alt/text gambar

Rabu, 29 Januari 2025

Topik Pilihan:

Buku DEMOKRASI DAN KEKECEWAAN

 DEMOKRASI DAN KEKECEWAAN 

Goenawan Mohamad 


R.William Liddle • Rocky Gerung • Samsu Rizal Panggabean 

Dodi Ambardi • Robertus Robet • Ihsan Ali-Fauzi 


Disunting oleh 

Ihsan Ali-Fauzi dan Samsu Rizal Panggabean 

Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD) 

Jakarta, 2009 

Cetakan I, April 2009 


Diterbitkan oleh 

Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD), 

Yayasan Wakaf Paramadina 

bekerjasama dengan 

PT Newmont Pacific Nusantara (NPN) dan 

Magister Perdamaian dan Resolusi Konflik 

Universitas Gadjah Mada (MPRK-UGM) 


Alamat Penerbit: 

Graha Paramadina, Pondok Indah Blok F 4-6 

Jl. TB Simatupang, Pondok Indah, Cilandak, Jakarta Selatan 12310 

Tel. (021) 765-1611, Faks. (021) 7652015 


Hak cipta dilindungi undang-undang 

Allrigt reserved 


Kulit Muka: Ihsan Ali-Fauzi dan Heni Nuroni 




ISBN: 978-979-19725-0-5 




iv 




Daftar Isi 

Pengantar Penyunting 

BAGIAN I: ORASI ILMIAH 

Demokrasi dan Kekecewaan 

Goenawan Mohamad 

BAGIAN II: TANGGAPAN-TANGGAPAN 

Politik sebagai Perjuangan atau Pengeboran? 

R. William Liddle 

Mengaktifkan Politik (Rocky Gerung) 

Negara dan Demokrasi yang Belajar (Samsu Rizal Panggabean)

Dua Monolog tentang Demokrasi (Dodi Ambardi)

"Yang Politis sebagai Nostalgia" (Robertus Robet)

Berharap pada "Partai-partai Gerakan"? (Ihsan Ali-Fauzi)

BAGIAN III: TANGGAPAN ATAS TANGGAPAN 

Demokrasi, Politik dan Kairos (Goenawan Mohamad)

Tentang Penulis 


***

Pengantar Penyunting 

Buku ini bermula dari orasi ilmiah yang disampaikan Goenawan Mohamad dalam acara Nurcholish Madjid Memorial Lecture (NMML), di Aula Nurcholish Madjid, Universitas Paramadina, Jakarta, 23 Oktober 2008 lalu. Acara ini adalah acara tahunan Yayasan Wakaf Paramadina 

CYWP). Kali ini yang kedua, setelah di tahun sebelumnya 

Dr. Komaruddin Hidayat menyampaikan orasi sejenis yang 

pertama. 


Selain untuk mengenang sosok dan pemikiran Cak Nur, 

begitu biasanya almarhum Nurcholish Madjid dipanggil, 

acara di atas terutama dimaksudkan untuk merenungkan 

sumbangan pemikirannya bagi bangsa Indonesia dewasa 

ini dan di masa depan. Selain oleh orasi ilmiah, acara di 

atas juga diisi oleh peluncuran buku All You Need Is Love: 

Cak Nur di Mata Anak-anak Muda, berisi 30 esai anak 

muda mengenai apa makna Cak Nur bagi mereka semua. 

Menurut kami inilah mungkin cara terbaik mengenang 

jasa-jasa Cak Nur, salah seorang pendiri YWP: seraya tak 

hendak mengultuskannya, kami tetap ingin mengapresiasi 

sumbangan dan maknanya bagi kita semua. 


Mengapa orasi ilmiah kali ini disampaikan Goenawan 

Mohamad (GM)? Sejak semula acara NMML memang 

dirancang untuk mengundang dan memberi kesempatan 

bagi seorang intelektual kelas satu untuk merenungkan apa 

saja dari peninggalan almarhum Cak Nur yang diang- 

gapnya relevan dan penting diperbincangkan lagi hari ini. 

GM tentu saja memenuhi syarat ini. 

Selain dikenal luas berkat sumbangan pikirannya 

mengenai banyak hal, yang terdokumentasikan di banyak 

buku dan rubrik "Catatan Pinggir" di Majalah Berita Ming- 

guan Tempo yang terus ditulisnya hingga kini, sumbangan 

GM juga luas diakui berkat ketekunan dan kegigihannya 

membangun dan mengelola banyak instdtusi budaya dan 

intelektual yang penting khususnya di Jakarta— dari Ko- 

munitas Utan Kayu (KUK) hingga Komunitas Salihara, 

yang baru tahun lalu diresmikan dan kini makin ramai me- 

nyelenggarakan beragam acara. Dan yang tak kalah pen- 

ting, terutama dalam konteks NMML, GM memiliM hu- 

bunganyang sangat erat dengan Cak Nur. Ia pernah menulis 

"Pengantar" untuk Pintu-pintu Menuju Tuhan, salah satu 

buku almarhum yang paling populer hingga kini. Dan 

keduanya, bersama sejumlah aktivis pro-demokrasi di Indo- 

nesia, turut mendirikan Komite Independen Pemantau 

Pemilu (KIPP) di tahun 1996, yang dapat dipandang sebagai 

salah satu tonggak penting dalam gerakan demokratisasi 

di Tanah Air. 

Selain orasi ilmiah GM, buku ini juga memuat enam 

tulisan tambahan yang dimaksudkan untuk mengomentari 

orasi ilmiah itu, dan komentar balik GM sendiri atas ko- 

mentar-komentar di atas. Penerbitan ini adalah permulaan 

baik yang mudah-mudahan dapat kami pertahankan di 

tahun-tahun berikutnya sehubungan dengan NMML. 

Maksudnya, agar renungan yang disampaikan dalam 

pidato NMML bisa terus diwacanakan dan diperluas jang- 

kauannya. Fakta bahwa GM sendiri menulis komentar 

baliknya yang jauh lebih panjang dari pidatonya yang awal 

menunjukkan betapa menariknya wacana yang sudah 

berkembang: betapa para komentatornya telah berhasil 

memperlebar percakapan intelektual yang ditanggapi GM 

dengan penuh antusiasme. 

Ini tentu tak mengherankan, karena tema yang dipilih 

GM untuk orasi ilmiahnya, "Demokrasi dan Disilusi", 

adalah tema yang sangat relevan dengan situasi mutakhir 

kita. (Dalam penyiapan buku ini, GM menyarankan agar 

kata "disilusi" dalam orasi diganti dengan "kekecewaan", 

yang kami ikuti). Seperti mewakili perasaan banyak orang 

tentang kualitas demokrasi kita, GM mengeksplisitkan 

sejumlah implikasi negatif yang muncul dari keharusan 

para pemimpin politik untuk tunduk kepada hukum besi 

"kurva lonceng" yang mencirikan semua demokrasi. Tapi 

ia tak serta-merta menampik demokrasi: ia hanya mene- 

gaskan perlunya kita memperkuat sisi "perjuangan" di 

dalam demokrasi, agar cita-cita keadilan, kesetaraan dan 

kesejahteraan yang dijanjikan demokrasi tidak tergerus 

oleh keharusan para pemimpin politik untuk tunduk ke- 

pada hukum "kurva lonceng". Berbagai soal detail dalam 

hubungan dinamis antara sisi "perjuangan" dan sisi "kurva 

lonceng" demokrasi inilah yang dibahas para komen- 

tatornya kemudian. 


Dengan membaca buku ini, kami berharap bahwa wa- 

wasan kita mengenai tema ini bisa diperkaya dan diperluas 

oleh perdebatan yang direkam buku ini. Kalau diizinkan 

untuk mengklaim, ingin kami katakan: inilah perdebatan 

yang sejauh ini paling substantif dan kredibel di Indonesia 

mengenai di mana lata hams kecewa kepada demokrasi 

dan di mana pula kita bisa berharap kepadanya. Sejauh 

mana klaim itu benar, tentu para pembacalah hakimnya. 


*** 


Penerbitan buku ini juga menandai kiprah lebih lanjut dari 

Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD), salah satu 

lembaga otonom yang dibentuk YWP pada 2006, bersa- 

maan dengan perayaan ulang tahunnya yang ke-20. Selain 

penerbitan, PUSAD Paramadina juga melakukan kegiatan 

riset dan advokasi mengenai hubungan antara agama dan 

demokrasi. Terakhir, sejak tahun lalu dan bekerjasama 

dengan Magister Program untuk Resolusi Konflik, Uni- 

versitas Gadjah Mada (MPRK-UGM), dan The Asia Foun- 

dation (TAF), kami melakukan studi mengenai "Pola-pola 

Konflik Keagamaan di Indonesia, 1990-2008," yang hasil- 

nya juga akan segera dibukukan. Selain dalam kegiatan 

riset ini, kami juga bekerjasama dalam melaksanakan 

program "Polisi, Masyarakat Sipil, dan Konflik Agama di 

Indonesia," yang secara umum diharapkan bisa memberi 

sumbangan bagi penegakan etos pluralisme di tanah air, de- 

ngan disalurkannya konflik-konflik keagamaan dalam 

cara-cara yang penuh kedamaian. 


Dengan fokus yang lebih khusus diberikan pada riset dan 

advokasi mengenai hubungan antara agama dan demok- 

rasi, PUSAD Paramadina ingin mengembangkan lebih 

lanjut peran lama YWP sebagai forum dialog yang terbuka 

dan bebas mengenai tema-tema keagamaan (khususnya 

keislaman), keindonesiaan, dan kemodernan. Seperti 

diketahui, segitiga tema itu sudah taken for granted dan 

seperti menyatu dalam diri almarhum Cak Nur: ada kesa- 




daran bahwa Islam di ranah ini tak mungkin dipisahkan 

dari Indonesia, dan integrasi yang saling memperkokoh 

keduanya itu ingin dimanfaatkan sebagai wadah budaya 

untuk menyongsong dan memberi sumbangan bagi kemo- 

deraan. Itu artinya, menjadi Muslim yang baik sama dan 

sebangun dengan menjadi warganegara yang Pancasilais 

dan penuh percaya diri untuk menjawab tantangan mo- 

dernitas. 


Pada sosok Cak Nur, dan kami hendak meniru dan me- 

ngembangkannya lebih jauh, segitiga tema di atas tercer- 

min dari kepercayaan dirinya yang tinggi untuk menggali, 

dari khazanah Islam dan Indonesia yang kaya, nilai-nilai 

yang dapat memberi topangan bangsa ini dalam meng- 

arungi era modern. Sejalan dengan komitmen keislaman 

dan kebangsaannya, Cak Nur telah memberi landasan teo- 

logis bagi keharusan pluralisme, kebebasan, penegakan 

nilai-nilai hak-hak asasi manusia (HAM), demokrasi, dan 

seterusnya di negeri ini. Karenanya, bagi Cak Nur, gagasan 

tentang negara Islam, misalnya, adalah anathema, karena 

ia menghantam bagian paling inti dari keberislaman 

sebagai penyerahan-diri secara afcfif kepada Sang Ilahi. 

Bagaimana Mta minta seseorang bertanggungjawab atas 

keberagamaannya, jika iaberagama karena dipaksa? Bukan- 

kah kita diberi kebebasan oleh Tuhan bahkan untuk tidak 

beriman? Atas mandat siapa negara mau mengatur hati 

orang? 


PUSAD Paramadina juga bermaksud untuk memper- 

teguh dan memperluas keterlibatan YWP dalam penguatan 

civil society dan pelebaran public sphere di negeri ini, yang 

sudah cukup luas diketahui. Lewat berbagai forum YWP 

di bawah Cak Nur dulu, beragam tokoh, dari berbagai aliran 

agama dan pemikiran, juga dari berbagai latar belakang 




xi 




kehidupan, bahu-membahu memperkokoh sendi-sendi 

pluralisme dan demokrasi negeri ini. Di bawah Cak Nur, 

partisanship yang terlalu kental memang bukan wisdom 

YWP. Seraya percaya bahwa manusia memiliki potensi 

untuk berbuat baik, pada Cak Nur juga ada keinsyafan 

bahwa sikap dan perilaku manusia seringkali lebih diben- 

tuk oleh kepentingan-kepentingannya yang sesaat Maka 

mendengar semua pihak adalah keharusan. Juga kebe- 

basan berekspresi, karena tanpanya ide-ide takbisa diper- 

tukarkan secara optimal. Yang menjadi korbannya adalah 

publik: mereka kehilangan kesempatan untuk memperoleh 

ide yang paling tahan banting, realistik, mendekati 

"kebenaran"! 


Peran di atas rasanya makin dibutuhkan saat ini, ketika 

reformasi memasuki us i any a yang kesepuluh. Bersamaan 

dengan berakhirnya rezim otoritarian Orde Baru, demok- 

ratisasi yang turut diperjuangkan Cak Nur membawa 

beragam implikasi jangka pendek, baik yang berupa man- 

faat maupun mudarat, yang menjadi konteks keterlibatan 

Paramadina di masa kini dan nanti. 


Yang sangat terasa adalah tingginya harapan warganegara 

terhadap reformasi; bahwa reformasi adalah panacea buat 

semua penyakit; bahwa reformasi bukanlah, seperti sering 

diparodikan, "repot nasi". Ini harapan yang masuk akal dan 

penting, tetapi juga bisa memukul-balik karena ketidak- 

sabaran orang menunggu hasil. Penting diingat, di mana 

pirn di dunia ini, transisi dari rezim otoritarian ke rezim yang 

demokratis bukanlah jalan tol yang mulus dan bisa dengan 

cepat dan enak dilewati. 


Tantangan di atas makin kompleks diatasi sekarang ka- 

rena, sementara recovery ekonomiberjalan lambat, demok- 

ratisasi juga memberi insentif bagi semua kalangan untuk 




xii 




terlibat dalam pertarungan politik. Biasanya, politisi yang 

ambisius dan demagoglah yang paling siap memanfaatkan 

insentif ini, sambil berjual-beli dengan rakyat yang tengah 

terhimpit kesulitan ekonomi. Untuk merebut kepentingan 

jangka pendek, aktor-aktor politik seperti ini tidak segan- 

segan megorbankan sendi-sendi dasar republikini, seperti 

pluralisme dan toleransi, untuk menggalang massa. 


Tugas PUSAD Paramadina adalah memberi penerangan 

seputar kompleksitas ini: bahwa reformasi yangbukan "repot 

nasi" hanya bisa dicapai jika semua konflik kepentingan 

disalurkan melalui lembaga-lembaga yang ada atau, jika 

hal itu tidak cukup, lewat protes damai dan tanpa keke- 

rasan; bahwa reformasi birokrasi bukanlah pekerjaan 

gampang, karena sudah bertahun-tahun beragam kepen- 

tingan tertanam di sana; bahwa pemberantasan KKN tidak- 

lah sama dengan membersihkan sampah lebaran, karena 

manusia bukanlah janur kelapa buat bikin ketupat. 


Dengan sendirinya ini tidak berarti bahwa PUSAD Para- 

madina menjadi jurubicara atau pembela pemerintah. Ada- 

lah tugas semua opinion makers yang mencintai negeri ini, 

termasuk Paramadina, untuk menjelaskan bahwa konsoli- 

dasi demokrasi mensyaratkan warganegara yang taat 

hukum, negara dan civil society yang sama-sama kuat, dan 

dukunganterhadap prinsip-prinsip demokrasi. Soal menge- 

ritik pemerintah, itu sudah dengan sendirinya— dan untuk 

itu, kini tidak lagi diperlukan keberanian ekstra. Seraya 

bersyukur bahwa tugas ini kini menjadi lebih mudah de- 

ngan tersedianya kebebasan pers, kita sebenarnya ditan- 

tang untuk menjadi kritikus yang kredibel: yang tidak asal 

beda, realistis, sensitif pada detail, dan menawarkan opsi- 

opsi yang masuk akal. 




xiii 




Buku ini adalah bagian dari upaya memenuhi sebagian 

tugas dan tantangan di atas. Perdebatan yang berlangsung 

di sana memberi gambaran yang realistis dan kredibel 

mengenai demokrasi, yang memang bukan panacea, obat 

semua penyakit, tapi juga bukan si tukang obat itu sendiri, 

yang menguras kantong kita dengan menjual janji-janji 

palsu. Ada harapan dalam demokrasi, tapi kita pulalah yang 

menentukan apakah harapan itu hanya akan menjadi pe- 

luang yang mubazir atau menjadi sumberdaya untuk mem- 

perbaiki kenyataan yang sesungguhnya. 


*** 


Bersamaan dengan terbitnya buku ini, kami ingin meng- 

ucapkan banyak terimakasih kepada semua pihak yang 

sudah ikut membantu kelancaran semua acara. Pertama- 

tama kami tentu mengucapkan ribuan terimakasih kepada 

Mas GM, yang telah bersedia bukan saja menulis dan me- 

nyampaikan pidato, melainkan juga memberi komentar 

balik atas para penanggapnya dengan antusias. Dalam 

proses penyelesaian buku ini, beberapi kali GM mengirim- 

kan revisi atas tulisannya yang sudah dikirimkan sebe- 

lumnya, dan menyampaikan saran-saran. 


Kami juga sangat mengapresiasi kesediaan para pemberi 

komentar, selain kami berdua, untuk meluangkan waktu 

mereka: R. William liddle, Rocky Gerung, Dodi Ambardi, dan 

Robertus Robert. Kami mohon maaf jika tak seorang pun di 

antara para penanggap ini perempuan: beberapa akademisi, 

jurnalis dan aktivis perempuan yang kami hubungi gagal 

memenuhi target yang mereka sendiri sudah janjikan untuk 

menulis tanggapan. Mudah-mudahan aspek kesetaraan jen- 

der ini bisa terpenuhi di masa depan. 




xiv 




Sebagian tanggapan yang akhimya diterbitkan dalam buku 

ini pernah didiskusikan secara terbatas di Komunitas Salihara 

dan Komunitas Utan Kayu (KUK), keduanya di Jakarta. 

Dalam rangka itu, selain GM, Robertus Robert, Bill Liddle, 

Rocky Gerung, dan Dodi Ambardi hadir dalam diskusi. Sekali 

lagi: terimakasih banyak. 


Kami juga berhutang budi kepada kawan-kawan di 

YWP, Komunitas Salihara dan KUK, yang telah ikut menyuk- 

seskan kegiatan ini. Juga kepada kawan-kawan di MPRK 

Yogyakarta. Keterlibatan mereka kadang melampaui tugas 

pokok mereka di kantor masing-masing. 


Akhirnya, kami ucapkan terimakasih juga kepada PT 

Newmont Pacific Nusantara (NPN) atas partisipasinya dalam 

mendanai bukan saja penerbitan buku ini, tapi juga kese- 

luruhan kegiatan NMML II. Juga kepada rekan Hamid 

Basyaib dan Herd Nuroni, untuk ide dan realisasi sampul 

buku ini yang cemerlang:./res/z, /unny, juga cocok dengan 

isi buku. 


Semoga segala pekerjaan kita ini ada manfaatnya.*** 


Jakarta, 3 April 2009 

IAFdanSRP 




XV 




BAGIAN I: 

ORASI ILMIAH 


Demokrasi dan Kekecewaan 

Goenawan Mohamad 


17 Oktober 1953: di pagi hari itu, sekitar 5000 orang muncul di jalanan Jakarta. Pada pukul 8, mereka sudah berhimpun di luar gedung Dewan Perwakilan Rakyat. Tak jelas siapa yang memimpin dan organisasi apa yang mengerahkan mereka, tapi yang mereka tuntut diutarakan dengan tegas: "Bubarkan Parlemen". Kata sebuah poster, "Parlemen untuk Demokrasi, bukan Demokrasi untuk Parlemen". 

Tak lama kemudian mereka memasuki gedung perwakilan rakyat itu, menghancurkan beberapa kursi dan merusak kantin yang biasanya diperuntukkan bagi para legislator. Dari sini, rombongan demonstran bergerak ke jalan lagi. Peserta makin bertambah besar. Akhirnya mereka, mencapai 30 ribu orang banyaknya, sampai ke Istana Negara. Mereka ingjn menghadap Presiden. Bung Karno, yang mengetahui apa yang dituntut para demonstran itu, akhirnya muncul. Dalam pidato singkat ia mengatakan: ia tak akan membubarkan Parlemen. Ia tak ingin jadi diktator. Ia hanya berjanji pemilihan umum akan diselenggarakan segera. 

Ringkas kata, Bung Karao menolak. Tapi rekaman ucap- 

annya menunjukkan bahwa ia juga punya ketidaksukaan 

yang sama kepada "demokrasi liberal" yang dianggapnya 

sebagai cangkokan "Barat" itu. Di tahun 1958, ia mem- 

bubarkan dewan perwakilan pilihan rakyat dan mengubah 

Indonesia dengan menerapkan "demokrasi terpimpin". 


Sistem ini kemudian berakhir di tahun 1966, ketika "Orde 

Baru" memperkenalkan format politdk yang disebutnya 

"demokrasi Pancasila"— yang sebenarnya merupakan varian 

baru bagi "demokrasi terpimpin". Boleh dikatakan, dalam 

"Orde Baru", sebagian dari yang dikehendaM para penuntut 

padatanggal 17 Oktober itu dipenuhi. Kitatahu, seperti dicatat 

oleh Herbert Feith dalam The Decline of Constitutional 

Democracy in Indonesia, bahwa para perwira Angkatan Darat 

berada di belakang aksi hari itu. Sementara Bung Karno 

berpidato, militer memasang dua buah tank, beberapa panser, 

empat batang kanon yang ditujukan ke Istana: penegasan agar 

Presiden membubarkan Parlemen dan melikuidasi demokrasi 

liberal Kita kemudian tahu, dalam "demokrasi Pancasila" yang 

ditegakkan Angkatan Darat, DPR memang dipilih secara 

reguler, tapi pada aldiirnya, konstruksi sang penguasa— dalam 

hal ini Suharto— yang menentukan. Berangsung-angsur, 

kekuasaanberkembang dari sifat "birokratik-otoriter" menjadi 

otokratik. Suharto mengulangi posisi Bung Karno sebagai 

"Pemimpin Besar Revolusi", dengan gelar yang berbeda. 


Di tahun 1998, otokrasi Suharto itu rubuh. Indonesia men- 

dapatkan "demokrasi hberal"-nyakembah. Satu dasawarsa 

kemudian, Mta masih tampak percaya kepada demokrasi 

ini— jika itu berarti pemilihan umum yang regular, partisi- 

pasi masyarakat pemilih lewat partai, pembentukan undang- 

undang melalui para legislator di parlemen, pengawasan 







Orasillmiah 




Mnerja kabinet dari sebuah lembaga negara yang dipilih 

rakyat. Tapi akan bertahankah kepercayaan itu? 


Kita bisa menduga— melihat betapa korupnya para ang- 

gota DPR sekarang, melihat tak jelasnya lagi alasan hidup 

partai-partai, kecuali untuk mendapatkan kursi— Indonesia 

sedang memasuki sebuah masa, ketika rakyat— dengan hak 

penuh untuk memilih dan tak memilih— akan mencemooh, 

bahkan mencurigai, parapemegang peran dalam demokrasi 

parlementer yang ada. 


Saya tak akan meramalkan bahwa "Peristiwa 17 Okto- 

ber" bam akan terjadi segera. Tapi saya kira siapa pun bisa 

melihat, kita akan hidup dengan harapan-harapan yang 

retakkepada demokrasi liberal. Dan tak akan mengheran- 

kan bila kita akan segera mendengar kecaman seperti yang 

pernah diutarakan novelis, Pemenang Nobel, Saramago: 

"Pemihan umum telah jadi representasi komedi absurd, 

yang memalukan". 


Dalam pembicaraan saya hari ini, saya akan mencoba 

menunjukkan, bahwa disilusi seperti itu memang tak akan 

terelakkan. Persoalannya kemudian, sejauh mana dan 

dalam bentuk apa demokrasi bisa dipertahankan. 


n. 


Demokrasi— sebagaimana kediktatoran— menjaga dirinya 

dari khaos. Ia jadi bentuk yang harus praktis dan terkelola. 

Ia dibangun sebagai sistem dan prosedur. 


Tapi sebagai sebuah format, ia tak dapat sepenuhnya 

menangkap apa yang tak praktis dan yang tak tertata. Salah 

satu jasa telaah kebudayaan dan teori politik mutakhir ialah 

pengakuan terhadap pentingnya apa yang turah, yang luput 

tak tertangkap oleh hukum dan bahasa, yang oleh Lacan 







Demokrasi dan Kekecewaan 




disebut sebagai le Reel (dalam versi Inggris, the Real), dan 

yang saya coba terjemahkan di sini sebagai "Sang Antah". 


Dengan itu sebenamya ditunjukkan satu kekhilafan utama 

dalam pemiMran politik yang mengasumsikan kemampuan 

"representasi". Pengertian "representasi" dimulai dari ilusi 

bahasa, bahwa satu hal dapat ditirukan persis dalam bentuk 

lain, misalnya dalam kata atau perwaMlan. Ilusi mimetik ini 

menganggap, semua hal, termasuk yang ada dalam dunia 

kehidupan, akan dapat direpresentasikan. Seakan-akan tak 

ada Sang Antah. 


Namun baik oleh teori "demokrasi radikal" yang di- 

perkenalkan Laclau dan Mouffe, dengan menggunakan pan- 

dangan Gramsci, maupun oleh pemikiran pohtik dengan 

militansi ala Mao dalam pemiMan Alain Badiou, kita ditun- 

jukkan bahwa sebuah tata masyarakat, sebuah tubuh politik, 

adalah sebentuk scene yang tak pernah komplit Senantiasa 

ada yang obscene dalam dirinya, bagian dari Sang Antah, yang 

dicoba diingkari. Tapi yang obscene— yang tak tertampung 

dan tak dapat diwakili oleh tubuh politik yang ada— justru 

menunjukkan bahwa scene itu, atau tata masyarakat yang kita 

saksikan itu, tak terjadi secara alamiah. Menurut Laclau dan 

Mouffe, tata masyarakat itu lahir dari hubungan antagonistds. 

Ia merupakan hasil perjuangan hegemonik. Itu sebabnya 

suatu tubuh politik yang tampak stabil mau tak mau dihantui 

oleh pertentangan— yang membuatnya hanya kwasi-stabil. 


Dari pandangan seperti itu demokrasi, sebagai sebuah 

format, memang terdorong hanya merawat tubuh politik 

yang kwasi-stabil itu. Sebagai akdbatnya, ia cenderung meng- 

ubah antagonisme dan perjuangan hegemonik itu jadi 

majal: demokrasi acapkali menghentikan proses politik 

dengan mendasarkan diri pada sebuah suara terbanyak atau 

sebuah konsensus. Dengan itu apa yang dianggap me- 







Orasi Ilmiah 




nyimpang, apa yang obscene, disingkirkan. Maka ia tampak 

sebagai sesuatu yang tak hendak membuka diri pada 

alternatif-alternatif baru. 


Contoh yang segera dapat dilihat adalah Jepang; di sana, 

kekuasaan Partai Liberal Demorasi (LDP) berlangsung 

hampir takberhenti-hentinya. Hal yang sama dapat dikata- 

kan tentang demokrasi Amerika. Hari-hari ini, justru di 

sebuah masa ketika suara untuk perubahan yang dibawa- 

kan Obama terdengar nyaring, sebetxilnya tak tampak dah- 

syatnya "perubahan" yang disuarakannya. 


Pernah saya katakan, demokrasi adalah sistem dengan rem 

tersendiri— juga ketika keadaan buruk dan harus dijebol. 

Pemilihan umum, mekanismenya yang utama, adalah mesin 

yang mengikuti statistik. Tiap pemungutan suara terkurung 

dalam "kurva lonceng": sebagian besar orang tak menghen- 

dakd perubahan yang "ekstrem". Statistik menunjukkan ada 

semacam tendensi bersama untuk tak memilih hal yang 

mengguncang-guncang. Statistik itu status quo. 


Dalam haribaan "kurva lonceng", Obama tak akan berse- 

dia mengubah politik Amerika dengan yang baru yang meng- 

gebrak. Akan sulit kita menemukan perbedaan pandangan- 

nya tentang Palestina dari posisi Bush. Ia, yang harus 

mencari dukungan lobi Israel di Amerika, tak akan nekad 

bilang akan mengajak Hamas ke meja perundingan. Ia tak 

akan berani menampik sepenuhnya hak orang Amerika 

memiliki senjata api pribadi, meskipun korban kekerasan 

di negeri itu tak kunjung reda. Ia tak akan bertekad meng- 

ubah sikap orang Amerika yang cenderung memandang 

perang sebagai kegagahan patriotik, bukan kekejaman. 


Seraya bersaing ketat dengan McCain, Obama— yang 

memproklamasikan diri sebagai pemersatu Amerika, 

negarawan yang akan menyembuhkan negeri yang terbelah 







Demokrasi dan Kekecewaan 




antara "biru" dan "merah"— akan tampil sebagai si pem- 

bangun konsensus. 


Tapi konsensus tak akan mudah jadi wadah bagi 

perubahan yang berani. Di Spanyol di tahun 1982, misal- 

nya, ketika kediktatoran Franco sedang digantikan dengan 

demokrasi yang gandrung perubahan. Felipe Gonzales 

Marquez, waktu itu 40 tahun, memikat seluruh negeri. 

Partai Sosialisnya menawarkan lambang kepalan tangan 

yang yakin dan mawar merah yang segar. Semboyannya: 

Por El Cambio. Ia menang. Ia bahkan memimpin Spanyol 

sampai empat masa jabatan. Tapiberangsur-angsur, partai 

yang berangkat dari semangat kelas buruh yang radikal itu 

kian dekat dengan kalangan uang dan modal. Di bawah 

kepemimpinan Gonzales, Spanyol jadi anggota NATO dan 

mendukung Amerika dalam Perang Teluk 1991. 


Sebagai tanda bagaimana demokrasi tak menginginkan 

yang luar biasa, Partai Sosialis menang berturut-turut. 

Mungkin itu indikasi bahwa "perubahan" pada akhirnya 

hams dibatasi oleh sinkronisasi pengalaman orang ramai. 

Di haribaan "kurva lonceng", kehidupan politik yang 

melahirkannya kehilangan greget yang subyektif. Kebe- 

ranian disimpan dalam laci. 


m. 


Tapi mungkinkah sebuah masyarakat bisa berhenti dan 

proses pohtiknya tak tersentuh oleh waktu? 


Pertanyaan retoris ini penting. Di dalamnya tersirat 

adanya harapan— di suatu masa ketika utopianisme Marxis 

digugat, tapi ketika pada saat yang sama pragmatisme ala 

Richard Rorty tampak tak memberikan daya bagi per- 

ubahan yang berartd. 







Orasillmiah 




Tapi untuk itu, memang diperlukan penyegaran kem- 

bali tentang apa arti "politik" sebenarnya. 


Sebuah buku yang dengan amat baik memaparkan 

pemikiran politik kontemporer, Kembalinya Politik (Ja- 

karta, 2008), menguraikan "dua muka yang terpisah" 

dalam pengertian "politik": 


Yang pertama adalah sisi di mana politik terjadi sebegitu 

saja dalam rutinitas kelembagaan dan perilaku aktor- 

aktornya... Yang kedua adalah politik yang diharapkan, 

yang tersimpan secara potensial, tidak teraktualisasi: 

politik sebagaimana diidamkan, yang tertekan di bawah 

instansi ketaksadaran. 


Dalam pengantarnya, Robertus Robet dan Ronny Agus- 

tinus menunjukkan kemungkinan— atau malah kenyataan— 

ketika demokrasi "telah membunuh politik" dan "meng- 

gantikannya dengan konsensus". 


Dengan kata lain, "politik" yang <h^"bunuh" itu adalah 

pohtik sebagai proses perjuangan, bukan politik sebagai 

saling tukar kekuasaan dan pengaruh sebagaimana yang 

terjadi melalui pemilihan umum dan negosiasi legislatif 

dewasa mi di Indonesia. "Politik" yang seperti itu sebenarnya 

hanya mengukuhkan tubuh sosial yang seakan-akan sepe- 

nuhnya direpresentasikan Parlemen. "Politik" yang seperti 

itu berilusi bahwa kita bisa mengabaikan Sang Antah. "Politik" 

yang seperti itu adalah bagian yang bersembunyi dari apa 

yang disebut Ranciere la police: struktur yang diam-diam 

mengatur dan menegakkan tubuh itu. 


Di sini sebuah pemaparan selintas tentang teori Ra- 

nciere agaknya diperlukan. 


La police itu (mungkin ada hubungan kata ini dengan 

"polis" sebagai negeri dan "polisi" sebagai penjaga keter- 







Demokrasi dan Kekecewaan 




tiban) bersifat oligarkis. Tubuh sosial mengandung ketim- 

pangan yang tak terelakkan; selamanya ada yang kuat dan 

ada yang lemah, yang menguasai dan dikuasai. 


Tapi la police itu tetap saja tak bisa membentuk sebuah 

satuan sosial yang komplit. Di dalam hal ini, pemikiran 

Ranciere juga menunjukkan bahwa satuan itu kwasi-stabil 

sebenaraya. Sebab bahkan la police tak akan bisa meng- 

abaikan, bahwa yang kuat hanya kuat jika ia diakui demikian 

oleh yang lemah— meskipun dengan mengeluh dan marah. 

Dengan kata lain, si kuat diam-diam mengasumsikan adanya 

posisi dan potensi si lemah untuk memberi pengakuan. Bagi 

Ranciere, itu berarti nun di dasar yang tak hendak diingat, 

ada kesetaraan antara kedua pihak. 


Di situ kita menemukan bagaimana sebuah negeri, pohs, 

hidup: ada la logique du tort. Ada sesuatu yang salah dan 

sengkarut, tapi dengan begitu berlangsunglah sejarah 

sosial. Di dalam "logika" itu, ketegangan terjadi, sebab 

hirarki yang membentuk masyarakat justru mungkin 

karena mengakui kesetaraan. Ketegangan dalam salah dan 

sengkarut itulahyang melahirkan konflik, guncangan pada 

konsensus, dan polemik yang tak henti-hentinya. Ranciere 

mengakui, selalu ada sebuah arkhe, sebuah dasar untuk 

membenarkan timpangnya distribusi tempat dan bagian 

dalam masyarakat, tapi ia menunjukkan bahwa arkhe itu 

selamanya bersifat sewenang-wenang. 


Dari itu terbit la politique: sebuah pergulatan. Ia bukan 

seperti aksi komunikasiala Habermas: di arena itu tak ada 

tujuan untuk bersepakat; di medan itu yang hadir bukanlah 

sekedar usul dan argumen yang berseberangan, tapi tubuh 

dan jiwa, "perbauran dua dunia", "di mana ada subyek dan 

obyek yang tampak, ada yang tidak". 




10 




Orasi Ilmiah 




Agaknya yang tak tampak itulah yang menyebabkan la 

politique, atau politik sebagai perjuangan, mendapatkan 

makna sosialnya. Sebab yang menggerakkan adalah me- 

reka yang bukan apa-apa, yang tak punya hakikat dan asal 

usul untuk menang. 


Walhasil, selalu akan ada ketegangan antara la police 

dan la politique. Sebuah tubuh sosial akan bergerak, tak 

mandeg, dalam ketegangan itu. Di sini Ranciere memper- 

kenalkan istilah lain, le politique, untuk menyebut proses 

mediasi antara kekuatan yang menjaga demokrasi sebagai 

format dan politik sebagai perjuangan ke arah kesetaraan. 


Berbeda dari Badiou, Ranciere— yang menyebut keada- 

an demokrasi liberal sekarang sebagai "pasca-demokrasi"— 

masih menaruh kepercayaan akan peran demokrasi parle- 

menter dan kemampuan perundang-undangan dalam perju- 

angan ke keadilan. 


Tapi Ranciere bukanlah orang yang menganggap bahwa 

demokrasi parlementer dengan sendirinya adil. "Politik" 

sebagai perjuangan, "politik" sebagai la politique, itu se- 

suatu yang tak secara rutin terjadi. Bahkan jarang terjadi. 

Demikian pula, tanpa menyebut saat demokratik sebagai 

"kejadian" (I'evenement) yang luar biasa, Ranciere meng- 

anggap dalam sistem demokrasi yang ada, saat demokratik 

sejati tak selamanya didapatkan. 


IV. 


Dengan memakai pemikiran Ranciere, saya berharap dapat 

menunjukkan bahwa disilusi terhadap demokrasi liberal 

adakah sesuatu yang sab. dan hams dinyatakan. 


Tuntutan akan kesetaraan— dan dalam pengertian yang 

lebih luas: keadilan— adalah tuntutan yang tak akan habis- 




11 




Demokrasi dan Kekecewaan 




habisnya. Ia lahir dari apa yang tak hendak dilihat oleh 

sistem yang ada. Ia lahir dari yang obscene, dari yang turah 

dari representasi, ia adalah gaung Sang Antah yang tak 

tertampung. 


Tapi haruskah kita menghancurkan demokrasi, karena 

menganggap bahwa demokrasi semata-mata format, bukan 

sebuah proses pergulatan, bukan arena la politique? Jalan 

itu ada: "nihilisme aktif" dalam pengertian Simon Critchley, 

ketika ia menguraikan pendiriannya tentang "etika ko- 

mitmen" dan "politik perlawanan" dalam Infinitely De- 

manding (Verso, 2008). Nihilisme aktif inilah yang dila- 

kukan misalnya oleh teror Al Qaedah— yang pada gilirannya 

juga tak menumbangkan demokrasi liberal, bahkan mem- 

perkuatnya: makin kukuhnya aparat keamanan negara 

merupakan peneguhan dari la police. 


Satu-satunya jalan yang masih terbuka adalah selalu 

dengan setia mengembalikan politik sebagai perjuangan. 

Jalan yang ditempuh tak bisa dirumuskan sebelumnya; 

selalu diperlukan keluwesan untuk memilih metode, baik 

melalui perundang-undangan atau justru melawan per- 

undang-undangan, baik melalui partai ataupun melawan 

partai. 


Artinya, tiap kah kita membiarkan diri untuk didesak 

oleh panggilan akan keadilan yang tak pern ah akan mem- 

bisu. *** 




12 




BAGIAN II: 

TANGGAPAN-TANGGAPAN 




Politik sebagai Perjuangan 

atau Pengeboran? 




R. William Liddle 




Dalam orasi ilmiahnya, Goenawan Mohamad merumuskan 

sebuah peta politik tempat perjuangan merupakan satu- 

satunya jalan untuk mencapai kesetaraan sosial. Hal itu 

berlaku dalam sistem kenegaraan apa pun, termasuk de- 

mokrasi. Bagi saya, masalahnya tidak sesederhana itu. 

Ketimbang perjuangan, saya lebih suka menggunakan 

metafor pengeboran, yang saya pinjam dari Max Weber, 

sosiolog Jerman awal abad ke-20: "Politik adalah penge- 

boran kayu keras yang sulit dan lama" (Politics is a strong 

and slow boring of hard boards). 


Goenawan mempersoalkan demokrasi dari dua segi. 

Sebagai tata politik yang "mendasarkan diri pada sebuah 

suara terbanyak atau sebuah konsensus," demokrasi tidak 

mungkin mewakili semua aspirasi atau tuntutan masya- 

rakat. "Maka ia tampak sebagai sesuatu yang tak hendak 

membuka diri pada alternatif-alternatif bam." Buktinya 

adalah Jepang di bawah kekuasaan Partai Liberal De- 




15 




Demokrasi dan Kekecewaan 




mokrat selama puluhan tahun serta Spanyol, tempat 

Partai Sosialis yang mendirikan demokrasi di negara 

tersebut berangsur-angsur menjadi partai kapitalis dan 

pro-NATO. 


Presiden terpilih Amerika Serikat Barack Obama pun 

digambarkan sebagai seorang politisi yang terkurung oleh 

sikap mayoritas pemilih yang tidak menginginkan 

perubahan-perubahanbesar. Sebagai contoh: posisi-posisi 

Presiden George W. Bush terhadap sengketa Israel- 

Palestina, pemilikan senjata api pribadi oleh masyarakat 

Amerika, dan perang "sebagai kegagahan patriotik, bukan 

kekecaman" akan dipertahankan oleh Presiden Obama. 

Obama "akan tampil sebagai si pembangun konsensus." 


Dal am bentuk konkretnya di Indonesia pasca-Orde Baru, 

ciri-ciri demokrasi yang mencolok bagi Goenawan adalah 

korupsi anggota-anggota DPR dan partai-partai yang tidak 

punya tujuan jelas, kecuali keinginan para pemimpinnya 

untuk mendapatkan kursi. Alhasil, Indonesia sudah 

memasuki suatu era baru tempat para pemilih "akan men- 

cemooh, bahkan mencurigai" pemimpin politiknya. Kalau 

keadaan ini dibiarkan berlanjut, demokrasi pasti semakin 

sulit dipertahankan. Solusi Goenawan: "Satu-satunya jalan 

yang masih terbuka adalah selalu dengan setia mengem- 

balikan politik sebagai perjuangan, ...baik melalui 

perundang-undangan atau justru melawan perundang- 

undangan, baik melalui partai ataupun melawan partai". 


Rumusan Goenawan menarik baik sebagai analisis 

maupun sebagai call to action, panggilan untuk bertindak. 

Siapa pun akan mengakui bahwa demokrasi yang responsif 

dan bertanggungjawab belum terwujud di Indonesia dan 

kualitasnya belakangan agak merosot di negara-negara 

seperti Jepang, Spanyol, dan Amerika. Namun demikian, 




16 




Politik sebagai Perjvangan 




bagi saya, Goenawan terlalu menekankan peran gerakan 

atau mobilisasi dari luar sistem demokrasi sebagai solu- 

sinya. Perjuangan malah dipertentangkan dengan demokrasi, 

seakan-akan lembaga-lembaga demokrasi tidak dengan 

sendirinya dinamis, tidak terbuka kepada tuntutan dari 

masyarakat. Atau seakan-akan kita masih hidup di zaman 

Pergerakan, ketika lembaga-lembaga penjajahan memang 

harus dilawan dengan perjuangan. Pada zaman Reformasi, 

lembaga-lembaga pemerintahan justru terdiri dari unsur- 

unsur demokratis yang memungkinkan dan mendorong 

perubahan. Perjuangan tentu memainkan peran, tetapi itu 

harus dipandang sebagai satu bagian dari seluruh sistem 

demokrasi. 


Dalam rangka itu, Goenawan terlalu menekankan peran 

konsensus sebagai tujuan demokrasi yang menghambat 

difference, perbedaan. Setidak-tidaknya, di negeri saya 

yang sudah lama demokratis, belum pernah ada konsensus 

tentang hal-hal penting (misalnya tentang peran agama da- 

lam politik). Yang sering ada adalah mayoritas besar yang 

mendukung suatu posisi atau kebijakan (misalnya, sebelum 

pemerintahan George W. Bush, pemisahan negara dari 

lembaga-lembaga agama). 


Tetapi mayoritas itu selalu dilawan oleh satu atau se- 

jumlah minoritas dengan cita-cita lain (misalnya, Kris- 

tenisasi negara, seperti tertera dalam anggaran dasar Partai 

Republik negara bagian Texas). Tak kalah penting, hampir 

setiap mayoritas dan minoritas terdiri dari kelompok- 

kelompok lebih kecil yang punya tuntutan dan kepentingan 

masing-masing. Hal ini juga merupakan sumber dinamisme 

politik (misalnya sayap kanan kaum Evangelis Protestan 

yang mendukung calon presiden John McCain dan sayap 

kiri yang mendukung Obama dalam pemilihan 2008). 




17 




Demokrasi dan Kekecewaan 




Tanggapan saya terhadap rumusan Goenawan tentu 

dipengaruhi oleh pengalaman saya belakangan ini sebagai 

warga negara Amerika. Setelah pemilihan presiden 2008, 

setiap kali saya melihat wajah Barack Obama (yang Amerika- 

Afrika), saya teringat kepada apa yang dimmigkinkan oleh 

demokrasi. Saya juga teringat kepada metafor Max Weber 

tentang politik sebagai pengeboran kayu keras yang sulit 

dan lama, seperti saya kutip di atas. Kemenangan Obama 

tentu merupakan hasil perjuangan, tetapi hal itu hams juga 

dilihat sebagai hasil perbuatan para politisi demokratis 

yang bertindak di dalam sistem. Kedua-duanya, peran ge- 

rakan dan peran politisi demokratis, berakar dalam sekali 

dalam sejarah pohtik Amerika. 


Pada awal abad ke-19, John Brown membangun sebuah 

gerakan anti-perbudakan yang memainkan peranan penting 

dalam politik Amerika sebelum Perang Saudara berlang- 

sung di negara kami. Oleh Abraham Lincoln, Brown dijuluki 

"fanatik sesat." Tetapi Lincoln sendiri melawan perbudakan 

dan, sebagai presiden, terus-menerus mencari akal untuk 

mengakhiri "lembaga terkutuk" itu. Pendekatan Lincoln 

dijelaskan dengan baik oleh Garry Wills, yang menulis buku 

tentang kepemimpinan presidensial, sebagai berikut: 

"Dengan tindakan-tindakan politik yang sangat hati-hati 

dan terjaga, Lincoln sedikit demi sedikit memaksa 

rakyatnya untuk mengambil langkah-langkah kecil untuk 

mengatasi masalah yang sebenarnya." 


Pada abad ke-20, peran Brown dan Lincoln disusul oleh 

banyak orang, hitam dan putih, yang menjadi pemimpin 

organisasi sosial dan partai politik serta pegawai dan 

pejabat pemerintah. Selaku pemilih dalam pemilihan 

umum, orang Amerika -Afrika sudah menjadi faktor 

penting di negara bagi^n-negara bagian utara sebelum 




18 




Politik sebagai Perjuangan 




Perang Dunia II. Kebijakan Presiden Franklin Roosevelt 

(1933-1945) dan Presiden Harry Truman (1945-1953), 

kedua-duannya Demokrat dari utara, dipengaruhi oleh 

faktor itu. Keputusan-keputusan yang paling penting 

diambil oleh Presiden Lyndon Johnson (juga dari Partai 

Demokrat) pada 1964 dan 1965, ketika beliau menanda- 

tangani dua undang-undang yang melarang segala bentuk 

segregasi berdasarkan ras dan menjamin hak setiap 

warganegara untuk memilih dalam pemilihan umum. 


Barack Obama mewarisi sejarah ini dalam dua penger- 

tian. Pencalonannya oleh Partai Demokrat dan kemenang- 

annya dalam pemilihan umum dimungkinkan oleh per- 

buatan-perbuatan Presiden-Presiden Lincoln, Roosevelt, 

Truman, dan Johnson yang membuka kesempatan bagi 

orang-orang Amerika-Afrika untuk berpartisipasi dalam 

dunia politik. 'Kedua, Obama mencari kekuasaan untuk 

memerintah, bukan untuk menjadi orang yang terpandang. 

Selama kampanyenya dia berusaha keras untuk merumus- 

kan sebuah visi atau garis besar kebijakan negara seandai- 

nya dia bakal terpilih. Seperti banyak pendahulunya 

(termasukbeberapa presiden dari Partai Republik, seperti 

Dwight Eisenhower, Richard Nixon, dan Ronald Reagan), 

Obama ingin melakukan sesuatu yang positif buat bangsa 

dan dunia. 


Pada saat yang sama dia menyadari bahwa dia harus 

bersikap dan bertindak realistis, "politis". Setiap kebi- 

jakannya akan dibentuk dalam sebuah konteks politik yang 

mengandung banyak opportunities, kesempatan, tetapi 

sekaligus sarat dengan constraints, kendala. Kesempatan 

dan kendala ini terdiri antara lain dari lembaga-lembaga 

pemerintahan, seperti pembagian kekuasaan yang diten- 

tukan oleh konstitusi, serta sistem kepartaian kami. Lagi 




19 




Demokrasi dan Kekecewaan 




pula, setiap kebijakan akan berdampak juga pada posisi 

dan pengaruhnya kemudian. Pendek kata, keberhasilan 

atau kegagalan Presiden Obama akan ditentukan oleh ke- 

canggihan politiknya ketika dia memilih kebijakan-kebi- 

jakannya. 


Apakah orang Indonesia bisa belajar dari sejarah ini? 

Jawaban saya adalah ya, tetapi saya khawatir jawaban 

Goenawan adalah tidak, sebab kerangka analitisnya terlalu 

mengandalkan para pejuang di luar sistem. Tanpa meng- 

abaikan peran positif kaum pejuang, fokus utama kita 

(pengamat dan aktivis) seharusnya diarahkan kepada 

aktor-aktor pokok: pejabat pemerintah pusat (termasuk 

hakini dan jaksa), pemimpin partai, dan anggota badan- 

badan legislatif. Tak kalah penting, pemerintahan daerah 

juga ikut menikmati proses demokratisasi di zaman 

Reformasi ini. Pemerintah-pemerintah daerah, di tingkat 

kabupaten dan kota, adalah lembaga demokratis yang 

paling dekat kepada masyarakat. Bagi saya, keberhasilan 

atau kegagalan demokrasi di Indonesia akan lebih 

ditentukan oleh tingkah-laku politisi kabupaten dan kota 

ketimbang para pejuang di luar sistem. Akan tetapi, 

mengingat sekali lagi kata-kata Max Weber, jangan terlalu 

berharap dalam waktu singkat. Kayu Indonesia pasti tidak 

kalah keras dibanding kayu Amerika.*** 




20 




Mengaktifkan Politik 


Rocky Gerung 




Pidato Goenawan Mohamad (GM) menyentuh kondisi 

teoretis dari filsafat politik. Yaitu "ketakcukupan" 

demokrasi sebagai peralatan untuk menghasilkan "per- 

ubahan radikal". Kritik ini adalah khas "etika politik kiri". 

Karena jalan pikiran itu, GM sempatberpikir bahwa demok- 

rasi mengandung disilusi di dalam dirinya. 


Memang, dalam praktik, demokrasi lebih sering ber- 

henti dalam "pelembagaan formal", ketimbang mensponsori 

"revolusi". Sayakira, dalam kondisi reformasi sekarang ini, 

kita hams menerangkan juga demokrasi dari sudut pan- 

dang keburuhan kontemporer kita untuk menghalangi 

pemaknaan "The Real" ("Sang Antah"— dalam istilah GM), 

dari kemungMnan pengisiannya secara absolut oleh politik 

doktrinal, politik fundamental. Jadi, secara strategis, ada 

keburuhan "politico-historis" yang lebih mendesak, di 

samping keburuhan "filosofis" mempersoalkan struktur 

metafisik dari teori demokrasi. 


GM telah mengucapkan sesuatu yang lebih "kontem- 

platif. Karena itu, tanggapan saya sebaiknya yang lebih 

bersifat "mengaktifkan" demokrasi. Terimakasih. 




21 




Demokrasi dan Kekecewaan 




Demokrasi adalah hasrat yang tak pernah sampai. Tapi 

kendati ia tidak mencukupi, kita tetap memerlukannya. 

Utilitasnya memaBg tidak diukur melalui ambisi etisnya: 

"dari, oleh dan untuk rakyat", melainkan dengan kenyataan 

teknisnya: juralah konsensus minimal "suara rakyat". 

Konsensus itulah yang dipertandingkan melalui Pemilu. 

Prinsip kerasnya adalah: the winner takes all. Tapi format 

51:49 ini— berkat prinsip HAM, yaitu pelajaran kemanu- 

siaan yang kita peroleh dari dua kali kekerasan Perang 

Dunia — tidak boleh mengancam hak-hak dasar kebebasan 

individu. Artinya, "sang mayoritas" tidak boleh semau- 

maunya menentukan "isi politik" sebuah masyarakat. Batas 

dari demokrasi adalah hak asasi manusia. Rasionalitas ini 

kita perlukan untuk mencegah politik mayoritas me- 

manfaatkan instalasi demokrasi menjadi saluran total - 

itarianisme. Begitulah konsensus mutakhir penyeleng- 

garaan demokrasi. 


Memang, dalam praktik, demokrasi cenderung mela- 

hirkan oligarki, karena prosedur teknis elektoral (koalisi, 

electoral treshold) memungkinkan terjadinya transaksi 

politik status quo. Tetapi secara substansial, demokrasi 

juga tetap bertumpu pada prinsip "keutamaan warga- 

negara", yaitu jaminan filosofis bahwa poHtik tidak terbagi 

habis dalam electoral politics Artinya, kewarganegaraan 

tidak boleh direduksi ke dalam mekanisme politik Pemilu, 

yaitu dengan membagi habis seluruh warganegara menjadi 

anggota partai politik. _ 


Dalam demokrasi, status ontologi warganegara lebih tinggi 

dari keanggotaan partai politik. Tidak ada demokrasi tanpa 

warganegara, tetapi politik dapat terus diselenggarakan 

tanpa partai politik. Karena itu, politik perwakilan tidak 

boleh menghilangkan priDsip primer demokrasi, yaitu 




22 




Mengaktijkan Politik 




"keutamaan warganegara". Partai politik, juga parlemen, 

hanyalah salah satu alat warganegara untuk menjalankan 

politik. Karena itu, "alat" tddak boleh membatasi "tujuan". 

Demokrasi tetaplah berdasarkan kedaulatan rakyat, bukan 

kedaulatan partai. Jadi, demokrasi, di dalam dirinya, me- 

miliki imperatif metapolitik untuk menjamin kedaulatan 

warganegara. Sesungguhnya, ketegangan antara electoral 

politics dan citizenship politics inilah yang menjadi prob- 

lem dari sistem demokrasi. 


Problem ini menghasilkan konsensus: demokrasi bukan 

ideal "terbaik" pengaturan politik, tetapi ia yang "termungkm" 

untuk menjamin kesetaraan hak dan kebebasan warganegara. 

Dengan jaminan itu, terbuka peluang bagi sirkulasi elit dan 

perubahan susunan politik. Artinya, kendati ada tendensi 

oligarki dalam demokrasi, tetapi hanya pada demokrasilah 

dimungkinkan terjadinya koreksi politik secara sistemik. 

Filsafat di belakang konsensus ini adalah kondisi falibilis 

manusia, yaitu penerimaan sederhana tentang ketakleng- 

kapan manusia, tentang ketidaktahuannya, dan karena itu: 

tentang potensinya untuk berbuat salah. Dengan sudut 

pandang ini, demokrasi tidak berambisi memfinalkan ke- 

benaran politik. Karena itu setiap obsesi absolutis untuk 

memfinalkan politik harus disingMrkan. Falibilisme adalah 

dasar untuk setiap antropologi politik sekular, yaitu 

pandangan bahwa "kebaikan" dan "keadilan" harus selalu 

diukurkan pada kondisi kesejarahan manusia. Dari kondisi 

falibilis inilah demokrasi menyelenggarakan toleransi dan 

pluralisme. 


Toleransi berarti penyelenggaraan politik tanpa 

penghakiman moral. Toleransi adalah kesepakatan untuk 

menerima kemajemukan nilai dan pandangan hidup secara 

horisontal. Dengan prinsip ini demokrasi sekaligus meng- 




23 




Demokrasi dan Kekecewaan 




antisipasi berbagai kemungkinan perubahan nilai dan 

pandangan hidup di dalam masyarakat. Dengan cara ini, 

"isi politik" suatu masyarakat terhindar dari fmalisasi 

dogmatis. 


Toleransi adalah keindahan tertinggi dari demokrasi. 

Pada titik ini sebetulnya kita dapat menyelenggarakan 

demokrasi secara langsung, yaitu dalam pergaulan sosial 

warganegara. Proyek demokrasi memang terletak pada 

upaya untuk mengaktifkan politik pada pergaulan langsung 

antar warganegara. Sesungguhnya, etika politik terbentuk 

dari penyelenggaraan toleransi itu. Dalam kultur itulah kese- 

taraan dan kebebasan dirawat untuk tumbuh menjadi apa 

yang pernah disebut oleh Alexis de Tocqueville sebagai 

habits of the heart. Demokrasi yang tumbuh dalam toleransi 

akan menetap dalam kebudayaan, dan menjadi etika politik 

yang otentik. Jadi, tetaplah demokrasi dapat diselengga- 

rakan tanpa melulu harus melalui politik perwakilan. 


*** 


Keterbatasan demokrasi ada pada fasilitas konsensual yang 

ia sediakan. Demokrasi memang hanya mengolah ke- 

benaran politik di antara mereka yang berkonsensus. 

Bahkan lebih sempit lagi, konsensus itu harus diwakilkan 

pada hanya segelintir orang melalui sistem perwakilan 

pohtik, dan itu berarti terbuka peluang untuk praktik 

ohgarki. Keberatan inilah yang dieksploitir oleh "pohtik 

kiri" dan kalangan "posmodernis" untuk mendekonstruksi 

demokrasi dengan mengujinya melalui rumpun teori hege- 

mony (oleh politik kiri) dan prinsip anything goes (oleh 

pohtik posmodernis). Politik kiri melakukan "penidakan" 




24 




Mengakti/kan Politik 




pada demokrasi dengan mengaktifkan "antagonisme" 

dalam relasi kebenaran. Percobaan semacam ini memang 

berguna untuk mengadvokasi kaum "disensus" agar terus 

mempertanyakan ruang hegemoni oligarki itu. Dalam 

proposal politik kiri, ruang itu hams dikosongkan dari kon- 

sensus oligarkis, dan demi itu perjuangan politik menjadi 

permanen. 


Persoalannya adalah bahwa politik kiri selalu membu- 

tuhkan "kebenaran" yang monumental, sekaligus momen- 

tual, untuk mengakses ruang kosong demokrasi. Itu berarti 

suatu prakondisi historis harus berlangsung lebih dahulu 

di luar sistem demokrasi, sebelum perjuangan politik itu 

diarahkan pada para pemegang konsensus oligarkis. Si- 

alnya, dalam sejarah, kebenaran monumental itu baru 

dapat kita mengerti setelah momennya selesai. Jadi selalu 

ada "keterlambatan historis", keterlambatan momentum 

dalam politik kiri yang menyebabkan hilangnya energi 

politik ketika diperlukan untuk menjalankan perubahan 

politik radikal. Itulah sebabnya sifat perubahan yang terjadi 

dalam politik kiri sering hanya berkadar "kuantitatif" dan 

bukan "kualitatiF. Monumen politik kiri selalu kita dirikan 

setelah momen radikalnya berlalu. 


Politik posmodernis menantang demokrasi juga pada sifat 

konsensualnya. Tapi bukan pertama-tama pada struktur 

oligarkinya, melainkan pada pendasaran kebenaran yang 

semata-mata rasional. Demokrasi memang mengandalkan 

transaksi politik melalui fasilitas reason. Pada politik 

posmodernis, fasilitas ini telah diobrak-abrik oleh kondisi 

playfulness dari "kebenaran", yaitu kondisi politik yang 

menerima aneka ideologi sebagai permainan kebudayaan 

semata-mata, dan karena itu kebebasan dapat dinikmati 

sepenuh-penuhnya di luar sistem politik kebenaran. Sa- 




25 




Demokrasi dan Kekecewaan 




mudera politik posmodernis terbentuk oleh berbagai 

imajinasi mikro, yang terus mengapung dalam medan 

playfulness itu, tanpa dapat tenggelam di dasar absolut- 

isme. 


Di sini, sentimen ideologi tidak lagi diperlukan karena 

pendasaran-pendasaran politik identitas telah mengalami 

fragmentasi mengikuti pluralisasi isu dan lokasi. Dalam 

kondisi kebudayaan yang fragmentaristis itu, semua hu- 

bungan sosial— dari dnnia hiburan sampai sidang parle- 

men— memang mengandung eksploitasi politik. Tapi 

sekaligus di dalam sistem fragmentasi itu, perlawanan 

politik dapat berasal dari segala arah, dan diselenggarakan 

dalam segala waktu. Dalam pandangan posmodernis, 

perjuangan demokrasi haruslah merupakan perjuangan 

untuk menikmati pluralisasi identitas, fragmentarisasi 

kebudayaan dan hibridisasi kebenaran. 


*## 


Demokrasi memang memerlukan radikalisasi secara terus- 

menerus. Bukan saja ia harus melayani berbagai aspirasi 

politik baru (misalya: multikulturalisme, feminisme, envi- 

ronmentalisme), tetapi terlebih ia harus mengaktifkan rasio 

publik agar kondisi falibilisnya tidak berhenti. Dengan kata 

lain, demi memelihara prinsip "kesementaraan kebe- 

naran", ia harus bermanuver dalam "berbagai konsensus" 

dan menjaganya agar terus berada dalam kondisi argumen- 

tatif. Tidak cukup mengatakan bahwa demokrasi hanya 

dapat diselenggarakan dalam sebuah masyarakat yang 

argumentatif, karena justeru demokrasi diperlukan untuk 

mengedarkan argumen dalam masyarakat yang konser- 




26 




Mengaktifkan Politik 




vatif, masyarakat yang doktrinal. Keperluan itu adalah 

keperluan radikal bagi humanisme, yaitu penerimaan 

falibilitas manusia. 


Di sini kita bertemu lagi dengan rasionalitas demokrasi: 

kebenaran politik adalah apa yang dapat disepakati dalam 

batas-batas bahasa manusia. Artinya, semua "proposal 

kebenaran" hanya boleh diedarkan dalam terminologi 

sosial, dan bukan dalam terminologi akhirat. Memang, 

demokrasi akan terus dieksploitasi oleh kegandrungan 

pada "yang metafisik", oleh kerinduan pada "yang belum 

ada", oleh pemujaan pada "yang absolut", tetapi kondisi 

sosiologis manusialah yang menjadi batas operasi demok- 

rasi Kondisi teologis manusia adalah orientasi eksklusif 

setiap orang yang tddak mungkin dikontestasikan dalam 

sistem demokrasi. Karena itu, ia berada di luar batas bahasa 

manusia, berada di luar wilayah konsensus demokrasi. 


Bagi kita di sini, sekarang, keperluan untuk meradi- 

kalisasi demokrasi sungguh diperlukan karena pelem- 

bagaan politik kita belum menghasilkan etika toleransi. 

Demokrasi juga belum berhasil mendistribusikan keadilan 

ekonomi karena electoral politics telah mengungguli citi- 

zenship politics. Ada surplus kekuasaan di parlemen, tetapi 

etika parlementarian terus mengalami defisit. Kita memang 

menikmati political rights (hasil reformasi), tetapi civil 

liberties kita justru terancam oleh pandangan-pandangan 

kebudayaan yang absolutis. 


Dalam bahasa filsafat pohtik hari-hari ini, kita perlu me- 

nyelenggarakan demokrasi dengan cara mempertahankan 

"kesementaraan abadi" dari kebenaran, sambil terus men- 

dorong percakapan publik untuk mempersoalkan ketidak- 

adilan dan kekerasan sosial berdasarkan ukuran-ukuran 

sejarah dan hak asasi manusia. Inilah program minimal 




27 




Demokrasi dan Kekecewaan 




untuk menjaga ruang percakapan demokratis berlangsung 

dalam semangat falibilis, dan menghalau semua retorika 

dogmatis yang dikemas dalam jargon-jargon demokrasi. 

Dengan cara itu toleransi dan kemajemukan dapat 

dipertahankan, dan perjuangan untuk keadilan sosial dapat 

terus dikerjakan. 


Pada akhirnya, demokrasi memang perlu bertumbuh 

mengikuti keperluan sejarah. Dengan memahami kritikpos- 

modernis (dan postrukturalis Lacanian), demokrasi akan 

selaluberada dalam kondisi— istilah Guillermo O'Donnell— 

the perpetual absence of something more. Antisipasi inilah 

yang perlu kita manfaatkan secara strategis, sambil mem- 

pertimbangkan untuk mengisinya dengan spirit disensus 

politik kiri — untuk mengutip Alain Badiou: politics is the 

art of attacking the impossible. Mengaktifkan politik de- 

ngan cara ini, dapat menghindarkan kita dari pesimisme 

dan disilusi.*** 




28 




Negara Demokrasi 

yang Belajar 


Rizal Panggabean 




Sebagai respon terhadap tulisan Goenawan Mohamad, 

tulisan ini ingin menunjukan bahwa demokrasi sebagai 

format kelembagaan politik dapat menjadi wadah atau 

arena bagi demokrasi sebagai politik perjuangan. Selaras 

dengan ixd, negara perlu dibawa ke dalam demokrasi. Kete- 

gangan struktural antara demokrasi dan negara (dengan 

gagas an kedaulatannya) tidakharus dihadapi dengan mena- 

fikan, meninggalkan, atau menjauhi negara. Bagaimana 

pun juga, sejarah menunjukkan bahwa ketegangan tersebut 

adalah latar belakang bagi keagenan warganegara— baik 

sebagai perseorangan maupun kelompok kecil yang kreatif 

dan berani, dalam memperbaiki keadaan, baik melalui 

lembaga-lembaga politik yang ada maupun di luarnya. Ti- 

dak ada tempat yang lebih menarik dari Indonesia untuk 

membahas hal ini. 


Walaupun hanya sesekali dan tidak perlu berlama-lama, 

inilah saatnya kita merayakan demokrasi di Indonesia. "Ke- 




29 




Demokrasi dan Kekecewaan 




ajaiban modern," kata Kishore Mahbubani, dekan di Lee 

Kuan Yew School of Public Policy, Universitas Nasional 

Singapura, "benar-benar terjadi." Keajaiban yang ia maksud- 

kan, tidak lain dan tidak bukan, adalah Indonesia kontem- 

porer. 1 


Satu dasawarsa setelah reformasi 1998, Indonesia tampil 

sebagai kampiun kebebasan dan demokrasi bagi dunia 

Islam dan negara-negara di Asia Tenggara. Ini keberhasilan 

yang mencengangkan. Dilihat dari pengalaman transisi di 

Indonesia, baru kali ini demokrasi berjalan satu dasawarsa 

lebih. Tetapi, pengalaman Indonesia juga relevan jika diban- 

dingkan dengan pengalaman negara lain yang keluar dari 

otoriterisme. Bandingkan, misalnya, dengan Rusia. Setelah 

lepas dari rezim komunisme dan melakukan reformasi 

pada 1991, Rusia semakin lama bukannya semakin demok- 

ratis, tetapi semakin melorot ke otoriterisme. 2 


Sepuluh tahun lalu, hampir semua tolok ukur menunjuk- 

kan Indonesia tidak berhak menjadi demokrasi. Negara 

yang berpendapatan rendah dan masih sempoyongan 

dihantam krisis moneter, dihadapkan kepada pembe- 

rontakan di barat dan di timur, sementara Timor Timur masih 

membara sebelum akhirnya lepas dengan berlumuran 

darah. Tuntutan memisahkan diri, termasuk lewat refe- 

rendum sebagai cara aman melepaskan diri, bermunculan. 

Sementara itu, kekerasan agama dan etnis mulai terjadi di 




'Kishore Mahbubani, "Indonesia's rise as a beacon of freedom, 

democracy," Taipei Times', 18 September 2008, hal. 9. 


2 M. Steven Fish and Danielle Lussier, "Society Counts: Public 

Attitudes, Civic Engagement, Unexpected Outcomes in Regime 

Change in Indonesia and Russia," paper yang disampaikan dalam 

pertemuan tahunan American Political Science Association, Boston, 

Massachusett, 28-31 Agustus 2008. 




30 




Negara Demokrasi 




beberapatempat, seakan susul menyusul dengan kekerasan 

yang menyertai jatuhnya Orde Baru pada 1998. Aparat 

keamanan, yang dahulu menjadi rangka-baja rezim, ter- 

belah, mengalami demoralisasi, dan tak kuasa meng- 

hentikan konflik-konflik tersebut. Sudah begitu, sebagian 

besar penduduk Indonesia beragama Islam pula— agama 

yang sering dinilai tidak selaras dengan demokrasi. 


Akan tetapi, Indonesia berhasil mengatasi berbagai 

rintangan dan kejanggalan tersebut. Sepuluh tahun kemu- 

dian, negeri berpenduduk Muslim terbesar di dunia ini me- 

nunjukkan tidak ada yang tak selaras antara mengamal- 

kan Islam dan menjadi demokratis. "Peta" Asia Tenggara 

yang paling indah sekarang ialah yang dikeluarkan Fre- 

edom House, sebuah lembaga di Amerika Serikat yang 

memonitor pelaksanaan demokrasi di seluruh muka bumi. 

Di peta itu, hanya Indonesia negeri yang bebas, dikelilingi 

negara-negara yang tidak bebas atau separuh bebas. Me- 

mang, sudah sejak tahun 2005 Freedom House menghi- 

tung Indonesia sebagai negara bebas dilihat dari sudut 

pelaksanaan hak-hak politik dan kebebasan sipil, capaian 

yang menurut The Economist membuat negara-negara 

tetangga yang lebih kaya, yaitu Singapura, Malaysia, and 

Thailand, menjadi malu. 3 


Selama periode itu, peningkatan dalam bahasa dan 

kebudayaan Tionghoa telah terjadi, walaupun pada tahun 

1998 terjadi kekerasan terhadap etnis Cina di beberapa 

tempat di Indonesia, khususnya di Jawa dan Sumatra. 

Kenangan pahit dan trauma karena serangan dan penis- 

taan, yang berlangsung di beberapa tempat ketika itu, tentu 




3 Peter Collins, "Indonesia sets an example," The World in 2009 

(The Economist), hal. 63. 




31 




Demokrasi dan Kekecewaan 




belum hilang. Tetapi, penindasan terhadap budaya dan 

bahasa Cina, yang terjadi selama Orde Baru, sudah 

dihentikan di zaman demokrasi. Etnis Tionghoa sekarang 

bisa berekspresi dan berpartisipasi secara leluasa. 

Bandingkan, misalnya, dengan nestapa etnis Kurdi diTurki 

yang bahasa dan budayanya masih tertindas hingga 

sekarang. 


Serupa Amerika Serikat, Indonesia juga berkali-kali 

mendapat serangan teroris yang dahsyat maupun tidak. 

Tetapi, Indonesia sebegitu jaub dapat menghadapi dan 

mengatasi serangan terorisme tanpa mengurangi kebe- 

basan sipil warganya karena alasan perang melawan teror- 

isme. Di Poso sekalipun, aparat keamanan meluangkan 

waktu lama supaya gerombolan teroris yang bersembunyi 

di kota dapat dilokalisir dan ditangani tanpa mengganggu 

perasaan masyarakat Muslim setempat. Dalam hal mi, dan 

terhadap Amerika Serikat yang selalu menjelaskan 

kemerosotan kebebasan sipil di negeri adi daya itu dengan 

berdalih kepada serangan 11 September 2001, Indonesia 

boleh menepuk dada. 


Di alam demokrasi, pemerintahan Presiden Susilo 

Bambang Yudhoyono berhasil menangani konflik yang 

sudah berlangsung lama dan menyakitkan di Aceh. Ini- 

siatif damai ini memang banyak ditopang momentum 

kondusif yang diciptakan bencana gempa dan tsunami yang 

terjadi di akhir tahun 2004. Tetapi, lihatlah Sri Lanka yang 

juga dihantam tsunami. Perang Sinhala-Tamil terus mem- 

buruk dan pemerintah maupun pemberontak gagal meman- 

faatkan bencana sebagai kesempatan emas untukberdamai. 

Di Aceh, sudah tiga tahun lebih perdamaian yang dicapai 

melalui MOU Helsinki bertahan. Literatur penghentian 

perang saudara dan pemberontakan mengatakan, lima 




32 




Negara Demokrasi 




tahun adalah periode yang kritis. Jika periode ini dilewati 

dengan baik, maka peluang bagi perdamaian untuk ber- 

tahan semakin besar. Di Aceh, masa kritis ini belum 

terlewati. Tetapi, masyarakat di Aceh sedang menikmati 

kesepakatan damai yang sejauh ini paling awet, dan belum 

tampak gelagat perang akan timbul kembali. 


Militer, yang selama Orde Bam dengan dwifungsi ABRI- 

nya terperosok ke dalam militerisme yang merasuk ke 

berbagai asp ek kehidupan masyarakat, juga berubah. Belum 

pernah dalam sepuluh tahun ini militer mengancam akan 

melakukan kudeta. Malahan, jenderal-jenderal senior banyak 

yang berkiprah di partai politik dan bersaing di pemilihan 

umum— baik di tingkat pusat maupun provinsi dan kabupa- 

ten, dan yang kalah menerimanya dengan lapang dada. 

Sehubungan dengan perdamaian di Aceh, militer juga tunduk 

kepada keputusan politik pemerintah dan bersedia bekerja 

sama dengan-polisi apabila diminta. Jadi, kita harus angkat 

topi untuk militer Indonesia yang dengan mengejutkan telah 

menjadi model bagi angkatan bersenjata di mana pun ten- 

tang bagaimana menerima transisi ke demokrasi. 


#** 


Sambil kita merayakan demokrasi, kita juga perlu me- 

nerima kekurangan dan kelemahannya. Alangkah bagus- 

nya apabila penerimaan terhadap kekurangan dan kele- 

mahan yang timbul dalam demokrasi dilakukan dengan 

antusias dan lapang dada. Kalau belum dapat menerimanya 

dengan antusias, paling tidak kelemahan tersebut dapat 

diterima dengan rasa dongkol dan sebal. Sebab, dalam 

periode yang sama, demokrasi di Indonesia juga menam- 




33 




Demokrasi dan Kekecewaan 




pilkan peristiwa dan gejala yang menimbulkan keraguan 

terhadap masa depan dan daya tahan demokrasi. 


Dalam hubungan antaragama, ada proses fundamen- 

talisasi identitas keagamaan. Bentuknya bisa bermacam- 

macam. Di kalangan umat Islam ada kecenderungan 

memaksakan label kafir, sesat, dan identitas momok lain- 

nya terhadap sekte minoritas atau gerakan keagamaan 

baru. Usaha-usaha menerapkan apa yang dianggap sebagai 

hukum Islam, misalnya melalui peraturan daerah atau 

instruksi bupati, tidak selaras dengan tradisi toleran dan 

moderat yang ditunjukkan umat Islam di Indonesia selama 

ini. Demikian pula, konflik tempat ibadat (baik sektarian 

maupun antaragama) yang terjadi di beberapa daerah 

mencerminkan serangan terhadap perbedaan dan kebe- 

basanberagama. Bila perbedaan dianggap kesesatan, maka 

etos pluralisasi dalam demokrasi akan terganggu. 


Walaupun serangan terhadap etnis Cina sudah berkurang 

drastis sejak 1998 (kecuali kerusuhan di Selat Panjang, Riau 

Kepulauan, pada 2001), kekerasan anti-Cina dapat terjadi jika 

kita mengingat pola serangan terhadap etnis Tionghoa di 

Indonesia. Sebagai ilustrasi, padatahun 1998, aparat keamanan 

dapat mengubah dan membingkai-ulang protes dan 

demonstrasi yang tadinya ditujukan terhadap rezim Orde Baru 

menjadi kekerasan terhadap etnis Cina. Ini tampak khususnya 

dalam serangan terhadap warga Tionghoa di Medan, Jakarta, 

Solo, dan beberapa tempat lain. Selain itu, beberapa penelitian 

menunjukkan kerentanan umat Islam, khususnya ketika terjadi 

krisis sosial dan ekonomj, untuk dimobilisasi dan digerakkan 

dalam rangka menyerang etnis Tionghoa. 4 Penggunaan 




"John Sidel, Riots, Pogroms, Jihad (Singapore: National 

University of Singapore, 2006). 




34 




Negara Demokrasi 




repertoire kekerasan anti-Cina semacam ini tidak akan serta 

merta berhenti dalam demokrasi. 


Keberhasilan Indonesia menangani serangan teror- 

isme boleh jadi menimbulkan rasa iri negara lain. Akan te- 

tapi, perlu diingat bahwa terorisme, serupa tanaman, dapat 

hidup di lahan yang memungkinkannya tumbuh. Peng- 

alaman Amerika Serikat, Indonesia, dan banyak negara lain 

selama sepuluh tahun terakhir menunjukkan dengan jelas 

bahwa demokrasi bukanlah lahan gersang bagi aksi-aksi teror. 

Di dalam demokrasi bisa ada ekstremisme dan nihilisme yang 

menjadikan aksi teror sebagai senjata menyerang musuh 

sembari menegaskan identitas yang dogmatis. Selain itu, eks- 

tremisme dan nihilisme tersebut tidak selalu terkait dengan 

agama; itu bisa juga terkait dengan etnisitas, ideologi, anti- 

globalisasi, serta gerakan pembabasan dan separatisme. 


Walaupun perang baru tidak terjadi di Aceh dalam waktu 

dekat, provinsi di ujung Barat Indonesia ini masih dihadapkan 

kepada ketidakpastian pasca-kesepakatan damai. Mantan 

pemberontak sudah dapat menjadi gubernur, bupati, dan 

walikota. Tetapi, kapasitas pemerintah daerah pada umumnya 

masih lemah, dan ketimpangan lama antarkabupaten sering 

mencuat dalam bentuk tuntutan akan pembentukan provinsi- 

provinsi baru. Kesepakatan Helsinki sangat terfokus pada 

pihak-pihak yang berperang, yaitu gerilyawan GAM (Gerakan 

Aceh Merdeka) dan aparat keamanan Indonesia, dan kurang 

memberikan jaminan bagi keselamatan warga dari aksi kri- 

minalitas dan mtimidasi— termasukyang menggunakan senjata. 

Rasa gamang dan tidak pasti di Aceh juga dapat bersumber 

dari kemiskinan dan pengangguran. 


Akhirnya, reformasi di sektor keamanan, khususnya 

mihter, masih perlu dilanjutkan, supaya distorsi yang terjadi 

di masa lalu tidak terulang lagi. Jika selama empat dasawarsa 




35 




Demokrasi dan Kekecewaan 




lebih tak ada ancaman militer dari tetangga di ASEAN 

terhadap Indonesia, perang di Timtim dan Aceh sudah ber- 

henti, Papua tidak memerlukan operasi militer, bisnis legal 

dan ilegal dibatasi atau dilarang undang-undang, apakah 

tentara Indonesia hanya akan latihan halang rintang terus- 

menerus? Selain itu, salah satu ironi Orde Bam adalah, militer 

berkuasa dan mendominasi; tapi, setelah Orde Bam mbnh, 

militer Indonesia terbukti paling merana di Asia Tenggara 

dilihat dari peralatan dan sistem pertahanan. 


Pengembangan karir militer (termasuk setelah pensiun), 

dan modernisasi peralatan yang dapat menopang operasi 

militer dalam perang dan bukan-perang adalah dua agenda 

reformasi yang masih jarang dibicarakan. Dukungan negara- 

negara sahabat terhadap reformasi militer, berbeda dari 

dukungan terhadap polri, masih kurang dan lamban. Malah- 

an, Amerika Serikat sering melancarkan kebijakan meng- 

hukum walaupun TNI sudah berlaku baik dalam konteks 

demokrasi. Tidak heran jika Mahbubani mengatakan bahwa 

ancaman terbesar terhadap demokrasi di Indonesia datang 

dari Amerika Serikat, baik melalui kebijakannya yang punitif 

terhadap TNI maupun melalui petualangan politik luar negeri 

di Afghanistan, Irak, dan Palestina. 


*** 


Pengalaman Indonesia menunjukkan capaian-capaian 

yang dapat diraih dalam demokrasi, beserta persoalan dan 

tantangan besar yang menimbulkan keraguan terhadap- 

nya. Tentu saja, daftar capaian dan tantangan tersebut masih 

dapat diperpanjang— misalnya yang terkait dengan peran pers, 

korporasi, organisasi masyarakat, dan lain-lain. Tetapi, contoh 

yang diterakan di atas sudah memadai sebagai titik tolak 




36 




Negara Demokrasi 




bagaimana memperlakukan demokrasi di Indonesia, ketika 

negeri itu sedang membina demokrasinya sendiri. 


Pertama-tama, demokrasi lebih tepat dipandang sebagai 

adonan dari unsur-unsur yang berbeda dan dapat berten- 

tangan satu sama lain. Tetapi, unsur-unsur tersebut saling 

mengisi dan berhubungan. Harapan dan kecemasan, 

keberhasilan dan kegagalan, takjub dan dongkol— semua- 

nya selalu menyertai demokrasi. Adonan inilah yang 

memungkinkan demokrasi mengeritik dan memper- 

baharui diri— menjadi proses yang contingent karena 

ketegangan yang ada dalam adonan tersebut. 


Kalau dari adonan tersebut yang disoroti dan ditekan- 

kan hanya capaian dan keberhasilan, maka yang akan 

terjadi adalah triumfalisme demokrasi. Ini semacam sikap 

atau keyakinan mengenai keunggulan atau superioritas 

demokrasi dan keberhasilannya mengalahkan lawan- 

lawannya. Demokrasi sudah berhasil di Indonesia. Hak- 

hak politik dan kebebasan sipil sudah dilindungi. Pemilihan 

umum berjalan dengan tenang dan damai, kesejahteraan 

pada umumnya sudah mulai meningkat, dan militer sudah 

tidak melanggar hak asasi manusia lagi. Ringkas cerita, 

sejarah sudah berakhir. Ungkapan seperti inilah yang 

menjadi ujung triumfalisme itu. 


Begitu juga, kalau dari adonan itu hanya diambil unsur 

kecemasan, kekecewaan, dan kegagalannya, yang selalu 

disorot dan ditonjolkan, maka yang didapat hanyalah de- 

fisit demokrasi. Tentu saja, berbagai uraian tentang defisit 

demokrasi sudah bermunculan, misalnya dalam rubrik 

krisis demokrasi liberal: merosotnya kepercayaan masya- 

rakat terhadap pemimpin politik, rendahnya jumlah warga 

yang memberikan suara dalam pemilihan umum, ber- 

kurangnya partisipasi, jurang yang melebar antara rakyat 




37 




Demokrasi dun Kekecewaan 




dan penguasa, kekuasaan korporasi yang berlebihan, dan 

seterusnya. Dalam konteks internasional, negara demok- 

rasi melancarkan perang— di Irak dan di tempat lain, dan meng- 

ekspor demokrasi dalam peti kemas kekerasan negara. 


Kedua, dan dengan mengingat konsepsi adonan di atas, 

yang dicari dalam politik demokrasi janganlah kemurnian dan 

keperawanan. Berdemokrasi berarti bersedia terpercik noda 

dan belepotan, bergaul dengan penentang, tidur dengan 

orang yang tak dikenal. Walaupun banyak pemikir demokrasi 

radikal menginginkan politik yang murni, demokrasi yang 

murni, dan sebagainya, pada dataran yang empiris dan 

kehidupan sehari-hari demokrasi tidak akan murni. Dan ini 

tidaklah aneh bila hakikat demokrasi sebagai sesuatu yang 

contingent diterima dengan segala implikasinya. Demokrasi 

di Indonesia, atau demokrasi di mana pun, tidak begjtu saja, 

tidak selalu, dan tidak selamanya kebal dari deflsit demokrasi; 

tetapi, pada saat yang sama, demokrasi itu memiliki daya dan 

prinsip gerak ke arah emansipasi. 


Akhirnya, ketiga, negara harus dibawa kembali ke de- 

mokrasi. Studi-studi tentang demokrasi belakangan ini 

banyak yang dilakukan dalam rangka menentang negara, 

membuat jaraksejauh mungkin dari negara tentorial, atau 

di luar kerangka negara dengan konsep kedaulatannya. 5 

Mungkin ini terkait dengan us aha menemukan kemurnian 

yang disebutkan di atas. Boleh jadi ini cerminan penekanan 

terhadap defisit demokrasi, ketika negara dengan pongahnya 

menjadi penyandang militerisme dan imperialisme. Sebagai 

gantinya, salah satu pilihan adalah politik perlawanan nir- 




5 Saul Newman, "Connolly's Democratic Pluralism and the 

Question of State Sovereignty," The British Journal of Politics and 

International Relations 10:2, May 2008, hal. 227-240. 




38 




Negara Demokrasi 




kekerasan dalam kerangka anarkisme (berjuang menentang 

status-quo) atau neo-anarkisme— yaitu kerjasama berbagai 

lapisan dan golongan masyarakat menentang perang dan 

kekerasan struktural. 6 


Akan tetapi, negara bangsa masih tetap sebagai situs 

pengambilan keputusan kolektif yang penting, deliberasi dan 

pembahasan terhadap berbagai persoalan pelik, dan tawar- 

menawar politik. Ini bukan berarti menafikan tatanan bukan 

negara — baik pada tingkat lokal maupun global, bukan pula 

meniadakan peran aktor-aktor bukan negara. Ini adalah 

usaha untuk menerima negara sebagai sesuatu yang empiris 

dan membawanya kembali ke demokrasi. Dalam kaitannya 

dengan gerakan perlawanan nirkekerasan, bukan hanya 

masyarakat yang perlu giat di dalamnya. Negara demokrasi 

juga dituntut menyelesaikan konflik negara versus 

masyarakat dan masyarakat versus masyarakat dengan cara- 

cara nirkekerasan. Jika sebagaian besar inisiatif kekerasan 

bersumber dari negara, bukankah negara harus banyak 

belajar menggunakan mekanisme nirkekerasan? 7 


Adonan demokrasi, dengan demikian, juga berlokasi di 

negara bangsa. Jika negara dipandang sebagai sesuatu yang 

contingent, maka ia tidak selalu semena-mena dan malang 

melintang mengumandangkan perang. Selain itu, negara 

yang demokratis memiliki beberapa rukun seperti pe- 

misahan dan pembagian kekuasaan, perlindungan konsti- 

tusional terhadap kebebasan dan kesetaraan, dan lain-lain. 




6 Simon Critchley, Infinitely Demanding. Ethics of commitment, 

politics of resistance (New York: Verso, 2007). 


7 Chaiwat Satha-Anand, "Mengajarkan Nirkekerasan Kepada 

Negara," dalam Agama danPerdamaian, diterjemahkan oleh Taufik 

Adnan Amal (Yogyakarta: PSKP-UGM-Quaker-FKBA: 2001). 




39 




Demokrasi dan Kekecewaan 




Pengertian demokrasi memang jangan dibatasi kepada 

rezim dan lembaga politik dalam negara. Tapi, demokrasi 

yang membumi harus juga meningkatkan aktor, kultur, dan 

struktur kelembagaan politik negara bangsa. 


Sehubungan dengan konsepsi kedaulatan negara, yang 

sering dipandang sebagai ancaman terhadap demokrasi, 

atau sesuatu yang tidak selaras dengan demokrasi, maka 

dua hal dapat disebutkan di sini. Negara demokrasi tak 

selalu, dan tidak dengan semena-mena, menindas hak-hak 

politik warganegara. Negara dapat menyalahgunakan 

kedaulatan. Tetapi, itu sangat tergantung kepada apakah 

adonan demokrasi yang ada memberikan batasan dan 

rintangan terhadap penyalahgunaan tersebut atau tidak. 

Bahkan, ketika dihadapkan kepada perang melawan 

terorisme, misalnya, negara demokrasi bisa memilih: 

melakukannya dengan membatasi hak-hak sipil warga- 

negara atau tanpa membatasinya, dengan semena-mena 

atau dengan bertanggungjawab. 


Selain itu, pengertian kedaulatan sendiri berkembang, 

seiring dengan perkembangan norma dan nilai baru dalam 

masyarakat internasional. Salah satu tawaran adalah 

dengan memahami kedaulatan sebagai tanggung jawab, 

khususnya tanggung jawab untuk mehndungi warganegara 

dari kelaparan, kekerasan, dan kebodohan. Bukti kedau- 

latan adalah tanggung jawab "memajukan kesejateraan dan 

kebebasan warganegara, menggalang kerjasama dan 

mengelola konflik," lebih-lebih ketika masyarakat, mi- 

salnya karena ditindas dan tak berdaya, tidak dapat meng- 

urus diri mereka sendiri. 8 Dan dalam demokrasi yang 




"Francis M. Deng et. al., Sovereignty as Responsibility 

(Washington, D.C.: Brookings, 1996); Report of the International 




40 




Negara Demokrasi 




berjalan, rakyat menggunakan negara sebagai kerangka 

mengurus diri sendiri dan memperjuangkan supaya negara 

membuktikan tanggung jawab yaitu kedaulatannya. 


Hakikat atau ciri contingency demokrasi, dengan de- 

mikian, tidak harus dijadikan sebagai titik tolak mem- 

pertanyakan kelaikan demokrasi sebagai logika atau nalar. 

Seperti tampak dari uraian di atas, ciri contingency 

demokrasi haruslah dijadikan sebagai pijakan melihat 

kemungMnan dan kapasitas demokrasi sebagai praktik dan 

sejarah.*** 




Commission on Intervention and State Sovereignty, The 

Responsibility to Protect. (Washington, D.C.: ICISS: 2001). 




41 




Dua Monolog 

tentang Demokrasi 




Dodi Ambardi 




Kita mungkin secara alami tak terlalu menyukai definisi, 

apalagi definisi yang bersifat teknis. Dan demokrasi, di 

tangan ilmuwan sosial dan politik, berubah menjadi sebuah 

definisi dengan sederet kriteria teknis yang terkesan penuh 

keruwetan soal pengukuran dan penghitungannya. 


Salah satu artikel yang terkenal di kalangan ilmuwan 

dan mahasiswa pascasarjana di berbagai Jurusan Ilmu 

Politik adalah artikel What Democracy Is ... and Is Not, 

ditulis oleh Philippe Schmitter and Terry Karl pada awal 

I990an. Artikel pendek ini beredar terus-menerus di komu- 

nitas akademik itu, dan mengajak orang untuk berpikir ten- 

tang kriteria apa yang seharusnya dimasukkan dalam 

sebuah definisi tentang demokrasi. Mereka yang berhasrat 

menjadi ilmuwan politik memanfaatkan artikel Schmitter 

dan Karl untuk berlatih debat tentang konsep demokrasi, 

dan kadang mengembangkannya sebagai nampan penya- 

ring untuk mengklasifikasikan rezim-rezim pohtik di berba- 

gai belahan dunia. 




43 




Demokrasi dan Kekecewaan 




Ketika semua kriteria demokrasi dipenuhi, setiap 

kejadian demokrasi diperlakukan sebagai sebuah unit yang 

kemudian menjadi bagian dari keseluruhan populasi 

demokrasi. Dan populasi itu menjadi lahan untuk mengetes 

teori, mengapa demokrasi muncul dan tenggelam di wi- 

layah yang berbeda-beda, serta untuk menyelidiM faktor- 

faktor yang mendorong dinamika itu. Ratusan traktat telah 

dihasilkan dari proyek demokrasi ini. 


Salah satu traktat penting dalam proyek ini dibikin oleh 

sekelompok ilmuwan yang saat itu masih bercokol di Chicago : 

Adam Przeworski dan kawan-kawan (2000), Democracy 

and Development. Lagi, dalam tim ini, perincian kriteria 

demokrasi ala Schmitter dan Karl ditetapkan. Insiden atau 

kasus demokrasi awalnya diukur melalui kategori polar, 

demokrasi atau dictatorship. Kalau satuan negara— demok- 

ratis atau diktatorial— dijadikan unit pengbitungan, jumlah 

populasi demokrasi di dunia tidaklah banyak. Jumlah 

kejadian yang terlampau sedikit akan membatasi peluang 

untuk melakukan uji statistik terhadap berbagai faktor yang 

dipercaya sebagai sebab kemunculan demokrasi. 


Mereka lantas mengajukan sebuah inovasi teknis dalam 

penghitungan kejadian demokrasi (Anda bisa mencemo- 

ohnya sebagai perumitan teknis belaka). Di masing-masing 

kategori, insiden demokrasi dan dictatorship dihitungper- 

tahun. Jadi, Fihpina misalnya, akan menghasilkan hitungan 

18 kasus demokrasi karena demokrasi mulai muncul di 

sana sejak tahun 1986, sampai 1990 ketika penehtian diada- 

kan (empat kasus); dan kemudian ditambah 14, kasus 

demokrasi yang muncul pada periode 1950-1964. Tahun 

1950 ditetapkan tim Przeworski sebagai tahun pertama untuk 

menghitung insiden demokrasi. Di antara dua periode 

demokratis itu, Filipinamenyumbangkan 17 kasus dictator- 




44 




Dua Monolog 




ship, yakni pada masa Ferdinand Marcos. Dengan inovasi 

teknis ini, insiden demokrasi dan dictatorship yang bisa 

diobservasi di dunia mencapai jumlah ribuan— sebuah jum- 

lah yang cukup untuk melakukan beragam uji statistik 


Dari banyak teori yang telah diterima umum, uji statistik 

yang dilakukan Przeworski dan kawan-kawan terhadap 

teori-teori itu memberikan banyak kejutan. Kita ambil, fak- 

tor tingkat pembangunan ekonomi yang diukur melalui 

rerata pendapatan individual setiap tahun, serta faktor agama 

yang dianut oleh penduduk suatu negara. Dua faktor ini 

mengilhami tesis utama dalam teorisasi tentang kemuncul- 

an demokrasi. 


Kejutan pertama, Przeworski dan kawan-kawan mene- 

mukan bahwa tingkat pembangunan ekonomi tidaklah 

memunculkan demokrasi. Seharusnya, ketika threshold 

keberhasilan pembangunan dilampaui sebuah negara, 

demokrasi akan muncul sebagai akibatnya. Uji statistik tim 

Przeworski menolak tesis ini— tesis modernisasi di bidang 

politikyang diutarakan dengan jernih oleh Seymour Martin 

Lipset (1959). Namunbenar, kata mereka, demokrasi lebih 

bisa bertahan pada negara-negara dengan penghasilan 

perkapita yang tinggi. Di tdtik ini mereka mengajukan pe- 

misahan konseptual antara kemunculan demokrasi dan 

kestabilan demokrasi. Tingkat pembangunan ekonomi 

dipercaya sebagai faktor yang bertangung jawab terhadap 

kestabilan demokrasi, tapi ia tak bersangkut-paut dengan 

kemunculan demokrasi di berbagai negara. 


Pada saat yang sama, hasil temuan mereka juga me- 

nunjukkan bahwa agama juga bukanlah penjelas yang 

bagus untuk menerangkan kemunculan demokrasi di 

Eropa dan Amerika. Kemunculan demokrasi, sebagian per- 

caya, bersangkut-paut dengan Kristen Protestan yang 




45 




Demokrasi dan Kekecewaan 




menjadi agama mayoritas di wilayah tersebut. Ini disang- 

gah pula oleh Przeworski dan kawan-kawan. Temuan me- 

reka menyodorkan, bahwa agama, tak peduli itu Kristen 

Protestan atau Katolik, Islam, Hindu atau Budha, umum- 

nya membawa destabilizing effect pada demokrasi maupun 

dictatorship. 


Konseptualisasi tentang demokrasi, inovasi teknis 

penghitungan insiden demokrasi, dan temuan-temuan yang 

diajukan oleh Przeworski dan kawan-kawan tentu meng- 

hentak komunitas ilmuwan yang menekuni isu demokrasi. 

Kerja mereka menghasilkan perdebatan riuh, menginspi- 

rasi kerja penelitian berikutnya, melahirkan kritik, dan 

menuai berbagai pujian. Mereka yang terlibat dalam riuh 

rendah perdebatan itu mendemonstrasikan sebuah passion, 

elan yang diperlukan untuk membangun, mendebat, mem- 

falsifikasi, dan menguji teori-teori demokrasi. 


*** 


Adakah manfaat kerja jenis ini bagi sebuah perkembangan 

demokrasi? Goenawan Mohamad (GM) dalam esei 

panjangnya datang dengan argumen yang membikin 

masygul. Definisi, kalau kita memperlebar cakupan 

argumen GM, bukanlah pertaruhan utama. Ketika tampil 

sebagai sebuah definisi, atau dalam bahasa GM demokrasi 

sebagai format, bukan saja demokrasi tak lagi inspiratif 

bagi kitasemua, namun juga mematikan politik itu sendiri. 

Anasir perubahan yang berpotensi mengguncang tatanan 

politik dan sosial, dalam politik demokrasi dilunakkan. 

Perubahan radikal yang menyangkut tatanan pokok 

masyarakat dipermak menjadi perubahan yang sepotong- 




46 




Dua Monolog 




sepotong, sehingga perubahan itu sendiri menjadi meredup 

dan hilang esensinya. 


GM mengutarakan logika ini dengan menarik. Lahan 

pemilu demokratis di mana pun adalah sekumpulan pemilih 

yang terdistribusi dalam "kurva lonceng". Mayoritas mereka 

tinggal dalam gunungan yang paling besar, di tengah, dan 

tak suka anasir perubahan yang bersifat ekstrem. Sebagus 

apapun ide perubahan itu, kalau ia tampil dengan wajah 

radikal, akan mental dalam pertarungan yang demokratis— 

pertarungan yang pemenangnya ditentukan oleh suara ter- 

banyak. Karena itu, suara GM terdengar pesimistis tatkala 

menghitung peluang perubahan yang dibawa Obama. Ia pasti 

terantuk dengan logika kurva lonceng: Obama tak akan berani 

membalik pandangan dominan masyarakat Amerika yang 

pro-Israel, dan tak akan membawa Hamas ke meja perun- 

dingan. 


Demokrasi kurva lonceng ini cocok belaka dengan imaji 

demokrasi yang digambar oleh para ilmuwan politik, yang 

dilabeli dengan istilah demokrasi prosedural. Ini label 

netral, yang dipakai ilmuwan politik untuk menengarai 

sebuah praktek demokrasi telah dijalankan di sebuah negara. 

Namun, kini ia menjadi peyoratif yang dilafalkan dengan 

nada ejekan. Ia menyerumpun dengan istilah demokrasi 

liberal, sebuah ide pembebasan yang kini banyak didiskre- 

ditkan karena justru dianggap kehilangan elan pembebasan- 

nya. 


Meminjam GM: Apa gunanya pemenuhan kriteria pro- 

sedural jika dalam keseharian kita menyaksikan DPR yang 

korup, dan politik dijalankan oleh partai-partai yang tak 

jelas alasan hidupnya kecuali merebut kursi? 


GM tak menampik demokrasi, dan tak hendak mengu- 

bur partai politik. Hanya saja, demokrasi prosedural tak 




47 




Demokrasi dan Kekecewaan 




mencukupi untuk sebuah perbaikan, untuk sebuah cita- 

cita yang melampaui politik sehari-hari yang ribut melulu 

dengan hitung-menghitung kursi. Demokrasi sebagai for- 

mat hanya menyediakan politik sebagai ritus yang menentu- 

kan menang-kalah secara numerikal. Karena itu, GM 

menginginkan jenis politik yang lain, yakni politik sebagai 

perjuangan. Memakai klise lama, kita memerlukan hadir- 

nya orang-orang yang melihat politik sebagai panggilan. 


Pandangan GM ini membawa konsekuensi yang jauh. 

Ia menentukan susunan prioritas, apa yang dianggap ber- 

nilai, kurang bernilai, dan tak bernilai. Kompromi, jalan 

tengah, dan konsensus adalah kebajikan bernilai tinggi 

dalam sejarah pertumbuhan demokrasi liberal. Metode ini 

menggantikan penyelesaian perbedaan politik yang 

sebelumnya ditentukan oleh tajamnya pedang dan runcing- 

nya bayonet. Konflik dan perbedaan politik pada akhirnya 

bisa dikelola tanpa cipratan darah. Namun, dalam pan- 

dangan GM, dalam praktiknya, metode-metode penyele- 

saian perbedaan politik ini tak identik dengan kebajikan. 

Kompromi, jalan tengah, dan konsensus dalam demokrasi 

bisa berubah menjadi muslihat untuk membungkam apa 

yang dianggap menyimpang, obscene, dan menutup jalan 

bagi alternatif-alternatif politik baru. 


*** 


Lalu bagaimana menembus konservatdsme demokrasi pro- 

sedural yang massif ini? Tulisan GM ditutup dengan kalimat- 

kalimat berikut: "Satu-satunya jalan yang masih terbuka 

adalah selalu dengan setia mengembalikan politik sebagai 

perjuangan. Jalan yang ditempuh tak bisa dirumuskan 




48 




Dua Monolog 




sebelumnya; selalu diperlukan keluwesan untuk memilih 

metode, baik melalui perundang-undangan atau justru 

melawan perundang-undangan, baik melalui partai atau- 

pun melawan partai. Artinya, tiap kali kita membiarkan 

diri untuk didesak oleh panggilan akan keadilan yang tak 

pernah akan membisu." 


Saya membayangkan, kritik dan proposal GM ini sampai 

di tangan Schmitter dan Karl, serta dibaca Przeworski dan 

kawan-kawannya. Dialog macam apa yang akan muncul dari 

pertukaran pandangan mereka? 


Awal kerja Schmitter dan Karl, Przeworski dan kawan- 

kawan, adalah mencari deskripsi tentang sebuah gejala 

demokrasi. Deskripsi itu harus bertolak dari sejumlah kri- 

teria yang ditetapkan secara konsisten dari satu kasus ke 

kasus lain. Pengertian demokrasi lantas dibakukan dan 

dibekukan. Demokrasi dibakukan agar konsep itu menjadi 

filter permanen untuk mengategorikan rezim politik, dan 

dibekukan karena ingin membuat kemunculan demokrasi 

sebagai gejala yang bisa diterangkan. Umumnya, teori hanya 

bisa berjalan jika hal yang mau dijelaskan bukanlah sebuah 

moving target. 


Tujuan Schmitter, Karl, Przeworski dan kawan-kawan 

karenanya adalah membesut deskripsi dan menguji teori, 

apakah teori itu berhasil atau gagal menjelaskan sebuah ge- 

jala. Namun, di mata GM, deskripsi dan penjelasan tentang 

demokrasi bukanlah barang yang lebih berharga ketimbang 

memperjuangkan dan memperbaiki kualitas demokrasi itu 

sendiri. Kalau Schmitter cs ingin membekukan demokrasi 

dalam sebuah konsep, GM ingin melumerkan definisi dan 

konsep demokrasi, dan menjadikan demokrasi sebagai se- 

buah kata kerja. Politik adalah perjuangan untuk senan- 

tiasa memperbaiki demokrasi. Schmitter berangkat dari 




49 




Demokrasi dan Kekecewaan 




apa yang ada, GM mulai dari apa yang bisa dicapai; 

Schmitter bertotak dari penjarakan, sementara GM dari 

keterlibatan. 


Jika metode kerja keduanya berbeda, kira-kira salah 

satu kemungkinan respon yang muncul dari kelompok 

Schmitter setelah membaca tulisan GM, "Mas Goen, kita 

siap mencatat, kita siap menjungkirkan teori-teori tentang 

demokrasi yang selama ini telah mapan, dan kita dengan 

senang hati menunggu sebuah sejarah baru." 


Sampai ke kita, dua rute perjalanan ini ini bisa menjadi 

pilihan langkah. Apakah anda ingin menjadi pelaku sejarah 

atau pencatat sejarah? Takbanyak orang yang bisa meraih 

keduanya secara sekahgus*** 




50 




"Yang Politis 

sebagai Nostalgia" 




Robertus Robet 




Setelah era gegap gempita penjatuhan Soeharto redup, 

kepolitikan dimaknai sebagai sebidang ruang pasti yang 

hanya bisa diperbaharui melalui penataan norma dan 

institusionalisasi. Ini berlangsung temtama karena banyak 

pihak memang dari awal mengambil sikap kompromi 

terhadap rezim lama. Konsensus sudah dicapai bahkan 

sebelum antagonisme dimulai. Kompromi terbesar 

dibuktikan dari diterimanya rezim kelanjutan dan pemilu 

yang ditawarkannya pasca penjatuhan Soeharto itu. 

Penerimaan dan kompromi itu, secara dramatis mengin- 

terupsi dan mengakhiri gairah reformis dalam mengha- 

silkan perubahan-perubahan yang lebih berarti. 


Sejak itu, politik yang menyeruak dalam peristiwa sesaat 

yang melahirkan pembaharuan dalam sensasi univer- 

salitasnya berubah. Gairah berubah menjadi hukum, 

gerakan berubah menjadi prosedur, semangat berubah 

menjadi institusi, kontradiksi berubah menjadi konsensus 




51 




Demokrasi dan Kekecewaan 




dan normativisasi. Dengan dasar pandangan itu, politik 

disempitkan sebagai pembaharuan dan dialirkan ke dalam 

produksi massal lembaga-lembaga, partai dan komisi- 

komisi. Gerak, gerilya dan kritdk yang sebelumnya subur 

di mana-mana redup. Digantikan dengan disiplin semu 

kelembagaan. Kehilangan ini mengawali kehilangan yang 

lebih dalam, yakni hilangnya ingatan dan kepercayaan 

terhadap "politik perjuangan" atau politik oposisional 

alternatif. Korupsi, fanatisme dan keterbelakangan 

imajinasi yang datang kemudian makin mengubur daya 

tank politik ketika masih dialami sebagai peristiwa luar 

biasa di jalan-jalan, di kampus-kampus, di ruang-ruang 

subversif. Persis ketika demokrasi dimulai, politik 

kehilangan pesonanya. Di dalam demokrasi, politik tinggal 

nostalgia. 


Di tdtik inilah kita menemukan dua jenis politik. Yang 

pertama adalah politik yang hanya muncul di seputar 

peristiwa-peristiwa "besar", politik sebagai— dalam istilah 

Alain Badiou— "kejadian" Politik di sini disebut sebagai 

"yang politis". Ia merupakan kulminasi dari gerak, kebe- 

ranian, subyektifitas bersama-sama dengan kolektifltas dan 

universalitas yang mengarah ke kebaruan. Kebaruan dalam 

masyarakat, kebaruan dalam kebudayaan dan kebaruan 

dalam ciri kemanusiaan. Inilah politik sebagai yang tak bisa 

dinamai. Tapi justru oleh karena itu ia malah menyatukan 

berbagai fragmen yang semula berserak. Ia yang dalam 

suatu saat sempat menyatukan mahasiswa, LSM, politisi, 

pensiunan tentara, kaum radikal, kaum pengusaha, kaum 

buruh dalam suatu rongga enersi, imajinasi dan harapan 

dalam cakrawala yang dengan gampang disebut sebagai 

reformasi. 




52 




Yang Politis 




"Reformasi' dengan demikian sebenarnya hanya 

merupakan nama saja dari politik sebagai "yang politis". 

Reformasi adalah simbolisasi baru untuk mengisi "yang 

politik" sehingga dengan itu simbolisasi lama dapat benar- 

benar dipatahkan. 


Di titik ini, persis ketika simbolisasi lama patah, dan 

reformasi muncul sebagai simbol baru yang meng- 

gantikannya dengan berbagai nama-nama lanjutan seperti 

pemerintahan reformasi, agenda reformasi, kabinet 

reformasi. Reformasi melepaskan diri sebagai nama dari 

"yang politis". Reformasi memapankan diri sebagai simbol, 

struktur atau nama rejim baru. Akibatnya, persis ketika ia 

mengukuhkan diri dalam kemapanan, ia jatuh dalam hu- 

kum kelapukan. 


Ia menjadi struktur yang merupakan sarang baru dari 

berbagai obyek keterbelakangan politik. Para koruptor 

bersarang dalam reformasi, kaum munafik dan fanatik 

bersuara atas nama reformasi, pelanjut otoriterianisme 

bersembunyi dalam "kebaikan" reformasi. Dengan ini, 

reformasi yang semula menjadi nama dan simbol dari suatu 

peristiwa yang luar biasa (kejadian) telah mengalami 

kemerosotan. Ia bukan lagi wahana dari "yang politis". Di 

titik ini kita menemukan politik dalam jenisnya yang 

kedua: politik sebagai politik, sebagai persaingan rutin 

mengejar kuasa dengan beragam cara. 


Politik dalam jenis yang kedua inilah yang dalam 

pandangan awam disebut dan dinamai sebagai politik. 

Dengan itu, mereka yang awam dan seluruh peserta dalam 

tubuh kepolitikan dari politik ini menerima dan memak- 

lumi suatu standar keadaan, yakni bahwa politik adalah 

kedurjanaan instrumental yang dipakai untuk mengejar 




53 




I demokrasi dan Kekecewaan 




kepentingan. Apa pun agama dan klaim ideologinya semua 

yang "berjuang" dalam cara dan matriks politik semacam 

ini pada dasarnya sungguh tak ada bedanya. Di titik ini kita 

menemukan perbedaan antara "yang politis" dengan 

demokrasi. 


Oleh karena pengalaman dan latar belakang historis 

yang spesifik, demokrasi kita pandang sebagai suatu tahap 

baru hasil dari pembalikan otoritarianisme. Lebih jauh lagi, 

karena demokrasi datang sebagai hasil dari kehadiran 

"yang politis", seringkali ia diidentikan atau disamakan 

dengan "yang politis". Di sini, pada umumnya orang me- 

ngenali "yang politis" sebagai "suasana demokrasi". Ia 

dirasakan sebagai kondisi mental di mana publik bisa 

mengekspresikan kebebasan secara optimum sehingga 

dengan itu bentuk-bentuk antagonisme politik tampil. Di 

titik ini berbeda dengan 'y an g politis'. Demokrasi pada 

dasarnya memiliki suatu kesamaan dengan otorita- 

rianisme: keduanya menunjuk pada tatanan atau pada cara 

pemerintahan. Keduanya menekankan prosedur, institusi, 

tatanan dan order. Yang membedakan keduanya adalah 

pada soal siapa yang mengisi tatanan. Demokrasi meng- 

andaikan absennya klaim untuk mengisi tatanan secara 

tetap, sementara otoritarianisme dan sejenisnya meng- 

klaim mengisi tatanan secara lengkap, penuh dan tetap. 

Demokrasi hadir sebagai mekanisme dan prosedur untuk 

"tidak melakukan apa-apa", ia membiarkan tatanan sebagai 

gelanggang kosong. Sebagaimana reformasi, demokrasi 

adalah bentuk bahkan tahap kepolitikan yang telah 

ternamai dan memilikf standar yang bisa (hobyektifikasi 

secara pasti. Sementara "yang politis", meski ia "ada di 

sana", namun tetap tak pernah bisa dinamai. 




54 




Yang Politis 




Di titik inilah kita kemudian bisa membaca kegelisahan 

Goenawan Mohammad (GM). Ketika kita menerima 

demokrasi, maka kita menerima sebuah sistem yang tak 

pernah bisa dan tak boleh kita pastikan bagaimana ujung- 

nya dan siapa-siapa saja pemain-pemain dalamnya. 

Demokrasi adalah prosedur untuk segala kemungkinan. 

Bagi GM, kemungkinan di sini termasuk kemungkinan 

matinya "yang politik". Di titik ini kekhawatirannya 

bermula. Untuk itulah ia kemudian mengajukan suatu im- 

bauan nostalgis dengan cara Kantian. 


Dasar imbauan itu tentu saja adalah empati terhadap 

"yang politis". Yang jadi soal adalah justru dengan imbauan 

semacam itu, GM mengambil risiko besar untuk mem- 

posisikan (baca: mendegradasikan) "yang politis" sebagai 

sejenis kategori transendental yang bisa dilindungi secara 

"moral" oleh komponen-komponen di dalam kepolitikan 

demokratis. Dengan itu di dalam GM, terbersit semacam 

pandangan bahwa "yang politis" bisa diobyektifikasi 

sebagai syarat normatif tertentu bagi kepolitikan demok- 

ratis. Artinya lebih jauh lagi, GM memposisikan atau 

setidaknya melihat "yang politis" sebagai bagian dari 

prosedur normatif di dalam demokrasi. Dalam bahasa 

Lacanian, aspirasi GM terhadap "yang politis" secara para- 

doksal justru telah mendorongnya untuk menjatuhkan 

"yang politis" dari "the real" (sang nyata) menjadi "the 

simbolic" (sang simbolik). Paradoks yang, saya kira, tidak 

dimaksudkan oleh GM. 


Di titik ini, paradoks subyektif GM tadi mesti kita balik 

dengan membuang aspirasi Kantiannya. Untuk itu kita 

perlu Ricoeur. Di tahun 1965, dalam jurnal History and 

Truth, Paul Ricoeur pernah menulis bahwa "politics only 




55 




Demokrasidan Kekecewaan 




exist in great moment in crisis." Ini dikemukakannya 

dengan basis pandangan mengenai politik sebagai 

paradoks. Menurut Ricoeur, paradoks politik muncul 

karena politik memiliki asal-muasal ganda: rasionalitas dan 

kedurjanaan (a specifically political rationality and a 

specifically political evil). Oleh karenanya, politik selalu 

memiliki "otonomi relatir di dalamnya. 


Dengan itu Ricouer memperkenalkan pemisahan awal 

antara "the political" atau "Yang Politis" dengan "politics" 

atau politik — atau, dalam istilah Lefort. antara le politique 

(the political) dan lapolitique (politics). Dengan pemisahan 

dan upaya otonomisasi ini, "yang politis" dalam Ricoeur 

dipandang sebagai realisasi dari relasi manusia yang tidak 

dapat direduksi ke dalam kategori apa pun. Sementara, 

dengan politik, yang dimaksudkannya adalah segala bentuk 

kedurjanaan dan permainan dalam kekuasaan. 


Pengertian yang sama juga kita temukan dalam sal ah 

satu penjelasan paling esensial dalam filsafat politik, yakni 

melalui pemikiran Machiavelli. Ketika ia mengatakan bah- 

wa pohtik adalah "ketegangan" antara virtu (yang pasti/ 

yangrasional/slxuktur/simbolik) dengan/orfuna (yangtak 

pasti/tak diketahui/ketakmungkinan/"sang nyata"). 


Dari sini, melalui Ricouer dan Machiavelli, kita dapat mem- 

posisikan bahwa "yang politis" pada dasarnya adalah persim- 

pangan antara "rasionalitas" dan kedurjanaan. "Yang politis" 

adalah gerak pertemuan antara segenap bentuk simbolisasi 

terhadap "ketakmungkinan" (baca: the real atau sang nyata). 


Artinya "yang politis" tidak pernah dapat dipastikan se- 

cara a priori sebagai suatu kategori normatif Kedurjanaan 

adalah faktisitas dalam demokrasi. Oleh karenanya, ia tidak 

dapat dienyahkan hanya melalui suatu penerapan kategori 




56 




Yang Politis 




etis-normatif. Pada saat yang sama, "yang politis" juga 

adalah faktisitas. Bedanya adalah, kalau kedurjanaan ada 

sebagai fakta di level realitas empirik, maka "Yang Politis" 

ada sebagai realitas di dalam level metafisik. Artinya, "Yang 

Politis" ada "di sana" namun ia tidak pernah bisa diberi 

nama dan diprediksi serta dipastikan kapan dan di mana. 


Di titik ini, mekipun kita menerima suatu kenyataan 

bahwa demokrasi adalah sarang dari berbagai durjana, de- 

mokrasi tidak akan pemah bisa "membunuh" "yang politis". 

Oleh karena itu, sebenarnya Mta tidak perlu membangun 

imbauan yang berbasis pada kekhawatiran bahwa "demok- 

rasi" akan menenggelamkan "yang politis". Kedurjanaan 

demokrasi "hanyalah" sebentuk simbolisasi lain yang sama- 

sama diarahkan kepada "yang politis". 'Yang Politis" dalam 

skema ini tidak lain adalah "sang nyata" dan demokrasi 

bukan lain kecuali "sang simbolik", dalam skema triadik 

Lacanian. DemiMan, karena Yang Simbolik tak kan pernah 

bisa menguasai Yang Nyata. 


"Yang Politis" tidak bisa dinamai dan tidak bisa dibu- 

nuh. Ia hanya bisa dimengerti dan dimaknai secara semen- 

tara karena keterbatasaan penandaan yang ada (politik, 

struktur, simbolik). Dengan demiMan, singkatnya, hubung- 

an kedurjanaan dalam faktisitas struktur simbolik dalam 

kepolitikan dengan "yang politis" tidak dapat dimengerti 

dalam koordinat epistemik dan moral Kantian. Ia hanya 

bisa dipahami dalam suatu kerja negativitas. 


Artinya, demokrasi dengan seluruh keterbelakangan di 

dalamnya memang senantdasa berkemungkinan bergerak 

ke arah kedurjanaan. Oleh karenanya, upaya untuk "meme- 

lihara nostalgia" akan "yang politis" hanya bisa dilakukan 

dalam kerangka "kerinduan" akan yang politis dalam ha- 




57 




Demokrasi dan Kekecewaan 


rapan bahwa suatu ketika "yang politis" akan kembali mun- 

cul dalam kejadian. Di titik ini, hanya melalui syarat kese- 

tiaan dalam "yang politis" saja kita dapat melampaui 

kedurjanaan dan keterbelakangan dalam demokrasi masa 

kini.*** 


Sidamanik, 21 Desember 2008 




58 




Berharap pada 

"Partai-partai Gerakan"? 


Ihsan Ali-Fauzi 




Dalam esamya untuk Nurcholish Madjid Memorial Lecture, 

"Demokrasi 'dan Disilusi", Goenawan Mohamad (GM) 

menunjukkan berbagai alasan mengapa demokrasi bisa, 

sudah, dan rasanya akan terus, mengecewakan banyak 

orang, termasukmerekayang sepenuhnya mendukung sistem 

politik itu. Ini karena, kata GM, "demokrasi acapkali meng- 

hentikan proses politik dengan mendasarkan diri pada 

sebuah suara terbanyak atau sebuah konsensus. Dengan itu 

apayang dianggap menyimpang, apayang obscene, dising- 

kirkan. Maka ia tampak sebagai sesuatu yang tak hendak 

membuka diri pada alternatif-altematif baru." Di ujung 

esainya, GM menegaskan perlunya kita untuk terus mengon- 

trol le politique, istilah Ranciere yang dipinjamnya untuk 

menyebut "proses mediasi antara kekuatan yang menjaga 

demokrasi sebagai format dan politik sebagai perjuangan 

ke arah kesetaraan". 


Tulisan ini ingin mengajak GM dan para pembaca untuk 

mulai membincangkan kemungkinan tumbuhnya "partai- 




59 




Demokrasi dan Kekecewaan 


partai gerakan" di tanah air, untuk mendukung sisi "per- 

juangan" dalam kalimat GM terakhir di atas, tapi dalam 

jalur yang formal atau semi -formal. Seperti banyak sumber 

renungan GM, tulisan ini juga berangkat dari pengalaman 

Eropa— hanya saja kali ini lebih empiris dibanding umum- 

nya sumber-sumber GM. Saya pertama-tama diinspi- 

rasikan Herbert Kitschelt, ilmuwan politik kelahiran Eropa 

tapi belakangan banyak bekerja di Amerika, yang hampir 

20 tahun lalu menulis The Logics of Party Formation: 

Ecological Politics in Belgium and West Germany. 1 Dalam 

buku itu, Kitschelt mencoba menunjukkan bahwa perilaku 

partai-partai politik tidak harus sepenuhnya ditentukan 

oleh imperatif "kurva lonceng", seperti yang dikatakan GM 

dan umum disepakati para sarjana. Sesudah membaca 

tulisan ini, saya berharap bahwa kita bisa mulai bicara 

mengenai sebuah "partai perjuangan" di Indonesia di luar 

PDI-P! 


Suara Pemilih bukan Segalanya 


Dalam risetnya, Kitschelt pertama-tama tertarik dengan 

kenyataan tumbuh dan bertahannya apa yang ia sebut se- 

bagai "partai-partai hbertarian-kiri" di Eropa sejak 1960- 

an. Partai-partai itu pertama-tama muncul di Skandinavia, 

Prancis, dan Belanda di bawah label "Kiri Bam", dan ber- 




'Herbert Kitschelt, The Logics of Party Formation: Ecological 

Politics in Belgium and West Germany (Ithaca: Cornell University 

Press, 1989). Catatan mengenai halaman yang saya buat di dalam 

teks merujuk ke buku ini. Untuk versi yang lain, yang lebih ringkas 

tapi dengan kasus empiris lebih banyak, lihat juga Herbert Kitschelt, 

"Left-Libertarian Parties: Explaining Innovation in Comparative 

Party Systems," World Politics, Vol. 40, No. 2 (January 1988), hal. 

194-234. 




60 




Berharap pada 




saing dengan partai-partai komunis atau sosial demokrat. 

Lebih belakangan, di Austria, Belgia, dan Jerman (Barat), 

partai-partai "ekologi" atau "hijau" berhasil mengumpul- 

kan suara cukup banyak dalam pemilu, yang makin mengu- 

kuhkan signifikansi partai-partai libertarian-kiri di atas. 


Ini gejala baru, karena sebelum tahun 1960-an, sistem- 

sistem kepartaian dalam demokrasi Eropa distrukturkan 

menurut pola-pola social cleavages yang sudah lama ada 

dan stabil, seperti kelas, agama, etnisitas, atau hubungan 

pusat-daerah. Partai-partai lama di Eropa, seperti Partai 

Buruh atau Partai Konservatif, atau Partai Demokrasi 

Sosial, tumbuh di atas cleavages ini. Beda dari partai-partai 

ini, partai-partai libertarian-kiri di atas menawarkan pro- 

gram dan memperoleh dukungan dari konstituen yang 

serba melintasi (cut across) kantong-kantong sosial di atas. 


Pertanyaan Kitschelt: jika hukum besi "kurva lonceng" 

begitu berperannya, bagaimana partai-partai libertarian- 

kiri itu bisa bertahan dan tetap memperoleh dukungan? 

Dengan memfokuskan perhatian pada orientasi dan per- 

ubahan nilai di kalangan generasi baru, yang lebih terdidik, 

para warganegara di era pasca-Perang di Eropa, Kitschelt 

menemukan bahwa partai-partai ini tumbuh dari gerakan- 

gerakan sosial yang peduli pada isu-isu gaya-hidup seperti 

lingkungan, rasisme, perdamaian dan gender; ringkasnya, 

kepedulian terhadap apa yang oleh Kitschelt disebut 

"politik ruang" dan "politik identitas". 


Karena bentuk pengelolaan partai dan isu-isu substantif 

yang mereka perjuangkan, Kitschelt menyebut partai- 

partai itu sebagai 'libertarian-kiri". Partai-partai itu "Mri" 

karena, "sejalan dengan tradisi sosialis, mereka mene- 

gaskan solidaritas dan kesamarataan dan menolak keuta- 

maan pasar dan efisiensi alokasi sebagai arbiter paling 




61 




Demokrasi dan Kekecewaan 




pokok untuk menilai perkembangan dan keadilan sosial" 

(hal 2) . Di sini ada dukungan kepada tradisi sosialisme yang 

tidak atau kurang percaya pada pasar, investasi swasta, dan 

ada komitmen kepada redistribusi untuk tujuan-tujuan 

egalitarian. Namun, pada saat yang sama, partai-partai itu 

"libertarian" dalam "penolakan mereka atas visi sosialis 

mengenai perencanaan terpusat dan organisasi partai, dan 

panggilan mereka kepada sebuah masyarakat di mana 

otonomi individual dan partisipasi warga dalam urusan- 

urusan publik memperoleh prioritas" (hal. 2). Untuk alas an 

ini mereka menolak otoritas birokrasi baik yang bersifat 

publik atau swasta untuk mengatur tindakan individual 

atau kolektif. 


Sebagai konsekuensinya, Kitschelt menemukan bahwa 

partai-partai ini mencoba menemukan cara-cara baru di 

dalam memobilisasi warganegara, yang dapat menawarkan 

kepada warganegara ini sebuah bentuk masyarakat yang 

lebih terdesentralisasi dan partisipatif. Pada saat yang 

sama, partai-partai itu juga mencoba memperjuangkan 

sebuah masyarakat yang tidak terlalu menekankan per- 

tumbuhan ekonomi dan persaingan. Ia juga melihat bahwa, 

karena para anggota partai ini umumnya pernah terhbat 

di dalam gerakan-gerakan protes dan di dalam aliansi- 

aliansi longgar yang terbentuk di antara organisasi- 

organisasi egalitarian sebelumnya, di mana hanya ada 

sedikit hierarki di dalam proses pembuatan-kebijakanyang 

formal, maka para pemimpin partai ini juga membentuk 

dan menjalankan partai mereka dengan cara yang sama. 


Bagi Kitschelt, pemahaman yang memadai atas partai- 

partai libertarian-kiri ini, yang membawa benruk-bentuk 

dan cara-cara baru di dalam pengorganisasian dan strategi 

partai ke dalam demokrasi Barat, memerlukan cara analisis 




62 




Berharap pada 




baru juga. Muncul dan bertahannya partai-partai itu tidak 

bisa dijelaskan menurut pandangan tentang organisasi 

partai yang "fungsionalis konvensional", yang selalu 

menafsirkan peran partai dalam kerangka imperatif- 

imperatif sistemik, entah itu stabilitas, adaptasi, keseim- 

bangan, atau kemampuan politik. Alih-alih mengikuti 

penjelasan konvensional ini, Kitschelt mencoba menje- 

laskannya dalam konteks perubahan politik yang terjadi 

di Eropa, dalam bentuk realiansi elektoral dan dealiansi 

organisasional di antara warganegara dan partai. 


Kitschelt lalu menawarkan dua logika pembentukan 

partai: yang konvensional, yakni "logika kompetisi di 

antara partai-partai", dan yang inovatif, yang disebutnya 

"logika representasi konstituensi" Bertentangan dengan 

logika pertama yang sudah lama dianut oleh partai-partai 

massa konvensional, kata Kitschelt, partai-partai liber- 

tarian-kiri dengan inovatif memanfaatkan "krisis represen- 

tasi di banyak demokrasi modern" (hal. 5), dengan 

mengikuti logika pembentukan partai yang kedua. 

Bertentangan dengan cara konvensional di dalam 

menjelaskan partai-partai politik, Kitschelt berpandangan 

bahwa partai-partai ini tidak sepenuhnya terhambat oleh 

persaingan elektoral seperti yang diduga banyak sarjana 

konvensional. Bagi partai-partai ini, suara pemilih itu 

penting, tapi yang juga tak kalah pentingnya adalah ga- 

gasan dan para aktivis yang menopang gagasan-gagasan 

ini— dan partai-partai baru dapat melahirkan inovasi politik 

di dalam demokrasi kontemporer. 


Tapi mengapa terjadi krisis representasi di demokrasi- 

demokrasi Barat? Menurut Kitschelt, baik Belgia maupun 

Jerman (Barat) memiliki sistem representasi kelompok- 

kepentingan dua lapis. Di lapisan pertama ada kelompok 




63 




Demokrasi dan Kekecewaan 




bisnis, buruh, profesi, dan gereja, yang "memperoleh akses 

khusus kepada wilayah pembuatan-kebijakan dan yang erat 

terkait dengan pihak eksekutif dan partai-partai mapan 

melalui komunikasi yang berlangsung reguler, posisi 

kepemimpinan yang saling bertaut, dan kaitan-kaitan 

organisasional". Sementara itu, lapisan kedua terdiri dari 

berbagai kelompok konsumen, perkumpulan perempuan, 

para aktivis lingkungan, dan kelompok kepentingan publik 

lainnya. Berbeda dari lapis yang pertama, kelompok 

terakhir ini hanya memperoleh sediMt kredibilitas di mata 

para politisi partai dan pejabat publik, karena "tingkat 

pengorganisasian mereka secara formal relatif rendah dan 

mereka tidak memiliki atau kekurangan elite yang dapat 

membuat komitmen-komitmen yang mengikat atas nama 

konstituen mereka" (hal 28). Lebih jauh lagi, mereka juga 

kurang diuntungkan oleh fakta bahwa mereka meng- 

crosscut kantong-kantong pemilih yang sudah direpre- 

sentasikan oleb partai-partai besar 


Dalam pandangan Kitschelt, partai-partai libertarian-kiri 

memperoleh suara terutama dari kelompok-kepentingan di 

lapisan kedua di atas, yang melihat bahwa partai-partai 

konvensional bukanlah saluran yang tepat untuk mem- 

perjuangkan kepentingan mereka. Partai-partai itu bisa 

bertahan, tambah Kitschelt, karena mereka menerapkan 

teknik dan menyuarakan isu-isu yang menjadi kepedulian 

utama sekelompok kecil orang (tapi dengan jumlah yang 

terus meningkat), yang tidak akan mampu, atau mau, 

diadopsi oleh partai-partai besar. Di sini partai-partai 

massa yang mapan menjadi korban keberhasilan mereka 

sendiri, ketika mereka membuka diri seluas-luasnya untuk 

memaksimalkan perolehan suara. Dalam proses itu, pesan- 

pesan kampanye pohtdk dan kebijakan mereka cenderung 




64 




Berharappada 




menjadi begitu melebar (menjadi partai catch-alty, ber- 

orientasi status quo dan tidak mampu merespons tuntutan- 

tuntutan bam. 


Implikasi: "Partai Gerakan" di Indonesia? 


Pelajaran apa yang bisa diambil dari temuan Kitschelt 

di atas bagi penguatan demokrasi di Indonesia? Tenitama 

dalam arah yang memenangkan sisi "perjuangan" GM 

dalam persaingannya dengan hukum besi "kurva lonceng" 

demokrasi? 


Sudah klise, dan usang, mencerminkan kemalasan 

berpikir, untuk hanya mengatakan bahwa Indonesia beda 

dari Jerman (Barat) atau negara-negara Skandinavia. Ten- 

tu saja! Yang lebih penting adalah menelusuri sejauh mana 

dan bagaimana perbedaan itu, dan bagaimana memper- 

sempit jaraknya. Bukankah sejarah yang terbaik untuk kita 

pelajari, dalam rangka memperkokoh dan menambah gizi 

demokrasi Mta, adalah sejarah pertumbuhan demokrasi 

Eropa? 


Dari segi ini saya ingin mencatat beberapa hal yang 

berguna dari temuan Kitschelt. Di penutup akan saya tun- 

jukkan bahwa kita tak jauh-jauh amat dari Eropa. 


Pertama, bermanfaatuntukmenegaskan pembedaanyang 

dibuat Kitschelt antara "kelompok kepentingan'' pada umum- 

nya, yang lebih peduli pada kepentingan ekonomi, dengan 

apa yang ia sebut sebagai "kelompok kepentingan publik". 

Pembedaan ini membantu kita di dalam memisahkan secara 

lebih tegas antara apa yang umum disebut "kelompok-ke- 

lompok kepentingan" dan "organisasi-organisasi gerakan 

sosial". Dengan yang terakhir, yang biasanya dimaksudkan 

adalah organisasi atau aliansi longgar yang mengartikulasikan 

dan memperjuangkan kepentingan warganegara dengan 




65 




Demokrasi dan Kekecewaan 




orientasi nilai dan perilaku yang oleh Kitschelt disebut "pasca- 

materialis". Khususnya oleh para sarjana Eropa, organisasi 

atau aliansi longgar inilah yang biasa disebut "gerakan- 

gerakan sosial bam". Nah, dalam sejarah Eropa, kedua jenis 

kelompok kepentingan itu ikut serta dengan partai-partai 

politik di dalam mengartikulasikan dan memperjuangan ke- 

pentingan warganegara. Namun, kedua kelompok 

kepentingan itu pada umumnya berbeda dari partai-partai 

politik karena yang terakhir ini ingin menduduM posisi-posisi 

pemerintahan lewat pemilu. Hanya dalam situasi-situasi 

khusus saja, seperti akan saya diskusikan di bawah, kelompok 

kepentingan publik mengubah diri mereka menjadi partai 

politik, seperti Partai Hijau di Eropa. 


Kedua, dalam upayanya untuk menjelaskan hubungan 

antara partai politik, kelompok kepentingan, dan gerakan- 

gerakan sosial, Kitschelt menawarkan perspektif yang lebih 

komplementer, yang menekankan dinamika hubungan di 

antara ketiganya. Ia cenderung mendukung pandangan 

tentang representasi yang lebih reformis dan tidak anta- 

gonistis: partai poMtik itu penting dalam demokrasi, tapi 

yang tak kalah pentingnya adalah kelompok-kelompok 

kepentingan yang terorganisasi, yang bertugas mengawasi 

agar partai-partai politik setia kepada janji-janjinya selama 

kampanye, dan menawarkan model-model alternatif 

partisipasi warganegara. 


Dalam skema Kitschelt, yang juga memainkan peran 

penting dalam demokrasi di Eropa adalah kelompok-ke- 

lompok kepentingan publik atau gerakan-gerakan sosial. 

Di sini, partai politik dan gerakan sosial memiliki peran 

berbeda, tapi bisa saling melengkapi. Dalam bukunya 

Kitschelt menggambarkan bahwa, misalnya, kadang 

warganegara di negara-negara tertentu di Eropa ingin agar 




66 




Berharap pada 




kepentingan mereka bisa dibela lewat sistem demokrasi 

perwakilan atau langsung. Tapi di waktu lain mereka dibuat 

frustasi oleh kedua sistem ini dan mulai tertarik dengan 

model partisipasi lewat gerakan-gerakan sosial. Atau, 

ketika kebutuhan material mereka sudah terpenuhi oleh 

sistem yang berpusat pada pasar dan individualis, tuntutan 

mereka beralih ke sumber-sumber kepedulian yang lain, 

seperti kepedulian akan lingkungan atau kesetaraan 

gender, dan mereka menjadi bersemangat untuk ber- 

partisipasi di dalam proses pembuatan-kebijakan yang bisa 

berpengaruh di tingkat global. Tapi terlibat dalam organ- 

isasi-organisasi gerakan sosial juga bisa mendatangkan 

kekecewaan karena berbagai alasan: konsensus bersama 

sulit dicapai, banyak waktu luang hams dikorbankan, hasil 

akhir yang terbatas, dan lainnya. 


Ketiga, oleh Kitschelt, partai-partai libertarian-kiri di- 

sebutnya juga dengan "partai non-partai" atau "partai- 

partai gerakan". Demikian, karena pada momen tertentu 

gerakan-gerakan sosial harus mentransformasikan diri 

mereka menjadi partai-partai politik. Di Jerman (Barat) 

dan Belgia, partai-partai libertarian-kiri baru muncul 

karena tuntutan yang diajukan gerakan-gerakan protes 

"disepelekan oleh partai-partai sosialis, liberal dan 

demokrasi Kristen" (hal. 2). Karena corak spesifiktumbuh 

dan bertahannya partai-partai itu, kadang mereka juga 

memiliki "watak" yang khusus. Salah satunya adalah: ke- 

longgaran organisasi mereka kadang menjadikan mereka, 

seperti ditunjukkan Gunther dan Diamond, "mitra koalisi 

yang tidak pragmatis dan tidak bisa diandalkan". 2 




2 Richard Gunther and Larry Diamond, "Species of Political 

Parties: A New Typology," Party Politics 9 (2003), Hal. 189. 




67 




Demokrasi dan Kekecewaan 




Keempat, masih terkait dengan "watak" partai gerakan 

di Eropa, kesimpulan Kitschelt mengenai apa yang dise- 

butnya "efek balik" yang sering terjadi ketika gerakan- 

gerakan sosial baru berubah menjadi partai partai-politik. 

Salah satunya adalah kesulitan yang dihadapi partai-partai 

ini di dalam menjaga komitmen mereka pada demokrasi 

partisipatif. Karena partai-partai polirik harus menghadapi 

masalah kelangkaan sumber, misabiya, Kitschelt menyebut 

sering munculnyanya klik-klik para "pengusaba politik" 

yang salingbersaing memperebutkan posisi penting dalam 

partai, yang mengecewakan para anggota. Kitschelt juga 

menyajikan banyak data yang menunjukkan bahwa kelong- 

garan organisasi kadang memunculkan masalah kekom- 

pakan, terbatasnya partisipasi, keabsahan keputusan 

kolektif yang diambil, dan pertanggungjawaban. 


Butir-butir yang saya pertegas dari Kitschelt di atas bisa 

kita temukan jejaknya di Indonesia. Alhasil, kita memang 

berbeda dari Jerman (Barat) atau Swedia, tapi tidak ber- 

beda amat. Bukankah kita pernah memiliki PRD, dan 

bukankah PKS adalah "partai gerakan" yang termakan oleh 

suksesnya sendiri dan kini ingin menjadi partai massa biasa 

dengan memuji-muji Pak Harto? Lalu, bukankah Walhi 

atau AKKBB sejenis kelompok kepentingan pubhk? 


Daripada terus menggerutu kepada Megawati, mengapa 

kita tidak mulai membincangkan kemungkinan mendiri- 

kan "partai perjuangan" baru, yang bukan PDI-P? Dan kita 

terima manisnya— juga pahitnya sekalian?*** 




68 




BAGIAN III: 

TANGGAPAN ATAS 

TANGGAPAN 




Demokrasi, 

Politik dan Kairos 


Goenawan Mohamad 




I. 


"The ceremony of innocence is drowned, "kata Yeats dalam 

salah satu sajaknya. 


Beberapa kejadian penting selama dua dasawarsa ter- 

akhir membuat kita memang tak bisa bersikap polos lagi— 

"polos" dalam arti naive dan merasa tanpa dosa, dan sebab 

itu 100% yakin. Kita mencita-citakan dan melahirkan revo- 

lusi atau reformasi, atau menerapkan kebijakan ekonomi 

yang curiga (atau sebaliknya percaya) kepada pasar bebas, 

atau lebih terbatas lagi, menyelenggarakan referendum 

atau pemilihan umum. Tapi kita tak bisa lagi mengang- 

gapnya sebagai ritus yang berasumsi bahwa harapan 

manusia bisa aman. 


Kita tak lagi punya jaminan yang mantap untuk arah 

sejarah, baik nun di dasar terdalam kehidupan maupun di 

langit atas. Zaman "narasi besar" telah berakhir. Tak ada 

yang ilmiah tentang tujuan hidup manusia dan tak ada lagi 

yang sakral dalam cerita tentang nasib. Keyakinan-keya- 




Demokrasi dan Kekecewaan 




kinan pokok telah terkatung-katung: zaman ini rentan 

terhadap skeptisisme yang melumpuhkan. Antitesisnya 

datang: dogmatisme yang keras, bahkan galak. Kini, untuk 

sekali lagi mengutip Yeats, kali ini pada dua barisnya yang 

terkenal, "The best lack all conviction, while the worst/ 

Are full of passionate intensity." 


Dalara keadaan itu, masa depan terombang-ambing 

oleh gelombang masa kini. Di tahun 1989 Tembok Berlin 

diruntuhkan penduduk. Mereka membelot, menampik 

"kediktatoran proletariat" Republik Demokrasi Jerman. 

Perang Dingin pun berakhir. Tapi hanya sekitar 10 tahun 

kemudian perdamaian ternyata luput, setelah selama abad 

ke-20 jadi cita-cita besar. Bukan saja pendudukan Israel 

di wilayah Palestina terus menimbulkan ketegangan lokal, 

tapi ia pada akhirnya bertaut dengan perkara lain. Ia 

berkembang berjela-jela jadi "teror" dan "perang melawan 

teror" yang mengancam pelbagai tempat di dunia. 


Tahun 1989 juga menandai gagalnya sebuah proyek 

besar penciptaan keadilan: "sosialisme", "komunisme". 

Tapi sistem ekonomi yang menang, yang beriman pada 

pasar, kemudian juga terbentur. Dengan ideologi ala 

Reagan dan Thatcher, dibenarkan untuk mengabaikan 

redistribusi sumber dan hasil-hasil pertumbuhan ekonomi; 

yang dianggap penting adalah dinamika kekayaan yang 

bertambah sebagai hasil persaingan bebas. Dalam periode 

ini, kapitalisme yang melembagakan jor-joran menemukan 

ruangnya yang utuh penuh. Sebuah era neohberal hadir. 

Tapi seperti dikatakan JFukuyama— seseorang yang sama 

sekali bukan sosialis— "Revolusi Reagan sesat jalan". 

"Revolusi" itu "jadi sebuah ideologi yang tak dapat digugat, 

bukan sebuah jawaban pragmatis terhadap ekses-ekses 

Negara kesejahteraan." 




72 




Demokrasi 




Ideologi itu, yang oleh George Soros disebut sebagai 

"fundamentalisme pasar", kini guncang oleh krisis ekonomi 

dunia yang dimulai para penguasa keuangan dari Wall 

Street. Setelah Bush jatuh dan Obama dipilih, dunia, ter- 

utama Amerika Serikat dan Eropa, tampak hendak kembali 

ke "kornpromi Keynesian". 


Bagaimana dengan "akhir sejarah"? Kita tak tahu lagi. 


Contoh yang dekat. Di tahun 1998, proses kembalinya 

demokrasi di Indonesia dimulai dengan semangat yang 

gemuruh dan hasil-hasil yang mengesankan. Sebuah kondisi 

yang mungkin bisa disebut tdpikal di "akhir sejarah" (dalam 

pengertian Fukuyama, mengikuti Hegel) hadir: sebuah 

masyarakat Indonesia yang mempunyai ciri-ciri "borjuis". 


Tapi mungkin kita perlu baca kembali karya Fred Hirsch, 

The Social Limits to Growth. Dengan tajam Hirsch melihat, 

masyarakat seperti itu punya tiga ciri. Pertama, ia me- 

ngukuhkah ekonomi yang bergerak karena persaingan, 

bertumpu pada kekuatan swasta yang memegang teguh hak 

milik. Kedua, ada persetujuan terhadap janji bahwa eko- 

nomi yang bergerak itu akan tumbuh dan memperbaiki 

jenjang perbedaan sosial. Ketiga, ia mendukung sebuah 

sistem pohtik yang berniat meluaskan partisipasi rakyat 

dan memperkukuh suara dari bawah— dengan demokrasi 

perwakilan. 


Tiga ciri, tiga komitmen. Tapi bagaimana komitmen- 

komitmen itu saling cpcok dan mendukung? 


"Any two of these characteristics might be compatible," 

tulis Hirsch, "the three together were not." Dalam keadaan 

distribusi pendapatan yang timpang, sebuah demokrasi 

perwakilan akan dapatberfungsi dengan baik, tapi, karena 

komitmen untuk keadilan sosial, sistem itu akan meng- 

hambat akumulasi modal dalam pesaingan bebas. Atau, 




73 




Demokrasi dan Kekecewaan 




gairah kapitalisme dan akumulasi modal bisa berjalan rapi, 

efektif, namun jelas perbedaan yang tajam antara kaya dan 

miskin akan menyebabkan demokrasi perwakilan tak dapat 

dibiarkan berfungsi. Dalam keadaan lain, demokrasi 

perwakilan akan membiarkan gerak ekonomi kapitalis 

berlangsung, apabila dari sini— dengan pertumbuhan itu— 

ada harapan bahwa terbuka jalan ke arah pemerataan keka- 

yaan. Dan itulah memangyang umumnya diharapkan, juga 

di Indonesia kini. 


Tapi Hirsch memperingatkan, pertumbuhan ekonomi 

yang menimbulkan keberlimpahan itu mengandung janji- 

janji yang palsu. "The flaw in the affluent society lies not 

in the false values of affluence but in its false promise," 

tulisnya. 


Persoalannya bukanlah karena tak adanya usaha mengisi 

arti "keadilan sosial". Persoalannya terletak di dasar 

dinamika pertumbuhan ekonomi itu sendiri. 


Sumbangan yang orisinal dari Hirsch adalah konsepnya 

tentang "positional goods." Dalam konteks lain, ia dapat 

disebut sebagai "kekayaan oligarkis'', bukan "kekayaan 

demokratis". 


Harta benda posisional itu adalah barang-barang— dalam 

bentuk benda dan jasa— yang dimiliki sebuah minoritas. 

Harta benda itu hilang kelebihannya ketika ia dimiliki oleh 

mayoritas. Contoh yang baik adalah mobil, rumah per- 

istirahatan di bukit yang luang, dan gelar akademis. Makin 

banyak orang yang memilikinya, makin hilang apa yang 

membuatnya dulu diinginkan: mobil kehilangan fungsi 

kenyamanan dan kecepatannya (parkir sulit, jalan macet), 

dan rumah tetirah kehilangan ruang lengangnya yang pan- 

tas untuk istirahat. Ketika hanya segelintir orang punya 

gelar akademis, sangat mudah untuk memperoleh kerja 




74 




Demokrasi 




yang menyenangkan; tapi ketika semua orang lulus uni- 

versitas, sebaliknya yang terjadi. 


Hirsch bicara tentang "kongesti". Ia mengibaratkan 

keikut-sertaaan orang ramai dalam pertumbuhan ekonomi 

sebagai orang antri bersijingkat untuk melihat apa yang di 

depan: ketika semua orang demikian, tak seorang pun— 

kecuali segelintir yang paling ujung— bisa menikmati yang 

dicari. 


Akhirnya, pertumbuhan ekonomi dalam semangat 

demokratisasi dalam politik dan dalam kekayaan akan 

menemukan batas-batas sosialnya. Makin berkembang 

sebuah masyarakat dari taraf pemenuhan kebutuhan dasar, 

makin banyak harta-benda posisional yang djumpai dan 

dibutuhkan. 


Sebagaimana yang berlaku dalam ekonomi pasar, 

sebuah fantasi telah menopang hubungan manusia dengan 

barang-barang: karena semua hal bisa diukur dengan nilai- 

tukar, bukan nilai-guna, barang-barang itu pun seakan- 

akan dengan serta merta berada dalam parameter yang 

sama. Fantasi itulah yang membentuk "realitas" di sekitar 

kita. Uang berperan besar dalam proses ini: dengan uang, 

"kekayaan oligarkis" seakan-akan dapat diubah jadi harta 

benda yang terbuka buat dimiliki siapa saja. Kompetisi pun 

marak untuk meraihnya. 


Tapi apa daya tangan tak sampai: persaingan ramai-ramai 

itu menyebabkan kongesti. Di atas saya sebut analoginya 

dengan orang ramai-ramai bersijingkat: dipergunakan oleh 

orang banyak, benda danjasa posisional pun hilang makna- 

nya— sementara pada saat yang sama tetap saja ada benda 

dan jasa yang takterjangkau semua orang. Kecuali apabila 

benda danjasa itu dijadikan milik bersama, sebagaimana 

sebuah karya Van Gogh dijadikan bagian dari museum seni 




75 




Demokrasi dan Kekecewaan 




rupa yang terbuka buat semua orang tanpa menuntut 

bayaran. 


Museum seni rupa yang seperti itu, katakanlah Tate 

Modern di London, dalam arti tertentu memecahkan prob- 

lem kongesti. Tapi fasilitas bersama itu hanya bisa berdiri 

jika sebuah masyarakat tak didominasi oleh apa yang 

disebut Hirsch "the tyranny of small decisions": keputusan 

individual ^ing tak bertautan satu sama lain dalam me- 

ngadakan transaksi, di kancah ekonomi pasar. 


Hirsch mengakui, pilihan yang ditawarkan pasar 

memang layak dianggap mampu membebaskan individu 

dalam mengambil keputusan. "Sayangnya," kata Hirsch 

menambahkan, "pembebasan individual tak membuat 

kesempatan-kesempatan itu akhirnya membebaskan semua 

individu bersama-sama." 


Dorongan ke arah privatisasi yang mau membuat per- 

edaranbenda dan jasa efisien— dan memang terbukti demi- 

kian— punya dampak akumulatdf: gagasan itu jadi menarik 

dan jadi tauladan. Tapi yang tak dilihat adalah sebuah 

paradoks: perluasan hak mihk privat pada gilirannya akan 

menyebabkan bertambahnya kebutuhan untuk perlin- 

dungan hukum dan aparat penegaknya. 


Hirsch menghubungkan ini dengan berubahnya batas 

kemerdekaan. Saya lebih ingin menunjukkan bahwa 

perlunya perlindungan hukum dan aparat penegaknya itu 

justru memperhhatkan bagaimana perlunya privatisasi 

dibatasi. Kita selamanya akan perlu barang dan jasa masya- 

rakat yang, dalam kata-kata Marx, "dikomunikasikan, tapi 

tak pernah dipertukarkan; diberikan, tapi tak pernah dijual; 

didapat, tapi tak pernah dibeli." 


Tapi kini hal-hal itulah yang genting. Hampir segala hal 

dipertukarkan dan dijual, bahkan jasa keamanan yang 




76 




Demokrasi 




datang dari polisi dan militer. Tampaklah bahwa kapital 

dan nilai-nilai yang dipromosikan kapitalisrae— yang mera- 

yakan privatisasi dan meneruskan "the tyranny of small 

decisions"— pelan-pelan akan merusak seluruh sistem bila 

nilai-nilai itu mendominasi seluruh kehidupan sosial. Saya 

pernah mengutip Albert Hirschman: ketika kapitalisme 

bisa meyakinkan tiap orang bahwa ia dapat mengabaikan 

moralitas dan semangat bermasyarakat, public spirit, dan 

hanya mengandalkan gairah mengejar kepentingan diri, 

"sistem itu akan menggerogoti vitahtasnya sendiri." 


Pada dasarnya, "Kompromi Keynesian"— yangtelah jadi 

cara tennashur untuk menyelamatkan kapitalisme dari 

(hrinya sendiri— adalah pengakuan bahwa tak semua bisa 

diserahkan kepada pasar dan bahwa public spirit sela- 

manya perlu. Memasuki zaman pasca-neoliberal kini, 

ketika "kompromi" itu diangkat untuk dijadikan kebijakan 

lagi, timbul lagj keyakinan bahwa perilaku pasar tak bisa 

dijadikan tauladan bagi seluruh perilaku sosial. Ada peng- 

akuan bahwa kekuatan yang bukan-pasar (Negara dan para 

teknokratnya) hams— dan bisa— memiliki ketahanan untuk 

mengembangkan nilai yang berbeda, khususnya nilai yang 

tak menghargai maksimalisasi kepentingan diri. 


Tapi ada kritik Hirsch ke dasar pandangan Keynes, dan 

saya kira ini relevan untuk dikemukakan. Asumsi yang ter- 

sirat dari "kompromi Keynesian"— bahwa para pengelola sistem 

memiliki nilai yang berbeda— memungkinkan Keynes untuk 

mengambil jalan pintas: ia tak harus memecahkan problem "of 

superimposing collective objectives on individualistic calculus. " 


Jalan pintas Keynes untuk mengendalikan pasar adalah 

pengukuhan kekuatan managerial dan teknokratik di 

institusi yang berkuasa. Dengan demikian, dunia di luar 

itu dianggap bisa diabaikan, setidaknya buat sementara. 




77 




Demokrasi dan Kekecewaan 




Problem yang timbul, terutama di negeri seperti Indonesia, 

adalah bahwa institusi yang berkuasa tak dengan sendiri- 

nya jauh dari "tirani keputusan-keputusan kecil". Korupsi 

contohnya. Korupsi adalah privatisasi kekuasaan publik. 


Tapi ada problem lain yang lebih mendasar: bagaimana 

menentukan terlebih dulu apa itu "sararan bersama", col- 

lective objectives? "Kompromi Keynesian" tak menjawab 

pertanyaan itu. 


Pertama-tama karena Keynes, seraya memfokuskan 

analisisnya pada naiknya pendapatan agregat dalam masya- 

rakat, kurang mengamati perbedaan antara si kaya dan si 

miskin dalam proses kenaikan itu. Kritik ini misalnya 

dikemukakan Amartya Sen. Kedua, tampaknya Keynes tak 

cukup punya perhatian kepada hal-hal yang bisa melu- 

nakkan dampak ketimpangan sosial itu. Misalnya pela- 

yanan sosial— sesuatu yang juga penting untuk mengatasi 

"tirani keputusan-keputusan kecil". Tapi tentang pelayanan 

sosial, kata Sen, bahkan "Otto von Bismarck lebih banyak 

berbicara ketimbang Keynes." 


Dengan tendensi seperti itu, ketika pertentangan kelas 

mengeras, apa yang "kolektiF akan suHt masuk dalam 

percakapan dan wacana. Di sinilah tampak kekurangan 

yang lain, bukan saja pada Keynes, tapi juga pada Hirsch: 

keduanya mengabaikan proses yang membuat "sasaran 

bersama" itu akhirnya dapat diterima jadi bagian dari apa 

yang disebut Castoriadis sebagai Vimaginaire social. 


Sebagai Vimaginaire social, himpunan nilai dan tujuan 

"kolektiF bukanlah sejsuatu yang lahir hanya dari dan 

karena kesepakatan rasional. Predikat "sosial" di sana 

bukanlah terbentuknya konsensus ala Habermas. 


Saya kira itulah yang cacat dalam "kompromi Key- 

nesian": ia mendasarkan diri pada konsensus semacam itu. 




78 




Demokrasi 




Seperti dalam aksi komunikatif Habermas, rasionalitas 

memegang peran sentral dalam managed capitalism. Dan 

seperti pada Habermas, "kompromi" itu mengabaikan 

proses dari mana konsensus itu terbentuk. Permufakatan 

tentang apa tujuan-tujuan kapitalisme seakan-akan lahir 

begitu saja, tak terwujud dari proses konflik, negosiasi dan 

pengambilan keputusan oleh pelbagai subyekifitas yang tak 

seluruhnya rasional, tak seluruhnya setara. 


Artinya, "kompromi Keynesian" mengabaikan dinamika 

politik yang mendahului dan menopangnya. Dalam saat 

yang paling krusial, proses itu adalah la politique, atau 

Politik (dengan "P"), atau dalam kosa kata Robertus Robet, 

"yang politis". 


Kita tahu sebabnya. Keynes, tentu saja, melihat teori dan 

preskripsinya dari sisi managemen perekonomian; laissez- 

faire yang baginya nyaris seperti anarki itu tak bisa 

dilanjutkan lagi. Sebab itu pada Keynes ada bias untuk 

mereduksikan hal-ihwal ke dalam sebuah kerangka. Hidup 

dan sejarah tak pernah dibiarkan berliku dan berjela-jela. 

Hidup dan sejarah, menurut Keynes, terdiri dari proses 

jangka pendek, short runs. 


Kita ingat ucapan Keynes yang terkenal adalah, "in the 

long run we are all dead." Masa depan tak sepenuhnya 

bisa ditebak, sebab di masa kini pun ada yang luput dari 

penglihatan. 


H. 


Yang tersembunyi dan yang tersisihkan mungkin tak akan 

bisa kita rumuskan. Tapi itulah yang hendak saya ingatkan 

dalam gambaran kita tentang demokrasi— dan itulah 

pangkal tolak ceramah saya, "Demokrasi dan Disilusi." 




79 




Demokrasi dan Kekecewaan 




Ceramah itu mendapat kritik dan sambutan dari 

beberapa penulis di buku ini. Saya tak hendak mengulangi 

kesimpulan saya. Di sini saya hanya hendak merespons 

kritik-kritik itu sebagai us aha meneruskan percakapan ini. 


Pertama-tama, kepada Robertus Robet. Antara saya dan 

dia sebenarnya terdapat banyak persesuaian. Sinyale- 

mennya tentang keadaan semenjak gerakan Reformasi tak 

berbeda dengan apa yang saya paparkan (yang juga 

dipaparkan orang-orang lain). Hanya ia menggunakan 

bahasa seorang yang membaca Zizek dan Badiou dengan 

tekun: "reformasi," tulis Robet, "muncul sebagai simbol 

baru yang menggantikannya dengan berbagai nama-nama 

lanjutan seperti pemerintahan reformasi, agenda re- 

formasi, kabinet reformasi." Walhasil, reformasi "mele- 

paskan diri sebagai nama dari 'yang pohtis.'" Katanya lagi: 

"Reformasi memapankan diri sebagai simbol, struktur atau 

nama rezim baru." 


Tapi Robert menganggap saya telah "mengambil risiko 

besar untuk ...mendegradasikan 'yang politis' sebagai 

sejenis kategori transendental yang bisa dilindungi secara 

'moral' oleh komponen-komponen di dalam kepolitikan 

demokratis." Robet melihat dalam ceramah saya itu 

"terbersit semacam pandangan bahwa ^ang politis' bisa 

diobyektifikasi sebagai syarat normatif tertentu bagi 

kepolitikan demokratis." 


Katanya lagi, saya ("GM") "memposisikan atau seti- 

daknya melihat 'yang politis' sebagai bagian dari prosedur 

normatif di dalam demokrasi. Dalam bahasa Lacanian, 

aspirasi GM terhadap 'yang pohtis' secara paradoksal justru 

telah mendorongnya untuk menjatuhkan 'yang pohtis' dari 

'the real' (sang nyata) menjadi 'the simbolic' (sang 

simbolik)." 




80 




Demokrasi 




Saya kira dia salah paham. Jika Robert membaca teks 

"Demokrasi dan Disilusi" dengan lebih seksama, ia akan 

menemukan bahwa justru posisi saya tak seperti yang 

dikatakannya. Izinkanlah saya mengutip teks saya sekali ini: 


... sebuah tata masyarakat, sebuah tubuh politik, adalah 

sebentuk scene yang tak pernah komplit. Senantiasa ada 

yang obscene dalam dirinya, bagian dari Sang Antah, 

yang dicoba diingkari. Tapi yang obscene— yang tak 

tertampung dan tak dapat diwakili oleh tubuh politik 

yang ada— justru menunjukkan bahwa scene itu, atau 

tata masyarakat yang kita saksikan itu, tak terjadi secara 

alamiah... 


Persoalan yang saya temukan pada Robert ialah ketika 

ia mengatakan bahwa "Yang Politis" ada sebagai "realitas 

di dalam level metafisik" dan sebab itu ada "di sana" namun 

"tidak pernah bisa diberi nama dan diprediksi serta 

dipastikan kapan dan di mana." 


Di sini Robert, dalam tafsir saya, menggemakan im- 

bauan Badiou untuk melihat kembah "kejadian" (I'evene- 

ment) dalam politik: sesuatu peristiwa yang mengguncang 

dan menerobos situasi yang ada, yang dilakukan dan 

dihayati para pelakunya sebagai sesuatu yang baru dan 

berarti— sesuatu yang membangkitkan subyektifltas dan 

militansi dan sekaligus mengungkapkan nilai yang dapat 

diterima secara universal. Di Indonesia, contoh "kejadian" 

yang jelas adalah Proklamasi 17 Agustus 1945. 


Tapi kedahsyatan Proklamasi 17 Agustus 1945 tak bisa 

muncul tiap bulan. Ia selamanya berlangsung sebentar. 

Robert, bersama Badiou, akan mengatakan bahwa Politik, 

la politique, hanya dapat disimak sejenak. Dalam kata-kata 




81 




Demokrasi dan Kekecewaan 




Badiou di sebuah wawancara dengan le Monde di per- 

tengahan tahun 1993, sebuah "kejadian" seringkali dengan 

cepat "dihumbalangkan, ditindas, atau dilarutkan oleh 

kembalinya urusan yang rutin." Bahkan kita sering tak 

sepenuhnya tahu apa yang hams kita katakan, atau bagai- 

mana kita mengidentifikasikan "kejadian" politik itu. Zizek 

merumuskannya dengan cara lain: "an Event is necessarily 

missed the first time." 


Tapi tak seluruhnya luput. Dalam Revolusi, dan sete- 

lahnya, ketika kita menemukan sisa getarannya, kita 

melakukan "campur tangan interpretatif. Kita membe- 

rinya bentuk, Gestalt, yang bahkan diberi nama. Dan 

dengan nama itu— dalam arti tertentu seperti panji-panji— 

kita akan berjuang melanjutkannya. Untuk itu diperlukan 

"kesetiaan". "Kesetiaan" itu tampak dalam bentuk kebang- 

kitan kembali sang "kejadian". Seperti kata Zizek, "true 

fidelity is only possibly in the form of resurrection." 


Dari dan bersama dibangkitkannya kembah "kejadian" 

itu (di tahun 1958 Bung Karno mencanangkan elan pohtik 

baru dengan pidato "Penemuan Kembah Revolusi Mta"), 

dengan dinyalakannya kembali api "kesetiaan" itu, lahirlah 

subyek yang militan. 


Artinya subyek itu adalah subyek yang dilahirkan, bukan 

yang melahirkan Revolusi. Aku ada, sebab aku berjuang. Aku 

berjuang, maka aku ada. Dengan demikian Badiou melanjut- 

kan kritik pasca-humanisme atas subyek ala Descartes 

ataupun Kant. Subyeknya bahkan bukanlah subyek yang 

tahu dan yakin tindakannya akan berhasil. "Kejadian," 

tuhsnya, "memaksakan kebetulan" (forcer le hasard) ke 

dalam saat yang sudah matang untuk diintervensi. 


Intervensi itu menunjukkan bahwa "kejadian" melahir- 

kan pelaku yang aktif— dan sebab itu ia berbeda dengan 




82 




Demokrasi 




kaum pasca-strukturalis yang menyatakan "matinya 

subyek". Tapi subyek yang aktif itu lahir di bawah bayang- 

bayang Sang Antah. Itulah sebabnya ada kata "kebetulan". 

Subyek yang militan adalah subyek yang ketika ia 

bertindak, ia sebenarnya berjudi (parier, dalam pengertian 

Pascal) dengan nasib. 


Berjudi, di sini, berarti meloncat ke dalam kegelapan, 

dengan tekad, mesMpun ada kemungkinan ia akan kecewa. 

Dengan kata lain, ada keberanian bertindak dalam an- 

caman kegagalan. Berjudi berarti masuk ke dalam sebuah 

komitmen. Ada yang tak pasti, tapi toh aku bertekad. 

Seperti jalan yang ditempuh Pascal dalam iman, berjudi 

tak akan melahirkan seorang yang skeptis. Seorang skeptis 

meragukan adanya apa yang benar; ia akan memandang 

militansi dengan pandang yang arif yang mencemooh. 

Sebaliknya, berjudi ala Pascal tak akan melahirkan sikap 

dogmatic, yang menganggap nilai-nilai dan cita-cica akan 

menjamin secara sempurna harapan manusia. 


Ada yang heroik dalam militansi itu, dan di tengah- 

tengah kehidupan politik sekarang, saya bisa mengerti 

mengapa Robert berbicara positif tentang "nostalgia". 

Terutama di masa ketika kita menyaksikan oportunisme 

dan ketiadaan-prinsip di mana-mana dan berbareng 

dengan itu mendengar pekik militansi para Islamis: mereka 

yang bukan saja "full of passionate intensity" tapi juga 

penuh kebencian. 


Militansi dalam pandangan Badiou berbeda dari itu. 

Kaum Islamis, disebut juga kaum fundamentalis, menam- 

pik adanya Sang Antah. Tapi bila mereka tak cocok dengan 

semangat demokratik, itu bukanlah karena mereka 

berpegang kepada "kondisi teologis manusia" yang berada 

"di luar batas bahasa manusia," sebagaimana dikatakan 




83 




Demokrasi dan Kekecewaan 




Rocky Gerung. Justru sebaliknya. Kaum fundamentalis 

melihat kondisi teologis itu sebagai sebuah bangunan yang 

selesai dirumuskan dan disediakan oleh tata simbolik, The 

Big Other; pendek kata, sepenuhnya telah dibahasakan. 

Fundamentalisme ditandai oleh keharfiahan. Pendirian 

dan aksinya— dengan kata lain: subyektifitasnya— tak 

berjudi dengan ketak-pastian. 


Meskipun demikian, dalam satu hal seorang militan ala 

Badiou paralel dengan seorang fundamentalis. Keduanya 

tak cocok dengan "operasi demokrasi" yang dikehendaki 

Rocky. Seorang militan ala Badiou tak hendak berurusan 

dengan "rasionalitas demokrasi". Seorang militan lahir 

justru karena ia menjebol "kebenaran politik" yang di- 

utamakan Rocky, yang diuraikannya sebagai "apa yang 

dapat disepakati dalam batas-batas bahasa manusia." Bagi 

Badiou, "kebenaran politik" itu sebenarnya hanya "pe- 

ngetahuan"; kebenaran bagi Badiou per definisi berada di 

luar bahasa yang berlaku. Itu sebabnya kebenaran bagi 

seorang militan justru tak bertaut pada kesepakatan dan 

batas-batas, hal-hal yang obyektif. "Prosedur" kebenaran 

adalah subyektifitas. 


Di situlah posisi radikalnya. Bagi Badiou, "operasi 

demokrasi" sebagaimana dimaui Rocky hanya akan 

meneguhkan status quo. Memang, Rocky mengakui 

keterbatasan demokrasi yang dibicarakannya (dan 

dipujikannya); demokrasi itu "memang hanya mengolah 

kebenaran politik di antara mereka yang berkonsensus." 

Bahkan itu pun konsensus yang "diwakilkan pada hanya 

segelintir orang melalui sistem perwakilan politik." Tapi 

Rocky percaya, meskipun demokrasi bukan ideal "terbaik" 

pengaturan politik, demokrasi tetap yang "termungkin" 

untuk "menjamin kesetaraan hak dan kebebasan war- 




84 




Demokrasi 




ganegara." Saya kutip: "Dengan jaminan itu, terbuka pe- 

luang bagi sirkulasi elit dan perubahan susunan politik. 

Artinya, kendati ada tendensi oligarki dalam demokrasi, 

tetapi hanya pada demokrasilah dimungkinkan terjadinya 

koreksi politik secara sistemik." 


Kepercayaan kepada "koreksi politik secara sistemik" 

bukanlah kepercayaan kepada la politique. Implisit dalam 

kepercayaan kepada koreksi itu adalah optimisme akan 

rasionalitas dan kemajuan. Bagi Badiou, la politique tak 

bertolak dari pandangan tentang sejarah sebagai progresi, 

melainkan sebagai "I 'occurrence periodisee des a priori du 

hasard," peristiwa periodik yang terdiri dari hal-hal yang 

memang kebetulan. 


Itu sebabnya Badiou menampik adanya program 

perjuangan. "Semoga Tuhan menyelamatkan kita dari 

program sosial-politik!," demikian ia mengatakan dalam 

sebuab wawancara tertulis. Di situ ia bukan seorang Leninis 

yang percaya bahwa "tak ada revolusi tanpa teori revolusi." 

Badiou kagum akan "Revolusi Kebudayaan" di Cina di 

tahun 1960-an; tapi ia tak melihatnya sebagai sebuah 

gerakan orang-orang yang berpegang pada "Buku Merah" 

Mao. Revolusi itu baginya sebuah gerakan, sebuah proses, 

di mana "massa" belajar dan mendidik diri mereka sendiri. 


Itulah sebabnya bila pandangan Badiou disebut "Mri", 

ia kiri yang di luar pengertian Rocky Gerung. Sebab 

militansinya tak membutuhkan "kebenaran" yang (untuk 

memakai kata-kata Rocky) "monumental, sekaligus 

momentual." Badiou lebih bicara tentang "kebenaran" 

dalam prosesnya. Ia bedakan "kebenaran" dari "penge- 

tahuan". "Pengetahuan", menurut Badiou, adalah infor- 

masi yang tersusun rapi— bagaikan ensikopledia, bagaikan 

monumen. 




85 




Demokrasi dan Kekecewaan 




Pandangannya tentang "proses-kebenaran" itu bagian 

yang inheren dalam pengertiannya tentang demokrasi. 

Sebagaimana Ranciere, ia tak melihat demokrasi sebagai 

formula atau format. Demokrasi adalah sebuah perjuangan 

emansipasi. Elan demokratik seperti itu meniscayakan 

Badiou, sang militan, membuat jarak secara "brutal" dari 

Negara. Di sini ia menggemakan pendirian Marx ketika 

mengritik Rechtsphilophie Hegel: ketika Negara meng- 

adopsi demokrasi sebagai sesuatu yang benar, yang terjadi 

adalah sesuatu yang tak benar, tak turns (treu). 


Saya khawatir dalam soal demokrasi ini Rocky Gerung 

bisa terdengar seperti suara "sayap kanan"— pandangan 

dari perspektif lapolice. Demokrasi, tulis Rocky, bertumpu 

pada prinsip "keutamaan warganegara". Tersirat dalam 

asas itu: Negara adalah kondisi bagi kemungkinan demok- 

rasi. Sebab Negara-lah yang empunya keputusan, 

kekuasaan, dan kontrol tentang siapa "warga"-nya dan 

siapa yang bukan. Dan ketika Rocky menyebut "status 

ontologi warganegara," ia sepenuhnya mengingkari 

dimensi politik dari penentuan tempat dalam ruang itu: 

seakan-akan "warganegara" bukan sesuatu yang dibentuk 

dari atas. Dengan kata lain, sesuatu yang lahir dari 

identifikasi, bukan subyektifikasi. Sementara itu, para eksil 

dan para imigran yang tak berpaspor pun diabaikan: 

Negara menempatkan mereka di ruang obscene. 


Jika di sini saya meninjau pandangan Rocky Gerung 

dari kacamata Badiou, itu tak berarti saya serta merta 

menyetujui seluruh pemiMran filosof Prancis itu. Saya 

hanya hendak menunjukkan betapa tak mudahnya 

mengambil posisi radikal dan pada saat yang sama me- 

mandang demokrasi sebagaimana Habermas meman- 

dangnya: sebuah ikhtiar meletakkan syarat-syarat normatif 




86 




Demokrasi 




dalam komunikasi, dengan keyakinan yang besar kepada 

"rasionalitas" dan kepada kekuatan integratif bahasa. Posisi 

yang radikal, ala Badiou, memandang lapoKtique atau Politik, 

bukan sebagai "keanekaragaman pendapat", melainkan 

"preskripsi untuk menjebol hubungan dengan apa yang 

ada." 


Tapi— dan inilah yang tidak dikemukakan Robet— pres- 

kripsi Badiou sendiri punya problem yang mendasar. 

Badiou bukannya tanpa ambiguitas, bahkan ambivalensi. 


Di satu pihak, ia menggambarkan Politik sebagai 

"kejadian": sebuah perkecualian dari keadaan atau situasi— 

dan bahkan menjebol situasi itu. Dengan demikian, "ke- 

jadian" seakan-akan sebuah creatio ex nihilo. 


Tapi Badiou sendiri tak selamanya jelas dalam soal ini. 

Ia memang memberi kesan bahwa antara "kejadian" dan 

"situasi" ada batas yang absolut. Tiap "kejadian," katanya, 

"bersifat'suplementer: terlepas secaramutlak dari, dan tak 

berhubungan dengan, pakem situasinya." Tapi ia juga 

mengatakan, "kejadian" selalu "kejadian" dalam suatu 

situasi, selalu merupakan "kejadian" dari situasi ini atau 

itu. Bahkan dalam perkembangan piMrannya kemudian, 

ia— yang menamakan diri "materialis"— memaparkan 

"kejadian" sebagai sebuah percampuran, sebuah hibrida, 

di mana tubuh dan dunia adalah niscaya. 


Ambivalensi Badiou juga kelihatan, ketika ia mengata- 

kan hendak memboyong Politik dari sejarah agar meng- 

usungnya ke dalam "kejadian", "la delivrer de ITiistoirepour 

la rendre a I'evenement." Baginya, sejarah adalah bagian 

dari (meta-) struktur, buat kepentingan yang berkuasa, 

wacana yang menghilangkan yang subyektif dari Politik. 

Dengan pandangan itu, Badiou seperti hendak menegak- 

kan subyek yang tanpa sejarah. Seakan-akan subyek 




87 




Demokrasi dan Kekecewaan 




muncul semata-mata dari keputusan yang diambilnya pada 

satu saat tersendiri yang tak terbandingkan. 


Tapi di lain pihak Badiou menolak disebut "decisionisf. 

Baginya, keputusan tak berangkat sepenuhnya dari dalam 

kepala. Di jantung tiap situasi di mana keputusan itu 

terjadi, selalu ada growong, le vide. Di sanalah multiplisitas 

yangberlipat-lipat, yang simpang-siur, yang "inkonsisten", 

berkecamuk. Di situlah hadir macam-macam anasir yang 

oleh tatanan yang ada tak dimasukkan ke dalam hitungan. 

"KejadianMah yang kemudian menjebol situasi itu, dan 

growong itu pun tampak, dan situasi itu pun ambyar, kehi- 

langan konsistensinya, terjadi destruksi. Tapi tak seluruh 

"kejadian" adalah penolakan atau negasi; yang berlangsung 

lebih berupa "susbtraksi", sebab saat itu, yang tak masuk 

hitungan mendobrak menyeruak— dan subyek lahir. 


Lebih tepat sebenarnya: yang berlangsung adalah 

subyektifikasi. Sebab subyek ini, seperti ditunjukkan dalam 

psikoanalisa Lacan, adalah subyek sebagai kekurangan. Aku 

dibentuk oleh The Big Other, metastruktur yang mengen- 

dalikan bahasa dan kaidah yang memadu-padatkan sebuah 

dunia. Tapi dalam diriku ada hal-hal yang tak mengikuti 

bahasa dan tatanan simbolik lain. Aku terbelah. Aku ber- 

usaha menutup keterbelahan itu, tapi selalu gagal. 


Dari sanalah perjalanan mulai. Akhirnya proses 

pembebasan. Dan itu bisa terjadi. Seperti diingatkan Zizek, 

sumbangan Lacan yang penting bagi psikoanalisa bukanlah 

menunjukkan terbelahnya subyek, tapi menunjukkan 

bahwa pada dasarnya metastruktur juga retak. Meta- 

struktur itu tak bisa membuat semesta kehidupan tunggal 

dan penuh seluruh. 


Apalagi sebenarnya tak ada situasi yang satu, dan 

manifestasi metastruktur itu juga tak satu. Sal ah satu kritik 




88 




Demokrasi 




terhadap Badiou ialah kecenderungannya mencampur- 

adukkan kata I'etat dalam I'etat de la situation (meta- 

struktur yang memadukan multiplisitas yang ada di sebuah 

situasi) dengan YEtat dalam artiNegara (metastruktur yang 

memadukan kehidupan politik ke dalam sebuah kon- 

struksi). Dengan pencampur-adukan itu tak tampak bahwa 

dalam kehidupan manusia ada bermacam ragam dunia, tak 

hanya dunia politik. Keanekaragaman itu tak semuanya 

dapat dirangkum Negara. Ada dunia-dunia lain yang me- 

nyimpan multiplisitas yang tak tepermanai yang sewaktu- 

waktu akan jebol dan metastrktur politik itu. Ada Sang Antah 

yang tak bisa dijangkau, dan pembebasan mungkin. 


Pembebasan itu menunjukkan, kita tak mungkin men- 

jelaskan Politik hanya sebagai yang berangkat dari momen 

yang krusial, saat keputusan diambil untuk menghambur 

ke masa depan yang tak pasti. Memang, Badiou bukan 

seorang "decisionist. "Tapi untuk itu dibutuhkan javraban: 

apa yang dilakukan sebelum pembebasan, sebelum hewan 

yang disebut manusia jadi subyek? 


Para pengagum Badiou umumnya tak melihat, ia kurang 

menjelaskan hubungan Politik dengan waktu. Ia tak cukup 

menguraikan apa yang dilakukan sebuah kolektifitas sela- 

ma masa "pra-kejadian". 


Ada sebuah tawaran pemecahan soal yang menarik: 

waktu "pra-kejadian" adalah sebuah kairos. Pengertian ini 

sayatemukan pada Antonio Calcagno, yang menulis Badiou 

and Derrida: Politics, Events and Their Time (2007). 


Dalam alam pikiran Yunani Kuno, kairos adalah konsep 

yang mewakili "waktu yang tepat atau srategis" untuk 

bertindak. Dalam kata "tepat" dan "strategis" tersirat 

pertimbangan dan perhitungan. Masa pra-Politik, kata 

Calcagno, adalah masa ketika disadari adanya situasi 




89 




Demokrasi dan Kekecewaan 




kewaktuan di dunia, the timely situation of the world. Di 

situlah terletak kairos. Di situlah waktu terbuka bagi sang 

(calon) subyek untuk bertindak pada saat yang strategis. 


Dengan demiMan, sang subyek tak hanya menghayati 

waktu secara subyektif. Ia tak beroperasi dalam sebuah 

vakum. 


Tapi masih ada satu soal: waktu yang tak semata-mata 

hasil penghayatan subyektif adalah waktu yang terbangun 

dalam semacam konsensus. Politik adalah proses 

subyektifikasi kolektif. Tapi bagaimana yang kolektif itu 

bisa sama-sama bergerak, jika program sosial-politik oleh 

Badiou diharamkan? 


Badiou, yang menentang "kapital-parlementarisme", 

yang menyebut dirinya "komunis" (nama yang dipakainya 

untuk membangunkan kembali gairah ke arah keadilan dan 

kebebasan), mengaku: ia sedang berjuang dengan cara 

yang baru, dengan sesuatu yang eksperimental. Ia berjuang 

dalam "Politik tanpa partai". 


Sebab baginya, partai yang ada sekarang bukan partai 

politik. Mereka hanya organisasi etatiques. Dengan 

mereka, yang terjadi adalah depohtisasi. 


Dengan latar yang berbeda, depohtisasi itulah yang juga 

kita saksikan di Indonesia sekarang— walau bukan dalam 

bentuk "Orde Baru". Tak mengherankan jika bersama 

Robert, kita layak merindukan kembalinya Politik. 


Dalam kerinduan itu tak perlu ada melankoli. Robert 

yakin, dan saya kira ia benar, Politik "tidak bisa dibu- 

nuh." Ia tak menyembunyikan harapan bahwa Politik 

"akan kembali muncul dalam kejadian." Ia mengan- 

jurkan "kesetiaan"— dan bagi saya, itu berarti merawat 

dan menumbuhkan subyektifitas yang lebih kental dalam 

kairos. 




90 




Demokrasi 




Tapi saya ragu, bisakah kita berpegang pada Badiou 

dengan sejumlah pertanyaan yang belum terpecahkan. 

Sejauh mana itu kita siap berjudi dan bersiap kecewa de- 

ngan keputusan serta harapan kita sendiri? Akankah kita 

memilih jalan experimental yang tak dipandu oleh pro- 

gram apapun, dan bertindak seperti yang kadang-kadang 

dianjurkan Zizek: memilih "passage a I'act yang sepe- 

nuhnya revolusioner," yang tanpa tatanan sama sekali? 


Kita mempertanyakan itu, sebab kita tak bicara dari 

sebuah suasana perpolitikan yang uzur. Dari Prancis men- 

jelang akhir abad ke-20, Baudrillard menyebut demokrasi 

sebagai "menopause masyarakat Barat." Dari Indonesia di 

awal abad ke-21, kita bisa mengatakan bahwa demokrasi 

adalah teriak yang terdengar dari bayi yang lahir— dan 

dengan segera, setelah itu, sebuah proses trial & error. 

Yang jadi pertanyaan: dalam proses itu, di manakah gerak 

ke arah -pembebasan? 


III. 


Kapitalisme seperti vampir. Bukan hanya dalam hal 

mengisap darah. Dalam perumpamaan yang dipakai Zizek, 

sang vampir telah ditikam berkah-kali tapi belum juga mati. 

Kapitalisme adalah kekuatan yang mempengaruhi hidup 

Mta tapi tak bisa kita tangkap; Zizek bahkan menyebutnya 

sebagai sesuatuyang tak bisa dipatok, tak bisa didefhisikan 

dengan bahasa yang ada. 


Kini kita tengah menyaksikannya, dan saya telah me- 

nyebutnya di bagian pertama esei ini: komodifikasi bahkan 

masuk ke dalam proses pergantian politik. Juga dalam 

struktur yang mengatur dunia sosial: la police. Kita me- 




91 




Demokrasi dan Kekecewaan 




nyaksikannya dalam "politik uang" di lembaga-lembaga 

masyarakat. Kita juga raenyaksikannya dalam korupsi yang 

meruyak di seluruh tubuh birokrasi yang menjual-belikan 

jasa publik untuk akumulasi kekayaan privat. Masyarakat 

tak bergerak ke arah collective objectives. Seperti telah 

disinggung di bagian pertama tulisan ini, itulah yang me- 

nyebabkan "kompromi Keynesian" jadi problematis. 


Dalam keadaan itu, ada tiga macam pilihan untuk ber- 

sikap. Yang pertama, menggunakan kekerasan, dengan 

ketidak-sabaran revolusioner untuk menjebol dan 

mengalahkan sistem itu. Teror Bahder-Meinhoff di Eropa 

adalah contohnya. Tapi umurnya pendek, dan hasilnya 

meragukan— bahkan sistem yang dicoba jebol makin bisa 

memperkuat diri. 


Yang kedua, memilih Politik dalam kemurniannya yang 

radikal: Politik sebagai "prosedur kebenaran" yang 

dimaksudkan Badiou. Namun sudah diuraikan bagaimana 

Politik ala Badiou ini mengandung problem yang belum 

terpecahkan. 


Yang ketiga, menerima situasi ini sebagai "akhir 

sejarah"— seraya menyambut "manusia terakhir" dalam 

gambaran Nietzsche: manusia yang tak menghastratkan 

yang baru dan berbeda, sebab semua sudah dianggapnya 

beres— manusia yang tak tergerak oleh gairah, tak 

melambung imajinasinya, yang memilih bersikap praktis 

asal hasilnya jelas berfaedah. Dalam suasana hati "akhir 

sejarah" ini, ada keyakinan bahwa sang sistem akan punya 

sistem untuk mengoreksi cacat yang ada. 


Keyakinan akan "koreksi sistemik" (istilah Rocky Ge- 

rung) seperti itulah yang saya tangkap dari tanggapan Bill 

Liddle dan Rizal Panggabean. 




92 




Demokrasi 


Kata Liddle: "Pada zaman Reformasi, lembaga-lembaga 

pemerintahan justru terdiri dari unsur-unsur demokratis 

yang memungkinkan dan mendorong perubahan. Per- 

juangan tentu memainkan peran, tetapi itu hams dipan- 

dang sebagai satu bagian dari seluruh sistem demokrasi." 


Kata Rizal: 


Demokrasi lebih tepat dipandang sebagai adonan dari 

unsur-unsur yang berbeda dan dapat bertentangan satu 

sama lain. Tetapi, unsur-unsur tersebut saling mengisi 

dan berhubungan. Harapan dan kecemasan, keber- 

hasilan dan kegagalan, takjub dan dongkol— semuanya 

selalu menyertai demokrasi. Adonan inilah yang 

memungkinkan demokrasi mengeritik dan memper- 

baharui diri— menjadi proses yang contingent karena 

ketegangan yang ada dalam adonan tersebut. 


Saya tak menafikan kapasitas demokrasi untuk meng- 

adakan perubahan— jika demokrasi adalah nama lain dari 

Politik. Dengan kata lain, jika ia sebuah proses pembebasan 

yang tak bisa direduksikan jadi dunia "demokrasi 

parlementer" ataupun "tertib hukum". Sebab acapkali, ke- 

tika pergulatan itu dilembagakan dan dipateri dalam lem- 

baga itu, elan emansipasinya jadi majal. Terkadang malah 

padam. Demokrasi, sebagai sebuah format, mengandung 

paradoks: ia menampung gerak Politik, tapi ia tak akan 

mencapainya. 


Saya sangat beruntung dalam diskusi ini, karena Doditelah 

membantu merumuskan posisi saya dengan baik sekali: 

seraya membandingkan makalah saya dengan kerja Schmitter 

dan Karl, Przeworski dan kawan-kawan, saya, kata Dodi, 

"ingin melumerkan definisi dan konsep demokrasi, dan 




93 




Demokrasi dan Kekecewaan 




menjadikan demokrasi sebagai sebuah kata kerja." Juga, bagi 

saya (GM), "Politik adalah perjuangan untuk senantiasa 

memperbaiki demokrasi.'' 


Yang perlu saya tambahkan: mungkin saya tak mulai 

dengan "apayangbisa dicapai". Mungkin saya mulai— seperti 

telah tersirat di atas— dengan apayangjangan-jangantakbisa 

dicapai. 


Saya ingatyang tersirat dalam kata-kata Derrida yang 

terkenal: democratic a venir. Demokrasi selalu yang- 

aJfcan-datang. Demokrasi hanya bisa ditengarai sebagai 

sesuatu yang berbeda dari sistem atau situasi lainnya, 

tapi selalu terbuka kemungkinan kelak ia akan tiba se- 

bagai sesuatu yang tak terbayangkan. Ia tak pernah bisa 

ditentukan secara final: demokrasi adalah janji keadilan 

dan kebebasan yang tak henti-hentinya menggugab. 


Di sinilah kita kembali bertemu dengan kairos. 


Bill Liddle menawarkan satu perumpamaan yang mena- 

rik dari Weber: "Politik adalah pengeboran kayu keras yang 

sulit dan lama." Saya tak punya tangkisan untuk itu. Yang 

saya ragukan adalah bila dalam masa pengeboran yang 

penuh penantian itu kita salah memilih apa yang harus 

diprihatinkan. Lidldle memilih untuk merawat tubuh kayu 

kerasnya. Fokus utama bagi pengamat dan aktivis, kata 

Liddle, "seharusnya diarahkan kepada aktor-aktor pokok: 

pejabat pemerintah pusat (termasuk hakim dan jaksa), 

pemimpin partai, dan anggota badan-badan legislatif." 


Saya punya pandangan yang sebaliknya. Melanjutkan 

metafor Weber— dan mengalami buruknya ekses kekua- 

saan dan sifat seleweng (errancy) dari "aktor-aktor pokok" 

yang disebut Liddle— saya lebih menaruh hati kepada 

proses pengeborannya. Fokus saya adalah lobang yang 

sedang jadi itu. Di batang kayu itu lobang itu muncul seba- 




94 




Demokrasi 




gai sesuatu yang baru; ia sesungguhnya lahir dari sebuah 

susbtraksi. Itulah Politik: ia niscaya mengandung negasi. 

Negasi itu tak selamanya bersifat destruktif, tapi menya- 

darkan kita bahwa kayu keras itu sebenarnya tak utuh. 

Selalu (akan) ada sesuatu yang lain. 


Dalam kaitan itulah saya tertarik kepada paparan dan 

imbauan Ihsan Ali-Fauzi. Ia menginformasikan kepada kita 

temuan dan analisa Herbert Kitschelt tentang "partai non- 

partai" atau "partai gerakan"— dan ia bersemangat untuk itu. 

Partai-partai ini menampik partai-partai lama yang makin 

merapat ke Negara, dan dengan itu mengafirmasikan ke- 

macetan mereka serta membuka sebuah jalan baru. 


Mungkin kita bisa mencobanya di Indonesia nanti. 

Persoalannya: bagaimana gerakan-gerakan itu melihat peran 

sendiri di masa kini. Adakah mereka pelaku yang merasa 

habis-habisan dibatasi reatttas, hingga mengungsi ke ruang 

baru untuk menyisihkan diri bagaikan pertapa? Ataukah 

sebaliknya mereka— di tengah kesepian kairos— tetap 

menyimpan la passion du reel, semangat yang menurut 

Badiou datang dari abad ke-20 yang gemuruh? 


Saya ingin, kita tak memilih hijrah ke pertapaan. Dengan 

passion, lata tak menyerah. Dengan membuka diri kepada le 

Reel, kita tak gentar kepada gua garba sumber kengerian dan 

sekaligus sumber antusiasme dalam sejarah— tenaga yang 

menjebol dan sekaligus membangun, yang destruktif dan 

sekaligus kreatif. 


Politik bukanlah nihilisme yang membinasakan realitas 

yang tampak di permukaan, melainkan laku yang membong- 

kar tiap tampang status quo— stabilitas dan keutuhan yang 

sebenarnya bukan keutuhan, koherensi yang sebenarnya 

dibangun dari inkonsistensi: hal-hal lain yang tak selamanya 

bisa.dihitung sebagai satu tapi ditengelamkan dan ditekan. 




95 




Demokrasi dan Kekecewaan 




Politik adalah kesetiaan untuk membebaskan yang 

ditenggelamkan dan ditekan itu. 


Dengan itu kita tak terjebak dalam sikap yang merayakan 

ketidak-pastian. Dengan kesetiaan itu kita sebaliknya juga tak 

terjebak dalam dogmatisme yang mengkhayalkan koherensi. 

"The ceremony of innocence is drowned" memang, tapi kita 

tetap terus.*** 




96 




Tentang Penulis 




Dodi Ambardi adalah staf pengajar pada Fakultas Ilmu 

Komunikasi, Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakar- 

ta, dan peneliti senior pada Lembaga Survei Indonesia 

(LSI), Jakarta. Selain pernah belajar di UGM dan Ohio 

University, Athens, Amerika Serikat, ia memperoleh gelar 

doktor dari Departemen Ilmu Politik, The Ohio State Uni- 

versity (OSU), Columbus, Amerika Serikat, pada 2007. 


Go en a wan Mohamad, adalah wartawan, sastrawan dan 

budayawan senior. Ia pernah mengikuti kuliah di Fakultas 

Psikologi, Universitas Indonesia, dan ilmu politik di Col- 

lege d'Europe, Brugge, Belgia. Termasuk salah seorang 

penandatangan "Manifes Kebudayaan" di awal tahun 1960- 

an, ia pendiri dan mantan pemimpin redaksi Majalah Ber- 

ita Mingguan Tempo, di mana hingga kini ia masih menu- 

lis "Catatan Pinggir". Ia meraih Hadiah Sastra ASEAN 

(1981) dan Hadiah Sastra A. Teeuw di Leiden (1992). Be- 

berapa bukunya: kumpulan sajak Parikesit (1971) dan In- 

terlude (1973); kumpulan esai Potret Seorang Penyair 

Muda SebagaiSiMalin Kundang (1972), Seks, Sastra, Kita 

(1980), dan Kata, Waktu: Esai-esai Goenawan Moham- 

ad ig6o-200i (2001); kumpulan Catatan Pinggir 1 hing- 

ga 6; dan Tuhan dan Hal-hal yang tak pernah Selesai 

(2007). 




97 




Ihsan Ali-Fauzi adalah Direktur Pusat Studi Agama dan 

Demokrasi (PUSAD), Yayasan Paramadina, dan dosen 

pada Universitas Paramadina dan The Islamic College for 

Advanced Studies (ICAS), Jakarta. Selain di IAIN Jakarta, 

ia pernah belajar di Ohio University, Athens, dan The Ohio 

State University (OSU), Columbus, keduanya di Amerika 

Serikat. Ia antara lain menulis Gerakan Kebebasan Sipil 

(2009), bersama Saiful Mujani. 


Rocky Gerung adalah pengajar filsafat pada Fakultas 

Ilmu Budaya, Universitas Indonesia (UI), Jakarta. Kini ia 

sedang menyelesaikan program doktor pada universitas 

yang sama. Selain menyumbangkan tulisan dalam banyak 

buku suntingan, antara lain Kembalinya Politik (2008), 

sebagai komentator sosial dan politik ia cukup raj in menu- 

lis di Kompas dan Tempo. 


Robertas Robert adalah Sekretaris Jenderal Perhim- 

punan Pendidikan Demokrasi (P2D). Memperoleh gelar 

doktor dalam bidang filsafat dari Sekolah Tinggi Filsafat 

(STF) Driyarkara, ia menulis Republikanisme dan Kein- 

donesiaan: Sebuah Pengantar (2007) dan Politik Hak 

Asasi Manusia dan Transisi di Indonesia: Sebuah Reflek- 

siKritis (2008), serta ikut menyumbangkan tulisan dalam 

Kembalinya Politik (2008). 


R William Liddle adalah gurubesar ilmu politik pada 

The Ohio State University (OSU), Columbus, Amerika 

Serikat, yang sejak tahun 1960-an rajin meneliti politik 

Indonesia. Bukunya antara lain Leadership and Culture 

in Indonesian Politics (1996). 




98 




Samsu Rizal Panggabean adalah dosen pada Fakultas 

Ilmu Politik dan Magister Perdamaian dan Resolusi Kon- 

flik (MPPvK), Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakar- 

ta. Bukunya antara lain, ditulis bersama Taufik Adnan 

Amal, Politik Syariat Islam (2003). 




99 





Nurcholish Madjid 

Memorial Lecture 


Seperti mewakili perasaan banyak orang tentang kualitasi 

demokrasi kita, dalam buku ini Goenawan Mohamad! 

mengungkap sejumlah pengaruh burukyang muncul darii 

keharusan para pemimpin politik untuk tunduk kepadai 

hukum "kurva lonceng" demokrasi: agar merekatampaki 

dibutuhkan banyak orang, menangpemilu.berkuasa.... 




PARAMADINA 




mm 


MPRK-UGM 




Tapi Goenawan tak serta-merta menampik demokrasi, i, 

karena alternatifnya adalah anarkisme atau terorisme AIJ 

Qaedah. la hanya menegaskan perlunya kita memper-- 

kuat sisi "perjuangan" di dalam demokrasi. 


Berbagai detail mengenai hubungan antara sisi "per- 

juangan" dan sisi "kurva lonceng" dalam demokrasi inilah 

yang dibahas para komentatornya:William Liddle, Rocky 

Gerung, Rizal Panggabean, Dodi Ambardi, Robertus 

Robet, dan Ihsan Ali-Fauzi. Dilengkapi komentar balik- 

Goenawan, buku ini memuat perdebatan yang mutakhir.i 

substantif, dan kredibel tentang mengapa kita bisa ke-i 

cewa kepada demokrasi dan mengapa pula kita bisa, dan- 

harus tetap.berharap kepadanya. 


Bermula dari Nurcholish Madjid Memorial Lecture, bu- 

ku ini perlu dibaca oleh setiap kita yang hendak menjadi 

warganegara yang melek politik dan tak sudi dibohongi; 

para politisi gadungan. Di pundak merekalah terletakl 

peningkatan kualitas demokrasi di TanahAir tercinta. 




PT. NEWMONT 

PACIFIC =^ 

NUSANTARA 




ISBN: 978-979- 1 9725-0-5 


0 komentar:

Posting Komentar