alt/text gambar

Rabu, 11 Desember 2024

Topik Pilihan:

MELACAK AKAR RASIALISME


Oleh: Hamid Abdullah


Pertarungan yang mengerikan antarumat beragama di India (Islam dan Hindu) dalam tahun ’90 ini, membuat akal sehat kita bertanya, mengapa semuanya itu bisa terjadi? Bukankah setiap agama di muka bumi ini menekankan unsur kasih-sayang, hidup rukun dan damai antara sesama manusia? Dan bukankah manusia dilengkapi oleh ‘akal budi’ oleh Tuhan, agar menggunakan rasionya bila menghadapi masalah atau konflik di masyarakat? 

Lagi pula, manusia sekarang hidup di zaman modern, dan hidupnya telah mulai didominasi oleh kemajuan teknologi dan pengetahuan. Tapi mengapa manusia masih saja menganut budaya “barbar” yaitu, saling membunuh, saling membinasakan, dan saling menghancurkan, bila emosi rasial muncul dalam kehidupan mereka? Seakan-akan rasio sudah tidak berfungsi lagi dalam diri mereka, lalu didominasi oleh emosi yang bersifat destruktif, yang akhirnya menuju saling menghancurkan.

Untuk menjawab rangkaian pertanyaan itu, baiklah kita simak akar penyebab munculnya “rasialisme”, baik yang menyangkut konflik agama maupun yang menyangkut konflik etnik atau suku dan konflik yang disebabkan oleh persaingan budaya di masyarakat. Ada beberapa faktor yang patut diperhatikan dalam konteks melacak akar penyebabnya. 

Pertama, akibat dari sistem politik “belah bambu” yang dijalankan oleh pemerintah jajahan Barat (Inggris, Belanda, Perancis, dan sebagainya) terhadap negeri jajahan mereka. Politik belah bambu ini adalah istilah yang digunakan sejarawan Safei Ma’arif dari Yogya, untuk menggantikan istilah politik divide et impera. Sebab, politik belah bambu adalah mengangkat satu kelompok etnik ke atas dengan kedua tangan, sehingga derajatnya terangkat. Sedangkan kelompok lainnya, diinjak dengan kedua kaki, dengan akibat martabatnya dijatuhkan. 

Jadi, melalui politik belah bambu ini, kelompok-kelompok etnik yang hidup dalam masyarakat yang bersifat multi-majemuk, diusahakan oleh pihak penjajah untuk tidak bersatu padu. Ini tujuannya agar semua kelompok jangan menjelma menjadi suatu kekuatan dahsyat dalam melakukan perlawanan politik untuk mencapai kemerdekaan. 

Konsekuensi dari politik belah bambu itu, maka persaingan suku, agama, dan budaya pun telah berkembang biak di masyarakat. Kemudian, hal itu berkelanjutan terus pada zaman kemerdekaan mereka. Kita simak saja tragedi terpecahnya India dengan Pakistan pada saat menjelang kemerdekaannya. Tragedi ini menyebabkan Gandhi dirundung kesedihan. Sebab, sejak muda dia memperjuangkan suatu negara yang besar, tapi yang dialami menjelang pengakuan kemerdekaan oleh Inggris, adalah India yang terpecah menjadi dua. Dari tragedi ini kita dapat melihat, bahwa unsur nasionalisme telah rapuh untuk dapat mempersatukan perbedaan agama dalam masyarakat mereka. 

Kedua, konsekuensi dari berkembangnya sikap prejudice di kalangan kelompok etnik, kelompok agama, dan di kalangan pendukung-pendukung budaya etnik. Sikap prejudice ini mengakibatkan setiap kelompok etnik, agama, dan pendukung kebudayaan saling mencurigai. Mereka itu masing-masing diliputi oleh perasaan curiga dalam interaksi sosial di masyarakat. Masing-masing kelompok merasa terancam oleh kelompok lainnya. Ini diperuncing lagi, bila kekuatan ekonomi tidak berimbang dalam kehidupan masyarakat. Emosi sangat mudah terpancing untuk melahirkan solidaritas sosial yang kuat, bila muncul konflik sekecil bagaimanapun juga.

Seperti yang dijumpai di Sri Lanka, India dan di Malaysia antara Cina dan Melayu. Sikap prejudice memang sangat berbahaya, karena sikap ini menyebabkan manusia tidak memiliki rasa obyektif terhadap orang lain. Bagaimanapun usaha kelompok lain untuk berbuat sesuatu secara baik, selalu dicurigai dan dianggap mengancam kelompoknya. Dengan demikian, unsur mutual understanding sangat sukar untuk muncul dan berkembang di masyarakat. Sikap prejudice biasanya dilatarbelakangi oleh pemikiran yang picik, tertutup, dan dogmatis dalam memeluk agama.

Ketiga, konsekuensi dari pandangan superior dan inferior yang hidup di masyarakat. Kedua pandangan ini menilai atau beranggapan, bahwa nilai budaya yang dimiliki, demikian pula agama yang dianut dan sukunya, merupakan budaya, agama, suku (etnik) yang paling tinggi martabatnya, derajatnya, kualitasnya, dan yang sempurna, serta paling hebat bila dibandingkan dengan kelompok etnik lain. Atau, dengan kata lain, pandangan superior menilai budayanya, sukunya, agamanya sebagai yang paling hebat, sedangkan pandangan inferior menilai, kelompok etnik lain, dengan agama dan budayanya, lebih rendah tingkatannya. 

Akibat dari pandangan yang sempit ini, terjadilah persaingan yang tidak habis-habisnya dalam sejarah kehidupan mereka di masyarakat. Tiap-tiap suku memandang rendah kelompok lainnya, sedangkan kelompok sendiri senantiasa dipuji dan diagung-agungkan. Dalam kondisi masyarakat yang demikian ini, maka konflik sosial dan politik yang terbuka, tidak mungkin dihindari. 

                                              ***

Istilah kerukunan kehidupan beragama dan konsep kebudayaan nasional, seperti yang hidup dalam masyarakat kita, sama sekali mereka tidak kenal. Yang dijumpai adalah “aku hidup untuk agamaku, sukuku, dan budayaku”. Itulah kurang lebih pemikiran yang berada di dalam benak mereka.

Dialog untuk menghilangkan perbedaan pendapat atau menghapus pikiran yang picik itu, juga tidak dijumpai. Sebab, masing-masing pihak merasa lebih tinggi derajatanya dan memandang najis atau haram kelompok lainnya. Kemudian, suasana pemukiman penduduk yang terpisah-pisah berdasarkan kelompok suku, agama, dan budaya, menyebabkan kesatuan nasional sukar tercapai. Mereka semuanya hidup sesuai dengan norma dan emosinya masing-masing. 

Dengan demikian, ikatan etnik, ikatan suku dan agama, makin kokoh dan kuat. Akibatnya, pandangan yang bersifat nasional atau usaha untuk menciptakan integritas nasional hanya merupakan impian yang tidak mungkin terwujud. Kondisi kehidupan yang demikian ini dapat dijumpai di India, Sri Lanka, dan Pakistan. 

Akibat dari tragedi rasialisme memang sangat mengerikan dan menyedihkan. Manusia yang terlibat atau yang hidup dalam suasana yang diwarnai oleh konflik ras, tidak pernah lagi menikmati ketenangan hidup dan perdamaian dalam kehidupan masyarakat. Pasalnya, tiap-tiap suku, kelompok agama, dan pendukung kebudayaan selalu dalam suasana saling menghina, saling berusaha memperkuat posisinya, saling berusaha untuk menghancurkan. Dengan begitu, kehidupan pun menjadi tegang, penuh ketakutan, dan dendam kesumat berkobar dalam diri setiap kelompok etnik. Jika konflik terbuka itu sudah terbakar oleh api rasial, maka tidak ada lagi pertimbangan kemanusiaan, tidak ada lagi rasa keagamaan yang bertolak dari kasih-sayang sesama manusia, tidak ada lagi kesatuan nasional, semuanya telah sirna. Yang hidup atau yang merajalela di masyarakat hanyalah nafsu untuk saling membunuh, menghancurkan atau membinasakan. 

  *** 

Bagaimana dengan generasi muda mereka? Inilah juga yang sangat memprihatinkan. Sebab, meskipun mereka lahir pada zaman kemerdekaan, tetapi, sikap, pandangan, dan pemikiran mereka tidak banyak mengalami perubahan. Bahkan adakalanya lebih fanatik lagi dari generasi tua mereka, sekalipun pukul rata mereka sudah menikmati pendidikan modern di dalam dan luar negeri. Mengapa bisa begitu? 

Pasalnya, kawasan lingkungan kehidupan yang tertutup dan terpisah dengan kelompok etnik lain, menyebabkan interaksi sosial atau pembauran dalam kehidupan sosial sukar tercipta dan terwujud. Dari tahun ke tahun tiap-tiap kelompok etnik itu hidup dalam norma sosialnya sendiri, memuja tradisi budayanya sendiri, dan lingkungan hidup mereka dengan pemikirannya yang picik dan dogmatis ikut pula membentuk wataknya atau kepribadiannya. Jadi, mana mungkin generasi muda itu dapat mengalami perkembangan pemikiran yang obyektif dan yang menuju kepada konsep persatuan dan kesatuan nasional? Tragis memang kehidupan mereka.

Namun, yang patut pula diperhatikan di sini, adalah yang menyangkut sistem pendidikan keluarga. Yaitu, anak-anak mereka sejak kecil telah dibina oleh orang tua dan keluarganya untuk berpikiran sempit dan dogmatis terhadap kelompok suku lain, termasuk perlakuan terhadap agama dan budaya suku lain. Sikap menghina atau memandang rendah budaya dan agama kelompok lain, telah diajarkan secara tidak langsung, baik melalui tingkah laku atau sikap maupun ucapan. Semua itu lalu ditiru oleh anak-anak mereka dalam kehidupannya.

Pembinaan rasial yang sudah tumbuh sejak kecil ini, merupakan faktor yang paling sukar untuk dikikis dalam diri generasi muda bila telah dewasa. Soalnya, penanaman sikap itu telah berakar dengan kuat dalam diri mereka. Apalagi bila dalam perkembangan hidupnya mereka juga mengalami konflik terbuka dan melihat sendiri akibat yang telah menimpa keluarganya, sukunya, dan penghinaan terhadap agama dan kepercayaannya. Maka sudah sempurnalah dendam dan kebenciannya terhadap kelompok suku lain, agama lain, dan kebudayaan suku lain. 

Begitulah beberapa penyebab atau akar dari munculnya konflik ras yang sekarang melanda di dunia, terutama yang kita jumpai sekarang di Afrika dan Asia. Semogalah pengalaman yang terjadi di kawasan ini dapat kita jadikan pelajaran sejarah bangsa kita dalam menghadapi masa depan. Sebab, walau bagaimanapun bangsa kita juga termasuk kategori masyarakat multimajemuk.

Namun, syukurlah kita mempunyai konsep Bhineka Tunggal Ika, falsafah negara Pancasila dan UUD 1945. Ketiga unsur itu merupakan pengikat dari bangsa kita yang majemuk ini. 


Hamid Abdullah, guru besar Fakultas Sastra Undip, Semarang 


Sumber: Kompas, 11 Desember 1990

0 komentar:

Posting Komentar