alt/text gambar

Senin, 18 November 2024

Topik Pilihan:

Rendra


Oleh: Putu Wijaya


Rendra bukan Rendra lagi. Ia tak hanya sebuah nama dari seorang bangsawan Solo yang sudah menggugurkan iman banyak wanita. Ia bukan hanya letupan dalam sastra, teater, dan seni laku Indonesia. Ia – bapak dari sebuh suku teater yang memproklamasikan dirinya sebagai Bengkel Teater dan kini masih mangkal di padepokan Depok – bukan hanya seorang seniman biasa, ia adlah karya.

Rendra adalah sebuah jurus baru dalam berdialog dengan tradisi dan masa datang. Dengan tak ragu-ragu ia pernah membesut “kebudayaan Jawa” sebagai “kebudayaan kasur tua”. Pernyataan yang mengandung undangan untuk membuka rembukan yang tulus, tetapi sayangnya, hanya menimbulkan rasa tersinggung dan amarah dari mereka yang sebenarnya tidak paham benar apa maksud besutan itu. Tiba-tiba Rendra sudah menjadi kontroversial. Hal yang, sayangnya, kemudian menjadi lebih penting dari apa yang sebenarnya ingin ia sampaikan. 

Sudah lama banyak orang salah kaprah kepada Rendra. Karena mereka kepincut, mereka terjebak pada aksinya-aksinya yang menakjubkan. Lebih dari segala sepak terjangnya yang sebenarnya tak lain dari taktik itu, sebenarnya tawaran pemikiran-pemikiran Rendra sangat orisinal. Ia mengajak orang untuk menilai, dengan bahasanya sendiri: “mempertimbangkan tradisi”. 

Itulah yang belum seluruhnya tersimak. Apalagi Rendra di masa mudanya dengan jumawa pernah sesumbar bahwa ia tidak memerlukan seorang penerjemah. Ia harus berbicara langsung. Dan itu kesalahan besar karena sebagian besar penontonnya “tertipu” dan “tergila-gla” oleh karisma Rendra sendiri. Mereka memerlukan penjelasan tambahan. Akibatnya, potret Rendra yang muncul lebih merupakan profil seorang pahlawan atau seorang yang haus sensasi/publikasi. 

Rendra mungkin benar adalah manusia yang egonya sangat besar untuk selalu menjadi figur sentral. Tetapi, lebih mendalam dari semua itu, pada hakikatnya ia adalah sebuah teror pada kemalasan dan kemacetan berpikir. Tindakan-tindakanya yang berani, nakal, spontan, dan magnetik adalah alat dari perenungan-perenungannya yang serius. Pementasan-pementasannya hanya medium. Hanya selongsong dari pemikiran yang hendak diucapkannya kepada hidup dan bangsanya. 

Rendra adalah sebuah idiom baru. Ia identik dengan upaya menggedor, menerobos, menonjok tembok yang membeku. Sebagai sebuah pembaruan, ia adalah sebuah pisau sayat yang tajam, tangkas, atraktif, sekaligus kurang ajar bagi pemalas yang tidur-tiduran di siang hari bolong. 

Ketika orang ingin mengatakan dengan cara lain. Ketika orang ingin mengutarakan dengan bahasa baru yang nakal. Ketika orang tertuntut untuk mendering dengan bunyi yang tajam. Ketika orang membutuhkan upaya yang renyah dan segar, terhadap segala ketimpangan, ketidakadilan, ketidakbenaran. Inilah dia. Sebuah Rendra. Sebuah akal. Sebuah kiat. Sebuang resep (kadangkala jatuh menjadi gaya atau aksi) betotan frontal untuk kesaksian sekaligus senjata menjinakkan hidup. 

Dengan kejeliannya membaca peta dan kelihatannya membuat strategi, Rendra sebenarnya tak hanya menyusun gaya. Lebih dalam dari segala sepak terjangnya – yang setengah dipuja setengah diejek dengan istilah “Burung Merak” – ia sudah berusaha menyeret kesenian untuk berpikir dan bersiasat. Seniman tidak boleh ingusan. Seniman harus “pintar”. Seniman harus “main politik”. 

Menjadi seniman dalam disiplin Rendra modalnya tidak cukup lagi hanya eksploitasi rasa. Pikiran sudah ambil peranan utama. Kejujuran saja tidak cukup, akal yang melahirkan taktik menjadi sah. Seni pertunjukan tak lagi hanya kebutuhan berekspresi dan menghibur, melainkan juga menuntut kegunaan. Untuk memenuhi targetnya itu, seni harus berpikir, berbicara langsung, dan berbuat kongkret. Agat tujuannya tercapai, seni menuntut perjuangan yang menelurkan “berbagai cara” yang merupakan bagian dari kreativitas. Rendra benar-benar – sesuai dengan sebutan yang disukainya – seorang empu. 

Sebagai empu, Rendra sudah membuat teater Indonesia modern bukan sekedar urusan estetika dan seniman/orang teater tok, melainkan juga urusan para pejabat, petugas, dan pemimpin. Politik, ekonomi, pendidikan, moral, dan sebagainya berkaitan erat dengan teater. Untuk itu Rendra sudah membayar harga yang mahal. Ia digerayangi petugas. Dicekal. Dipotong kesempatan ke luar negeri. Dan barangkali juga menjadi “miskin”, sementara teman-temannya yang lain kaya. Bahkan juga sempat dijebloskan ke dalam penjara. 

Rendra sudah memperluas lahan dan gerak teater Indonesia modern dengan spektakuler. Kini teater Indonesia modern sudah menjadi sebuah suara. Bukan suara biasa, melainkan sebuah suara lantang yang bisa bersaing dengan bising mesin kehidupan sehingga teater punya hak hidup. Setidak-tidaknya, “gangguannya” mulai merajalela. 

Teater mungkin belum pernah sungguh-sungguh penting sampai sekarang. Tetapi Rendra sudah membuat para pejabat menyediakan waktu khusus untuk mengunjungi gedung teater. Menyimak apa yang terjadi ketika lampu dipadamkan dalam gedung pertunjukan. Rendra berhasil mengajak orang percaya bahwa teater bisa dijadikan tempat untuk mencari kebenaran dan keadilan. Setidaknya, kalau bukan satu-satunya tempat, salah satu tempat, ketika meja hijau atau sidang Dewan Perwakilan belum benar-benar bisa menemukannya. 

Tetapi bukan hanya itu, Rendra juga sudah ikut melahirkan pasar untuk teater. Ia seorang pahlawan dalam menggali/mengembangkan tradisi sampai menemukan pengucapan panggung yang khas Indonesia, sehingga menimbulkan kepercayaan diri pada teater Indonesia. Baik dalam pengadeganan, struktur tontonan, akting, gaya, tata busana dan rias, tata musik, maupun bahasa. Itulah yang sudah melahirkan sebuah “tradisi baru” dalam teater. Tradisi yang menjadi referensi yang paling tepat untuk memotret peta dan menilai kegiatan teater Indonesia modern. Tradisi yang menandai era: teater Indonesia modern yang Indonesia. 

Putu Wijaya, pengarang, dramawan, sutradara 


Sumber: GATRA, Nomor 1, Tahun II, 18 November 1995

0 komentar:

Posting Komentar