alt/text gambar

Sabtu, 17 Agustus 2024

Topik Pilihan: ,

REVOLUSI DAN ARTINYA, KONTINUITAS DAN PERUBAHAN

 


Oleh: Onghokham*)

(D&R, No 52/XXVIII, 16 Agustus 1997)


Apa arti istilah “revolusi”? Pada umumnya orang sudah tahu, yakni perubahan cepat yang fundamen-tal dan sering dengan kekerasan. Dalam bulan Agustus ini, menjelang peringatan ulang tahun ke-52 Proklamasi Kemerdekaan RI, setiap orang ingin merenungkan kembali, khususnya generasi yang mengalami Indonesia dari koloni ke negara merdeka, apalagi bia kebetulan sejarawan. 


Salah satu buku penting tentang masalah politik Indonesia terbit pada permulaan tahun 1960-an. Buku itu, Decline of Constitusional Democracy (mundurnya demokrasi konstitusional) karya Herbert Feith, seorang berkebangsaan Australia yang belajar di Universitas Cornell yang terkenal itu. Buku tersebut berkisah di sekitar konflik dalam kubu politisi Indonesia, yang dibagi dalam dua golongan: para “pembuat solidaritas” dan para “penyelesaian masalah” (problem solvers). 


Tentu, pertentangan antar-dua kelompok itu dalam kubu politik Indonesia juga terungkap. Yakni, antara yang menganggap “revolusi belum selesai” dan yang berkeyakinan bahwa pembangunan harus segera dimulai. Kelompok pertama diwakili oleh Sukarno, sedangkan yang kedua oleh M. Hatta, Sjahrir (khusus Partai Sosialis Indonesia-nya). Sampai kini perdebatan itu masih dilanjutkan biarpun retorikanya berubah. Kini, satu pihak mengatakan “perlu adanya stabilitas bagi pembangunan ekonomi”, sedangkan pihak lain mengatakan, telah adanya pembangunan ekonomi beberapa dasawarsa, kini perlu ada demokratisasi. 


Pada waktu buku Feith terbit, sudah ada kritik pedas tentang buku tersebut, yakni dari H.J Benda dari Universitas Yale dan Ben Anderson dari Cornell. Nada kedua pengritik sama, yakni tidak ada dimensi sejarah pada karya Herberti Feith. Pada waktu itu pribadi Sukarno yang penub kharisma dan flamboyan memenuhi panggung politik Indonesia. Konklusi H.J Benda adalah, masalah yang harus dibicarakan bukan masalah “mundurnya demokrasi”, tetapi sampai di mana “Demokrasi Terpimpin” yang dilancarkan Sukarno tidak merupakan kontinuitas (sambungan) dari arus ejarh Indonesia (baca: Jawa) bahkan yang prakolonial. 


Teorinya sedikit banyak begini: para nasionalis yang melancarkan revolusi anti-kolonial sebenarnya tidak percaya bahwa penjajah mereka benar-benar telah mereka usir. Selama masa di bawah mata kritis para bekas penguasa kolonial, lebih baik mereka berkelakukan baik. Namun, pada suatu hari, para nasionalis (elite penguasa baru) bangun, dan, “O...ternyata penjajah kolonial memang sudah pergi.” Dan, mereka kini mengatur negara dan masyarakat sendiri.


Lalu pola kekuasaan dan kebijaksanaan yang dikembangkan adalah arus pola lama yang prakolonial, yang kini mungkin dapat diistilahkan dengan the Asian way (value). Apakah maksud dan tujuannya kini masih seperti di tahun 1960-an? Entahlah. Yang pasti, menurut penulis kolom ini, Benda dan lain-lain itu sangat romantis menilai tingkah laku politik Indonesia yang dalam sejarah sebenarnya merupakan hutan rimba politik. 


Kelanjutan Masa Kolonial

Salah satu fenomena yang dikemukakan para sarjana ilmu politik zaman tahun 1960-an—termasuk oleh Benda dan Anderson—dan sering masih dipegang adalah melihat bahwa pendudukan Jepang (1942-1945) berpengaruh besar terhadap budaya dan sistem politik Indonesia merdeka. Kolonial Belanda, biarpun tidak selama 350 tahun menjajah Nusantara, khususnya di Jawa, penjajahan itu cukup lama (sejak tahun 1830), tidak meninggalkan pengaruh apa-apa. Sedikitnya, bukan yang paling berpengaruh apa-apa ataupun bukannya yang paling berpengaruh pada masa pascakolonial? 


Kini, setelah beberapa dasawarsa disintegrasi emperium-emperium Barat dan lalu disusul dengan emperium Rusia, banyak sarjana melihat bahwa negara-negara nasional (kebangsaan) yang muncul pada dasarnya berstruktur negara jajahan. Dengan kata lain, pengaruh negara kolonial sangat besar, baik kepada negara yang lahir dengan perjuangan yang keras seperti Indonesia dan Vietnam, maupun yang lahir secara damai seperti Malaysia dan Filipina. Pun kebijaksanaan-kebijaksanaan negara-negara itu sering merupakan kelanjutan kebijaksanaan masa kolonial—tentu dengan penyesuaian sesuai dengan perkembangan zaman. 


Dilihat dari jumlah elite politik dan ketergantungan elite itu kepada negara, kontinuitas negara kolonial bahkan prakolonial pada negara merdeka kini jelas. Memang, kini, masalah pribadi (kepemimpinan perseorangan) jauh lebih penting daripada di masa kolonial. Kharisma seseorang menggantikan keabsahan, dan pada batas tertentu, keahlian. Negara pejabat (beambten-staat) zaman kolonial diganti dengan “politik”. Tapi, apakah perubahan tersebut mengubah pula kebijaksanaan negara merdeka terhadap oposisi? Pada zaman kolonial. Khususnya 10 tahun terakhir (tahun 1930-an), oposisi, misalnya dari “gerakan nasionalis”, diabaikan. Kini setiap oposisi dianggap sebagai ancaman serius, biarpun tidak ada kemungkinan penggulingan pemerintah. Sebab, “oposisi” tidak bersenjata, seperti juga sebenarnya gerakan nasionalis pada zaman kolonial. 


Suatu kesinambungan lain yang masih jelas bisa dilihat, baik dari yang tradisional (prakolonial) di Jawa maupun dari masa kolonial dan pascakolonial, adalah penguasaan oleh negara (paling sedikit kedudukan negara dominan) dua aset utama masyarakat, yakni tanah dan tenaga kerja. Kemampuan negara untuk memperoleh surplus dari rakyat melalui dua aset tersebut sepanjang sejarah besar sekali. 


Pada negara tradisional, suprlus digunakan untuk mengembangkan kebudayaan keraton, seperti monumen-monumen megah yang sampai kini masih merupakan kejayaan zaman tersebut. Dalam zaman kolonial, penguasaan terhadap tanah dan tenaga oleh negara digunakan untuk menjadikan Pulau Jawa suatu perkebunan ekspor besar—perkebunan teh, gula, kopi, nilai, tembakau, karet, dan sebagainya. Rakyat Jawa sendiri dilarang menanam jenis-jenis tanaman ekspor tersebut. Sementara itu, di luar Jawa, tumbuh gula rakyat, karet rakyat, dan sebagainya. Ini merupakan bukti bahwa rakyat bila diberi kesempatan dapat juga mengitegrasikan diri dengan kapitalisme dan menjadi makmur karenanya. 


Pada zaman kini kehausan akan tanah dan tenaga diperankan oleh pengembang (developer)—baik pengembang lapangan golf, perumahan, atau pabrik. Memang, pengembang juga memberi pekerjaan. Tapi, di lain pihak, juga “mencari harga ekonomis rendah”. Sebenarnya, pengembang, dengan membuka tanah untuk fungsi ekonomi lebih tinggi daripada tanah itu masih berfungsi sebagai sawah, sudah meraih untung dan dapat memberikan harga beli penuh kepada pemilik semula. Tapi, karena nafsu mencari keuntungan sebesar-besarnya, terjadilah hal umum seperti ini: pengembang membeli tanah semurah-murahnya, kemudian juga menjual tanah yang telah dibangun itu semahal-mahalnya. Padahal secara tradisional, tanah adalah milik pribadi yang jelas dan yang dihormati sepenuhnya. Inilah masalah yang paling gawat bagi masyarakat Jawa. 


Subversif 

Jadi, dalam hal tanah saja, nasib hak milik yang dihormati itu tak ada bedanya antara di zaman kolonial dan sekarang. Lalu, apa arti revolusi Indonesia atau Proklamasi Kemerdekaan kita? 


Proklamasi menyebabkan proses Indonesianisasidari pimpinan dan elite politik, birokrasi pemerintah sampai perekonomian. Dalam hal terakhir itu, misalnya, nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda dan lain-lain pada tahun 1957 dan permulaan 1960-an yang kini merupakan BUMN. Sebelumnya, perekonomian Indonesia ditentukan oleh apa yang disebut “the big five” (lima besar perusahaan Belanda, antara lain Nederlandsche Hanel Maatschappij). 


Proses Indonesianisasi itu menyebabkan mobilitas sosial yang sangat tinggi di masyarakat. Manusia Indonesia dengan sangat cepat naik ke tangga sosial, khususnya pada permulaan tahun 1950-an sampai 1960-an. Mungkin kini proses tersebut menjadi lebih selektif, namun tetap sangat tinggi karena keberhasilan pembangunan dalam 20-30 tahun semasa Orde Baru. Dalam tahun 1930-an dapat dikatakan bahwa mobilitas itu macet total di masyarakat pribumi karena dua hal: kolonialisem dan depresi ekonomi yang melanda dunia dan Hindia Belanda. 


Selain itu, elite pribumi Indonesia dalam zaman kolonial dapat dikatakan tidak terintegrasi dengan dunia modern kecuali beberapa tokoh, seperti keluarga Djajadiningrat, Pangeran Soejono (satu-satunya menteri orang Indonesia dalam kabinet Nederland dalam pengasingan di London, 1940-1945), dan lain-lain. Elite Indonesia pada zaman kolonial kebanyakan menduduki jabatan-jabatan adat dan feodal. Elite profesional lulusan universitas, baik di dalam maupun di luar negeri, sering dalam tahanan atau pengasingan politik. Mereka dianggap subversif terhadap sistem kolonial. Sebaliknya, elite Indonesia kini dalam Republik Indonesia terintegrasi dalam dunia modern dengan segala konsekuensi globalisasi dan lain-lain. Tingginya mobilitas sosial pada zaman pascakolonial juga berarti munculnya suatu golongan menengah, dengan gaya hidup golongan menengah. Artinya, dengan gaya hidup seperti itu, golongan ini agak tercabut dari akar budaya masyarakatnya. Sementara itu, bagaimanapun juga nasib dari elite ini ada di tangan elite ini sendiri sampai batas-batas tertentu karena globalisasi. 


Golongan menengah tersebut—terdiri dari para profesional, para pejabat tinggi, usahawan, seniman, dan sebagainya—menurut perkembangan sejarah di masyarakat-masyarakat lain dan khususnya masyarakat tetangga kita, seperti Thailand, Taiwan, Korea, Jepang, dan lain-lain, akan menentukan nasib bangsa di kemudian hari. Mereka akan menjadi elite politik yang lebih luas dan berakar pada suatu masyarakat modern. 


Namun, sejarah berkembang tanpa pernah diduga. Orang yang hidup di tahun 1930-an tidak dapat membayangkan kemerdekaan Indonesia, dan tahun-tahun menjelang tahun 2000 di Indonesia. 


*) Sejarawan


Sumber: D&R, No 52/XXVIII, 16 Agustus 1997

0 komentar:

Posting Komentar