Oleh: Fuad Hassan
Di antara kegiatan manusia yang memiliki ciri kontemplasi adalah filsafat, yaitu ikhtiar untuk mencapai pengetahuan melalui cara yang sistematis, kritis dan radikal. Dalam sejarah filsafat ikhtiar ini mula-mula tertuju pada lingkungan alamiah (phusos) dan kemudian juga lingkungan dalam arti alam semesta (kosmos). Dari yang pertama berkembanglah berangsur-angsur bentuk pemikiran yang dikenal sebagai metafisika, sedangkan yang kedua merupakan awal dari suatu kosmologi.
Penggunaan bahasa begitu pentingnya sehingga pernah sesuatu masa dalam sejarah filsafat Yunani itu terkenal sekalangan ahli retorika yang melalui kemahirannya menggunakan bahasa berusaha meyakinkan orang lain tentang kebenaran pandangannya. Kalangan yang dikenal dengan sebutan kaum Sofis ini memberikan peran yang sangat penting pada bahasa sebagai perantara menyatakan isi pikiran; demikian pentingnya, sehingga kebenaran tentang sesuatu hal sangat ditetapkan oleh kemahiran seseorang untuk mengutarakannya melalui bahasa.
Hubungan antara bahasa dan cara pengungkapan pikiran serta penghayatan manusia memang erat sekali; lebih dari sekadar erat, melalui bahasa manusia juga mencoba untuk mengungkapkan diri secara cermat. Yang belakangan ini terwujud dalam ikhtiar yang dikenal sebagai filsafat; kecermatan menggunakan bahasa adalah syarat pertama – (dan utama) – dalam filsafat.
Dalam ilmu pengetahuan
Bahasa sebagai suatu sistem perlambangan memungkinkan manusia menerapkan ketertiban tertentu terhadap dunia sekeliling yang menjadi persepsinya; lebih dari itu, dengan bahasa ia juga mampu memberikan keteraturan terhadap gagasan-gagasan dan wawasan-wawasan (idea & insights) yang ada dan berkembang sebagai pikiran dan pengetahuannya. Hampir mustahil kita membayangkan kebenaran yang tersirat dalam ucapan Otto Jespersen bahwa ... “man is a classifying animal” seandainya manusia tidak berbahasa.
Selain dalam kegiatan berfilsafat, penggunaan bahasa yang menekankan kecermatan itu dituntut pula oleh pengungkapan pikiran dalam bidang ilmu pengetahuan. Perumusan dalil dan batasan merupakan contoh di antaranya. Lebih dari sekadar kecermatan, dalam ilmu pengetahuan diharapkan agar segala perumusan itu ringkas dan tidak pluri-interpretable. Sesuatu dalil atau batasan yang pluri-interpretable niscaya kehilangan cirinya sebagai dalil atau batasan. Juga mustahil bagi kita untuk membayangkan arus pemikiran dan perkembangan sesuatu teori keilmuan, jika bahasa tidak berfungsi sebagai sistem perlambangan.
Demikianlah maka bahasa menjadi perantara yang efektif untuk melahirkan pikiran dan penghayatan manusia umumnya. Dalam contoh-contoh di atas fungsi bahasa dilukiskan melalui pengungkapan yang menuntut ketepatan dan kecermatan.
Estetika
Dimensi lain lagi yang melekat langsung pada ungkapan melalui bahasa ialah estetika. Dalam hal ini tekanan dialihkan pada fungsi bahasa untuk mengungkapkan sesuatu penghayatan secara indah. Bahasa dalam fungsinya yang demikian itu diwakili oleh yang dikenal sebagai kesusastraan.
Dari zaman ke zaman manusia menurunkan karya-karya berwujud kebahasaan sambil memberi bentuk dan gaya yang dimaksudkan sebagai pengukuh segi-segi estetika. Apa pun ragamnya ungkapan kebahasaan yang dikenal sebagai kesusastraan itu, mudah sekali kentara betapa penulisnya menghayati dimensi estetika pada penggunaan bahasa.
Mungkin dimensi estetika itu menggejala dalam permainan bunyi atau irama, boleh jadi bahkan sekadar dalam memilih kata atau rangkaian kata-kata; bahasa yang berbunga-bunga seringkali tidak ekonomis, namun dipilih sebagai cara pengungkapan karena penulis ingin menampilkan segi estetika menurut penghayatannya. Dalam hubungan ini kita mulai menyaksikan kadar subyektivitas yang tinggi sekali dalam ungkapan kebahasaan itu. Tidak mustahil bahwa kadar subyektivitas itu ikut ditentukan oleh norma-norma kebahasaan yang berlaku dalam sesuatu lingkungan bahasa. Jika demikian halnya, maka tampaklah kaitan antara subyektivitas pribadi dengan selera lingkungan yang khas.
Kesusastraan adalah suatu cara juga untuk menjabarkan berbagai kondisi manusia; atau tepatnya, kesusastraan juga menjadi sarana untuk menjabarkan “manusia-dalam-dunianya”. Dalam hubungan ini maka kesusastraan membuka peluang bagi representasi dunia manusia sebagai dunia dialogi, dunia percakapan-percakapan (world of discourse). Ini bertalian dengan kenyataan eksistensial, bahwa ...ada-sebagai-manusia selalu merupakan ada bersama... (mengutip Martin Heidegger: Mensch-Seinist Mit-Sein), maka dunia manusia senantiasa dihayati sebagai dunia-bersama juga. Itu sebabnya, maka dunia manusia dihayati sebagai dunia dialogi atau world of discources.
Berbagai percakapan terjadi antara manusia dengan segala hal di luar dirinya: dengan Tuhan, dengan alam, dengan sesama manusia, bahkan juga dengan dirinya sendiri.
Gelanggan manifestasi
Dalam hal ini kesusastraan menjadi gelanggang manifestasi berbagai kondisi manusiawi, dan oleh karenanya sekaligus mampu menampilkan representasi dari berbagai penghayatan manusia. Melalui karya kesusastraan maka manusia mendapat peluang untuk melakukan objektifikasi dari penghayatan yang subyektif. Sampai di sini maka karya sastra sangat boleh jadi cermin tempat terpantulnya subyektivitas manusia; atau dengan kata lain, menjadi layar tempat diproyeksikannya pengalaman pengalaman psikis manusia dalam berbagai saat dan situasi.
Berbagai ragam bentuk kesusastraan dapat menjadi peluang guna mengungkapan penghayatan manusiawi; dan setiap kali kita bisa menemui berbagai dunia yang menjadi layar proyeksi bagi dialog-dialognya, termasuk yang diselenggarakan dengan dirinya sendiri.
Sudah tentu kesusastraan tidak semata-mata berisi dialog-dialog. Persepsi dan imajinasi sang sastrawan yang kemudian dituangkan dalam bentuk kebahasaan merupakan ‘seni’ tersendiri. Realitas yang tampil kepadanya menimbulkan asosiasi-asosiasi yang kaya untuk kemudian diungkapkannya berwujud bahasa.
Perhatikan misalnya ungkapan Albert Wendt, juga seorang sastrawan Samoa yang sangat tenar dewasa ini, yang melukiskan kehadiran di pantai laut:
It was low tide; a lone seagull screeched as it hovered above the water a short distance from the beach; there was no one about; small waves pancaked onto the sand; the beach curved away and dissapeared into the haze miles to his right. He inhaled deeply. The pungent smell of sea and sand and sky and decaying seaweed made him dizzy for a moment.
Betapa dalam imajinasinya membangkitkan asosiasi antara ombak yang pecah di pantai itu dengan adonan kuih yang cair ketika di pedadaran (...pancaked onto the sand). Betapa cermat ia melukiskan bau udara di pantai yang merupakan ramuan dari ...”sea and sand and sky and decaying seaweed” ...
Pada puncak perkembangannya maka kesusastraan tidak jarang menjadi perantara yang ampuh antara menampilkan suatu pandangan hidup, bahkan suatu sikap filsafat (filosofische houding) terhadap kehidupan umumnya. F.W Nietzsche, S. Kierkegaard, J.P Sartre, Khalil Gibran, adalah beberapa wakil di antara sastrawan-sastrawan yang melahirkan pandangan filsafat dengan dampak nyata pada tumbuhnya suatu sikap filsafat yang khas.
Memperhatikan hal-hal terurai di atas, maka untuk mendapatkan kepahaman yang sedalam mungkin tentang karya-karya sastra seseorang perlu memperkaya diri dengan wawasan psikologis dan filsafat. Tidak berlebihan kiranya untuk menyatakan bahwa dalam setiap karya sastra yang baik niscaya tersirat sikap filsafat tertentu; jejak-jejak filsafat itu cenderung tembus dari balik segi kebahasaan yang berwujud kesusastraan. Bagaimanapun juga tiada kesusatraan yang hampa-pesan, dan karyanya itu sikap filsafat sang sastrawan menjadi transparan.***
* Artikel ini adalah sebagian teks pidato Mendikbud Fuad Hassan di depan peserta Penataran Sastra Angkatan II Tahap I di Bogor, tanggal 16 November 1985.
Sumber: Kompas, 22 November 1985
0 komentar:
Posting Komentar