Oleh: K. Bertens dan Alois A. Nugroho
Dewasa ini baik kata “sains” maupun kata “ilmu pengetahuan” lazim dipakai oleh kalangan terpelajar di Indonesia. Pemakaian kata “ilmu pengetahuan” tampaknya memiliki sejarah lebih lama dan status lebih resmi. Kita misalnya memiliki LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia). Sebelumnya sudah ada MIPI (Majelis Ilmu Pengetahuan Indonesia), malah sudah pernah ada departemen (dulu disebut kementerian) PTIP, singkatan dari Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan.
Sekurang-kurangnya sejak dasawarsa lalu, masuklah kata baru “sains” ke dalam perbendaharaan kata kaum terpelajar di Indonesia. Kata ini semakin banyak ditemukan. Dalam bahan yang disediakan oleh BP-7 DKI Jakarta untuk penataran P-4 di universitas swasta di Jakarta tahu akademiki 1985-1986 ini, beberapa kali dipakai pasangan istilah “teknologi dan sains”.
Mungkin para penyusun beranggapan, bahwa mahasiswa baru sebaiknya dikonfrontasikan dengan istilah yang keren itu, sesaat mereka menginjakkan di kampus pilihan mereka untuk acara resmi yang pertama dalam kehidupan mereka sebagai mahasiswa. Biarpun tersedia juga istilah lebih biasa, namun bila digunakan “sains”, efek psikologisnya akan lebih besar. Mungkin demikian pertimbangan para penyusun.
Mereka tentu insaf bahwa kata “sains” tidak muncul dalan teks P-4 atau GBHN sendiri, apalagi dalam UUD 1945. Tetapi pada kesempatan lain sering kita membaca atau mendengar istilah yang sama, dalam koran atau majalah, dalam ruang kuliah atau seminar. Di samping itu ada orang yang memberi kesan dengan sengaja mau menghindari penggunaan istilah ini.
Ilmu pengetahuan
Mereka yang biasa menggunakan istilah “ilmu pengetahuan” atau “sains” saja, biasanya yakin, bahwa istilah yang dipakainya itu sudah cukup distiktif. Acap kali diterangkan bahwa istilah “ilmu pengetahuan” tidak lain sekadar bentuk lebih lazim dari istilah “pengetahuan ilmiah, untuk membedakannya dengan “pengetahuan tidak ilmiah”.
Menurut Dr Jujun S. Suriasumantri misalnya, pengetahuan pada hakikatnya merupakan segenap apa yang kita ketahui tentang suatu obyek tertentu. Dalam arti ini, seni dan agama misalnya tercakup dalam “pengetahuan” tadi. Tetapi ilmu pengetahuan adalah pengetahuan ilmiah. Ini berarti, bahwa ilmu pengetahuan hanya bisa dilakukan dan didapatkan dengan dan melalui syarat-syarat tertentu, yang kita sebuh metode ilmiah. Metode ilmiah itu melibatkan antara lain: perumusan masalah, perumusan hipotesis, pengujian hipotesis dan logika deduktif serta logika induktif (Filsafat Ilmu, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1984, hal. 104 dan 109).
Namun rupa-rupanya sifat distinktif kata-kata “ilmu”, “ilmiah” dan “keilmuan” ilmu sendiri tidak banyak diandaikan. Orang tidak atau kurang terpelajar dalam hidup sehari-hari banyak berbicara tentang ilmu kebatinan dan perbedaanya dengan ilmu klenik, ilmu hitam dengan ilmu putih.
Mencari ilmu dan berilmu tidak harus dilakukan dan didapatkan di bangku-bangku sekolah atau bangku kuliah. Seorang teman yang menuntut ilmu di ITB, tetap mempertahankan ilmu kekebalannya konon dengan merendam diri di sungai-sungai dan menyepi di makam-makam.
Dalam usaha untuk membedakan ilmu pengetahuan dengan ilmu kekebalan dan semacamnya (dan betapa membingungkan kalau kita bicara tentang ilmu kekebalan ini dengan ilmu kekebalan dalam arti imunologi), penah dibuat pembedaan stipulatif antara ilmu dengan ngelmu. Kata Jawa yang dikenal luas antara lain karena termuat dalam pupuh Tembang Wedhatama ini, lalu dipakai untuk menyebut ilmu-ilmu kebatinan, klenik dan semacamnya.
Akan tetapi para ahli bahasa kita rupa-rupanya tidak menyetujui pembedaan stipulatif itu. Kamus Bahasa Indonesia (KBI) Jilid I yang diterbitkan oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Depdikbud (1983), memang menyebutkan, bahwa ilmu ialah “pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara sistematis, menurut metode-metode tertentu yang dapat dipergunakan untuk menerangkan gejala-gejala tertentu dalam bidang (pengetahuan) itu ...” (783). Dengan demikian dimuatlah ilmu alam, ilmu pasti, ilmu bedah, ilmu bumi, ilmu agama, ilmu bahasa dan lain-lain.
Namun KBI ternyata juga (h. 784) memuat keterangan tentang ilmu hitam (“pengetahuan tentang kebatinan yang berhubungan dengan pekerjaan setan, seperti membuat orang gila, mencuri dengan bantuan mahluk halus dan sebagainya”). Dimuat juga keterangan tentang ilmu klenik, ilmu limunan, ilmu sihir, ilmu putih, ilmu suluk, ilmu wasitah dan lain-lain. Secara leksikal, kata-kata “ilmu”, “ilmiah”, dan “keilmuan” sesungguhnya tidak distinktif. Apakah dengan demikian kata “sains” lebih memadai?
Sains
Jika kita membuka Ensiklopedi Indonesia terbitan PT Ichtiar Baru-Van Hoeve, kata “sains" ternyata tidak tercantum. Dan lebih penting lagi, dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (Poerwadarminta) cetakan V, 1976, kata ini juga tidak ditemukan. Padahal menurut kata pengantar kamus isi dalam cetakan tahun 1976, dimuat 1000 kata baru. Sulit untuk dibayangkan, bahwa kata ini dilupakan begitu saja.
Jadi boleh disimpulkan, bahwa instansi yang mengawasi perkembangan Bahasa Indonesia tidak menerima kata ini? Apakah dalam kamus baru, Kamus Bahasa Indonesia, yang sedang dipersiapkan oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, kata bersangkutan juga tidak akan tampil? Menurut pendapat kami, sebetulnya lebih baik tidak. Untuk itu, ada beberapa alasan.
Pertama, kata “sains” tidak jelas artinya. Apakah yang dimaksud adalah ilmu pengetahuan pada umumnya atau ilmu-ilmu tertentu? Kalau kita menyimak cara kata ini dipakai, maksudnya adalah “ilmu alam”. Maksud itu biasanya tinggal implisit, tapi kadang-kadang menjadi eksplisit juga seperti dalam buku Dr M.T Zen (Sains, Teknologi, dan Hari Depan Manusia, Jakarta: Gramedia, 1981). Di situ tertulis bahwa “sains adalah eksplorasi ke alam materi berdasarkan observasi, dan yang mencari hubungan-hubungan alamiah yang teratur mengenai fenomena yang diamati serta bersifat mampu menguji diri sendiri” (hal. 9).
Tetapi jika maksudnya memang “ilmu alam”, mengapa tidak diungkapkan dengan jelas? Kata Inggris science tidak berarti ilmu alam. Untuk istilah terakhir ini bahasa Inggris menggunakan the natural sciences. Tentu saja dalam bahasa Inggris (dan hal yang sama untuk bahasa-bahasa Barat lainnya, seperti bahasa Prancis umpamanya) tidak jarang dikatakan sciences, sedangkan yang dimaksudkan ialah the natural sciences.
Kemungkinan besar, hal yang sama terjadi bila orang berbicara tentang “ilmu pengetahuan dan teknologi”. Tapi kalau begitu maksudnya jelas dari konteksnya. Sedangkan dengan membentuk kata “sains”, koreksi dan konteks itu tidak dapat diharapkan lagi.
Kedua, kata Inggris science berasal dari bahasa Latin scientia (= ilmu pengetahuan). Daripada bertolak dari salah satu bentuk turunan seperti kata Inggris itu, lebih logis adalah kembali kepada bentuk asalnya dalam bahasa Latin.
Ketiga dan rupanya di balik penggunaan istilah “sains” terdapat suatu pandangan tentang ilmu pengetahuan. Dalam istilah ini terjelma suatu filsafat siluman. Dengan mengatakan “sains” dan sekaligus memaksudkan “ilmu alam”, ditampilkan kesan, bahwa hanya ilmu alam merupakan ilmu dalam arti yang sebenarnya.
Pendapat ini memang pernah dikemukakan oleh orang seperti Otto Neurath dan Rudolf Carnap dari “Lingkungan Wina” dan biasanya disebut “fisikalisme”. Mereka beranggapan, bahwa “fisika” adalah model untuk ilmu pengetahuan pada umumnya dan bahwa setiap ilmu dapat atau harus dapat diasalkan dari fisika, supaya mempunyai status ilmiah yang sungguh-sungguh.
Sekarang orang akan lebih hati-hari dalam menuntut suatu monisme di bidang ilmu pengetahuan dan lebih cenderung ke arah pluralisme. Tetapi bila orang lebih memilih pandangan fisikalisme, hal ini tentu tidak dapat dilarang. Itu merupakan haknya, walaupun kami ingin mendengar juga argumen-argumennya. Tetapi janganlah pandangan seperti itu dibekukan dalam sebuah istilah.
Akhir kata
Di atas diusahakan suatu analisis sederhana tentang kesulitan-kesulitan yang menyangkut dua istilah. Ternyata baik “ilmu pengetahuan” maupun “sains” mempunyai kelemahannya. Tapi tingkat kelemahannya tidak sama. Istilah “ilmu pengetahuan” dalam arti “pengetahuan ilmiah” tidak mudah akan dicampuradukkan dengan “ilmu” sebagai ngelmu.
Di sini pertentangan adalah antara penggunaan spesialistis dan penggunaan populer sebuah istilah. Tapi dengan menggunakan “sains”, dimasukkan suatu ketidakjelasan dalam wilayah spesialistis itu sendiri. Ketidak jelasan itu tampak misalnya, bila kita berusaha menerjemahkan judul artikel ini. Science or Natural Science sebagai terjemahan tentu meleset.
Masalah peristilahan dalam bidang ilmiah sudah cukup rumit. Karena itu sebaiknya ditambah suatu ketidakjelasan yang tidak perlu.
K. Bertens dan Alois A. Nugroho, bekerja pada Pusat Pengembangan Etika, Unika Atma Jaya, Jakarta.
Sumber: Kompas, 7 September 1985
0 komentar:
Posting Komentar