"Manusia absurd itu tak mempunyai pretensi moral. Ia tak mau mengajarkan moral kepada orang-orang lain, mengenai hidup macam apa yang sebaiknya dianut. Moral yang formal adalah absurd. Orang tak bisa menentukan mana yang baik dan mana yang jahat sebab nilai-nilai selalu dapat diputar-balikkan demi kepentingan-kepentingan tertentu dari suatu golongan. Nilai-nilai harus ditinjau bukan sebagai nilai yang absolut, tapi sebagai yang selalu bersesuaian dengan sejarah." (Sindhunata dan A. Sudiardja, "La Peste: Suatu Penampilan Absurditas dan Pemberontakan Camus", dalam M. Sastrapratedja [ed], Manusia Multi Dimensional: Sebuah Renungan Filsafat, Jakarta: PT Gramedia, 1983, h. 24).
"Absurditas Camus dapat dilihat dengan tajam. Absurditas itu merupakan salah satu posisi filosofis yang ditawarkan oleh eksistensialisme ateis, kalau boleh dikatakan demikian, sebab absurditas berarti ketidak-mungkinannya mencari jawab pada yang transenden. Camus mengagumi Nietzsche yang dengan lantang menyatakan kematian Tuhan, agar manusia setia pada buminya sendiri. Bagi Nietzsche, mencari jawaban pada yang transenden atas persoalan-persoalan duniawi ini adalah tindakan pemalas yang mau mencari gampang-gampangan saja. Kepercayaan akan Allah adalah pelarian yang paling mudah untuk memecahkan persoalan, tetapi kurang mengena.
Camus sependapat dengan Nietzsche, seraya menyimpulkan bahwa dunia ini absurd. Absurditas ini dapat diungkapkan dalam berbagai variasi, misalnya bahwa dunia ini indah, tapi hidup manusia bersifat sementara saja. Apakah nilai keindahan ini bila manusia kemudian mati dan tak dapat menikmatinya. Orang lanjut usia yang tak tahu melewatkan hari-harinya kecuali dengan tindakan-tindakan yang naif. Dunia ini absurd karena tak bisa menerangkan kontradiksi-kontradiksi yang ada padanya. Dunia ini irasional karena tak bisa menerangkan adanya kemalangan, bencana, ataupun tujuan hidup manusia." (Ibid., h. 19).
***
"Terhadap situasi kehidupan yang absurd ini, manusia harus menentukan sikapnya. Sebagaimana umumnya kaum nihilis yang tak mengakui transendensi, Camus pun mencari jalannya sendiri. Setiap anggapan yang menolak eksistensi Allah, akan berpendapat seperti Nietzsche, bahwa kini terbuka suatu daerah tak bertuan yang harus dikuasai. Itulah anggapan kaum nihilis. Nietzsche mengisi kekosongan kekuasaan itu dengan cita-cita pembinaan manusia "superman", sedangkan Marx mengajukan gagasan kekuasaan kaum proletar. Tapi tak demikian halnya Camus. Camus menyadari betul tak perlunya suatu masa depan. Bukan karena masa depan itu jelek, tapi karena masa depan itu selalu merupakan absurditas. Masa depan itu tak pernah bisa dipahami, Camus amat konsekuen dengan pandangannya bahwa seorang tokoh yang absurd tak bisa berbuat selain menggeluti absurditasnya yang dihadapinya saat ini." (Ibid., h.23)
0 komentar:
Posting Komentar