![]() |
Drs. Kwik Kian Gie |
Oleh: Kwik Kian Gie
Ditinjau dari sudut polanya, dan juga ditinjau dari sudut anggaran negara sebagai instrumen pengendalian ekonomi makro, RAPBN 1997/1998 tidak menunjukkan hal-hal lain daripada anggaran tahun sebelumnya. Menteri Keuangan dalam penjelasannya kepada pers pada 5 Januari 1997 antara lain mengatakan: ” .....sebagaimana tahun-tahun yang lalu RAPBN 1997/1998 tetap bersifat kontraktif. Dalam realisasinya nanti akan diupayakan semaksimal mungkin terciptanya surplus anggaran, dan hal ini sesuai dengan komitmen antara Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat.”
Tidak jelas apakah penciptaan sisa anggaran lebih itu yang sesuai dengan angka-angka dalam RAPBN, ataukah DPR memberi mandat kepada Menteri Keuangan untuk menciptakan sisa anggaran yang lebih besar lagi.
Bagaimanapun juga, seandainya DPR memang sudah menyadari pentingnya mendinginkan ekonomi semaksimal mungkin, toh diproyeksikan bahwa pertumbuhan ekonomi akan tetap tinggi, yaitu 7,1 persen, walaupun lebih rendah daripada pertumbuhan tahun sebelumnya.
Maka mendinginkan ekonomi direncanakan tidak terlampau drastis, karena kecuali pertumbuhan yang masih tinggi, pencuatan pemanasan ekonomi dalam bentuk indikator lainnya, yaitu defisit transaksi berjalan masih diramalkan akan meningkat lagi menjadi 9,8 milyar dolar AS dibandingkan dengan 8,8 milyar dolar AS tahun sebelumnya.
Apakah ini hal yang baik? Jawabnya kontroversial. Ditinjau dari sudut kesempatan kerja, kita tidak dapat merem ekonomi terlampau drastis, sehingga mengakibatkan pengangguran yang besar. Ditinjau dari sudut besarnya defisit transaksi berjalan, memang merisaukan.
Yang agak membingungkan adalah penjelasan tentang mengapa defisit transaksi berjalan bisa begitu tinggi. Menurut teori, defisit transaksi berjalan disebabkan oleh tabungan yang lebih kecil dari investasi.
Yang kita baca dan dengar dari berbagai penjelasan dan ulasan, bahwa kemampuan ekspor yang tertinggal dibandingkan dengan hasrat mengimpor. Maka terapi yang ditawarkan juga bagaimana menggenjot ekspor dan membatasi impor, dan bukan bagaimana memperkecil selisih antara tabungan dan investasi.
Lantas, apakah defisit transaksi berjalan itu bukannya impor yang lebih besar dari ekspor? Ya. Tetapi, mengapa impornya menjadi lebih besar dari ekspor, dan mengapa kalau investasi terus-menerus setiap tahunnya lebih besar dari tabungan, dengan sendirinya mengakibatkan impor yang lebih besar dari ekspor?
Dalam tulisan saya 23 Desember 1996 sudah dijelaskan dengan sebuah persamaan yang menggunakan simbol-simbol untuk besaran-besaran ekonomi makro yang relevan.
Memang sulit menjelaskannya dengan kata-kata. Yang dapat saya katakan, bahwa investasi membangkitkan pendapatan. Pendapatan ini dalam ekonomi terbuka juga dipakai untuk mengimpor. Sebaliknya, tabungan menyedot daya beli, sehingga daya beli yang bocor pada impor juga dihambat. Lebih besarnya investasi dari tabungan, melalui lebih besarnya pendapatan nasional, akan membuat impor lebih besar. Mungkin penjelasan ini kabur. Saya memang kurang sreg dan kurang mampu dengan penjelasan yang semata-mata menggunakan kata-kata. Maka akan saya jelaskan dengan menggunakan formula persamaan, yang merupakan ulangan dari ulasan terdahulu.
Produksi nasional seluruhnya bisa dibagi ke dalam barang konsumsi yang kita sebut C (Consumption), barang modal yang kita sebut I (Investment) dan untuk diekspor yang kita sebut X (eXport), minus impor yang kita sebut M (iMport). Kalau produksi nasional yang sama dengan pendapatan nasional kita sebut Y, maka:
Y = C + I + X - M.
Persamaan ini bisa kita tulis sebagai
Y - C = I + X - M.
Y — C adalah pendapatan dikurangi dengan yang dikonsumsi. Maka sisanya adalah tabungan. Jadi Y — C bisa ditulis sebagai S.
Sekarang persamaannya menjadi:
S = I + X — M. Persamaan ini bisa juga ditulis menjadi
I - S = M - X.
Apa artinya ini? Tekornya Tabungan untuk menutup Investasi, sama dengan tekornya Ekspor untuk menutup Impor.
Defisit transaksi berjalan disebabkan oleh kebijakan yang menggenjot investasi dengan utang! Bukan karena kemampuan ekspor lebih kecil daripada hasrat mengimpor. Ini juga benar, tetapi ini adalah definisi, tidak menjelaskan sebab akibat. Artinya, yang diartikan dengan defisit transaksi berjalan adalah impor yang melebihi ekspor. Yang krusial adalah pertanyaan selanjutnya, mengapa dan dalam kondisi bagaimana impor selalu melebihi ekspor? Ini adalah pertanyaan apa menyebabkan akibat apa? Jawabnya, seperti ditunjukkan oleh persamaan di atas adalah, investasi yang lebih besar dari tabungan menyebabkan impor yang lebih besar dari ekspor.
Yang kita baca di koran-koran adalah supaya ekspor digenjot, impor dihambat. Ini mengulangi definisi, bukan mencari sebab akibat. Maka percuma. Defisit transaksi berjalan akan mengecil kalau investasi tidak digenjot terus, sehingga selisihnya dengan tabungan tidak semakin menganga.
Saya tahu persis, bahwa sangat banyak ekonom makro yang menertawakan saya, bahwa urusan yang demikian elementernya saya bicarakan demikian panjang lebar. Saya minta maaf kepada mereka. Saya hanya ingin mengisi kekosongan memberikan pengertian kepada masyarakat awam, yang kalau membaca koran hanya mendapatkan gambaran bahwa ketidakmampuan membuat ekspor lebih besar dari impor adalah karena faktor-faktor mikro seperti tidak efisien, pungli, korupsi dan sebagainya. Ini semuanya berperan.
Tetapi kekuatan utama adalah besarnya investasi melampaui tabungan atau saving investment gap.
Defisit transaksi berjalan berarti menguras cadangan devisa. Jadi yang membahayakan adalah likuiditas cadangan devisa. Bukan solvabilitas, atau berapa persen dari PDB (Produk Domestik Bruto). Selama cadangan devisa masih likuid, walaupun besarnya dalam persen dari PDB tidak menyenangkan, untuk jangka pendeknya, kita masih boleh merasa tenteram. Maka yang saya khawatirkan dihadapkannya secara mendadak terhadap cadangan devisa yang habis, kalau defisit transaksi berjalannya membengkak terus. Namun kita boleh merasa tenteram setelah Gubernur Bank Indonesia memberikan penjelasan, bahwa walaupun defisit transaksi berjalan kita untuk tahun 1996/1997 mencapai 8,8 milyar dolar AS, tetapi arus modal yang masuk lebih dari 10 milyar dolar AS, sehingga dengan defisit transaksi berjalan yang kita alami, cadangan devisa kita justru membengkak.
Untuk tahun anggaran 1997/ 1998, defisit transaksi berjalan diperkirakan mencapai 9,8 milyar dolar AS. Tetapi pemerintah, juga cukup yakin bahwa aliran modal asing yang masuk akan melebihi defisit tersebut. Semoga benar.
Kalau ini pun benar, berarti bahwa investasi digenjot terus melampaui tabungan, yang akan memperbesar defisit lagi. Jadi akan terjadi pacuan antara defisit transaksi berjalan yang membengkak dengan investasi yang jauh lebih tinggi dari tabungannya.
Namun untunglah kita bahwa kesemuanya ini terjadi di sektor rumah tangga pemerintahan. Dalam rumah tangga swasta saya tidak tahu bagaimana angka-angkanya. Seperti diketahui, keseluruhan rumah tangga pemerintahan atau APBN hanyalah sebesar 18,9 persen dari seluruh PDB. Sisanya adalah peran sektor swasta.
Apakah pemerintah tidak punya peran dalam menggiring swasta ke arah yang hati-hati? Bisa, yaitu melalui instrumen-instrumen lainnya, seperti politik investasi, pengereman kredit dan sebagainya.
Di sini ada pandangan yang bertolak belakang antara Meninves dan Gubernur Bank Indonesia. Meninves ingin investasi digenjot terus tanpa peduli dibiayai dari tabungan atau utang. Gubernur BI ingin agar kredit dan uang beredar terkendali. Siapa yang akan lebih kuat antara benturan ini saya tidak tahu.
Dalam tubuh Gubernur BI juga terjadi kontradiksi. Dia merasa cadangan devisa aman, walaupun defisit transaksi berjalan besar, karena masuknya modal asing lebih besar lagi. Tetapi membesarnya masuknya modal asing berarti memperbesar saving investment gap, yang berarti akan memperbesar defisit transaksi berjalan.
Akhirnya tentang anggaran yang dikatakan berimbang. Anggaran kita jelas defisit, yang ditutup dengan utang luar negeri. Namun seandainya kita mempunyai anggaran yang betul-betul berimbang, artinya daya beli yang dipompakan ke dalam masyarakat sama dengan yang disedot dari masyarakat tetapi keseluruhan anggaran meningkat dibandingkan dengan anggaran tahun sebelumnya, apakah anggaran yang demikian disebut ekspansif atau kontraktif?
Banyak yang mengatakan netral. Tidak kontraktif dan tidak ekspansif. Tetapi T Haavelmo mengatakan ekspansif.
Mengapa? Karena menurut penelitiannya, dalam kondisi daya beli diraup dari masyarakat, yang dikorbankan bukan konsumsinya, melainkan tabungannya. Menurutnya, pengeluaran pemerintah mempunyai multiplier yang lebih besar dari tabungan. Dituliskan dalam formula, menurut Haavelmo, yang berlaku adalah C = Co + c.(Y — T). Bukannya tanpa tanda kurung atau C = Co + c.Y — T, di mana C adalah Konsumsi, c adalah bagian dari pendapatan yang dikonsumsi, Y adalah Pendapatan Nasional, dan T adalah Pajak.
Kwik kian Gie, ekonom senior
Kompas, 13 Januari 1997
Sumber:
Kwik Kian Gie, Gonjang-Ganjing Ekonomi Indonesia: Badai Belum Akan Segera Berlalu, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama dan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi IBII, 1998, h. 412-418.
0 komentar:
Posting Komentar