alt/text gambar

Kamis, 30 Januari 2025

Topik Pilihan:

POLISI BAHASA


Oleh: Ariel Heryanto

(Kompas, 30 Januari 2021)


Tak sedikit kalangan terpelajar Indonesia merasa bahasa nasional mereka serba cacat. Kecemasan tersebut tidak baru. Muncul satu abad lalu. Tingkat galaunya naik-turun. Belakangan melonjak lagi. 


Dari mana datangnya gejala ini? Apa dampaknya bagi kehidupan masyarakat? Untuk memahami duduk persoalan, kita perlu bongkar pokok soal yang mendasar. 


Berbahasa itu kerja-bareng. Hasilnya milik bersama. Mereka yang paling miskin atau terhina ikut berperan. Apalalagi, yang kaya atau berkuasa. Berbahasa tidak pernah sepenuhnya bersifat subyektif. Bahasa tidak pernah dimiliki satu atau sekelompok orang dengan paten atau hak cipta. 


Berbahasa itu kerja produktif dan kreatif. Semua orang berbahasa, berkat asuhan ibunda sejak kita dilahirkan. Para ahli menyebut bahasa yang pertama kita pakai sehari-hari “bahasa ibu”. Nilainya tak terhingga. Mirip air susu ibu. Diberikan ibu berlimpah dengan kasih sayang. Gratis, tanpa syarat. 


Layak diakui, tak ada masyarakat yang ideal. Sebab, ada berbagai kesenjangan, kerja-bareng berbahasa juga bermasalah. Bahasa bisa menjadi medan sengketa, selain keakraban. 


Masyarakat berubah. Juga bahasanya. Tak pernah beku, seperti kamus. Bahasa Inggris, Jepang, dan Bali sangat berbeda. Dalam satu bahasa ada berbagai versi. Bahkan, wajar dalam satu keluarga, orang tua dan anak-anak punya variasi berbeda. 


Bahasa Indonesia keturunan bahasa Melayu, tetapi orang Indonesia bisa menertawakan istilah Malaysia. Bahasa Jawa di jawa Timur kedengaran aneh dan lucu untuk sebagian orang di Jawa tengah. Juga sebaliknya. 


Ada bahasa Inggris versi Amerika. Logat, kosakata, dan ejaannya berbeda dari bahasa Inggris Skotlandia, Singapura, atau Australia. Variasi itu tidak hanya dalam obtolan santai. Juga dalam bahasa resmi di forum internasional atau dokumen negara. Baik tertulis maupun lisan. 


Semua itu bukan bencana. Bukan ancaman yang harus dibasmi. 


Kita yang pernah belajar bahasa Inggris tentu ingat betapa tidak konsistennya bahasa itu. Kata-kerja berubah bila yang dibicarakan sudah terjadi atau yang akan datang. Yang bikin rumit, perubahan bentuk itu tidak konsisten mengikuti satu pola tunggal. Tidak ada alasan rasional atau ilmiah mengapa begitu. 


Bahasa bertumbuh berkelak-kelok. Beda dari kerja kalkulator atau komputer. Bahasa mirip kebanyakan tanaman. Tumbuhnya tidak tegak lurus. Cabang dan dedaunnya tidak serba simetris. 


Semua itu bukan masalah bagi penutur bahasa. Baru jadi masalah ketika hadir beberapa ahli bahasa yang disponsori negara dan bertingkah seperti ilmuwan eksakta. Mereka miskin toleransi pada variasi kebahasaan. 


Untuk membasmi variasi bahasa, mereka mencari rumus ilmiah seperti dalam matematika atau kimia. Seakan-akan bila x ditambah y, hasilnya harus z. Jika x adalah awalan, sedang y kata kerja, maka z adalah bentuk kata yang “baik dan benar”. Bentuk kata yang sudah memasyarakat dicemooh, dikoreksi, atau dihindarkan bila tidak sesuai rumusan para ahli. 


Mungkin para ahli itu berniat tulus. Ilmunya tinggi. Namun, hasil kerja mereka bukan bahasa yang bertumbuh secara organik dalam masyarakat. Hasilnya aturan berbahasa yang asing bagi masyarakat. Jika bahasa ibu dapat diibaratkan air susu ibu, bahasa rekayasa para ahli ini mirip susu kaleng, diproduiksi massal dari resep baku atau rumus ilmiah. 


Secara tersirat atau tersurat, bahasa masyarakat dinyatakan tidak baik dan tidak benar. Yang aneh, bukannya tersinggung, sebagian warga malah menyambut penghinaan itu. 


Dulu semua warga masyarakat aktif dan produktif dalam kerja-bareng berbahasa. Kini banyak yang bersemangat menjadi konsumen massal, hanya menadah produk elite berbahasa. Yakni kaum elite yang memonopoli kewenangan menetapkan mana bahasa baik dan benar. 


Sebagian yang sudah merasa berbahasa baik dan benar menobatkan diri jadi polisi bahasa. Mereka merazia dan menyerang kegiatan berbahasa warga yang tidak sesuai dengan kaidah yang direkayasa para ahli bahasa. 


Seabad yang lalu, gerakan anti-kolonial marak lewat koran dan novel berbahasa Melayu yang hidup di masyarakat. Pemerintah kolonial melarang terbitan itu atau mengadili penulisnya. Pemerintah kolonial juga mengangkat tim ahli bahasa dan menciptakan bahasa Melayu “baik dan benar”. Karya-karya nasionalis dicap “bacaan liar”, berbahasa “pasaran” yang tak layak dibaca masyarakat terdidik. 


Politik bahasa “baik dan benar” itu sempat runtuh dengan berakhirnya kolonialisme Hindia Belanda. Tetapi, kebijakan itu tumbuh lagi lebih megah di masa Orde Baru. Pembakuan berbahasa sejalan logika teknokratis dan semangat fasisme yang dominan di masa itu. 


Belakangan obsesi pada bahasa “baik dan benar” marak kembali. Mengapa? Gairah menggebu kelas menengah Indonesia dalam berbahasa baik dan benar tampak berkait dengan obsesi dalam sejumlah bidang lain. Misalnya, pada konsep kecantikan, gaya hidup. Sampai soal berpacaran atau beribadah. 


Gejalanya mirip mereka yang menderita stres di depan cermin berjam-jam. Menyesali tubuh yang dilahirkan ibunda. Merasa terlalu gemuk. Terlalu pendek. Tampang kurang keren. Kulit terlalu gelap. Hidung kurang mancung. Pokoknya jauh dari tampilan selebritas di iklan, televisi, atau media sosial. 


Mereka rindu tampilan, busana, kerja, dan tutur kata yang serba baik dan benar, versi para ahli. Buku pedoman dan ceramah tentang semua itu laris-manis. Sumber pengetahuan dari keluarga atau khalayak umum atau akal sehat dianggap tidak memadai. 


Merosotnya kreativitas, kemerdekaan, dan kemandirian berbahasa punya dampak lanjutan. Yakni merosotnya toleransi pada kemajemukan, variasi, dan inkonsistensi. Bukan hanya dalam berbahasa. Namun, semua yang berbeda dari wejangan para ahli atau yang dianggap ahli. Warga masyarakat dididik menjadi “polisi” yang sibuk mencari-cari kekurangan diri sendiri dan lingkungannya. 


Sumpah Pemuda tidak berikrar “berbahasa satu”. Yang diikrarkan  “menjunjung bahasa persatuan” di antara berbagai bahasa yang majemuk. Bila selama ini terjadi salah-baca soal sepenting itu, mungkin bukan kebetulan. Maklum, obsesi pada yang “baik dan benar” sedang mewabah. 


Sumber: Kompas, 30 Januari 2021

0 komentar:

Posting Komentar