Tapi, sebagaimana yang saya jelaskan di atas, karena Pj bisa
menjadi “setengah bupati”, maka idealnya, pertimbangan dan aspirasi masyarakat kabupaten
yang bersangkutan—yang diusulkan melalui DPRD Kabupaten—menjadi bahan pertimbangan
yang harus diperhatikan. Bagaimanapun, Indonesia adalah negara demokrasi,
yang kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat.
NANI EFENDI, Alumnus
HMI
0 komentar:
Posting Komentar