Oleh: Onghokham
Sejak Presiden Soeharto melancarkan konsepnya tentang “lengser keprabon” telepon di rumah saya berdering, orang menanyakan apa arti konsep ini, bahkan arti kata-kata itu sendiri, orang debat mengenainya. Arti “lengser keprabon” sebenarnya tidak berarti lain daripada “turun dari takhta kerajaan” atau lebih baik lagi “meninggalkan kedudukan prabu’ (...berhenti...”).
Rentetan peristiwa dalam kurun waktu yang relatif singkat (minggu-minggu dan hari-hari lalu) mempercepat proses berhentinya Presiden Soeharto dari 32 tahun kepresidenannya dari Republik Indonesia. Namun dipakainya konsep lengser keprabon tersebut mengungkapkan pendekatannya terhadap kedudukan Beliau di negara dan masyarakat kita. Mantan Presiden Soeharto dilahirkan di suatu desa di wilayah Raja-raja Mataram (Vorstenlanden), yakni di wilayah Kesultanan Yogyakarta, suatu daerah istimewa yang merupakan daerah pemerintahan tidak langsung di Pulau Jawa yang merupakan koloni Belanda tertua (sejak 1830).
Kesultanan Yogyakarta adalah satu di antara empat keraton, sisa Kerajaan Mataram yang dibagi dalam tiga keraton pada 1755 (Perjanjian Giyanti—palihan Nagari) yakni Kesultanan Yogyakarta, Kasunanan Surakarta dan Mangkunegaran yang dalam tahun 1813 ditambah dengan Keraton Paku Alam di Yogyakarta. Pada tahun 1830 setelah pemberontakan Diponegoro dipadamkan maka daerah-daerah keraton dianeksasi ke dalam Hindia Belanda dan dijadikan daerah pemerintahan langsung. Keempat keraton dibatasi dalam wilayah menjadi daerah di sekitar keraton yakni DIY kini dan Karesidenan Surakarta. Sedangkan kekuasaan para raja diikat ketat pada Belanda. Namun bagi rakyat kebesaran keraton dengan simbol-simbol kebesarannya masih ada kalau tidak menjadi lebih agung lagi.
Soeharto adalah anak petani yang sederhana dan menikmati pendidikan seperti anak petani pada zamannya. Hal ini berlainan dengan pendahulunya sebagai Presiden yakni Ir Soekarno yang lulusan universitas. Kalau Soekarno menjadi diktator maka karena Beliau itu adalah Pemimpin Besar Revolusi. Sedangkan Soeharto menjadi penguasa mutlak (absolut), karena seperti raja-raja Jawa dahulu beliau dalah Paku Buwana. Kalau Paku itu dicabut maka Buwana (alam semesta) kiamat. Tidak ada tradisi Jawa yang menjadikan seorang bekas penguasa sebagai menteri senior seperti di Singapura atau menjadi kekuasaan di belakang takhta (layar).
Raja-raja yang mungkin dalam ingatan Soeharto pernah lengser keprabon (berhenti menjadi raja) adalah Sultan Hamengku Buwono VII (1877-1921) yang sedikit banyak meninggalkan pekerjaan-pekerjaanya sebagai raja dan mengundurkan diri dari masalah kesultanan dengan sering keluar dari keraton dan menarik diri ke istana santainya yang kini menjadi hotel berbintang empat, Ambarukmo Palace Hotel, di pinggiran kota Yogyakarta.
***
Suatu kasus lengser keprabon yang lebih jelas adalah Mangkunegoro VI yang kira-kira pada dekade-dekade pertama abad ke-20 turun dari takhtanya karena kecewa dengan keputusan Pemerintah Hindia Belanda untuk tidak mengizinkan putranya yang paling tua menjadi Mangkunegoro, pengganti ayahnya. Mangkunegoro VI wafat dalam pengasingan. Dinasti Mangkunegoro seperti kita mengetahui semua memiliki hubungan keluarga dengan almarhum Ny Tien Soeharto.
Raja-raja Jawa lain yang lengser keprabon sebelum Belanda betul-betul berkuasa di Jawa mengalami nasib yang lebih parah dari raja yang dibicarakan di atas yakni kematian (dibunuh) dalam pembuangan dan penjara seperti juga Presiden Soekarno yang wafat dalam tahanan militer (1970).
Soeharto selalu bersikap mengontrol diri sendiri, tidak menunjukkan emosi yang berlebihan dan agak dingin. Dalam mata seorang Jawa kontrol terhadap diri sendiri berarti dapat menguasai diri sendiri dan keadaan apa pun juga. Harmoni spiritual harus tetap dijaga untuk menguasai materi. Keseimbangan fisik dan spiritual Soeharto harus menjamin kesejahteraan negara dan bangsa. Nasib Soeharto adalah identik dengan nasib nusa dan bangsa.
Karena itu Soeharto berpuasa pada hari setiap 17 Agustus dan pada hari-hari penting lainnya dan berkonsultasi dengan para guru spiritual. Soeharto juga senang dikelilingi pusaka-pusaka dari zaman lampau dan yang terkenal untuk meminjam kekuatan magis mereka. Pada permulaan kekuasaannya, Soeharto telah medatangkan dari Bali ke istana di Jakarta apa yang disebut topeng Gajah Mada, patih Majapahit yang menurut legenda menyatukan emperium tersebut. Juga terdapat pula gong keramat dari Keraton Surakarta dan lain-lain.
Soeharto juga selalu berhubungan baik dengan para raja Jawa yang masih ada seperti Sultan, Susuhunan, dan Mangkunegoro. Khususnya yang terakhir ini mendapat perhatian besar karena almarhum Ny Tien masih keturunan Mangkunegoro II (yang kini adalah yang ke IX). Menurut Babad-babad sejarah Jawa dan kepercayaan wanita keturunan raja ini memiliki pusaka yang paling keramat sebab darinya berasal api keramat kerajaan yang dapat mengangkat seorang rakyat biasa menjadi raja.
Contoh adalah Ken Dedes (ratu) yang kawin dengan kepala perampok Ken Arok yang menjadi cikal bakal raja-raja Jawa Timur termasuk Majapahit. Ketika Ny Tien meninggal dua tahun lalu maka ada banyak spekulasi apa sekiranya wahyu keprabon masih pada Soeharto atau menghilang darinya. Peristiwa pengunduran dari kepresidenan mungkin sekali membenarkan kepercayaan akan mitos ini. Para pangeran Mangkunegaran seperti dalam tradisi raja Jawa dan Indonesia juga merupakan pengusaha pertama di kerajaan masing-masing.
Pada suatu ketika semua orang di Jakarta membicarakan guru spiritualnya Sudjono Humardani yang juga menjadi salah satu pendiri CSIS, think tank di Jakarta yang terkemuka. Akan tetapi Soeharto menyangkal ini dan mengatakan dirinya seorang guru spiritual yang lebih hebat dari Humardani. Ungkapan dan kepercayaan ini adalah penyamaan diri, Soeharto dengan tokoh Semar dari dunia pewayangan, yang demikian dominan peranannya baik secara kultural maupun spiritual dalam kehidupan orang Jawa.
Dalam dunia pewayangan, Semar merupakan lambang rakyat, Soeharto merasa diri menjadi satu dengan Semar atau Semar menjelma dengannya. Istilah manunggal (menjelma menjadi satu) menjadi buah bibir pemerintahan Orde Baru selama 32 tahun. Berlainan dengan konsepsi manunggal ini adalah konsepsi Presiden pertama, Soekarno menamakan diri penyambung lidah rakyat. Suatu konsepsi yang juga berkaitan dengan kekuasaan otoriter. Pun sampai pada saat akhirnya, para penasihat terkemuka mengingatkan kita akan Wali Songo yang mengislamkan Jawa beberapa ratus tahun yang lalu.
Pada akhirnya mungkin salah satu faktor terpenting yang menyebabkan pengunduran diri dari kepresidenan adalah usia lanjutnya. Juga Soekarno jatuh karena desas-desus kesehatannya yang memburuk.
Retorika revolusioner Soekarno pernah menghipnotis bangsa ini, sampai di mana kini gaya pemerintahan Soeharto menundukkan elite politik, kultural dan sosial masyarakat ini. Para menteri, pembantu presiden, seperti para pembantu di keluarga Indonesia, menjadi pula pembantu keluarga Soeharto. Dalam realitas kekuasaan Soeharto tentu terdiri dari aliansi-aliansi militer, politik, bisnis dan lain-lain. Akan tetapi obsesi elite Indonesia dengan kekuasaan, jabatan, dan status adalah segila seperti obsesi orang Cina dengan uang dan ikut serta menegakkan orde patrimonial dan praetorian di Indonesia.
Di masa lampau maupun sekarang ini sejarah Indonesia berputar sebagai siklus dan tidak secara evolusioner (berkembang maju). Sejarahnya adalah sejarah kelairan suatu orde, naiknya ke puncak kejayaan, kemudian suatu kejatuhan yang tiba-tiba. Untergang dan Gotterdammerung adalah nasibnya bila Paku dicabut . Mungkin hanya lahirnya suatu oposisi kuat dan kritis untuk mengawasi kekuasaan dan bukan penguasa yang kuat yang diperlukan kini.
Onghokham, sejarawan, tinggal di Jakarta
Sumber: Kompas, 5 Juni 1998
0 komentar:
Posting Komentar