![]() |
Drs. Kwik Kian Gie |
Oleh: Kwik Kian Gie
Hal yang sangat banyak dibicarakan dalam sepekan terakhir tentang laporan Bank Dunia ternyata ialah ringkasan eksekutif (executive summary), yang juga disajikan dalam bahasa Indonesia. Seperti yang saya tulis di Kompas 23-6-1997, gambaran yang suram lebih dominan ketimbang yang bagus.
Kalau kita baca isi seluruh laporan, kecuali defisit transaksi berjalan dan melonjaknya pinjaman luar negeri oleh swasta, semuanya menunjukkan angka-angka yang bagus. Sedangkan defisit transaksi berjalan dijelaskan sebagai tidak berbahaya dalam jangka menengahnya. Demikian juga dengan utang luar negeri swasta. Tetapi Bank Dunia toh menganjurkan sangat banyak kebijakan pengereman ekonomi.
Saya agak bingung mengapa di satu pihak begitu optimistis dalam sangat banyak hal, antara lain pertumbuhan akan tetap tinggi, tetapi juga sangat banyak saran untuk pengetatan, terutama di bidang fiskal?
Inflasi untuk seluruh tahun takwim 1996 adalah 6,6 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya, sembilan persen. Penurunan menurut Bank Dunia agak menyesatkan, karena disebabkan penurunan makanan yang tajam, yaitu 14 persen di tahun 1995 menjadi enam persen di tahun 1996. Penurunan ini tidak akan terulang. Inflasi yang rendah juga disebabkan harga bahan bakar dan listrik yang menurut Bank Dunia terlampau banyak disubsidi.
Lantas yang terakhir, yang disebut inflasi inti, yaitu tidak termasuk makanan dan energi, sebenarnya meningkat. Maka Bank Dunia memperkirakan, inflasi rendah, sekitar enam persen, tidak akan langgeng.
Angka pengangguran luar biasa bagusnya. Maka saya menjadi heran mengapa Prof. Sumitro Djojohadikusumo selalu begitu prihatin terhadap besarnya angka pengangguran kita. Saya sendiri juga selalu mempunyai persepsi, pengangguran kita sangat tinggi. Ternyata angka pengangguran menurut Sakernas Tahun 1996, 4,9 persen, menurut Susenas 5,1 persen, dan menurut SUPAS 7,2 persen untuk tahun 1995.
Di negara-negara maju seperti AS, pengangguran yang dianggap tidak dapat dihindarkan sekitar lima persen. Kalau ingin menekan lebih rendah, katanya ekonomi akan kepanasan dan terjadi inflasi. Ada nuansa ragu-ragu dari Bank Dunia tentang ketepatan dan kebenaran penghitungan. Rasanya angka-angka tersebut juga tidak memperhitungkan apa yang oleh Prof. Sumitro sejak tahun lima puluhan sudah dikenali sebagai pengangguran terselubung atau disguised unemployment.
Tentang utang luar negeri keseluruhannya, oleh swasta dan pemerintah jumlahnya 107,8 milyar dolar AS pada akhir tahun 1995. Kita perlu melihat secara terpisah perkembangan utang oleh pemerintah (negara) dan utang oleh swasta. Pengelolaan utang oleh negara ditandai dengan beberapa faktor yang positif. Disbursement netto dari utang negara menurun terus dan selalu negatif sejak tahun 1994-1995.
Seperti sering diberitakan, pemerintah sering melakukan percepatan pembayaran utang luar negeri. Sejak tahun 1994, keseluruhan pembayaran utang luar negeri yang dipercepat mencapai 3,2 milyar dolar AS, atau lebih dari 5 persen dari seluruh utang yang ada. Dengan percepatan pembayaran utang pemerintah ini, utang pemerintah dengan suku bunga di atas sembilan persen sudah tidak ada lagi. Namun banyak sekali dari pembayaran yang berasal dari penjualan saham milik BUMN dan trend ini akan berlanjut terus. Ini mengundang renungan tersendiri tentang untung ruginya mengalihkan pemilikan kekayaan negara kepada bangsa asing.
Yang menjadi kegembiraan dan kerisauan sekaligus adalah meningkatnya utang luar negeri oleh swasta. Gembira karena kepercayaan luar negeri yang begitu besar terhadap Indonesia. Gelisah, karena memperlebar saving investment gap, yang dicerminkan oleh defisit transaksi berjalan. Jumlahnya sudah 56 milyar dolar AS, dan merupakan sekitar 51 persen dari seluruh utang.
Dalam dua tahun terakhir utang luar negeri swasta meningkat dengan 17 milyar dolar AS. Ada nuansa ketakutan Bank Dunia terhadap kualitas dari kredit kepada swasta. Maka Bank Dunia menganjurkan pemerintah Indonesia menggunakan setiap kesempatan yang ada agar menegaskan dan menekankan bahwa pemerintah sekali-kali tidak ikut menanggung utang luar negeri sektor swasta.
Semuanya dalam dolar AS, defisit transaksi berjalan untuk 1996-1997 sebesar 8,1 milyar, yang terdiri atas migas minus 12,8 milyar dan migas surplus 4,7 milyar. Modal asing yang masuk 12,7 milyar, yang terdiri atas FDI 6,5 milyar, investasi portofolio 3,1 milyar dan lain-lainnya 3,1 milyar.
Maka walaupun defisit transaksi berjalan adalah 8,1 milyar, pemasukan modal justru memberi sumbangan pada cadangan devisa 4,6 milyar. Sumbangan netonya setelah dipakai untuk amortisasi dan pengeluaran lainnya adalah 3,9 milyar, sehingga cadangan mencapai all time high sebesar 19,9 milyar atau sama dengan kebutuhan untuk 4,7 bulan impor.
Secara kualitatif bisa kita lihat, FDI 6,5 milyar dolar AS. Impor yang meningkat tajam, untuk 70 persen terdiri atas bahan baku, bukan barang konsumsi. Walaupun barang konsumsi meningkat cepat, tetapi secara keseluruhan hanya merupakan 10 persen saja, sehingga secara kualitatif meningkatnya defisit transaksi berjalan tidak terlampau merisaukan, karena lebih bersifat produktif ketimbang konsumtif.
Namun ada catatan yang ditulis hanya dengan beberapa kata saja, yaitu, di dalam FDI terdapat utang swasta luar negeri yang tidak dirinci. Lantas investasi portofolio ialah 3,1 milyar dolar AS, dan lain-lainnya 3,1 milyar dolar AS yang juga tidak dirinci.
Ini merupakan catatan yang berarti, yang mungkin toh membuat Bank Dunia risau, karena sifatnya toh volatile. Mereka juga risau modal asing mengalir demikian besar dan demikian deras, sehingga meningkatkan nilai tukar rupiah. Ini menghambat ekspor dan meningkatkan impor.
Maka Bank Dunia memberikan rekomendasi sebagai berikut: pertama, melonggarkan kebijakan moneter, agar suplai rupiah menggantikan masuknya modal asing, dengan dampak depresiasi rupiah. Tetapi supaya tidak inflatoir, mengetatkan kebijakan fiskal. Saya bertanya, bagaimana hasil netonya terhadap pengusaha? Pelonggaran kebijakan moneter merangsang investasi, pengetatan kebijakan fiskal akan menghambat investasi.
Walaupun komposisi dari defisit transaksi berjalan digambarkan sebagai produktif, sehingga akan membuahkan hasil di masa mendatang, Bank Dunia tidak menutup kemungkinan menjadi pemicu larinya modal asing. Untuk menghadapi itu, cadangan devisa dianggap cukup memadai.
Di samping itu, ternyata Bank Indonesia mempunyai foreign assets senilai lima milyar dolar AS, dan mempunyai dua milyar dolar AS standby loan yang bisa dicairkan sangat cepat. Sebagai dukungan likuiditas, BI mempunyai perjanjian dengan negara-negara Asia, termasuk Jepang untuk menjual asset yang nantinya bisa dibeli kembali. Rasanya BI sementara cukup siap menghadapi rush atau bahkan capital flight.
Adapun kebijakan fiskal yang dianjurkan adalah: menaikkan pajak properti, menaikkan harga bahan bakar, menaikkan tarif listrik, mengurangi berbagai pembebasan pajak, menaikkan royalti pengusahaan hutan, mengenakan pajak barang mewah pada lebih banyak barang, mengurangi pengeluaran-pengeluaran non bujeter.
Dibandingkan dengan pemberitaan-pemberitaan di surat-surat kabar yang hanya didasarkan atas ringkasan eksekutif, gambaran yang diberikan oleh laporan yang lengkap lebih menenteramkan. Tetapi kita tetap saja bingung tentang arah yang jelas dari kebijakan kita sebenarnya harus bagaimana? Apakah harus menggenjot investasi atau membiarkan investasi meningkat terus, walaupun didanai oleh pinjaman, terutama pinjaman luar negeri. Ataukah secara konsekuen betul-betul mengerem kegairahan ekonomi yang menjanjikan berlanjutnya pertumbuhan ekonomi?
Kecenderungannya adalah membiarkan swasta memainkan peran sepenuhnya, asalkan pemerintah tidak ikut menanggung kredit yang diperolehnya, terutama dari luar negeri. Tetapi harus selalu siap dengan munculnya dadakan dalam bentuk larinya modal, dan memanasnya ekonomi dengan berbagai kebijakan tersebut.
Untuk tahun ini Bank Dunia menganjurkan supaya negara-negara donor memberikan pinjaman yang sama besarnya dengan pinjaman tahun lalu. Prioritas penggunaannya adalah: pembangunan sumber daya manusia, pengentasan kemiskinan, perbaikan lingkungan, pembangunan infrastruktur, dan pembangunan regional yang seimbang. Untuk bidang-bidang ini kita memang tidak dapat mengandalkan sektor swasta.
Kesimpulannya ialah, karena defisit transaksi berjalan untuk tujuan produktif, nantinya akan menghasilkan tabungan yang mendekati investasi, sehingga defisit transaksi berjalan juga akan terpecahkan sendiri kegawatannya.
Yang perlu dijaga adalah menghadapi dadakan yang sifatnya krisis. Untuk itu, seperti yang digambarkan Bank Dunia, rasanya kita sudah cukup kuat dan cukup siap. Semoga semuanya benar. Tinggal bagaimana menjawab pertanyaan bahwa ekonomi bisa sebagus itu kalau kolusi dan korupsi begitu besar, produktivitas dan efisiensi begitu rendah, sedangkan pertumbuhan ekspor nonmigas kita jelas melambat?
Jawabnya mungkin ialah itu semuanya mungkin, karena input-nya dalam bentuk eksploitasi kekayaan alam dan modal asing luar biasa besar. Pertumbuhan kita lebih berorientasi pada input ketimbang produktivitas dan efisiensi, atau lebih bersifat transformation of wealth (dari kekayaan alam menjadi bahan siap konsumsi) ketimbang creation of wealth. Maka dibandingkan dengan negara-negara ASEAN, pendapatan per kapita kita kalah, walaupun an sich meningkat terus.
Ini merupakan bahan renungan tersendiri, apakah kita harus puas bahwa kita maju, atau kita harus sedih bahwa kemajuan kita kalah dengan negara-negara tetangga yang sebaya dengan kita? Juga menjadi bahan renungan apakah ekonomi kita masih berkutat pada orientasi input, ataukah sudah mengandung dan menuju pada orientasi teknologi, produktivitas, dan efisiensi?
Kwik kian Gie, ekonom senior
Kompas, 30 Juni 1997
Sumber:
Kwik Kian Gie, Gonjang-Ganjing Ekonomi Indonesia: Badai Belum Akan Segera Berlalu, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama dan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi IBII, 1998, h. 405-411.
0 komentar:
Posting Komentar