DEMOKRASI DAN KEKECEWAAN
Goenawan Mohamad
R.William Liddle • Rocky Gerung • Samsu Rizal Panggabean
Dodi Ambardi • Robertus Robet • Ihsan Ali-Fauzi
Disunting oleh
Ihsan Ali-Fauzi dan Samsu Rizal Panggabean
Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD)
Jakarta, 2009
Cetakan I, April 2009
Diterbitkan oleh
Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD),
Yayasan Wakaf Paramadina
bekerjasama dengan
PT Newmont Pacific Nusantara (NPN) dan
Magister Perdamaian dan Resolusi Konflik
Universitas Gadjah Mada (MPRK-UGM)
Alamat Penerbit:
Graha Paramadina, Pondok Indah Blok F 4-6
Jl. TB Simatupang, Pondok Indah, Cilandak, Jakarta Selatan 12310
Tel. (021) 765-1611, Faks. (021) 7652015
Hak cipta dilindungi undang-undang
Allrigt reserved
Kulit Muka: Ihsan Ali-Fauzi dan Heni Nuroni
ISBN: 978-979-19725-0-5
iv
Daftar Isi
Pengantar Penyunting
BAGIAN I: ORASI ILMIAH
Demokrasi dan Kekecewaan
Goenawan Mohamad
BAGIAN II: TANGGAPAN-TANGGAPAN
Politik sebagai Perjuangan atau Pengeboran?
R. William Liddle
Mengaktifkan Politik (Rocky Gerung)
Negara dan Demokrasi yang Belajar (Samsu Rizal Panggabean)
Dua Monolog tentang Demokrasi (Dodi Ambardi)
"Yang Politis sebagai Nostalgia" (Robertus Robet)
Berharap pada "Partai-partai Gerakan"? (Ihsan Ali-Fauzi)
BAGIAN III: TANGGAPAN ATAS TANGGAPAN
Demokrasi, Politik dan Kairos (Goenawan Mohamad)
Tentang Penulis
***
Pengantar Penyunting
Buku ini bermula dari orasi ilmiah yang disampaikan Goenawan Mohamad dalam acara Nurcholish Madjid Memorial Lecture (NMML), di Aula Nurcholish Madjid, Universitas Paramadina, Jakarta, 23 Oktober 2008 lalu. Acara ini adalah acara tahunan Yayasan Wakaf Paramadina
CYWP). Kali ini yang kedua, setelah di tahun sebelumnya
Dr. Komaruddin Hidayat menyampaikan orasi sejenis yang
pertama.
Selain untuk mengenang sosok dan pemikiran Cak Nur,
begitu biasanya almarhum Nurcholish Madjid dipanggil,
acara di atas terutama dimaksudkan untuk merenungkan
sumbangan pemikirannya bagi bangsa Indonesia dewasa
ini dan di masa depan. Selain oleh orasi ilmiah, acara di
atas juga diisi oleh peluncuran buku All You Need Is Love:
Cak Nur di Mata Anak-anak Muda, berisi 30 esai anak
muda mengenai apa makna Cak Nur bagi mereka semua.
Menurut kami inilah mungkin cara terbaik mengenang
jasa-jasa Cak Nur, salah seorang pendiri YWP: seraya tak
hendak mengultuskannya, kami tetap ingin mengapresiasi
sumbangan dan maknanya bagi kita semua.
Mengapa orasi ilmiah kali ini disampaikan Goenawan
Mohamad (GM)? Sejak semula acara NMML memang
dirancang untuk mengundang dan memberi kesempatan
bagi seorang intelektual kelas satu untuk merenungkan apa
saja dari peninggalan almarhum Cak Nur yang diang-
gapnya relevan dan penting diperbincangkan lagi hari ini.
GM tentu saja memenuhi syarat ini.
Selain dikenal luas berkat sumbangan pikirannya
mengenai banyak hal, yang terdokumentasikan di banyak
buku dan rubrik "Catatan Pinggir" di Majalah Berita Ming-
guan Tempo yang terus ditulisnya hingga kini, sumbangan
GM juga luas diakui berkat ketekunan dan kegigihannya
membangun dan mengelola banyak instdtusi budaya dan
intelektual yang penting khususnya di Jakarta— dari Ko-
munitas Utan Kayu (KUK) hingga Komunitas Salihara,
yang baru tahun lalu diresmikan dan kini makin ramai me-
nyelenggarakan beragam acara. Dan yang tak kalah pen-
ting, terutama dalam konteks NMML, GM memiliM hu-
bunganyang sangat erat dengan Cak Nur. Ia pernah menulis
"Pengantar" untuk Pintu-pintu Menuju Tuhan, salah satu
buku almarhum yang paling populer hingga kini. Dan
keduanya, bersama sejumlah aktivis pro-demokrasi di Indo-
nesia, turut mendirikan Komite Independen Pemantau
Pemilu (KIPP) di tahun 1996, yang dapat dipandang sebagai
salah satu tonggak penting dalam gerakan demokratisasi
di Tanah Air.
Selain orasi ilmiah GM, buku ini juga memuat enam
tulisan tambahan yang dimaksudkan untuk mengomentari
orasi ilmiah itu, dan komentar balik GM sendiri atas ko-
mentar-komentar di atas. Penerbitan ini adalah permulaan
baik yang mudah-mudahan dapat kami pertahankan di
tahun-tahun berikutnya sehubungan dengan NMML.
Maksudnya, agar renungan yang disampaikan dalam
pidato NMML bisa terus diwacanakan dan diperluas jang-
kauannya. Fakta bahwa GM sendiri menulis komentar
baliknya yang jauh lebih panjang dari pidatonya yang awal
menunjukkan betapa menariknya wacana yang sudah
berkembang: betapa para komentatornya telah berhasil
memperlebar percakapan intelektual yang ditanggapi GM
dengan penuh antusiasme.
Ini tentu tak mengherankan, karena tema yang dipilih
GM untuk orasi ilmiahnya, "Demokrasi dan Disilusi",
adalah tema yang sangat relevan dengan situasi mutakhir
kita. (Dalam penyiapan buku ini, GM menyarankan agar
kata "disilusi" dalam orasi diganti dengan "kekecewaan",
yang kami ikuti). Seperti mewakili perasaan banyak orang
tentang kualitas demokrasi kita, GM mengeksplisitkan
sejumlah implikasi negatif yang muncul dari keharusan
para pemimpin politik untuk tunduk kepada hukum besi
"kurva lonceng" yang mencirikan semua demokrasi. Tapi
ia tak serta-merta menampik demokrasi: ia hanya mene-
gaskan perlunya kita memperkuat sisi "perjuangan" di
dalam demokrasi, agar cita-cita keadilan, kesetaraan dan
kesejahteraan yang dijanjikan demokrasi tidak tergerus
oleh keharusan para pemimpin politik untuk tunduk ke-
pada hukum "kurva lonceng". Berbagai soal detail dalam
hubungan dinamis antara sisi "perjuangan" dan sisi "kurva
lonceng" demokrasi inilah yang dibahas para komen-
tatornya kemudian.
Dengan membaca buku ini, kami berharap bahwa wa-
wasan kita mengenai tema ini bisa diperkaya dan diperluas
oleh perdebatan yang direkam buku ini. Kalau diizinkan
untuk mengklaim, ingin kami katakan: inilah perdebatan
yang sejauh ini paling substantif dan kredibel di Indonesia
mengenai di mana lata hams kecewa kepada demokrasi
dan di mana pula kita bisa berharap kepadanya. Sejauh
mana klaim itu benar, tentu para pembacalah hakimnya.
***
Penerbitan buku ini juga menandai kiprah lebih lanjut dari
Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD), salah satu
lembaga otonom yang dibentuk YWP pada 2006, bersa-
maan dengan perayaan ulang tahunnya yang ke-20. Selain
penerbitan, PUSAD Paramadina juga melakukan kegiatan
riset dan advokasi mengenai hubungan antara agama dan
demokrasi. Terakhir, sejak tahun lalu dan bekerjasama
dengan Magister Program untuk Resolusi Konflik, Uni-
versitas Gadjah Mada (MPRK-UGM), dan The Asia Foun-
dation (TAF), kami melakukan studi mengenai "Pola-pola
Konflik Keagamaan di Indonesia, 1990-2008," yang hasil-
nya juga akan segera dibukukan. Selain dalam kegiatan
riset ini, kami juga bekerjasama dalam melaksanakan
program "Polisi, Masyarakat Sipil, dan Konflik Agama di
Indonesia," yang secara umum diharapkan bisa memberi
sumbangan bagi penegakan etos pluralisme di tanah air, de-
ngan disalurkannya konflik-konflik keagamaan dalam
cara-cara yang penuh kedamaian.
Dengan fokus yang lebih khusus diberikan pada riset dan
advokasi mengenai hubungan antara agama dan demok-
rasi, PUSAD Paramadina ingin mengembangkan lebih
lanjut peran lama YWP sebagai forum dialog yang terbuka
dan bebas mengenai tema-tema keagamaan (khususnya
keislaman), keindonesiaan, dan kemodernan. Seperti
diketahui, segitiga tema itu sudah taken for granted dan
seperti menyatu dalam diri almarhum Cak Nur: ada kesa-
daran bahwa Islam di ranah ini tak mungkin dipisahkan
dari Indonesia, dan integrasi yang saling memperkokoh
keduanya itu ingin dimanfaatkan sebagai wadah budaya
untuk menyongsong dan memberi sumbangan bagi kemo-
deraan. Itu artinya, menjadi Muslim yang baik sama dan
sebangun dengan menjadi warganegara yang Pancasilais
dan penuh percaya diri untuk menjawab tantangan mo-
dernitas.
Pada sosok Cak Nur, dan kami hendak meniru dan me-
ngembangkannya lebih jauh, segitiga tema di atas tercer-
min dari kepercayaan dirinya yang tinggi untuk menggali,
dari khazanah Islam dan Indonesia yang kaya, nilai-nilai
yang dapat memberi topangan bangsa ini dalam meng-
arungi era modern. Sejalan dengan komitmen keislaman
dan kebangsaannya, Cak Nur telah memberi landasan teo-
logis bagi keharusan pluralisme, kebebasan, penegakan
nilai-nilai hak-hak asasi manusia (HAM), demokrasi, dan
seterusnya di negeri ini. Karenanya, bagi Cak Nur, gagasan
tentang negara Islam, misalnya, adalah anathema, karena
ia menghantam bagian paling inti dari keberislaman
sebagai penyerahan-diri secara afcfif kepada Sang Ilahi.
Bagaimana Mta minta seseorang bertanggungjawab atas
keberagamaannya, jika iaberagama karena dipaksa? Bukan-
kah kita diberi kebebasan oleh Tuhan bahkan untuk tidak
beriman? Atas mandat siapa negara mau mengatur hati
orang?
PUSAD Paramadina juga bermaksud untuk memper-
teguh dan memperluas keterlibatan YWP dalam penguatan
civil society dan pelebaran public sphere di negeri ini, yang
sudah cukup luas diketahui. Lewat berbagai forum YWP
di bawah Cak Nur dulu, beragam tokoh, dari berbagai aliran
agama dan pemikiran, juga dari berbagai latar belakang
xi
kehidupan, bahu-membahu memperkokoh sendi-sendi
pluralisme dan demokrasi negeri ini. Di bawah Cak Nur,
partisanship yang terlalu kental memang bukan wisdom
YWP. Seraya percaya bahwa manusia memiliki potensi
untuk berbuat baik, pada Cak Nur juga ada keinsyafan
bahwa sikap dan perilaku manusia seringkali lebih diben-
tuk oleh kepentingan-kepentingannya yang sesaat Maka
mendengar semua pihak adalah keharusan. Juga kebe-
basan berekspresi, karena tanpanya ide-ide takbisa diper-
tukarkan secara optimal. Yang menjadi korbannya adalah
publik: mereka kehilangan kesempatan untuk memperoleh
ide yang paling tahan banting, realistik, mendekati
"kebenaran"!
Peran di atas rasanya makin dibutuhkan saat ini, ketika
reformasi memasuki us i any a yang kesepuluh. Bersamaan
dengan berakhirnya rezim otoritarian Orde Baru, demok-
ratisasi yang turut diperjuangkan Cak Nur membawa
beragam implikasi jangka pendek, baik yang berupa man-
faat maupun mudarat, yang menjadi konteks keterlibatan
Paramadina di masa kini dan nanti.
Yang sangat terasa adalah tingginya harapan warganegara
terhadap reformasi; bahwa reformasi adalah panacea buat
semua penyakit; bahwa reformasi bukanlah, seperti sering
diparodikan, "repot nasi". Ini harapan yang masuk akal dan
penting, tetapi juga bisa memukul-balik karena ketidak-
sabaran orang menunggu hasil. Penting diingat, di mana
pirn di dunia ini, transisi dari rezim otoritarian ke rezim yang
demokratis bukanlah jalan tol yang mulus dan bisa dengan
cepat dan enak dilewati.
Tantangan di atas makin kompleks diatasi sekarang ka-
rena, sementara recovery ekonomiberjalan lambat, demok-
ratisasi juga memberi insentif bagi semua kalangan untuk
xii
terlibat dalam pertarungan politik. Biasanya, politisi yang
ambisius dan demagoglah yang paling siap memanfaatkan
insentif ini, sambil berjual-beli dengan rakyat yang tengah
terhimpit kesulitan ekonomi. Untuk merebut kepentingan
jangka pendek, aktor-aktor politik seperti ini tidak segan-
segan megorbankan sendi-sendi dasar republikini, seperti
pluralisme dan toleransi, untuk menggalang massa.
Tugas PUSAD Paramadina adalah memberi penerangan
seputar kompleksitas ini: bahwa reformasi yangbukan "repot
nasi" hanya bisa dicapai jika semua konflik kepentingan
disalurkan melalui lembaga-lembaga yang ada atau, jika
hal itu tidak cukup, lewat protes damai dan tanpa keke-
rasan; bahwa reformasi birokrasi bukanlah pekerjaan
gampang, karena sudah bertahun-tahun beragam kepen-
tingan tertanam di sana; bahwa pemberantasan KKN tidak-
lah sama dengan membersihkan sampah lebaran, karena
manusia bukanlah janur kelapa buat bikin ketupat.
Dengan sendirinya ini tidak berarti bahwa PUSAD Para-
madina menjadi jurubicara atau pembela pemerintah. Ada-
lah tugas semua opinion makers yang mencintai negeri ini,
termasuk Paramadina, untuk menjelaskan bahwa konsoli-
dasi demokrasi mensyaratkan warganegara yang taat
hukum, negara dan civil society yang sama-sama kuat, dan
dukunganterhadap prinsip-prinsip demokrasi. Soal menge-
ritik pemerintah, itu sudah dengan sendirinya— dan untuk
itu, kini tidak lagi diperlukan keberanian ekstra. Seraya
bersyukur bahwa tugas ini kini menjadi lebih mudah de-
ngan tersedianya kebebasan pers, kita sebenarnya ditan-
tang untuk menjadi kritikus yang kredibel: yang tidak asal
beda, realistis, sensitif pada detail, dan menawarkan opsi-
opsi yang masuk akal.
xiii
Buku ini adalah bagian dari upaya memenuhi sebagian
tugas dan tantangan di atas. Perdebatan yang berlangsung
di sana memberi gambaran yang realistis dan kredibel
mengenai demokrasi, yang memang bukan panacea, obat
semua penyakit, tapi juga bukan si tukang obat itu sendiri,
yang menguras kantong kita dengan menjual janji-janji
palsu. Ada harapan dalam demokrasi, tapi kita pulalah yang
menentukan apakah harapan itu hanya akan menjadi pe-
luang yang mubazir atau menjadi sumberdaya untuk mem-
perbaiki kenyataan yang sesungguhnya.
***
Bersamaan dengan terbitnya buku ini, kami ingin meng-
ucapkan banyak terimakasih kepada semua pihak yang
sudah ikut membantu kelancaran semua acara. Pertama-
tama kami tentu mengucapkan ribuan terimakasih kepada
Mas GM, yang telah bersedia bukan saja menulis dan me-
nyampaikan pidato, melainkan juga memberi komentar
balik atas para penanggapnya dengan antusias. Dalam
proses penyelesaian buku ini, beberapi kali GM mengirim-
kan revisi atas tulisannya yang sudah dikirimkan sebe-
lumnya, dan menyampaikan saran-saran.
Kami juga sangat mengapresiasi kesediaan para pemberi
komentar, selain kami berdua, untuk meluangkan waktu
mereka: R. William liddle, Rocky Gerung, Dodi Ambardi, dan
Robertus Robert. Kami mohon maaf jika tak seorang pun di
antara para penanggap ini perempuan: beberapa akademisi,
jurnalis dan aktivis perempuan yang kami hubungi gagal
memenuhi target yang mereka sendiri sudah janjikan untuk
menulis tanggapan. Mudah-mudahan aspek kesetaraan jen-
der ini bisa terpenuhi di masa depan.
xiv
Sebagian tanggapan yang akhimya diterbitkan dalam buku
ini pernah didiskusikan secara terbatas di Komunitas Salihara
dan Komunitas Utan Kayu (KUK), keduanya di Jakarta.
Dalam rangka itu, selain GM, Robertus Robert, Bill Liddle,
Rocky Gerung, dan Dodi Ambardi hadir dalam diskusi. Sekali
lagi: terimakasih banyak.
Kami juga berhutang budi kepada kawan-kawan di
YWP, Komunitas Salihara dan KUK, yang telah ikut menyuk-
seskan kegiatan ini. Juga kepada kawan-kawan di MPRK
Yogyakarta. Keterlibatan mereka kadang melampaui tugas
pokok mereka di kantor masing-masing.
Akhirnya, kami ucapkan terimakasih juga kepada PT
Newmont Pacific Nusantara (NPN) atas partisipasinya dalam
mendanai bukan saja penerbitan buku ini, tapi juga kese-
luruhan kegiatan NMML II. Juga kepada rekan Hamid
Basyaib dan Herd Nuroni, untuk ide dan realisasi sampul
buku ini yang cemerlang:./res/z, /unny, juga cocok dengan
isi buku.
Semoga segala pekerjaan kita ini ada manfaatnya.***
Jakarta, 3 April 2009
IAFdanSRP
XV
BAGIAN I:
ORASI ILMIAH
Demokrasi dan Kekecewaan
Goenawan Mohamad
17 Oktober 1953: di pagi hari itu, sekitar 5000 orang muncul di jalanan Jakarta. Pada pukul 8, mereka sudah berhimpun di luar gedung Dewan Perwakilan Rakyat. Tak jelas siapa yang memimpin dan organisasi apa yang mengerahkan mereka, tapi yang mereka tuntut diutarakan dengan tegas: "Bubarkan Parlemen". Kata sebuah poster, "Parlemen untuk Demokrasi, bukan Demokrasi untuk Parlemen".
Tak lama kemudian mereka memasuki gedung perwakilan rakyat itu, menghancurkan beberapa kursi dan merusak kantin yang biasanya diperuntukkan bagi para legislator. Dari sini, rombongan demonstran bergerak ke jalan lagi. Peserta makin bertambah besar. Akhirnya mereka, mencapai 30 ribu orang banyaknya, sampai ke Istana Negara. Mereka ingjn menghadap Presiden. Bung Karno, yang mengetahui apa yang dituntut para demonstran itu, akhirnya muncul. Dalam pidato singkat ia mengatakan: ia tak akan membubarkan Parlemen. Ia tak ingin jadi diktator. Ia hanya berjanji pemilihan umum akan diselenggarakan segera.
Ringkas kata, Bung Karao menolak. Tapi rekaman ucap-
annya menunjukkan bahwa ia juga punya ketidaksukaan
yang sama kepada "demokrasi liberal" yang dianggapnya
sebagai cangkokan "Barat" itu. Di tahun 1958, ia mem-
bubarkan dewan perwakilan pilihan rakyat dan mengubah
Indonesia dengan menerapkan "demokrasi terpimpin".
Sistem ini kemudian berakhir di tahun 1966, ketika "Orde
Baru" memperkenalkan format politdk yang disebutnya
"demokrasi Pancasila"— yang sebenarnya merupakan varian
baru bagi "demokrasi terpimpin". Boleh dikatakan, dalam
"Orde Baru", sebagian dari yang dikehendaM para penuntut
padatanggal 17 Oktober itu dipenuhi. Kitatahu, seperti dicatat
oleh Herbert Feith dalam The Decline of Constitutional
Democracy in Indonesia, bahwa para perwira Angkatan Darat
berada di belakang aksi hari itu. Sementara Bung Karno
berpidato, militer memasang dua buah tank, beberapa panser,
empat batang kanon yang ditujukan ke Istana: penegasan agar
Presiden membubarkan Parlemen dan melikuidasi demokrasi
liberal Kita kemudian tahu, dalam "demokrasi Pancasila" yang
ditegakkan Angkatan Darat, DPR memang dipilih secara
reguler, tapi pada aldiirnya, konstruksi sang penguasa— dalam
hal ini Suharto— yang menentukan. Berangsung-angsur,
kekuasaanberkembang dari sifat "birokratik-otoriter" menjadi
otokratik. Suharto mengulangi posisi Bung Karno sebagai
"Pemimpin Besar Revolusi", dengan gelar yang berbeda.
Di tahun 1998, otokrasi Suharto itu rubuh. Indonesia men-
dapatkan "demokrasi hberal"-nyakembah. Satu dasawarsa
kemudian, Mta masih tampak percaya kepada demokrasi
ini— jika itu berarti pemilihan umum yang regular, partisi-
pasi masyarakat pemilih lewat partai, pembentukan undang-
undang melalui para legislator di parlemen, pengawasan
4
Orasillmiah
Mnerja kabinet dari sebuah lembaga negara yang dipilih
rakyat. Tapi akan bertahankah kepercayaan itu?
Kita bisa menduga— melihat betapa korupnya para ang-
gota DPR sekarang, melihat tak jelasnya lagi alasan hidup
partai-partai, kecuali untuk mendapatkan kursi— Indonesia
sedang memasuki sebuah masa, ketika rakyat— dengan hak
penuh untuk memilih dan tak memilih— akan mencemooh,
bahkan mencurigai, parapemegang peran dalam demokrasi
parlementer yang ada.
Saya tak akan meramalkan bahwa "Peristiwa 17 Okto-
ber" bam akan terjadi segera. Tapi saya kira siapa pun bisa
melihat, kita akan hidup dengan harapan-harapan yang
retakkepada demokrasi liberal. Dan tak akan mengheran-
kan bila kita akan segera mendengar kecaman seperti yang
pernah diutarakan novelis, Pemenang Nobel, Saramago:
"Pemihan umum telah jadi representasi komedi absurd,
yang memalukan".
Dalam pembicaraan saya hari ini, saya akan mencoba
menunjukkan, bahwa disilusi seperti itu memang tak akan
terelakkan. Persoalannya kemudian, sejauh mana dan
dalam bentuk apa demokrasi bisa dipertahankan.
n.
Demokrasi— sebagaimana kediktatoran— menjaga dirinya
dari khaos. Ia jadi bentuk yang harus praktis dan terkelola.
Ia dibangun sebagai sistem dan prosedur.
Tapi sebagai sebuah format, ia tak dapat sepenuhnya
menangkap apa yang tak praktis dan yang tak tertata. Salah
satu jasa telaah kebudayaan dan teori politik mutakhir ialah
pengakuan terhadap pentingnya apa yang turah, yang luput
tak tertangkap oleh hukum dan bahasa, yang oleh Lacan
5
Demokrasi dan Kekecewaan
disebut sebagai le Reel (dalam versi Inggris, the Real), dan
yang saya coba terjemahkan di sini sebagai "Sang Antah".
Dengan itu sebenamya ditunjukkan satu kekhilafan utama
dalam pemiMran politik yang mengasumsikan kemampuan
"representasi". Pengertian "representasi" dimulai dari ilusi
bahasa, bahwa satu hal dapat ditirukan persis dalam bentuk
lain, misalnya dalam kata atau perwaMlan. Ilusi mimetik ini
menganggap, semua hal, termasuk yang ada dalam dunia
kehidupan, akan dapat direpresentasikan. Seakan-akan tak
ada Sang Antah.
Namun baik oleh teori "demokrasi radikal" yang di-
perkenalkan Laclau dan Mouffe, dengan menggunakan pan-
dangan Gramsci, maupun oleh pemikiran pohtik dengan
militansi ala Mao dalam pemiMan Alain Badiou, kita ditun-
jukkan bahwa sebuah tata masyarakat, sebuah tubuh politik,
adalah sebentuk scene yang tak pernah komplit Senantiasa
ada yang obscene dalam dirinya, bagian dari Sang Antah, yang
dicoba diingkari. Tapi yang obscene— yang tak tertampung
dan tak dapat diwakili oleh tubuh politik yang ada— justru
menunjukkan bahwa scene itu, atau tata masyarakat yang kita
saksikan itu, tak terjadi secara alamiah. Menurut Laclau dan
Mouffe, tata masyarakat itu lahir dari hubungan antagonistds.
Ia merupakan hasil perjuangan hegemonik. Itu sebabnya
suatu tubuh politik yang tampak stabil mau tak mau dihantui
oleh pertentangan— yang membuatnya hanya kwasi-stabil.
Dari pandangan seperti itu demokrasi, sebagai sebuah
format, memang terdorong hanya merawat tubuh politik
yang kwasi-stabil itu. Sebagai akdbatnya, ia cenderung meng-
ubah antagonisme dan perjuangan hegemonik itu jadi
majal: demokrasi acapkali menghentikan proses politik
dengan mendasarkan diri pada sebuah suara terbanyak atau
sebuah konsensus. Dengan itu apa yang dianggap me-
6
Orasi Ilmiah
nyimpang, apa yang obscene, disingkirkan. Maka ia tampak
sebagai sesuatu yang tak hendak membuka diri pada
alternatif-alternatif baru.
Contoh yang segera dapat dilihat adalah Jepang; di sana,
kekuasaan Partai Liberal Demorasi (LDP) berlangsung
hampir takberhenti-hentinya. Hal yang sama dapat dikata-
kan tentang demokrasi Amerika. Hari-hari ini, justru di
sebuah masa ketika suara untuk perubahan yang dibawa-
kan Obama terdengar nyaring, sebetxilnya tak tampak dah-
syatnya "perubahan" yang disuarakannya.
Pernah saya katakan, demokrasi adalah sistem dengan rem
tersendiri— juga ketika keadaan buruk dan harus dijebol.
Pemilihan umum, mekanismenya yang utama, adalah mesin
yang mengikuti statistik. Tiap pemungutan suara terkurung
dalam "kurva lonceng": sebagian besar orang tak menghen-
dakd perubahan yang "ekstrem". Statistik menunjukkan ada
semacam tendensi bersama untuk tak memilih hal yang
mengguncang-guncang. Statistik itu status quo.
Dalam haribaan "kurva lonceng", Obama tak akan berse-
dia mengubah politik Amerika dengan yang baru yang meng-
gebrak. Akan sulit kita menemukan perbedaan pandangan-
nya tentang Palestina dari posisi Bush. Ia, yang harus
mencari dukungan lobi Israel di Amerika, tak akan nekad
bilang akan mengajak Hamas ke meja perundingan. Ia tak
akan berani menampik sepenuhnya hak orang Amerika
memiliki senjata api pribadi, meskipun korban kekerasan
di negeri itu tak kunjung reda. Ia tak akan bertekad meng-
ubah sikap orang Amerika yang cenderung memandang
perang sebagai kegagahan patriotik, bukan kekejaman.
Seraya bersaing ketat dengan McCain, Obama— yang
memproklamasikan diri sebagai pemersatu Amerika,
negarawan yang akan menyembuhkan negeri yang terbelah
7
Demokrasi dan Kekecewaan
antara "biru" dan "merah"— akan tampil sebagai si pem-
bangun konsensus.
Tapi konsensus tak akan mudah jadi wadah bagi
perubahan yang berani. Di Spanyol di tahun 1982, misal-
nya, ketika kediktatoran Franco sedang digantikan dengan
demokrasi yang gandrung perubahan. Felipe Gonzales
Marquez, waktu itu 40 tahun, memikat seluruh negeri.
Partai Sosialisnya menawarkan lambang kepalan tangan
yang yakin dan mawar merah yang segar. Semboyannya:
Por El Cambio. Ia menang. Ia bahkan memimpin Spanyol
sampai empat masa jabatan. Tapiberangsur-angsur, partai
yang berangkat dari semangat kelas buruh yang radikal itu
kian dekat dengan kalangan uang dan modal. Di bawah
kepemimpinan Gonzales, Spanyol jadi anggota NATO dan
mendukung Amerika dalam Perang Teluk 1991.
Sebagai tanda bagaimana demokrasi tak menginginkan
yang luar biasa, Partai Sosialis menang berturut-turut.
Mungkin itu indikasi bahwa "perubahan" pada akhirnya
hams dibatasi oleh sinkronisasi pengalaman orang ramai.
Di haribaan "kurva lonceng", kehidupan politik yang
melahirkannya kehilangan greget yang subyektif. Kebe-
ranian disimpan dalam laci.
m.
Tapi mungkinkah sebuah masyarakat bisa berhenti dan
proses pohtiknya tak tersentuh oleh waktu?
Pertanyaan retoris ini penting. Di dalamnya tersirat
adanya harapan— di suatu masa ketika utopianisme Marxis
digugat, tapi ketika pada saat yang sama pragmatisme ala
Richard Rorty tampak tak memberikan daya bagi per-
ubahan yang berartd.
8
Orasillmiah
Tapi untuk itu, memang diperlukan penyegaran kem-
bali tentang apa arti "politik" sebenarnya.
Sebuah buku yang dengan amat baik memaparkan
pemikiran politik kontemporer, Kembalinya Politik (Ja-
karta, 2008), menguraikan "dua muka yang terpisah"
dalam pengertian "politik":
Yang pertama adalah sisi di mana politik terjadi sebegitu
saja dalam rutinitas kelembagaan dan perilaku aktor-
aktornya... Yang kedua adalah politik yang diharapkan,
yang tersimpan secara potensial, tidak teraktualisasi:
politik sebagaimana diidamkan, yang tertekan di bawah
instansi ketaksadaran.
Dalam pengantarnya, Robertus Robet dan Ronny Agus-
tinus menunjukkan kemungkinan— atau malah kenyataan—
ketika demokrasi "telah membunuh politik" dan "meng-
gantikannya dengan konsensus".
Dengan kata lain, "politik" yang <h^"bunuh" itu adalah
pohtik sebagai proses perjuangan, bukan politik sebagai
saling tukar kekuasaan dan pengaruh sebagaimana yang
terjadi melalui pemilihan umum dan negosiasi legislatif
dewasa mi di Indonesia. "Politik" yang seperti itu sebenarnya
hanya mengukuhkan tubuh sosial yang seakan-akan sepe-
nuhnya direpresentasikan Parlemen. "Politik" yang seperti
itu berilusi bahwa kita bisa mengabaikan Sang Antah. "Politik"
yang seperti itu adalah bagian yang bersembunyi dari apa
yang disebut Ranciere la police: struktur yang diam-diam
mengatur dan menegakkan tubuh itu.
Di sini sebuah pemaparan selintas tentang teori Ra-
nciere agaknya diperlukan.
La police itu (mungkin ada hubungan kata ini dengan
"polis" sebagai negeri dan "polisi" sebagai penjaga keter-
9
Demokrasi dan Kekecewaan
tiban) bersifat oligarkis. Tubuh sosial mengandung ketim-
pangan yang tak terelakkan; selamanya ada yang kuat dan
ada yang lemah, yang menguasai dan dikuasai.
Tapi la police itu tetap saja tak bisa membentuk sebuah
satuan sosial yang komplit. Di dalam hal ini, pemikiran
Ranciere juga menunjukkan bahwa satuan itu kwasi-stabil
sebenaraya. Sebab bahkan la police tak akan bisa meng-
abaikan, bahwa yang kuat hanya kuat jika ia diakui demikian
oleh yang lemah— meskipun dengan mengeluh dan marah.
Dengan kata lain, si kuat diam-diam mengasumsikan adanya
posisi dan potensi si lemah untuk memberi pengakuan. Bagi
Ranciere, itu berarti nun di dasar yang tak hendak diingat,
ada kesetaraan antara kedua pihak.
Di situ kita menemukan bagaimana sebuah negeri, pohs,
hidup: ada la logique du tort. Ada sesuatu yang salah dan
sengkarut, tapi dengan begitu berlangsunglah sejarah
sosial. Di dalam "logika" itu, ketegangan terjadi, sebab
hirarki yang membentuk masyarakat justru mungkin
karena mengakui kesetaraan. Ketegangan dalam salah dan
sengkarut itulahyang melahirkan konflik, guncangan pada
konsensus, dan polemik yang tak henti-hentinya. Ranciere
mengakui, selalu ada sebuah arkhe, sebuah dasar untuk
membenarkan timpangnya distribusi tempat dan bagian
dalam masyarakat, tapi ia menunjukkan bahwa arkhe itu
selamanya bersifat sewenang-wenang.
Dari itu terbit la politique: sebuah pergulatan. Ia bukan
seperti aksi komunikasiala Habermas: di arena itu tak ada
tujuan untuk bersepakat; di medan itu yang hadir bukanlah
sekedar usul dan argumen yang berseberangan, tapi tubuh
dan jiwa, "perbauran dua dunia", "di mana ada subyek dan
obyek yang tampak, ada yang tidak".
10
Orasi Ilmiah
Agaknya yang tak tampak itulah yang menyebabkan la
politique, atau politik sebagai perjuangan, mendapatkan
makna sosialnya. Sebab yang menggerakkan adalah me-
reka yang bukan apa-apa, yang tak punya hakikat dan asal
usul untuk menang.
Walhasil, selalu akan ada ketegangan antara la police
dan la politique. Sebuah tubuh sosial akan bergerak, tak
mandeg, dalam ketegangan itu. Di sini Ranciere memper-
kenalkan istilah lain, le politique, untuk menyebut proses
mediasi antara kekuatan yang menjaga demokrasi sebagai
format dan politik sebagai perjuangan ke arah kesetaraan.
Berbeda dari Badiou, Ranciere— yang menyebut keada-
an demokrasi liberal sekarang sebagai "pasca-demokrasi"—
masih menaruh kepercayaan akan peran demokrasi parle-
menter dan kemampuan perundang-undangan dalam perju-
angan ke keadilan.
Tapi Ranciere bukanlah orang yang menganggap bahwa
demokrasi parlementer dengan sendirinya adil. "Politik"
sebagai perjuangan, "politik" sebagai la politique, itu se-
suatu yang tak secara rutin terjadi. Bahkan jarang terjadi.
Demikian pula, tanpa menyebut saat demokratik sebagai
"kejadian" (I'evenement) yang luar biasa, Ranciere meng-
anggap dalam sistem demokrasi yang ada, saat demokratik
sejati tak selamanya didapatkan.
IV.
Dengan memakai pemikiran Ranciere, saya berharap dapat
menunjukkan bahwa disilusi terhadap demokrasi liberal
adakah sesuatu yang sab. dan hams dinyatakan.
Tuntutan akan kesetaraan— dan dalam pengertian yang
lebih luas: keadilan— adalah tuntutan yang tak akan habis-
11
Demokrasi dan Kekecewaan
habisnya. Ia lahir dari apa yang tak hendak dilihat oleh
sistem yang ada. Ia lahir dari yang obscene, dari yang turah
dari representasi, ia adalah gaung Sang Antah yang tak
tertampung.
Tapi haruskah kita menghancurkan demokrasi, karena
menganggap bahwa demokrasi semata-mata format, bukan
sebuah proses pergulatan, bukan arena la politique? Jalan
itu ada: "nihilisme aktif" dalam pengertian Simon Critchley,
ketika ia menguraikan pendiriannya tentang "etika ko-
mitmen" dan "politik perlawanan" dalam Infinitely De-
manding (Verso, 2008). Nihilisme aktif inilah yang dila-
kukan misalnya oleh teror Al Qaedah— yang pada gilirannya
juga tak menumbangkan demokrasi liberal, bahkan mem-
perkuatnya: makin kukuhnya aparat keamanan negara
merupakan peneguhan dari la police.
Satu-satunya jalan yang masih terbuka adalah selalu
dengan setia mengembalikan politik sebagai perjuangan.
Jalan yang ditempuh tak bisa dirumuskan sebelumnya;
selalu diperlukan keluwesan untuk memilih metode, baik
melalui perundang-undangan atau justru melawan per-
undang-undangan, baik melalui partai ataupun melawan
partai.
Artinya, tiap kah kita membiarkan diri untuk didesak
oleh panggilan akan keadilan yang tak pern ah akan mem-
bisu. ***
12
BAGIAN II:
TANGGAPAN-TANGGAPAN
Politik sebagai Perjuangan
atau Pengeboran?
R. William Liddle
Dalam orasi ilmiahnya, Goenawan Mohamad merumuskan
sebuah peta politik tempat perjuangan merupakan satu-
satunya jalan untuk mencapai kesetaraan sosial. Hal itu
berlaku dalam sistem kenegaraan apa pun, termasuk de-
mokrasi. Bagi saya, masalahnya tidak sesederhana itu.
Ketimbang perjuangan, saya lebih suka menggunakan
metafor pengeboran, yang saya pinjam dari Max Weber,
sosiolog Jerman awal abad ke-20: "Politik adalah penge-
boran kayu keras yang sulit dan lama" (Politics is a strong
and slow boring of hard boards).
Goenawan mempersoalkan demokrasi dari dua segi.
Sebagai tata politik yang "mendasarkan diri pada sebuah
suara terbanyak atau sebuah konsensus," demokrasi tidak
mungkin mewakili semua aspirasi atau tuntutan masya-
rakat. "Maka ia tampak sebagai sesuatu yang tak hendak
membuka diri pada alternatif-alternatif bam." Buktinya
adalah Jepang di bawah kekuasaan Partai Liberal De-
15
Demokrasi dan Kekecewaan
mokrat selama puluhan tahun serta Spanyol, tempat
Partai Sosialis yang mendirikan demokrasi di negara
tersebut berangsur-angsur menjadi partai kapitalis dan
pro-NATO.
Presiden terpilih Amerika Serikat Barack Obama pun
digambarkan sebagai seorang politisi yang terkurung oleh
sikap mayoritas pemilih yang tidak menginginkan
perubahan-perubahanbesar. Sebagai contoh: posisi-posisi
Presiden George W. Bush terhadap sengketa Israel-
Palestina, pemilikan senjata api pribadi oleh masyarakat
Amerika, dan perang "sebagai kegagahan patriotik, bukan
kekecaman" akan dipertahankan oleh Presiden Obama.
Obama "akan tampil sebagai si pembangun konsensus."
Dal am bentuk konkretnya di Indonesia pasca-Orde Baru,
ciri-ciri demokrasi yang mencolok bagi Goenawan adalah
korupsi anggota-anggota DPR dan partai-partai yang tidak
punya tujuan jelas, kecuali keinginan para pemimpinnya
untuk mendapatkan kursi. Alhasil, Indonesia sudah
memasuki suatu era baru tempat para pemilih "akan men-
cemooh, bahkan mencurigai" pemimpin politiknya. Kalau
keadaan ini dibiarkan berlanjut, demokrasi pasti semakin
sulit dipertahankan. Solusi Goenawan: "Satu-satunya jalan
yang masih terbuka adalah selalu dengan setia mengem-
balikan politik sebagai perjuangan, ...baik melalui
perundang-undangan atau justru melawan perundang-
undangan, baik melalui partai ataupun melawan partai".
Rumusan Goenawan menarik baik sebagai analisis
maupun sebagai call to action, panggilan untuk bertindak.
Siapa pun akan mengakui bahwa demokrasi yang responsif
dan bertanggungjawab belum terwujud di Indonesia dan
kualitasnya belakangan agak merosot di negara-negara
seperti Jepang, Spanyol, dan Amerika. Namun demikian,
16
Politik sebagai Perjvangan
bagi saya, Goenawan terlalu menekankan peran gerakan
atau mobilisasi dari luar sistem demokrasi sebagai solu-
sinya. Perjuangan malah dipertentangkan dengan demokrasi,
seakan-akan lembaga-lembaga demokrasi tidak dengan
sendirinya dinamis, tidak terbuka kepada tuntutan dari
masyarakat. Atau seakan-akan kita masih hidup di zaman
Pergerakan, ketika lembaga-lembaga penjajahan memang
harus dilawan dengan perjuangan. Pada zaman Reformasi,
lembaga-lembaga pemerintahan justru terdiri dari unsur-
unsur demokratis yang memungkinkan dan mendorong
perubahan. Perjuangan tentu memainkan peran, tetapi itu
harus dipandang sebagai satu bagian dari seluruh sistem
demokrasi.
Dalam rangka itu, Goenawan terlalu menekankan peran
konsensus sebagai tujuan demokrasi yang menghambat
difference, perbedaan. Setidak-tidaknya, di negeri saya
yang sudah lama demokratis, belum pernah ada konsensus
tentang hal-hal penting (misalnya tentang peran agama da-
lam politik). Yang sering ada adalah mayoritas besar yang
mendukung suatu posisi atau kebijakan (misalnya, sebelum
pemerintahan George W. Bush, pemisahan negara dari
lembaga-lembaga agama).
Tetapi mayoritas itu selalu dilawan oleh satu atau se-
jumlah minoritas dengan cita-cita lain (misalnya, Kris-
tenisasi negara, seperti tertera dalam anggaran dasar Partai
Republik negara bagian Texas). Tak kalah penting, hampir
setiap mayoritas dan minoritas terdiri dari kelompok-
kelompok lebih kecil yang punya tuntutan dan kepentingan
masing-masing. Hal ini juga merupakan sumber dinamisme
politik (misalnya sayap kanan kaum Evangelis Protestan
yang mendukung calon presiden John McCain dan sayap
kiri yang mendukung Obama dalam pemilihan 2008).
17
Demokrasi dan Kekecewaan
Tanggapan saya terhadap rumusan Goenawan tentu
dipengaruhi oleh pengalaman saya belakangan ini sebagai
warga negara Amerika. Setelah pemilihan presiden 2008,
setiap kali saya melihat wajah Barack Obama (yang Amerika-
Afrika), saya teringat kepada apa yang dimmigkinkan oleh
demokrasi. Saya juga teringat kepada metafor Max Weber
tentang politik sebagai pengeboran kayu keras yang sulit
dan lama, seperti saya kutip di atas. Kemenangan Obama
tentu merupakan hasil perjuangan, tetapi hal itu hams juga
dilihat sebagai hasil perbuatan para politisi demokratis
yang bertindak di dalam sistem. Kedua-duanya, peran ge-
rakan dan peran politisi demokratis, berakar dalam sekali
dalam sejarah pohtik Amerika.
Pada awal abad ke-19, John Brown membangun sebuah
gerakan anti-perbudakan yang memainkan peranan penting
dalam politik Amerika sebelum Perang Saudara berlang-
sung di negara kami. Oleh Abraham Lincoln, Brown dijuluki
"fanatik sesat." Tetapi Lincoln sendiri melawan perbudakan
dan, sebagai presiden, terus-menerus mencari akal untuk
mengakhiri "lembaga terkutuk" itu. Pendekatan Lincoln
dijelaskan dengan baik oleh Garry Wills, yang menulis buku
tentang kepemimpinan presidensial, sebagai berikut:
"Dengan tindakan-tindakan politik yang sangat hati-hati
dan terjaga, Lincoln sedikit demi sedikit memaksa
rakyatnya untuk mengambil langkah-langkah kecil untuk
mengatasi masalah yang sebenarnya."
Pada abad ke-20, peran Brown dan Lincoln disusul oleh
banyak orang, hitam dan putih, yang menjadi pemimpin
organisasi sosial dan partai politik serta pegawai dan
pejabat pemerintah. Selaku pemilih dalam pemilihan
umum, orang Amerika -Afrika sudah menjadi faktor
penting di negara bagi^n-negara bagian utara sebelum
18
Politik sebagai Perjuangan
Perang Dunia II. Kebijakan Presiden Franklin Roosevelt
(1933-1945) dan Presiden Harry Truman (1945-1953),
kedua-duannya Demokrat dari utara, dipengaruhi oleh
faktor itu. Keputusan-keputusan yang paling penting
diambil oleh Presiden Lyndon Johnson (juga dari Partai
Demokrat) pada 1964 dan 1965, ketika beliau menanda-
tangani dua undang-undang yang melarang segala bentuk
segregasi berdasarkan ras dan menjamin hak setiap
warganegara untuk memilih dalam pemilihan umum.
Barack Obama mewarisi sejarah ini dalam dua penger-
tian. Pencalonannya oleh Partai Demokrat dan kemenang-
annya dalam pemilihan umum dimungkinkan oleh per-
buatan-perbuatan Presiden-Presiden Lincoln, Roosevelt,
Truman, dan Johnson yang membuka kesempatan bagi
orang-orang Amerika-Afrika untuk berpartisipasi dalam
dunia politik. 'Kedua, Obama mencari kekuasaan untuk
memerintah, bukan untuk menjadi orang yang terpandang.
Selama kampanyenya dia berusaha keras untuk merumus-
kan sebuah visi atau garis besar kebijakan negara seandai-
nya dia bakal terpilih. Seperti banyak pendahulunya
(termasukbeberapa presiden dari Partai Republik, seperti
Dwight Eisenhower, Richard Nixon, dan Ronald Reagan),
Obama ingin melakukan sesuatu yang positif buat bangsa
dan dunia.
Pada saat yang sama dia menyadari bahwa dia harus
bersikap dan bertindak realistis, "politis". Setiap kebi-
jakannya akan dibentuk dalam sebuah konteks politik yang
mengandung banyak opportunities, kesempatan, tetapi
sekaligus sarat dengan constraints, kendala. Kesempatan
dan kendala ini terdiri antara lain dari lembaga-lembaga
pemerintahan, seperti pembagian kekuasaan yang diten-
tukan oleh konstitusi, serta sistem kepartaian kami. Lagi
19
Demokrasi dan Kekecewaan
pula, setiap kebijakan akan berdampak juga pada posisi
dan pengaruhnya kemudian. Pendek kata, keberhasilan
atau kegagalan Presiden Obama akan ditentukan oleh ke-
canggihan politiknya ketika dia memilih kebijakan-kebi-
jakannya.
Apakah orang Indonesia bisa belajar dari sejarah ini?
Jawaban saya adalah ya, tetapi saya khawatir jawaban
Goenawan adalah tidak, sebab kerangka analitisnya terlalu
mengandalkan para pejuang di luar sistem. Tanpa meng-
abaikan peran positif kaum pejuang, fokus utama kita
(pengamat dan aktivis) seharusnya diarahkan kepada
aktor-aktor pokok: pejabat pemerintah pusat (termasuk
hakini dan jaksa), pemimpin partai, dan anggota badan-
badan legislatif. Tak kalah penting, pemerintahan daerah
juga ikut menikmati proses demokratisasi di zaman
Reformasi ini. Pemerintah-pemerintah daerah, di tingkat
kabupaten dan kota, adalah lembaga demokratis yang
paling dekat kepada masyarakat. Bagi saya, keberhasilan
atau kegagalan demokrasi di Indonesia akan lebih
ditentukan oleh tingkah-laku politisi kabupaten dan kota
ketimbang para pejuang di luar sistem. Akan tetapi,
mengingat sekali lagi kata-kata Max Weber, jangan terlalu
berharap dalam waktu singkat. Kayu Indonesia pasti tidak
kalah keras dibanding kayu Amerika.***
20
Mengaktifkan Politik
Rocky Gerung
Pidato Goenawan Mohamad (GM) menyentuh kondisi
teoretis dari filsafat politik. Yaitu "ketakcukupan"
demokrasi sebagai peralatan untuk menghasilkan "per-
ubahan radikal". Kritik ini adalah khas "etika politik kiri".
Karena jalan pikiran itu, GM sempatberpikir bahwa demok-
rasi mengandung disilusi di dalam dirinya.
Memang, dalam praktik, demokrasi lebih sering ber-
henti dalam "pelembagaan formal", ketimbang mensponsori
"revolusi". Sayakira, dalam kondisi reformasi sekarang ini,
kita hams menerangkan juga demokrasi dari sudut pan-
dang keburuhan kontemporer kita untuk menghalangi
pemaknaan "The Real" ("Sang Antah"— dalam istilah GM),
dari kemungMnan pengisiannya secara absolut oleh politik
doktrinal, politik fundamental. Jadi, secara strategis, ada
keburuhan "politico-historis" yang lebih mendesak, di
samping keburuhan "filosofis" mempersoalkan struktur
metafisik dari teori demokrasi.
GM telah mengucapkan sesuatu yang lebih "kontem-
platif. Karena itu, tanggapan saya sebaiknya yang lebih
bersifat "mengaktifkan" demokrasi. Terimakasih.
21
Demokrasi dan Kekecewaan
Demokrasi adalah hasrat yang tak pernah sampai. Tapi
kendati ia tidak mencukupi, kita tetap memerlukannya.
Utilitasnya memaBg tidak diukur melalui ambisi etisnya:
"dari, oleh dan untuk rakyat", melainkan dengan kenyataan
teknisnya: juralah konsensus minimal "suara rakyat".
Konsensus itulah yang dipertandingkan melalui Pemilu.
Prinsip kerasnya adalah: the winner takes all. Tapi format
51:49 ini— berkat prinsip HAM, yaitu pelajaran kemanu-
siaan yang kita peroleh dari dua kali kekerasan Perang
Dunia — tidak boleh mengancam hak-hak dasar kebebasan
individu. Artinya, "sang mayoritas" tidak boleh semau-
maunya menentukan "isi politik" sebuah masyarakat. Batas
dari demokrasi adalah hak asasi manusia. Rasionalitas ini
kita perlukan untuk mencegah politik mayoritas me-
manfaatkan instalasi demokrasi menjadi saluran total -
itarianisme. Begitulah konsensus mutakhir penyeleng-
garaan demokrasi.
Memang, dalam praktik, demokrasi cenderung mela-
hirkan oligarki, karena prosedur teknis elektoral (koalisi,
electoral treshold) memungkinkan terjadinya transaksi
politik status quo. Tetapi secara substansial, demokrasi
juga tetap bertumpu pada prinsip "keutamaan warga-
negara", yaitu jaminan filosofis bahwa poHtik tidak terbagi
habis dalam electoral politics Artinya, kewarganegaraan
tidak boleh direduksi ke dalam mekanisme politik Pemilu,
yaitu dengan membagi habis seluruh warganegara menjadi
anggota partai politik. _
Dalam demokrasi, status ontologi warganegara lebih tinggi
dari keanggotaan partai politik. Tidak ada demokrasi tanpa
warganegara, tetapi politik dapat terus diselenggarakan
tanpa partai politik. Karena itu, politik perwakilan tidak
boleh menghilangkan priDsip primer demokrasi, yaitu
22
Mengaktijkan Politik
"keutamaan warganegara". Partai politik, juga parlemen,
hanyalah salah satu alat warganegara untuk menjalankan
politik. Karena itu, "alat" tddak boleh membatasi "tujuan".
Demokrasi tetaplah berdasarkan kedaulatan rakyat, bukan
kedaulatan partai. Jadi, demokrasi, di dalam dirinya, me-
miliki imperatif metapolitik untuk menjamin kedaulatan
warganegara. Sesungguhnya, ketegangan antara electoral
politics dan citizenship politics inilah yang menjadi prob-
lem dari sistem demokrasi.
Problem ini menghasilkan konsensus: demokrasi bukan
ideal "terbaik" pengaturan politik, tetapi ia yang "termungkm"
untuk menjamin kesetaraan hak dan kebebasan warganegara.
Dengan jaminan itu, terbuka peluang bagi sirkulasi elit dan
perubahan susunan politik. Artinya, kendati ada tendensi
oligarki dalam demokrasi, tetapi hanya pada demokrasilah
dimungkinkan terjadinya koreksi politik secara sistemik.
Filsafat di belakang konsensus ini adalah kondisi falibilis
manusia, yaitu penerimaan sederhana tentang ketakleng-
kapan manusia, tentang ketidaktahuannya, dan karena itu:
tentang potensinya untuk berbuat salah. Dengan sudut
pandang ini, demokrasi tidak berambisi memfinalkan ke-
benaran politik. Karena itu setiap obsesi absolutis untuk
memfinalkan politik harus disingMrkan. Falibilisme adalah
dasar untuk setiap antropologi politik sekular, yaitu
pandangan bahwa "kebaikan" dan "keadilan" harus selalu
diukurkan pada kondisi kesejarahan manusia. Dari kondisi
falibilis inilah demokrasi menyelenggarakan toleransi dan
pluralisme.
Toleransi berarti penyelenggaraan politik tanpa
penghakiman moral. Toleransi adalah kesepakatan untuk
menerima kemajemukan nilai dan pandangan hidup secara
horisontal. Dengan prinsip ini demokrasi sekaligus meng-
23
Demokrasi dan Kekecewaan
antisipasi berbagai kemungkinan perubahan nilai dan
pandangan hidup di dalam masyarakat. Dengan cara ini,
"isi politik" suatu masyarakat terhindar dari fmalisasi
dogmatis.
Toleransi adalah keindahan tertinggi dari demokrasi.
Pada titik ini sebetulnya kita dapat menyelenggarakan
demokrasi secara langsung, yaitu dalam pergaulan sosial
warganegara. Proyek demokrasi memang terletak pada
upaya untuk mengaktifkan politik pada pergaulan langsung
antar warganegara. Sesungguhnya, etika politik terbentuk
dari penyelenggaraan toleransi itu. Dalam kultur itulah kese-
taraan dan kebebasan dirawat untuk tumbuh menjadi apa
yang pernah disebut oleh Alexis de Tocqueville sebagai
habits of the heart. Demokrasi yang tumbuh dalam toleransi
akan menetap dalam kebudayaan, dan menjadi etika politik
yang otentik. Jadi, tetaplah demokrasi dapat diselengga-
rakan tanpa melulu harus melalui politik perwakilan.
***
Keterbatasan demokrasi ada pada fasilitas konsensual yang
ia sediakan. Demokrasi memang hanya mengolah ke-
benaran politik di antara mereka yang berkonsensus.
Bahkan lebih sempit lagi, konsensus itu harus diwakilkan
pada hanya segelintir orang melalui sistem perwakilan
pohtik, dan itu berarti terbuka peluang untuk praktik
ohgarki. Keberatan inilah yang dieksploitir oleh "pohtik
kiri" dan kalangan "posmodernis" untuk mendekonstruksi
demokrasi dengan mengujinya melalui rumpun teori hege-
mony (oleh politik kiri) dan prinsip anything goes (oleh
pohtik posmodernis). Politik kiri melakukan "penidakan"
24
Mengakti/kan Politik
pada demokrasi dengan mengaktifkan "antagonisme"
dalam relasi kebenaran. Percobaan semacam ini memang
berguna untuk mengadvokasi kaum "disensus" agar terus
mempertanyakan ruang hegemoni oligarki itu. Dalam
proposal politik kiri, ruang itu hams dikosongkan dari kon-
sensus oligarkis, dan demi itu perjuangan politik menjadi
permanen.
Persoalannya adalah bahwa politik kiri selalu membu-
tuhkan "kebenaran" yang monumental, sekaligus momen-
tual, untuk mengakses ruang kosong demokrasi. Itu berarti
suatu prakondisi historis harus berlangsung lebih dahulu
di luar sistem demokrasi, sebelum perjuangan politik itu
diarahkan pada para pemegang konsensus oligarkis. Si-
alnya, dalam sejarah, kebenaran monumental itu baru
dapat kita mengerti setelah momennya selesai. Jadi selalu
ada "keterlambatan historis", keterlambatan momentum
dalam politik kiri yang menyebabkan hilangnya energi
politik ketika diperlukan untuk menjalankan perubahan
politik radikal. Itulah sebabnya sifat perubahan yang terjadi
dalam politik kiri sering hanya berkadar "kuantitatif" dan
bukan "kualitatiF. Monumen politik kiri selalu kita dirikan
setelah momen radikalnya berlalu.
Politik posmodernis menantang demokrasi juga pada sifat
konsensualnya. Tapi bukan pertama-tama pada struktur
oligarkinya, melainkan pada pendasaran kebenaran yang
semata-mata rasional. Demokrasi memang mengandalkan
transaksi politik melalui fasilitas reason. Pada politik
posmodernis, fasilitas ini telah diobrak-abrik oleh kondisi
playfulness dari "kebenaran", yaitu kondisi politik yang
menerima aneka ideologi sebagai permainan kebudayaan
semata-mata, dan karena itu kebebasan dapat dinikmati
sepenuh-penuhnya di luar sistem politik kebenaran. Sa-
25
Demokrasi dan Kekecewaan
mudera politik posmodernis terbentuk oleh berbagai
imajinasi mikro, yang terus mengapung dalam medan
playfulness itu, tanpa dapat tenggelam di dasar absolut-
isme.
Di sini, sentimen ideologi tidak lagi diperlukan karena
pendasaran-pendasaran politik identitas telah mengalami
fragmentasi mengikuti pluralisasi isu dan lokasi. Dalam
kondisi kebudayaan yang fragmentaristis itu, semua hu-
bungan sosial— dari dnnia hiburan sampai sidang parle-
men— memang mengandung eksploitasi politik. Tapi
sekaligus di dalam sistem fragmentasi itu, perlawanan
politik dapat berasal dari segala arah, dan diselenggarakan
dalam segala waktu. Dalam pandangan posmodernis,
perjuangan demokrasi haruslah merupakan perjuangan
untuk menikmati pluralisasi identitas, fragmentarisasi
kebudayaan dan hibridisasi kebenaran.
*##
Demokrasi memang memerlukan radikalisasi secara terus-
menerus. Bukan saja ia harus melayani berbagai aspirasi
politik baru (misalya: multikulturalisme, feminisme, envi-
ronmentalisme), tetapi terlebih ia harus mengaktifkan rasio
publik agar kondisi falibilisnya tidak berhenti. Dengan kata
lain, demi memelihara prinsip "kesementaraan kebe-
naran", ia harus bermanuver dalam "berbagai konsensus"
dan menjaganya agar terus berada dalam kondisi argumen-
tatif. Tidak cukup mengatakan bahwa demokrasi hanya
dapat diselenggarakan dalam sebuah masyarakat yang
argumentatif, karena justeru demokrasi diperlukan untuk
mengedarkan argumen dalam masyarakat yang konser-
26
Mengaktifkan Politik
vatif, masyarakat yang doktrinal. Keperluan itu adalah
keperluan radikal bagi humanisme, yaitu penerimaan
falibilitas manusia.
Di sini kita bertemu lagi dengan rasionalitas demokrasi:
kebenaran politik adalah apa yang dapat disepakati dalam
batas-batas bahasa manusia. Artinya, semua "proposal
kebenaran" hanya boleh diedarkan dalam terminologi
sosial, dan bukan dalam terminologi akhirat. Memang,
demokrasi akan terus dieksploitasi oleh kegandrungan
pada "yang metafisik", oleh kerinduan pada "yang belum
ada", oleh pemujaan pada "yang absolut", tetapi kondisi
sosiologis manusialah yang menjadi batas operasi demok-
rasi Kondisi teologis manusia adalah orientasi eksklusif
setiap orang yang tddak mungkin dikontestasikan dalam
sistem demokrasi. Karena itu, ia berada di luar batas bahasa
manusia, berada di luar wilayah konsensus demokrasi.
Bagi kita di sini, sekarang, keperluan untuk meradi-
kalisasi demokrasi sungguh diperlukan karena pelem-
bagaan politik kita belum menghasilkan etika toleransi.
Demokrasi juga belum berhasil mendistribusikan keadilan
ekonomi karena electoral politics telah mengungguli citi-
zenship politics. Ada surplus kekuasaan di parlemen, tetapi
etika parlementarian terus mengalami defisit. Kita memang
menikmati political rights (hasil reformasi), tetapi civil
liberties kita justru terancam oleh pandangan-pandangan
kebudayaan yang absolutis.
Dalam bahasa filsafat pohtik hari-hari ini, kita perlu me-
nyelenggarakan demokrasi dengan cara mempertahankan
"kesementaraan abadi" dari kebenaran, sambil terus men-
dorong percakapan publik untuk mempersoalkan ketidak-
adilan dan kekerasan sosial berdasarkan ukuran-ukuran
sejarah dan hak asasi manusia. Inilah program minimal
27
Demokrasi dan Kekecewaan
untuk menjaga ruang percakapan demokratis berlangsung
dalam semangat falibilis, dan menghalau semua retorika
dogmatis yang dikemas dalam jargon-jargon demokrasi.
Dengan cara itu toleransi dan kemajemukan dapat
dipertahankan, dan perjuangan untuk keadilan sosial dapat
terus dikerjakan.
Pada akhirnya, demokrasi memang perlu bertumbuh
mengikuti keperluan sejarah. Dengan memahami kritikpos-
modernis (dan postrukturalis Lacanian), demokrasi akan
selaluberada dalam kondisi— istilah Guillermo O'Donnell—
the perpetual absence of something more. Antisipasi inilah
yang perlu kita manfaatkan secara strategis, sambil mem-
pertimbangkan untuk mengisinya dengan spirit disensus
politik kiri — untuk mengutip Alain Badiou: politics is the
art of attacking the impossible. Mengaktifkan politik de-
ngan cara ini, dapat menghindarkan kita dari pesimisme
dan disilusi.***
28
Negara Demokrasi
yang Belajar
Rizal Panggabean
Sebagai respon terhadap tulisan Goenawan Mohamad,
tulisan ini ingin menunjukan bahwa demokrasi sebagai
format kelembagaan politik dapat menjadi wadah atau
arena bagi demokrasi sebagai politik perjuangan. Selaras
dengan ixd, negara perlu dibawa ke dalam demokrasi. Kete-
gangan struktural antara demokrasi dan negara (dengan
gagas an kedaulatannya) tidakharus dihadapi dengan mena-
fikan, meninggalkan, atau menjauhi negara. Bagaimana
pun juga, sejarah menunjukkan bahwa ketegangan tersebut
adalah latar belakang bagi keagenan warganegara— baik
sebagai perseorangan maupun kelompok kecil yang kreatif
dan berani, dalam memperbaiki keadaan, baik melalui
lembaga-lembaga politik yang ada maupun di luarnya. Ti-
dak ada tempat yang lebih menarik dari Indonesia untuk
membahas hal ini.
Walaupun hanya sesekali dan tidak perlu berlama-lama,
inilah saatnya kita merayakan demokrasi di Indonesia. "Ke-
29
Demokrasi dan Kekecewaan
ajaiban modern," kata Kishore Mahbubani, dekan di Lee
Kuan Yew School of Public Policy, Universitas Nasional
Singapura, "benar-benar terjadi." Keajaiban yang ia maksud-
kan, tidak lain dan tidak bukan, adalah Indonesia kontem-
porer. 1
Satu dasawarsa setelah reformasi 1998, Indonesia tampil
sebagai kampiun kebebasan dan demokrasi bagi dunia
Islam dan negara-negara di Asia Tenggara. Ini keberhasilan
yang mencengangkan. Dilihat dari pengalaman transisi di
Indonesia, baru kali ini demokrasi berjalan satu dasawarsa
lebih. Tetapi, pengalaman Indonesia juga relevan jika diban-
dingkan dengan pengalaman negara lain yang keluar dari
otoriterisme. Bandingkan, misalnya, dengan Rusia. Setelah
lepas dari rezim komunisme dan melakukan reformasi
pada 1991, Rusia semakin lama bukannya semakin demok-
ratis, tetapi semakin melorot ke otoriterisme. 2
Sepuluh tahun lalu, hampir semua tolok ukur menunjuk-
kan Indonesia tidak berhak menjadi demokrasi. Negara
yang berpendapatan rendah dan masih sempoyongan
dihantam krisis moneter, dihadapkan kepada pembe-
rontakan di barat dan di timur, sementara Timor Timur masih
membara sebelum akhirnya lepas dengan berlumuran
darah. Tuntutan memisahkan diri, termasuk lewat refe-
rendum sebagai cara aman melepaskan diri, bermunculan.
Sementara itu, kekerasan agama dan etnis mulai terjadi di
'Kishore Mahbubani, "Indonesia's rise as a beacon of freedom,
democracy," Taipei Times', 18 September 2008, hal. 9.
2 M. Steven Fish and Danielle Lussier, "Society Counts: Public
Attitudes, Civic Engagement, Unexpected Outcomes in Regime
Change in Indonesia and Russia," paper yang disampaikan dalam
pertemuan tahunan American Political Science Association, Boston,
Massachusett, 28-31 Agustus 2008.
30
Negara Demokrasi
beberapatempat, seakan susul menyusul dengan kekerasan
yang menyertai jatuhnya Orde Baru pada 1998. Aparat
keamanan, yang dahulu menjadi rangka-baja rezim, ter-
belah, mengalami demoralisasi, dan tak kuasa meng-
hentikan konflik-konflik tersebut. Sudah begitu, sebagian
besar penduduk Indonesia beragama Islam pula— agama
yang sering dinilai tidak selaras dengan demokrasi.
Akan tetapi, Indonesia berhasil mengatasi berbagai
rintangan dan kejanggalan tersebut. Sepuluh tahun kemu-
dian, negeri berpenduduk Muslim terbesar di dunia ini me-
nunjukkan tidak ada yang tak selaras antara mengamal-
kan Islam dan menjadi demokratis. "Peta" Asia Tenggara
yang paling indah sekarang ialah yang dikeluarkan Fre-
edom House, sebuah lembaga di Amerika Serikat yang
memonitor pelaksanaan demokrasi di seluruh muka bumi.
Di peta itu, hanya Indonesia negeri yang bebas, dikelilingi
negara-negara yang tidak bebas atau separuh bebas. Me-
mang, sudah sejak tahun 2005 Freedom House menghi-
tung Indonesia sebagai negara bebas dilihat dari sudut
pelaksanaan hak-hak politik dan kebebasan sipil, capaian
yang menurut The Economist membuat negara-negara
tetangga yang lebih kaya, yaitu Singapura, Malaysia, and
Thailand, menjadi malu. 3
Selama periode itu, peningkatan dalam bahasa dan
kebudayaan Tionghoa telah terjadi, walaupun pada tahun
1998 terjadi kekerasan terhadap etnis Cina di beberapa
tempat di Indonesia, khususnya di Jawa dan Sumatra.
Kenangan pahit dan trauma karena serangan dan penis-
taan, yang berlangsung di beberapa tempat ketika itu, tentu
3 Peter Collins, "Indonesia sets an example," The World in 2009
(The Economist), hal. 63.
31
Demokrasi dan Kekecewaan
belum hilang. Tetapi, penindasan terhadap budaya dan
bahasa Cina, yang terjadi selama Orde Baru, sudah
dihentikan di zaman demokrasi. Etnis Tionghoa sekarang
bisa berekspresi dan berpartisipasi secara leluasa.
Bandingkan, misalnya, dengan nestapa etnis Kurdi diTurki
yang bahasa dan budayanya masih tertindas hingga
sekarang.
Serupa Amerika Serikat, Indonesia juga berkali-kali
mendapat serangan teroris yang dahsyat maupun tidak.
Tetapi, Indonesia sebegitu jaub dapat menghadapi dan
mengatasi serangan terorisme tanpa mengurangi kebe-
basan sipil warganya karena alasan perang melawan teror-
isme. Di Poso sekalipun, aparat keamanan meluangkan
waktu lama supaya gerombolan teroris yang bersembunyi
di kota dapat dilokalisir dan ditangani tanpa mengganggu
perasaan masyarakat Muslim setempat. Dalam hal mi, dan
terhadap Amerika Serikat yang selalu menjelaskan
kemerosotan kebebasan sipil di negeri adi daya itu dengan
berdalih kepada serangan 11 September 2001, Indonesia
boleh menepuk dada.
Di alam demokrasi, pemerintahan Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono berhasil menangani konflik yang
sudah berlangsung lama dan menyakitkan di Aceh. Ini-
siatif damai ini memang banyak ditopang momentum
kondusif yang diciptakan bencana gempa dan tsunami yang
terjadi di akhir tahun 2004. Tetapi, lihatlah Sri Lanka yang
juga dihantam tsunami. Perang Sinhala-Tamil terus mem-
buruk dan pemerintah maupun pemberontak gagal meman-
faatkan bencana sebagai kesempatan emas untukberdamai.
Di Aceh, sudah tiga tahun lebih perdamaian yang dicapai
melalui MOU Helsinki bertahan. Literatur penghentian
perang saudara dan pemberontakan mengatakan, lima
32
Negara Demokrasi
tahun adalah periode yang kritis. Jika periode ini dilewati
dengan baik, maka peluang bagi perdamaian untuk ber-
tahan semakin besar. Di Aceh, masa kritis ini belum
terlewati. Tetapi, masyarakat di Aceh sedang menikmati
kesepakatan damai yang sejauh ini paling awet, dan belum
tampak gelagat perang akan timbul kembali.
Militer, yang selama Orde Bam dengan dwifungsi ABRI-
nya terperosok ke dalam militerisme yang merasuk ke
berbagai asp ek kehidupan masyarakat, juga berubah. Belum
pernah dalam sepuluh tahun ini militer mengancam akan
melakukan kudeta. Malahan, jenderal-jenderal senior banyak
yang berkiprah di partai politik dan bersaing di pemilihan
umum— baik di tingkat pusat maupun provinsi dan kabupa-
ten, dan yang kalah menerimanya dengan lapang dada.
Sehubungan dengan perdamaian di Aceh, militer juga tunduk
kepada keputusan politik pemerintah dan bersedia bekerja
sama dengan-polisi apabila diminta. Jadi, kita harus angkat
topi untuk militer Indonesia yang dengan mengejutkan telah
menjadi model bagi angkatan bersenjata di mana pun ten-
tang bagaimana menerima transisi ke demokrasi.
#**
Sambil kita merayakan demokrasi, kita juga perlu me-
nerima kekurangan dan kelemahannya. Alangkah bagus-
nya apabila penerimaan terhadap kekurangan dan kele-
mahan yang timbul dalam demokrasi dilakukan dengan
antusias dan lapang dada. Kalau belum dapat menerimanya
dengan antusias, paling tidak kelemahan tersebut dapat
diterima dengan rasa dongkol dan sebal. Sebab, dalam
periode yang sama, demokrasi di Indonesia juga menam-
33
Demokrasi dan Kekecewaan
pilkan peristiwa dan gejala yang menimbulkan keraguan
terhadap masa depan dan daya tahan demokrasi.
Dalam hubungan antaragama, ada proses fundamen-
talisasi identitas keagamaan. Bentuknya bisa bermacam-
macam. Di kalangan umat Islam ada kecenderungan
memaksakan label kafir, sesat, dan identitas momok lain-
nya terhadap sekte minoritas atau gerakan keagamaan
baru. Usaha-usaha menerapkan apa yang dianggap sebagai
hukum Islam, misalnya melalui peraturan daerah atau
instruksi bupati, tidak selaras dengan tradisi toleran dan
moderat yang ditunjukkan umat Islam di Indonesia selama
ini. Demikian pula, konflik tempat ibadat (baik sektarian
maupun antaragama) yang terjadi di beberapa daerah
mencerminkan serangan terhadap perbedaan dan kebe-
basanberagama. Bila perbedaan dianggap kesesatan, maka
etos pluralisasi dalam demokrasi akan terganggu.
Walaupun serangan terhadap etnis Cina sudah berkurang
drastis sejak 1998 (kecuali kerusuhan di Selat Panjang, Riau
Kepulauan, pada 2001), kekerasan anti-Cina dapat terjadi jika
kita mengingat pola serangan terhadap etnis Tionghoa di
Indonesia. Sebagai ilustrasi, padatahun 1998, aparat keamanan
dapat mengubah dan membingkai-ulang protes dan
demonstrasi yang tadinya ditujukan terhadap rezim Orde Baru
menjadi kekerasan terhadap etnis Cina. Ini tampak khususnya
dalam serangan terhadap warga Tionghoa di Medan, Jakarta,
Solo, dan beberapa tempat lain. Selain itu, beberapa penelitian
menunjukkan kerentanan umat Islam, khususnya ketika terjadi
krisis sosial dan ekonomj, untuk dimobilisasi dan digerakkan
dalam rangka menyerang etnis Tionghoa. 4 Penggunaan
"John Sidel, Riots, Pogroms, Jihad (Singapore: National
University of Singapore, 2006).
34
Negara Demokrasi
repertoire kekerasan anti-Cina semacam ini tidak akan serta
merta berhenti dalam demokrasi.
Keberhasilan Indonesia menangani serangan teror-
isme boleh jadi menimbulkan rasa iri negara lain. Akan te-
tapi, perlu diingat bahwa terorisme, serupa tanaman, dapat
hidup di lahan yang memungkinkannya tumbuh. Peng-
alaman Amerika Serikat, Indonesia, dan banyak negara lain
selama sepuluh tahun terakhir menunjukkan dengan jelas
bahwa demokrasi bukanlah lahan gersang bagi aksi-aksi teror.
Di dalam demokrasi bisa ada ekstremisme dan nihilisme yang
menjadikan aksi teror sebagai senjata menyerang musuh
sembari menegaskan identitas yang dogmatis. Selain itu, eks-
tremisme dan nihilisme tersebut tidak selalu terkait dengan
agama; itu bisa juga terkait dengan etnisitas, ideologi, anti-
globalisasi, serta gerakan pembabasan dan separatisme.
Walaupun perang baru tidak terjadi di Aceh dalam waktu
dekat, provinsi di ujung Barat Indonesia ini masih dihadapkan
kepada ketidakpastian pasca-kesepakatan damai. Mantan
pemberontak sudah dapat menjadi gubernur, bupati, dan
walikota. Tetapi, kapasitas pemerintah daerah pada umumnya
masih lemah, dan ketimpangan lama antarkabupaten sering
mencuat dalam bentuk tuntutan akan pembentukan provinsi-
provinsi baru. Kesepakatan Helsinki sangat terfokus pada
pihak-pihak yang berperang, yaitu gerilyawan GAM (Gerakan
Aceh Merdeka) dan aparat keamanan Indonesia, dan kurang
memberikan jaminan bagi keselamatan warga dari aksi kri-
minalitas dan mtimidasi— termasukyang menggunakan senjata.
Rasa gamang dan tidak pasti di Aceh juga dapat bersumber
dari kemiskinan dan pengangguran.
Akhirnya, reformasi di sektor keamanan, khususnya
mihter, masih perlu dilanjutkan, supaya distorsi yang terjadi
di masa lalu tidak terulang lagi. Jika selama empat dasawarsa
35
Demokrasi dan Kekecewaan
lebih tak ada ancaman militer dari tetangga di ASEAN
terhadap Indonesia, perang di Timtim dan Aceh sudah ber-
henti, Papua tidak memerlukan operasi militer, bisnis legal
dan ilegal dibatasi atau dilarang undang-undang, apakah
tentara Indonesia hanya akan latihan halang rintang terus-
menerus? Selain itu, salah satu ironi Orde Bam adalah, militer
berkuasa dan mendominasi; tapi, setelah Orde Bam mbnh,
militer Indonesia terbukti paling merana di Asia Tenggara
dilihat dari peralatan dan sistem pertahanan.
Pengembangan karir militer (termasuk setelah pensiun),
dan modernisasi peralatan yang dapat menopang operasi
militer dalam perang dan bukan-perang adalah dua agenda
reformasi yang masih jarang dibicarakan. Dukungan negara-
negara sahabat terhadap reformasi militer, berbeda dari
dukungan terhadap polri, masih kurang dan lamban. Malah-
an, Amerika Serikat sering melancarkan kebijakan meng-
hukum walaupun TNI sudah berlaku baik dalam konteks
demokrasi. Tidak heran jika Mahbubani mengatakan bahwa
ancaman terbesar terhadap demokrasi di Indonesia datang
dari Amerika Serikat, baik melalui kebijakannya yang punitif
terhadap TNI maupun melalui petualangan politik luar negeri
di Afghanistan, Irak, dan Palestina.
***
Pengalaman Indonesia menunjukkan capaian-capaian
yang dapat diraih dalam demokrasi, beserta persoalan dan
tantangan besar yang menimbulkan keraguan terhadap-
nya. Tentu saja, daftar capaian dan tantangan tersebut masih
dapat diperpanjang— misalnya yang terkait dengan peran pers,
korporasi, organisasi masyarakat, dan lain-lain. Tetapi, contoh
yang diterakan di atas sudah memadai sebagai titik tolak
36
Negara Demokrasi
bagaimana memperlakukan demokrasi di Indonesia, ketika
negeri itu sedang membina demokrasinya sendiri.
Pertama-tama, demokrasi lebih tepat dipandang sebagai
adonan dari unsur-unsur yang berbeda dan dapat berten-
tangan satu sama lain. Tetapi, unsur-unsur tersebut saling
mengisi dan berhubungan. Harapan dan kecemasan,
keberhasilan dan kegagalan, takjub dan dongkol— semua-
nya selalu menyertai demokrasi. Adonan inilah yang
memungkinkan demokrasi mengeritik dan memper-
baharui diri— menjadi proses yang contingent karena
ketegangan yang ada dalam adonan tersebut.
Kalau dari adonan tersebut yang disoroti dan ditekan-
kan hanya capaian dan keberhasilan, maka yang akan
terjadi adalah triumfalisme demokrasi. Ini semacam sikap
atau keyakinan mengenai keunggulan atau superioritas
demokrasi dan keberhasilannya mengalahkan lawan-
lawannya. Demokrasi sudah berhasil di Indonesia. Hak-
hak politik dan kebebasan sipil sudah dilindungi. Pemilihan
umum berjalan dengan tenang dan damai, kesejahteraan
pada umumnya sudah mulai meningkat, dan militer sudah
tidak melanggar hak asasi manusia lagi. Ringkas cerita,
sejarah sudah berakhir. Ungkapan seperti inilah yang
menjadi ujung triumfalisme itu.
Begitu juga, kalau dari adonan itu hanya diambil unsur
kecemasan, kekecewaan, dan kegagalannya, yang selalu
disorot dan ditonjolkan, maka yang didapat hanyalah de-
fisit demokrasi. Tentu saja, berbagai uraian tentang defisit
demokrasi sudah bermunculan, misalnya dalam rubrik
krisis demokrasi liberal: merosotnya kepercayaan masya-
rakat terhadap pemimpin politik, rendahnya jumlah warga
yang memberikan suara dalam pemilihan umum, ber-
kurangnya partisipasi, jurang yang melebar antara rakyat
37
Demokrasi dun Kekecewaan
dan penguasa, kekuasaan korporasi yang berlebihan, dan
seterusnya. Dalam konteks internasional, negara demok-
rasi melancarkan perang— di Irak dan di tempat lain, dan meng-
ekspor demokrasi dalam peti kemas kekerasan negara.
Kedua, dan dengan mengingat konsepsi adonan di atas,
yang dicari dalam politik demokrasi janganlah kemurnian dan
keperawanan. Berdemokrasi berarti bersedia terpercik noda
dan belepotan, bergaul dengan penentang, tidur dengan
orang yang tak dikenal. Walaupun banyak pemikir demokrasi
radikal menginginkan politik yang murni, demokrasi yang
murni, dan sebagainya, pada dataran yang empiris dan
kehidupan sehari-hari demokrasi tidak akan murni. Dan ini
tidaklah aneh bila hakikat demokrasi sebagai sesuatu yang
contingent diterima dengan segala implikasinya. Demokrasi
di Indonesia, atau demokrasi di mana pun, tidak begjtu saja,
tidak selalu, dan tidak selamanya kebal dari deflsit demokrasi;
tetapi, pada saat yang sama, demokrasi itu memiliki daya dan
prinsip gerak ke arah emansipasi.
Akhirnya, ketiga, negara harus dibawa kembali ke de-
mokrasi. Studi-studi tentang demokrasi belakangan ini
banyak yang dilakukan dalam rangka menentang negara,
membuat jaraksejauh mungkin dari negara tentorial, atau
di luar kerangka negara dengan konsep kedaulatannya. 5
Mungkin ini terkait dengan us aha menemukan kemurnian
yang disebutkan di atas. Boleh jadi ini cerminan penekanan
terhadap defisit demokrasi, ketika negara dengan pongahnya
menjadi penyandang militerisme dan imperialisme. Sebagai
gantinya, salah satu pilihan adalah politik perlawanan nir-
5 Saul Newman, "Connolly's Democratic Pluralism and the
Question of State Sovereignty," The British Journal of Politics and
International Relations 10:2, May 2008, hal. 227-240.
38
Negara Demokrasi
kekerasan dalam kerangka anarkisme (berjuang menentang
status-quo) atau neo-anarkisme— yaitu kerjasama berbagai
lapisan dan golongan masyarakat menentang perang dan
kekerasan struktural. 6
Akan tetapi, negara bangsa masih tetap sebagai situs
pengambilan keputusan kolektif yang penting, deliberasi dan
pembahasan terhadap berbagai persoalan pelik, dan tawar-
menawar politik. Ini bukan berarti menafikan tatanan bukan
negara — baik pada tingkat lokal maupun global, bukan pula
meniadakan peran aktor-aktor bukan negara. Ini adalah
usaha untuk menerima negara sebagai sesuatu yang empiris
dan membawanya kembali ke demokrasi. Dalam kaitannya
dengan gerakan perlawanan nirkekerasan, bukan hanya
masyarakat yang perlu giat di dalamnya. Negara demokrasi
juga dituntut menyelesaikan konflik negara versus
masyarakat dan masyarakat versus masyarakat dengan cara-
cara nirkekerasan. Jika sebagaian besar inisiatif kekerasan
bersumber dari negara, bukankah negara harus banyak
belajar menggunakan mekanisme nirkekerasan? 7
Adonan demokrasi, dengan demikian, juga berlokasi di
negara bangsa. Jika negara dipandang sebagai sesuatu yang
contingent, maka ia tidak selalu semena-mena dan malang
melintang mengumandangkan perang. Selain itu, negara
yang demokratis memiliki beberapa rukun seperti pe-
misahan dan pembagian kekuasaan, perlindungan konsti-
tusional terhadap kebebasan dan kesetaraan, dan lain-lain.
6 Simon Critchley, Infinitely Demanding. Ethics of commitment,
politics of resistance (New York: Verso, 2007).
7 Chaiwat Satha-Anand, "Mengajarkan Nirkekerasan Kepada
Negara," dalam Agama danPerdamaian, diterjemahkan oleh Taufik
Adnan Amal (Yogyakarta: PSKP-UGM-Quaker-FKBA: 2001).
39
Demokrasi dan Kekecewaan
Pengertian demokrasi memang jangan dibatasi kepada
rezim dan lembaga politik dalam negara. Tapi, demokrasi
yang membumi harus juga meningkatkan aktor, kultur, dan
struktur kelembagaan politik negara bangsa.
Sehubungan dengan konsepsi kedaulatan negara, yang
sering dipandang sebagai ancaman terhadap demokrasi,
atau sesuatu yang tidak selaras dengan demokrasi, maka
dua hal dapat disebutkan di sini. Negara demokrasi tak
selalu, dan tidak dengan semena-mena, menindas hak-hak
politik warganegara. Negara dapat menyalahgunakan
kedaulatan. Tetapi, itu sangat tergantung kepada apakah
adonan demokrasi yang ada memberikan batasan dan
rintangan terhadap penyalahgunaan tersebut atau tidak.
Bahkan, ketika dihadapkan kepada perang melawan
terorisme, misalnya, negara demokrasi bisa memilih:
melakukannya dengan membatasi hak-hak sipil warga-
negara atau tanpa membatasinya, dengan semena-mena
atau dengan bertanggungjawab.
Selain itu, pengertian kedaulatan sendiri berkembang,
seiring dengan perkembangan norma dan nilai baru dalam
masyarakat internasional. Salah satu tawaran adalah
dengan memahami kedaulatan sebagai tanggung jawab,
khususnya tanggung jawab untuk mehndungi warganegara
dari kelaparan, kekerasan, dan kebodohan. Bukti kedau-
latan adalah tanggung jawab "memajukan kesejateraan dan
kebebasan warganegara, menggalang kerjasama dan
mengelola konflik," lebih-lebih ketika masyarakat, mi-
salnya karena ditindas dan tak berdaya, tidak dapat meng-
urus diri mereka sendiri. 8 Dan dalam demokrasi yang
"Francis M. Deng et. al., Sovereignty as Responsibility
(Washington, D.C.: Brookings, 1996); Report of the International
40
Negara Demokrasi
berjalan, rakyat menggunakan negara sebagai kerangka
mengurus diri sendiri dan memperjuangkan supaya negara
membuktikan tanggung jawab yaitu kedaulatannya.
Hakikat atau ciri contingency demokrasi, dengan de-
mikian, tidak harus dijadikan sebagai titik tolak mem-
pertanyakan kelaikan demokrasi sebagai logika atau nalar.
Seperti tampak dari uraian di atas, ciri contingency
demokrasi haruslah dijadikan sebagai pijakan melihat
kemungMnan dan kapasitas demokrasi sebagai praktik dan
sejarah.***
Commission on Intervention and State Sovereignty, The
Responsibility to Protect. (Washington, D.C.: ICISS: 2001).
41
Dua Monolog
tentang Demokrasi
Dodi Ambardi
Kita mungkin secara alami tak terlalu menyukai definisi,
apalagi definisi yang bersifat teknis. Dan demokrasi, di
tangan ilmuwan sosial dan politik, berubah menjadi sebuah
definisi dengan sederet kriteria teknis yang terkesan penuh
keruwetan soal pengukuran dan penghitungannya.
Salah satu artikel yang terkenal di kalangan ilmuwan
dan mahasiswa pascasarjana di berbagai Jurusan Ilmu
Politik adalah artikel What Democracy Is ... and Is Not,
ditulis oleh Philippe Schmitter and Terry Karl pada awal
I990an. Artikel pendek ini beredar terus-menerus di komu-
nitas akademik itu, dan mengajak orang untuk berpikir ten-
tang kriteria apa yang seharusnya dimasukkan dalam
sebuah definisi tentang demokrasi. Mereka yang berhasrat
menjadi ilmuwan politik memanfaatkan artikel Schmitter
dan Karl untuk berlatih debat tentang konsep demokrasi,
dan kadang mengembangkannya sebagai nampan penya-
ring untuk mengklasifikasikan rezim-rezim pohtik di berba-
gai belahan dunia.
43
Demokrasi dan Kekecewaan
Ketika semua kriteria demokrasi dipenuhi, setiap
kejadian demokrasi diperlakukan sebagai sebuah unit yang
kemudian menjadi bagian dari keseluruhan populasi
demokrasi. Dan populasi itu menjadi lahan untuk mengetes
teori, mengapa demokrasi muncul dan tenggelam di wi-
layah yang berbeda-beda, serta untuk menyelidiM faktor-
faktor yang mendorong dinamika itu. Ratusan traktat telah
dihasilkan dari proyek demokrasi ini.
Salah satu traktat penting dalam proyek ini dibikin oleh
sekelompok ilmuwan yang saat itu masih bercokol di Chicago :
Adam Przeworski dan kawan-kawan (2000), Democracy
and Development. Lagi, dalam tim ini, perincian kriteria
demokrasi ala Schmitter dan Karl ditetapkan. Insiden atau
kasus demokrasi awalnya diukur melalui kategori polar,
demokrasi atau dictatorship. Kalau satuan negara— demok-
ratis atau diktatorial— dijadikan unit pengbitungan, jumlah
populasi demokrasi di dunia tidaklah banyak. Jumlah
kejadian yang terlampau sedikit akan membatasi peluang
untuk melakukan uji statistik terhadap berbagai faktor yang
dipercaya sebagai sebab kemunculan demokrasi.
Mereka lantas mengajukan sebuah inovasi teknis dalam
penghitungan kejadian demokrasi (Anda bisa mencemo-
ohnya sebagai perumitan teknis belaka). Di masing-masing
kategori, insiden demokrasi dan dictatorship dihitungper-
tahun. Jadi, Fihpina misalnya, akan menghasilkan hitungan
18 kasus demokrasi karena demokrasi mulai muncul di
sana sejak tahun 1986, sampai 1990 ketika penehtian diada-
kan (empat kasus); dan kemudian ditambah 14, kasus
demokrasi yang muncul pada periode 1950-1964. Tahun
1950 ditetapkan tim Przeworski sebagai tahun pertama untuk
menghitung insiden demokrasi. Di antara dua periode
demokratis itu, Filipinamenyumbangkan 17 kasus dictator-
44
Dua Monolog
ship, yakni pada masa Ferdinand Marcos. Dengan inovasi
teknis ini, insiden demokrasi dan dictatorship yang bisa
diobservasi di dunia mencapai jumlah ribuan— sebuah jum-
lah yang cukup untuk melakukan beragam uji statistik
Dari banyak teori yang telah diterima umum, uji statistik
yang dilakukan Przeworski dan kawan-kawan terhadap
teori-teori itu memberikan banyak kejutan. Kita ambil, fak-
tor tingkat pembangunan ekonomi yang diukur melalui
rerata pendapatan individual setiap tahun, serta faktor agama
yang dianut oleh penduduk suatu negara. Dua faktor ini
mengilhami tesis utama dalam teorisasi tentang kemuncul-
an demokrasi.
Kejutan pertama, Przeworski dan kawan-kawan mene-
mukan bahwa tingkat pembangunan ekonomi tidaklah
memunculkan demokrasi. Seharusnya, ketika threshold
keberhasilan pembangunan dilampaui sebuah negara,
demokrasi akan muncul sebagai akibatnya. Uji statistik tim
Przeworski menolak tesis ini— tesis modernisasi di bidang
politikyang diutarakan dengan jernih oleh Seymour Martin
Lipset (1959). Namunbenar, kata mereka, demokrasi lebih
bisa bertahan pada negara-negara dengan penghasilan
perkapita yang tinggi. Di tdtik ini mereka mengajukan pe-
misahan konseptual antara kemunculan demokrasi dan
kestabilan demokrasi. Tingkat pembangunan ekonomi
dipercaya sebagai faktor yang bertangung jawab terhadap
kestabilan demokrasi, tapi ia tak bersangkut-paut dengan
kemunculan demokrasi di berbagai negara.
Pada saat yang sama, hasil temuan mereka juga me-
nunjukkan bahwa agama juga bukanlah penjelas yang
bagus untuk menerangkan kemunculan demokrasi di
Eropa dan Amerika. Kemunculan demokrasi, sebagian per-
caya, bersangkut-paut dengan Kristen Protestan yang
45
Demokrasi dan Kekecewaan
menjadi agama mayoritas di wilayah tersebut. Ini disang-
gah pula oleh Przeworski dan kawan-kawan. Temuan me-
reka menyodorkan, bahwa agama, tak peduli itu Kristen
Protestan atau Katolik, Islam, Hindu atau Budha, umum-
nya membawa destabilizing effect pada demokrasi maupun
dictatorship.
Konseptualisasi tentang demokrasi, inovasi teknis
penghitungan insiden demokrasi, dan temuan-temuan yang
diajukan oleh Przeworski dan kawan-kawan tentu meng-
hentak komunitas ilmuwan yang menekuni isu demokrasi.
Kerja mereka menghasilkan perdebatan riuh, menginspi-
rasi kerja penelitian berikutnya, melahirkan kritik, dan
menuai berbagai pujian. Mereka yang terlibat dalam riuh
rendah perdebatan itu mendemonstrasikan sebuah passion,
elan yang diperlukan untuk membangun, mendebat, mem-
falsifikasi, dan menguji teori-teori demokrasi.
***
Adakah manfaat kerja jenis ini bagi sebuah perkembangan
demokrasi? Goenawan Mohamad (GM) dalam esei
panjangnya datang dengan argumen yang membikin
masygul. Definisi, kalau kita memperlebar cakupan
argumen GM, bukanlah pertaruhan utama. Ketika tampil
sebagai sebuah definisi, atau dalam bahasa GM demokrasi
sebagai format, bukan saja demokrasi tak lagi inspiratif
bagi kitasemua, namun juga mematikan politik itu sendiri.
Anasir perubahan yang berpotensi mengguncang tatanan
politik dan sosial, dalam politik demokrasi dilunakkan.
Perubahan radikal yang menyangkut tatanan pokok
masyarakat dipermak menjadi perubahan yang sepotong-
46
Dua Monolog
sepotong, sehingga perubahan itu sendiri menjadi meredup
dan hilang esensinya.
GM mengutarakan logika ini dengan menarik. Lahan
pemilu demokratis di mana pun adalah sekumpulan pemilih
yang terdistribusi dalam "kurva lonceng". Mayoritas mereka
tinggal dalam gunungan yang paling besar, di tengah, dan
tak suka anasir perubahan yang bersifat ekstrem. Sebagus
apapun ide perubahan itu, kalau ia tampil dengan wajah
radikal, akan mental dalam pertarungan yang demokratis—
pertarungan yang pemenangnya ditentukan oleh suara ter-
banyak. Karena itu, suara GM terdengar pesimistis tatkala
menghitung peluang perubahan yang dibawa Obama. Ia pasti
terantuk dengan logika kurva lonceng: Obama tak akan berani
membalik pandangan dominan masyarakat Amerika yang
pro-Israel, dan tak akan membawa Hamas ke meja perun-
dingan.
Demokrasi kurva lonceng ini cocok belaka dengan imaji
demokrasi yang digambar oleh para ilmuwan politik, yang
dilabeli dengan istilah demokrasi prosedural. Ini label
netral, yang dipakai ilmuwan politik untuk menengarai
sebuah praktek demokrasi telah dijalankan di sebuah negara.
Namun, kini ia menjadi peyoratif yang dilafalkan dengan
nada ejekan. Ia menyerumpun dengan istilah demokrasi
liberal, sebuah ide pembebasan yang kini banyak didiskre-
ditkan karena justru dianggap kehilangan elan pembebasan-
nya.
Meminjam GM: Apa gunanya pemenuhan kriteria pro-
sedural jika dalam keseharian kita menyaksikan DPR yang
korup, dan politik dijalankan oleh partai-partai yang tak
jelas alasan hidupnya kecuali merebut kursi?
GM tak menampik demokrasi, dan tak hendak mengu-
bur partai politik. Hanya saja, demokrasi prosedural tak
47
Demokrasi dan Kekecewaan
mencukupi untuk sebuah perbaikan, untuk sebuah cita-
cita yang melampaui politik sehari-hari yang ribut melulu
dengan hitung-menghitung kursi. Demokrasi sebagai for-
mat hanya menyediakan politik sebagai ritus yang menentu-
kan menang-kalah secara numerikal. Karena itu, GM
menginginkan jenis politik yang lain, yakni politik sebagai
perjuangan. Memakai klise lama, kita memerlukan hadir-
nya orang-orang yang melihat politik sebagai panggilan.
Pandangan GM ini membawa konsekuensi yang jauh.
Ia menentukan susunan prioritas, apa yang dianggap ber-
nilai, kurang bernilai, dan tak bernilai. Kompromi, jalan
tengah, dan konsensus adalah kebajikan bernilai tinggi
dalam sejarah pertumbuhan demokrasi liberal. Metode ini
menggantikan penyelesaian perbedaan politik yang
sebelumnya ditentukan oleh tajamnya pedang dan runcing-
nya bayonet. Konflik dan perbedaan politik pada akhirnya
bisa dikelola tanpa cipratan darah. Namun, dalam pan-
dangan GM, dalam praktiknya, metode-metode penyele-
saian perbedaan politik ini tak identik dengan kebajikan.
Kompromi, jalan tengah, dan konsensus dalam demokrasi
bisa berubah menjadi muslihat untuk membungkam apa
yang dianggap menyimpang, obscene, dan menutup jalan
bagi alternatif-alternatif politik baru.
***
Lalu bagaimana menembus konservatdsme demokrasi pro-
sedural yang massif ini? Tulisan GM ditutup dengan kalimat-
kalimat berikut: "Satu-satunya jalan yang masih terbuka
adalah selalu dengan setia mengembalikan politik sebagai
perjuangan. Jalan yang ditempuh tak bisa dirumuskan
48
Dua Monolog
sebelumnya; selalu diperlukan keluwesan untuk memilih
metode, baik melalui perundang-undangan atau justru
melawan perundang-undangan, baik melalui partai atau-
pun melawan partai. Artinya, tiap kali kita membiarkan
diri untuk didesak oleh panggilan akan keadilan yang tak
pernah akan membisu."
Saya membayangkan, kritik dan proposal GM ini sampai
di tangan Schmitter dan Karl, serta dibaca Przeworski dan
kawan-kawannya. Dialog macam apa yang akan muncul dari
pertukaran pandangan mereka?
Awal kerja Schmitter dan Karl, Przeworski dan kawan-
kawan, adalah mencari deskripsi tentang sebuah gejala
demokrasi. Deskripsi itu harus bertolak dari sejumlah kri-
teria yang ditetapkan secara konsisten dari satu kasus ke
kasus lain. Pengertian demokrasi lantas dibakukan dan
dibekukan. Demokrasi dibakukan agar konsep itu menjadi
filter permanen untuk mengategorikan rezim politik, dan
dibekukan karena ingin membuat kemunculan demokrasi
sebagai gejala yang bisa diterangkan. Umumnya, teori hanya
bisa berjalan jika hal yang mau dijelaskan bukanlah sebuah
moving target.
Tujuan Schmitter, Karl, Przeworski dan kawan-kawan
karenanya adalah membesut deskripsi dan menguji teori,
apakah teori itu berhasil atau gagal menjelaskan sebuah ge-
jala. Namun, di mata GM, deskripsi dan penjelasan tentang
demokrasi bukanlah barang yang lebih berharga ketimbang
memperjuangkan dan memperbaiki kualitas demokrasi itu
sendiri. Kalau Schmitter cs ingin membekukan demokrasi
dalam sebuah konsep, GM ingin melumerkan definisi dan
konsep demokrasi, dan menjadikan demokrasi sebagai se-
buah kata kerja. Politik adalah perjuangan untuk senan-
tiasa memperbaiki demokrasi. Schmitter berangkat dari
49
Demokrasi dan Kekecewaan
apa yang ada, GM mulai dari apa yang bisa dicapai;
Schmitter bertotak dari penjarakan, sementara GM dari
keterlibatan.
Jika metode kerja keduanya berbeda, kira-kira salah
satu kemungkinan respon yang muncul dari kelompok
Schmitter setelah membaca tulisan GM, "Mas Goen, kita
siap mencatat, kita siap menjungkirkan teori-teori tentang
demokrasi yang selama ini telah mapan, dan kita dengan
senang hati menunggu sebuah sejarah baru."
Sampai ke kita, dua rute perjalanan ini ini bisa menjadi
pilihan langkah. Apakah anda ingin menjadi pelaku sejarah
atau pencatat sejarah? Takbanyak orang yang bisa meraih
keduanya secara sekahgus***
50
"Yang Politis
sebagai Nostalgia"
Robertus Robet
Setelah era gegap gempita penjatuhan Soeharto redup,
kepolitikan dimaknai sebagai sebidang ruang pasti yang
hanya bisa diperbaharui melalui penataan norma dan
institusionalisasi. Ini berlangsung temtama karena banyak
pihak memang dari awal mengambil sikap kompromi
terhadap rezim lama. Konsensus sudah dicapai bahkan
sebelum antagonisme dimulai. Kompromi terbesar
dibuktikan dari diterimanya rezim kelanjutan dan pemilu
yang ditawarkannya pasca penjatuhan Soeharto itu.
Penerimaan dan kompromi itu, secara dramatis mengin-
terupsi dan mengakhiri gairah reformis dalam mengha-
silkan perubahan-perubahan yang lebih berarti.
Sejak itu, politik yang menyeruak dalam peristiwa sesaat
yang melahirkan pembaharuan dalam sensasi univer-
salitasnya berubah. Gairah berubah menjadi hukum,
gerakan berubah menjadi prosedur, semangat berubah
menjadi institusi, kontradiksi berubah menjadi konsensus
51
Demokrasi dan Kekecewaan
dan normativisasi. Dengan dasar pandangan itu, politik
disempitkan sebagai pembaharuan dan dialirkan ke dalam
produksi massal lembaga-lembaga, partai dan komisi-
komisi. Gerak, gerilya dan kritdk yang sebelumnya subur
di mana-mana redup. Digantikan dengan disiplin semu
kelembagaan. Kehilangan ini mengawali kehilangan yang
lebih dalam, yakni hilangnya ingatan dan kepercayaan
terhadap "politik perjuangan" atau politik oposisional
alternatif. Korupsi, fanatisme dan keterbelakangan
imajinasi yang datang kemudian makin mengubur daya
tank politik ketika masih dialami sebagai peristiwa luar
biasa di jalan-jalan, di kampus-kampus, di ruang-ruang
subversif. Persis ketika demokrasi dimulai, politik
kehilangan pesonanya. Di dalam demokrasi, politik tinggal
nostalgia.
Di tdtik inilah kita menemukan dua jenis politik. Yang
pertama adalah politik yang hanya muncul di seputar
peristiwa-peristiwa "besar", politik sebagai— dalam istilah
Alain Badiou— "kejadian" Politik di sini disebut sebagai
"yang politis". Ia merupakan kulminasi dari gerak, kebe-
ranian, subyektifitas bersama-sama dengan kolektifltas dan
universalitas yang mengarah ke kebaruan. Kebaruan dalam
masyarakat, kebaruan dalam kebudayaan dan kebaruan
dalam ciri kemanusiaan. Inilah politik sebagai yang tak bisa
dinamai. Tapi justru oleh karena itu ia malah menyatukan
berbagai fragmen yang semula berserak. Ia yang dalam
suatu saat sempat menyatukan mahasiswa, LSM, politisi,
pensiunan tentara, kaum radikal, kaum pengusaha, kaum
buruh dalam suatu rongga enersi, imajinasi dan harapan
dalam cakrawala yang dengan gampang disebut sebagai
reformasi.
52
Yang Politis
"Reformasi' dengan demikian sebenarnya hanya
merupakan nama saja dari politik sebagai "yang politis".
Reformasi adalah simbolisasi baru untuk mengisi "yang
politik" sehingga dengan itu simbolisasi lama dapat benar-
benar dipatahkan.
Di titik ini, persis ketika simbolisasi lama patah, dan
reformasi muncul sebagai simbol baru yang meng-
gantikannya dengan berbagai nama-nama lanjutan seperti
pemerintahan reformasi, agenda reformasi, kabinet
reformasi. Reformasi melepaskan diri sebagai nama dari
"yang politis". Reformasi memapankan diri sebagai simbol,
struktur atau nama rejim baru. Akibatnya, persis ketika ia
mengukuhkan diri dalam kemapanan, ia jatuh dalam hu-
kum kelapukan.
Ia menjadi struktur yang merupakan sarang baru dari
berbagai obyek keterbelakangan politik. Para koruptor
bersarang dalam reformasi, kaum munafik dan fanatik
bersuara atas nama reformasi, pelanjut otoriterianisme
bersembunyi dalam "kebaikan" reformasi. Dengan ini,
reformasi yang semula menjadi nama dan simbol dari suatu
peristiwa yang luar biasa (kejadian) telah mengalami
kemerosotan. Ia bukan lagi wahana dari "yang politis". Di
titik ini kita menemukan politik dalam jenisnya yang
kedua: politik sebagai politik, sebagai persaingan rutin
mengejar kuasa dengan beragam cara.
Politik dalam jenis yang kedua inilah yang dalam
pandangan awam disebut dan dinamai sebagai politik.
Dengan itu, mereka yang awam dan seluruh peserta dalam
tubuh kepolitikan dari politik ini menerima dan memak-
lumi suatu standar keadaan, yakni bahwa politik adalah
kedurjanaan instrumental yang dipakai untuk mengejar
53
I demokrasi dan Kekecewaan
kepentingan. Apa pun agama dan klaim ideologinya semua
yang "berjuang" dalam cara dan matriks politik semacam
ini pada dasarnya sungguh tak ada bedanya. Di titik ini kita
menemukan perbedaan antara "yang politis" dengan
demokrasi.
Oleh karena pengalaman dan latar belakang historis
yang spesifik, demokrasi kita pandang sebagai suatu tahap
baru hasil dari pembalikan otoritarianisme. Lebih jauh lagi,
karena demokrasi datang sebagai hasil dari kehadiran
"yang politis", seringkali ia diidentikan atau disamakan
dengan "yang politis". Di sini, pada umumnya orang me-
ngenali "yang politis" sebagai "suasana demokrasi". Ia
dirasakan sebagai kondisi mental di mana publik bisa
mengekspresikan kebebasan secara optimum sehingga
dengan itu bentuk-bentuk antagonisme politik tampil. Di
titik ini berbeda dengan 'y an g politis'. Demokrasi pada
dasarnya memiliki suatu kesamaan dengan otorita-
rianisme: keduanya menunjuk pada tatanan atau pada cara
pemerintahan. Keduanya menekankan prosedur, institusi,
tatanan dan order. Yang membedakan keduanya adalah
pada soal siapa yang mengisi tatanan. Demokrasi meng-
andaikan absennya klaim untuk mengisi tatanan secara
tetap, sementara otoritarianisme dan sejenisnya meng-
klaim mengisi tatanan secara lengkap, penuh dan tetap.
Demokrasi hadir sebagai mekanisme dan prosedur untuk
"tidak melakukan apa-apa", ia membiarkan tatanan sebagai
gelanggang kosong. Sebagaimana reformasi, demokrasi
adalah bentuk bahkan tahap kepolitikan yang telah
ternamai dan memilikf standar yang bisa (hobyektifikasi
secara pasti. Sementara "yang politis", meski ia "ada di
sana", namun tetap tak pernah bisa dinamai.
54
Yang Politis
Di titik inilah kita kemudian bisa membaca kegelisahan
Goenawan Mohammad (GM). Ketika kita menerima
demokrasi, maka kita menerima sebuah sistem yang tak
pernah bisa dan tak boleh kita pastikan bagaimana ujung-
nya dan siapa-siapa saja pemain-pemain dalamnya.
Demokrasi adalah prosedur untuk segala kemungkinan.
Bagi GM, kemungkinan di sini termasuk kemungkinan
matinya "yang politik". Di titik ini kekhawatirannya
bermula. Untuk itulah ia kemudian mengajukan suatu im-
bauan nostalgis dengan cara Kantian.
Dasar imbauan itu tentu saja adalah empati terhadap
"yang politis". Yang jadi soal adalah justru dengan imbauan
semacam itu, GM mengambil risiko besar untuk mem-
posisikan (baca: mendegradasikan) "yang politis" sebagai
sejenis kategori transendental yang bisa dilindungi secara
"moral" oleh komponen-komponen di dalam kepolitikan
demokratis. Dengan itu di dalam GM, terbersit semacam
pandangan bahwa "yang politis" bisa diobyektifikasi
sebagai syarat normatif tertentu bagi kepolitikan demok-
ratis. Artinya lebih jauh lagi, GM memposisikan atau
setidaknya melihat "yang politis" sebagai bagian dari
prosedur normatif di dalam demokrasi. Dalam bahasa
Lacanian, aspirasi GM terhadap "yang politis" secara para-
doksal justru telah mendorongnya untuk menjatuhkan
"yang politis" dari "the real" (sang nyata) menjadi "the
simbolic" (sang simbolik). Paradoks yang, saya kira, tidak
dimaksudkan oleh GM.
Di titik ini, paradoks subyektif GM tadi mesti kita balik
dengan membuang aspirasi Kantiannya. Untuk itu kita
perlu Ricoeur. Di tahun 1965, dalam jurnal History and
Truth, Paul Ricoeur pernah menulis bahwa "politics only
55
Demokrasidan Kekecewaan
exist in great moment in crisis." Ini dikemukakannya
dengan basis pandangan mengenai politik sebagai
paradoks. Menurut Ricoeur, paradoks politik muncul
karena politik memiliki asal-muasal ganda: rasionalitas dan
kedurjanaan (a specifically political rationality and a
specifically political evil). Oleh karenanya, politik selalu
memiliki "otonomi relatir di dalamnya.
Dengan itu Ricouer memperkenalkan pemisahan awal
antara "the political" atau "Yang Politis" dengan "politics"
atau politik — atau, dalam istilah Lefort. antara le politique
(the political) dan lapolitique (politics). Dengan pemisahan
dan upaya otonomisasi ini, "yang politis" dalam Ricoeur
dipandang sebagai realisasi dari relasi manusia yang tidak
dapat direduksi ke dalam kategori apa pun. Sementara,
dengan politik, yang dimaksudkannya adalah segala bentuk
kedurjanaan dan permainan dalam kekuasaan.
Pengertian yang sama juga kita temukan dalam sal ah
satu penjelasan paling esensial dalam filsafat politik, yakni
melalui pemikiran Machiavelli. Ketika ia mengatakan bah-
wa pohtik adalah "ketegangan" antara virtu (yang pasti/
yangrasional/slxuktur/simbolik) dengan/orfuna (yangtak
pasti/tak diketahui/ketakmungkinan/"sang nyata").
Dari sini, melalui Ricouer dan Machiavelli, kita dapat mem-
posisikan bahwa "yang politis" pada dasarnya adalah persim-
pangan antara "rasionalitas" dan kedurjanaan. "Yang politis"
adalah gerak pertemuan antara segenap bentuk simbolisasi
terhadap "ketakmungkinan" (baca: the real atau sang nyata).
Artinya "yang politis" tidak pernah dapat dipastikan se-
cara a priori sebagai suatu kategori normatif Kedurjanaan
adalah faktisitas dalam demokrasi. Oleh karenanya, ia tidak
dapat dienyahkan hanya melalui suatu penerapan kategori
56
Yang Politis
etis-normatif. Pada saat yang sama, "yang politis" juga
adalah faktisitas. Bedanya adalah, kalau kedurjanaan ada
sebagai fakta di level realitas empirik, maka "Yang Politis"
ada sebagai realitas di dalam level metafisik. Artinya, "Yang
Politis" ada "di sana" namun ia tidak pernah bisa diberi
nama dan diprediksi serta dipastikan kapan dan di mana.
Di titik ini, mekipun kita menerima suatu kenyataan
bahwa demokrasi adalah sarang dari berbagai durjana, de-
mokrasi tidak akan pemah bisa "membunuh" "yang politis".
Oleh karena itu, sebenarnya Mta tidak perlu membangun
imbauan yang berbasis pada kekhawatiran bahwa "demok-
rasi" akan menenggelamkan "yang politis". Kedurjanaan
demokrasi "hanyalah" sebentuk simbolisasi lain yang sama-
sama diarahkan kepada "yang politis". 'Yang Politis" dalam
skema ini tidak lain adalah "sang nyata" dan demokrasi
bukan lain kecuali "sang simbolik", dalam skema triadik
Lacanian. DemiMan, karena Yang Simbolik tak kan pernah
bisa menguasai Yang Nyata.
"Yang Politis" tidak bisa dinamai dan tidak bisa dibu-
nuh. Ia hanya bisa dimengerti dan dimaknai secara semen-
tara karena keterbatasaan penandaan yang ada (politik,
struktur, simbolik). Dengan demiMan, singkatnya, hubung-
an kedurjanaan dalam faktisitas struktur simbolik dalam
kepolitikan dengan "yang politis" tidak dapat dimengerti
dalam koordinat epistemik dan moral Kantian. Ia hanya
bisa dipahami dalam suatu kerja negativitas.
Artinya, demokrasi dengan seluruh keterbelakangan di
dalamnya memang senantdasa berkemungkinan bergerak
ke arah kedurjanaan. Oleh karenanya, upaya untuk "meme-
lihara nostalgia" akan "yang politis" hanya bisa dilakukan
dalam kerangka "kerinduan" akan yang politis dalam ha-
57
Demokrasi dan Kekecewaan
rapan bahwa suatu ketika "yang politis" akan kembali mun-
cul dalam kejadian. Di titik ini, hanya melalui syarat kese-
tiaan dalam "yang politis" saja kita dapat melampaui
kedurjanaan dan keterbelakangan dalam demokrasi masa
kini.***
Sidamanik, 21 Desember 2008
58
Berharap pada
"Partai-partai Gerakan"?
Ihsan Ali-Fauzi
Dalam esamya untuk Nurcholish Madjid Memorial Lecture,
"Demokrasi 'dan Disilusi", Goenawan Mohamad (GM)
menunjukkan berbagai alasan mengapa demokrasi bisa,
sudah, dan rasanya akan terus, mengecewakan banyak
orang, termasukmerekayang sepenuhnya mendukung sistem
politik itu. Ini karena, kata GM, "demokrasi acapkali meng-
hentikan proses politik dengan mendasarkan diri pada
sebuah suara terbanyak atau sebuah konsensus. Dengan itu
apayang dianggap menyimpang, apayang obscene, dising-
kirkan. Maka ia tampak sebagai sesuatu yang tak hendak
membuka diri pada alternatif-altematif baru." Di ujung
esainya, GM menegaskan perlunya kita untuk terus mengon-
trol le politique, istilah Ranciere yang dipinjamnya untuk
menyebut "proses mediasi antara kekuatan yang menjaga
demokrasi sebagai format dan politik sebagai perjuangan
ke arah kesetaraan".
Tulisan ini ingin mengajak GM dan para pembaca untuk
mulai membincangkan kemungkinan tumbuhnya "partai-
59
Demokrasi dan Kekecewaan
partai gerakan" di tanah air, untuk mendukung sisi "per-
juangan" dalam kalimat GM terakhir di atas, tapi dalam
jalur yang formal atau semi -formal. Seperti banyak sumber
renungan GM, tulisan ini juga berangkat dari pengalaman
Eropa— hanya saja kali ini lebih empiris dibanding umum-
nya sumber-sumber GM. Saya pertama-tama diinspi-
rasikan Herbert Kitschelt, ilmuwan politik kelahiran Eropa
tapi belakangan banyak bekerja di Amerika, yang hampir
20 tahun lalu menulis The Logics of Party Formation:
Ecological Politics in Belgium and West Germany. 1 Dalam
buku itu, Kitschelt mencoba menunjukkan bahwa perilaku
partai-partai politik tidak harus sepenuhnya ditentukan
oleh imperatif "kurva lonceng", seperti yang dikatakan GM
dan umum disepakati para sarjana. Sesudah membaca
tulisan ini, saya berharap bahwa kita bisa mulai bicara
mengenai sebuah "partai perjuangan" di Indonesia di luar
PDI-P!
Suara Pemilih bukan Segalanya
Dalam risetnya, Kitschelt pertama-tama tertarik dengan
kenyataan tumbuh dan bertahannya apa yang ia sebut se-
bagai "partai-partai hbertarian-kiri" di Eropa sejak 1960-
an. Partai-partai itu pertama-tama muncul di Skandinavia,
Prancis, dan Belanda di bawah label "Kiri Bam", dan ber-
'Herbert Kitschelt, The Logics of Party Formation: Ecological
Politics in Belgium and West Germany (Ithaca: Cornell University
Press, 1989). Catatan mengenai halaman yang saya buat di dalam
teks merujuk ke buku ini. Untuk versi yang lain, yang lebih ringkas
tapi dengan kasus empiris lebih banyak, lihat juga Herbert Kitschelt,
"Left-Libertarian Parties: Explaining Innovation in Comparative
Party Systems," World Politics, Vol. 40, No. 2 (January 1988), hal.
194-234.
60
Berharap pada
saing dengan partai-partai komunis atau sosial demokrat.
Lebih belakangan, di Austria, Belgia, dan Jerman (Barat),
partai-partai "ekologi" atau "hijau" berhasil mengumpul-
kan suara cukup banyak dalam pemilu, yang makin mengu-
kuhkan signifikansi partai-partai libertarian-kiri di atas.
Ini gejala baru, karena sebelum tahun 1960-an, sistem-
sistem kepartaian dalam demokrasi Eropa distrukturkan
menurut pola-pola social cleavages yang sudah lama ada
dan stabil, seperti kelas, agama, etnisitas, atau hubungan
pusat-daerah. Partai-partai lama di Eropa, seperti Partai
Buruh atau Partai Konservatif, atau Partai Demokrasi
Sosial, tumbuh di atas cleavages ini. Beda dari partai-partai
ini, partai-partai libertarian-kiri di atas menawarkan pro-
gram dan memperoleh dukungan dari konstituen yang
serba melintasi (cut across) kantong-kantong sosial di atas.
Pertanyaan Kitschelt: jika hukum besi "kurva lonceng"
begitu berperannya, bagaimana partai-partai libertarian-
kiri itu bisa bertahan dan tetap memperoleh dukungan?
Dengan memfokuskan perhatian pada orientasi dan per-
ubahan nilai di kalangan generasi baru, yang lebih terdidik,
para warganegara di era pasca-Perang di Eropa, Kitschelt
menemukan bahwa partai-partai ini tumbuh dari gerakan-
gerakan sosial yang peduli pada isu-isu gaya-hidup seperti
lingkungan, rasisme, perdamaian dan gender; ringkasnya,
kepedulian terhadap apa yang oleh Kitschelt disebut
"politik ruang" dan "politik identitas".
Karena bentuk pengelolaan partai dan isu-isu substantif
yang mereka perjuangkan, Kitschelt menyebut partai-
partai itu sebagai 'libertarian-kiri". Partai-partai itu "Mri"
karena, "sejalan dengan tradisi sosialis, mereka mene-
gaskan solidaritas dan kesamarataan dan menolak keuta-
maan pasar dan efisiensi alokasi sebagai arbiter paling
61
Demokrasi dan Kekecewaan
pokok untuk menilai perkembangan dan keadilan sosial"
(hal 2) . Di sini ada dukungan kepada tradisi sosialisme yang
tidak atau kurang percaya pada pasar, investasi swasta, dan
ada komitmen kepada redistribusi untuk tujuan-tujuan
egalitarian. Namun, pada saat yang sama, partai-partai itu
"libertarian" dalam "penolakan mereka atas visi sosialis
mengenai perencanaan terpusat dan organisasi partai, dan
panggilan mereka kepada sebuah masyarakat di mana
otonomi individual dan partisipasi warga dalam urusan-
urusan publik memperoleh prioritas" (hal. 2). Untuk alas an
ini mereka menolak otoritas birokrasi baik yang bersifat
publik atau swasta untuk mengatur tindakan individual
atau kolektif.
Sebagai konsekuensinya, Kitschelt menemukan bahwa
partai-partai ini mencoba menemukan cara-cara baru di
dalam memobilisasi warganegara, yang dapat menawarkan
kepada warganegara ini sebuah bentuk masyarakat yang
lebih terdesentralisasi dan partisipatif. Pada saat yang
sama, partai-partai itu juga mencoba memperjuangkan
sebuah masyarakat yang tidak terlalu menekankan per-
tumbuhan ekonomi dan persaingan. Ia juga melihat bahwa,
karena para anggota partai ini umumnya pernah terhbat
di dalam gerakan-gerakan protes dan di dalam aliansi-
aliansi longgar yang terbentuk di antara organisasi-
organisasi egalitarian sebelumnya, di mana hanya ada
sedikit hierarki di dalam proses pembuatan-kebijakanyang
formal, maka para pemimpin partai ini juga membentuk
dan menjalankan partai mereka dengan cara yang sama.
Bagi Kitschelt, pemahaman yang memadai atas partai-
partai libertarian-kiri ini, yang membawa benruk-bentuk
dan cara-cara baru di dalam pengorganisasian dan strategi
partai ke dalam demokrasi Barat, memerlukan cara analisis
62
Berharap pada
baru juga. Muncul dan bertahannya partai-partai itu tidak
bisa dijelaskan menurut pandangan tentang organisasi
partai yang "fungsionalis konvensional", yang selalu
menafsirkan peran partai dalam kerangka imperatif-
imperatif sistemik, entah itu stabilitas, adaptasi, keseim-
bangan, atau kemampuan politik. Alih-alih mengikuti
penjelasan konvensional ini, Kitschelt mencoba menje-
laskannya dalam konteks perubahan politik yang terjadi
di Eropa, dalam bentuk realiansi elektoral dan dealiansi
organisasional di antara warganegara dan partai.
Kitschelt lalu menawarkan dua logika pembentukan
partai: yang konvensional, yakni "logika kompetisi di
antara partai-partai", dan yang inovatif, yang disebutnya
"logika representasi konstituensi" Bertentangan dengan
logika pertama yang sudah lama dianut oleh partai-partai
massa konvensional, kata Kitschelt, partai-partai liber-
tarian-kiri dengan inovatif memanfaatkan "krisis represen-
tasi di banyak demokrasi modern" (hal. 5), dengan
mengikuti logika pembentukan partai yang kedua.
Bertentangan dengan cara konvensional di dalam
menjelaskan partai-partai politik, Kitschelt berpandangan
bahwa partai-partai ini tidak sepenuhnya terhambat oleh
persaingan elektoral seperti yang diduga banyak sarjana
konvensional. Bagi partai-partai ini, suara pemilih itu
penting, tapi yang juga tak kalah pentingnya adalah ga-
gasan dan para aktivis yang menopang gagasan-gagasan
ini— dan partai-partai baru dapat melahirkan inovasi politik
di dalam demokrasi kontemporer.
Tapi mengapa terjadi krisis representasi di demokrasi-
demokrasi Barat? Menurut Kitschelt, baik Belgia maupun
Jerman (Barat) memiliki sistem representasi kelompok-
kepentingan dua lapis. Di lapisan pertama ada kelompok
63
Demokrasi dan Kekecewaan
bisnis, buruh, profesi, dan gereja, yang "memperoleh akses
khusus kepada wilayah pembuatan-kebijakan dan yang erat
terkait dengan pihak eksekutif dan partai-partai mapan
melalui komunikasi yang berlangsung reguler, posisi
kepemimpinan yang saling bertaut, dan kaitan-kaitan
organisasional". Sementara itu, lapisan kedua terdiri dari
berbagai kelompok konsumen, perkumpulan perempuan,
para aktivis lingkungan, dan kelompok kepentingan publik
lainnya. Berbeda dari lapis yang pertama, kelompok
terakhir ini hanya memperoleh sediMt kredibilitas di mata
para politisi partai dan pejabat publik, karena "tingkat
pengorganisasian mereka secara formal relatif rendah dan
mereka tidak memiliki atau kekurangan elite yang dapat
membuat komitmen-komitmen yang mengikat atas nama
konstituen mereka" (hal 28). Lebih jauh lagi, mereka juga
kurang diuntungkan oleh fakta bahwa mereka meng-
crosscut kantong-kantong pemilih yang sudah direpre-
sentasikan oleb partai-partai besar
Dalam pandangan Kitschelt, partai-partai libertarian-kiri
memperoleh suara terutama dari kelompok-kepentingan di
lapisan kedua di atas, yang melihat bahwa partai-partai
konvensional bukanlah saluran yang tepat untuk mem-
perjuangkan kepentingan mereka. Partai-partai itu bisa
bertahan, tambah Kitschelt, karena mereka menerapkan
teknik dan menyuarakan isu-isu yang menjadi kepedulian
utama sekelompok kecil orang (tapi dengan jumlah yang
terus meningkat), yang tidak akan mampu, atau mau,
diadopsi oleh partai-partai besar. Di sini partai-partai
massa yang mapan menjadi korban keberhasilan mereka
sendiri, ketika mereka membuka diri seluas-luasnya untuk
memaksimalkan perolehan suara. Dalam proses itu, pesan-
pesan kampanye pohtdk dan kebijakan mereka cenderung
64
Berharappada
menjadi begitu melebar (menjadi partai catch-alty, ber-
orientasi status quo dan tidak mampu merespons tuntutan-
tuntutan bam.
Implikasi: "Partai Gerakan" di Indonesia?
Pelajaran apa yang bisa diambil dari temuan Kitschelt
di atas bagi penguatan demokrasi di Indonesia? Tenitama
dalam arah yang memenangkan sisi "perjuangan" GM
dalam persaingannya dengan hukum besi "kurva lonceng"
demokrasi?
Sudah klise, dan usang, mencerminkan kemalasan
berpikir, untuk hanya mengatakan bahwa Indonesia beda
dari Jerman (Barat) atau negara-negara Skandinavia. Ten-
tu saja! Yang lebih penting adalah menelusuri sejauh mana
dan bagaimana perbedaan itu, dan bagaimana memper-
sempit jaraknya. Bukankah sejarah yang terbaik untuk kita
pelajari, dalam rangka memperkokoh dan menambah gizi
demokrasi Mta, adalah sejarah pertumbuhan demokrasi
Eropa?
Dari segi ini saya ingin mencatat beberapa hal yang
berguna dari temuan Kitschelt. Di penutup akan saya tun-
jukkan bahwa kita tak jauh-jauh amat dari Eropa.
Pertama, bermanfaatuntukmenegaskan pembedaanyang
dibuat Kitschelt antara "kelompok kepentingan'' pada umum-
nya, yang lebih peduli pada kepentingan ekonomi, dengan
apa yang ia sebut sebagai "kelompok kepentingan publik".
Pembedaan ini membantu kita di dalam memisahkan secara
lebih tegas antara apa yang umum disebut "kelompok-ke-
lompok kepentingan" dan "organisasi-organisasi gerakan
sosial". Dengan yang terakhir, yang biasanya dimaksudkan
adalah organisasi atau aliansi longgar yang mengartikulasikan
dan memperjuangkan kepentingan warganegara dengan
65
Demokrasi dan Kekecewaan
orientasi nilai dan perilaku yang oleh Kitschelt disebut "pasca-
materialis". Khususnya oleh para sarjana Eropa, organisasi
atau aliansi longgar inilah yang biasa disebut "gerakan-
gerakan sosial bam". Nah, dalam sejarah Eropa, kedua jenis
kelompok kepentingan itu ikut serta dengan partai-partai
politik di dalam mengartikulasikan dan memperjuangan ke-
pentingan warganegara. Namun, kedua kelompok
kepentingan itu pada umumnya berbeda dari partai-partai
politik karena yang terakhir ini ingin menduduM posisi-posisi
pemerintahan lewat pemilu. Hanya dalam situasi-situasi
khusus saja, seperti akan saya diskusikan di bawah, kelompok
kepentingan publik mengubah diri mereka menjadi partai
politik, seperti Partai Hijau di Eropa.
Kedua, dalam upayanya untuk menjelaskan hubungan
antara partai politik, kelompok kepentingan, dan gerakan-
gerakan sosial, Kitschelt menawarkan perspektif yang lebih
komplementer, yang menekankan dinamika hubungan di
antara ketiganya. Ia cenderung mendukung pandangan
tentang representasi yang lebih reformis dan tidak anta-
gonistis: partai poMtik itu penting dalam demokrasi, tapi
yang tak kalah pentingnya adalah kelompok-kelompok
kepentingan yang terorganisasi, yang bertugas mengawasi
agar partai-partai politik setia kepada janji-janjinya selama
kampanye, dan menawarkan model-model alternatif
partisipasi warganegara.
Dalam skema Kitschelt, yang juga memainkan peran
penting dalam demokrasi di Eropa adalah kelompok-ke-
lompok kepentingan publik atau gerakan-gerakan sosial.
Di sini, partai politik dan gerakan sosial memiliki peran
berbeda, tapi bisa saling melengkapi. Dalam bukunya
Kitschelt menggambarkan bahwa, misalnya, kadang
warganegara di negara-negara tertentu di Eropa ingin agar
66
Berharap pada
kepentingan mereka bisa dibela lewat sistem demokrasi
perwakilan atau langsung. Tapi di waktu lain mereka dibuat
frustasi oleh kedua sistem ini dan mulai tertarik dengan
model partisipasi lewat gerakan-gerakan sosial. Atau,
ketika kebutuhan material mereka sudah terpenuhi oleh
sistem yang berpusat pada pasar dan individualis, tuntutan
mereka beralih ke sumber-sumber kepedulian yang lain,
seperti kepedulian akan lingkungan atau kesetaraan
gender, dan mereka menjadi bersemangat untuk ber-
partisipasi di dalam proses pembuatan-kebijakan yang bisa
berpengaruh di tingkat global. Tapi terlibat dalam organ-
isasi-organisasi gerakan sosial juga bisa mendatangkan
kekecewaan karena berbagai alasan: konsensus bersama
sulit dicapai, banyak waktu luang hams dikorbankan, hasil
akhir yang terbatas, dan lainnya.
Ketiga, oleh Kitschelt, partai-partai libertarian-kiri di-
sebutnya juga dengan "partai non-partai" atau "partai-
partai gerakan". Demikian, karena pada momen tertentu
gerakan-gerakan sosial harus mentransformasikan diri
mereka menjadi partai-partai politik. Di Jerman (Barat)
dan Belgia, partai-partai libertarian-kiri baru muncul
karena tuntutan yang diajukan gerakan-gerakan protes
"disepelekan oleh partai-partai sosialis, liberal dan
demokrasi Kristen" (hal. 2). Karena corak spesifiktumbuh
dan bertahannya partai-partai itu, kadang mereka juga
memiliki "watak" yang khusus. Salah satunya adalah: ke-
longgaran organisasi mereka kadang menjadikan mereka,
seperti ditunjukkan Gunther dan Diamond, "mitra koalisi
yang tidak pragmatis dan tidak bisa diandalkan". 2
2 Richard Gunther and Larry Diamond, "Species of Political
Parties: A New Typology," Party Politics 9 (2003), Hal. 189.
67
Demokrasi dan Kekecewaan
Keempat, masih terkait dengan "watak" partai gerakan
di Eropa, kesimpulan Kitschelt mengenai apa yang dise-
butnya "efek balik" yang sering terjadi ketika gerakan-
gerakan sosial baru berubah menjadi partai partai-politik.
Salah satunya adalah kesulitan yang dihadapi partai-partai
ini di dalam menjaga komitmen mereka pada demokrasi
partisipatif. Karena partai-partai polirik harus menghadapi
masalah kelangkaan sumber, misabiya, Kitschelt menyebut
sering munculnyanya klik-klik para "pengusaba politik"
yang salingbersaing memperebutkan posisi penting dalam
partai, yang mengecewakan para anggota. Kitschelt juga
menyajikan banyak data yang menunjukkan bahwa kelong-
garan organisasi kadang memunculkan masalah kekom-
pakan, terbatasnya partisipasi, keabsahan keputusan
kolektif yang diambil, dan pertanggungjawaban.
Butir-butir yang saya pertegas dari Kitschelt di atas bisa
kita temukan jejaknya di Indonesia. Alhasil, kita memang
berbeda dari Jerman (Barat) atau Swedia, tapi tidak ber-
beda amat. Bukankah kita pernah memiliki PRD, dan
bukankah PKS adalah "partai gerakan" yang termakan oleh
suksesnya sendiri dan kini ingin menjadi partai massa biasa
dengan memuji-muji Pak Harto? Lalu, bukankah Walhi
atau AKKBB sejenis kelompok kepentingan pubhk?
Daripada terus menggerutu kepada Megawati, mengapa
kita tidak mulai membincangkan kemungkinan mendiri-
kan "partai perjuangan" baru, yang bukan PDI-P? Dan kita
terima manisnya— juga pahitnya sekalian?***
68
BAGIAN III:
TANGGAPAN ATAS
TANGGAPAN
Demokrasi,
Politik dan Kairos
Goenawan Mohamad
I.
"The ceremony of innocence is drowned, "kata Yeats dalam
salah satu sajaknya.
Beberapa kejadian penting selama dua dasawarsa ter-
akhir membuat kita memang tak bisa bersikap polos lagi—
"polos" dalam arti naive dan merasa tanpa dosa, dan sebab
itu 100% yakin. Kita mencita-citakan dan melahirkan revo-
lusi atau reformasi, atau menerapkan kebijakan ekonomi
yang curiga (atau sebaliknya percaya) kepada pasar bebas,
atau lebih terbatas lagi, menyelenggarakan referendum
atau pemilihan umum. Tapi kita tak bisa lagi mengang-
gapnya sebagai ritus yang berasumsi bahwa harapan
manusia bisa aman.
Kita tak lagi punya jaminan yang mantap untuk arah
sejarah, baik nun di dasar terdalam kehidupan maupun di
langit atas. Zaman "narasi besar" telah berakhir. Tak ada
yang ilmiah tentang tujuan hidup manusia dan tak ada lagi
yang sakral dalam cerita tentang nasib. Keyakinan-keya-
Demokrasi dan Kekecewaan
kinan pokok telah terkatung-katung: zaman ini rentan
terhadap skeptisisme yang melumpuhkan. Antitesisnya
datang: dogmatisme yang keras, bahkan galak. Kini, untuk
sekali lagi mengutip Yeats, kali ini pada dua barisnya yang
terkenal, "The best lack all conviction, while the worst/
Are full of passionate intensity."
Dalara keadaan itu, masa depan terombang-ambing
oleh gelombang masa kini. Di tahun 1989 Tembok Berlin
diruntuhkan penduduk. Mereka membelot, menampik
"kediktatoran proletariat" Republik Demokrasi Jerman.
Perang Dingin pun berakhir. Tapi hanya sekitar 10 tahun
kemudian perdamaian ternyata luput, setelah selama abad
ke-20 jadi cita-cita besar. Bukan saja pendudukan Israel
di wilayah Palestina terus menimbulkan ketegangan lokal,
tapi ia pada akhirnya bertaut dengan perkara lain. Ia
berkembang berjela-jela jadi "teror" dan "perang melawan
teror" yang mengancam pelbagai tempat di dunia.
Tahun 1989 juga menandai gagalnya sebuah proyek
besar penciptaan keadilan: "sosialisme", "komunisme".
Tapi sistem ekonomi yang menang, yang beriman pada
pasar, kemudian juga terbentur. Dengan ideologi ala
Reagan dan Thatcher, dibenarkan untuk mengabaikan
redistribusi sumber dan hasil-hasil pertumbuhan ekonomi;
yang dianggap penting adalah dinamika kekayaan yang
bertambah sebagai hasil persaingan bebas. Dalam periode
ini, kapitalisme yang melembagakan jor-joran menemukan
ruangnya yang utuh penuh. Sebuah era neohberal hadir.
Tapi seperti dikatakan JFukuyama— seseorang yang sama
sekali bukan sosialis— "Revolusi Reagan sesat jalan".
"Revolusi" itu "jadi sebuah ideologi yang tak dapat digugat,
bukan sebuah jawaban pragmatis terhadap ekses-ekses
Negara kesejahteraan."
72
Demokrasi
Ideologi itu, yang oleh George Soros disebut sebagai
"fundamentalisme pasar", kini guncang oleh krisis ekonomi
dunia yang dimulai para penguasa keuangan dari Wall
Street. Setelah Bush jatuh dan Obama dipilih, dunia, ter-
utama Amerika Serikat dan Eropa, tampak hendak kembali
ke "kornpromi Keynesian".
Bagaimana dengan "akhir sejarah"? Kita tak tahu lagi.
Contoh yang dekat. Di tahun 1998, proses kembalinya
demokrasi di Indonesia dimulai dengan semangat yang
gemuruh dan hasil-hasil yang mengesankan. Sebuah kondisi
yang mungkin bisa disebut tdpikal di "akhir sejarah" (dalam
pengertian Fukuyama, mengikuti Hegel) hadir: sebuah
masyarakat Indonesia yang mempunyai ciri-ciri "borjuis".
Tapi mungkin kita perlu baca kembali karya Fred Hirsch,
The Social Limits to Growth. Dengan tajam Hirsch melihat,
masyarakat seperti itu punya tiga ciri. Pertama, ia me-
ngukuhkah ekonomi yang bergerak karena persaingan,
bertumpu pada kekuatan swasta yang memegang teguh hak
milik. Kedua, ada persetujuan terhadap janji bahwa eko-
nomi yang bergerak itu akan tumbuh dan memperbaiki
jenjang perbedaan sosial. Ketiga, ia mendukung sebuah
sistem pohtik yang berniat meluaskan partisipasi rakyat
dan memperkukuh suara dari bawah— dengan demokrasi
perwakilan.
Tiga ciri, tiga komitmen. Tapi bagaimana komitmen-
komitmen itu saling cpcok dan mendukung?
"Any two of these characteristics might be compatible,"
tulis Hirsch, "the three together were not." Dalam keadaan
distribusi pendapatan yang timpang, sebuah demokrasi
perwakilan akan dapatberfungsi dengan baik, tapi, karena
komitmen untuk keadilan sosial, sistem itu akan meng-
hambat akumulasi modal dalam pesaingan bebas. Atau,
73
Demokrasi dan Kekecewaan
gairah kapitalisme dan akumulasi modal bisa berjalan rapi,
efektif, namun jelas perbedaan yang tajam antara kaya dan
miskin akan menyebabkan demokrasi perwakilan tak dapat
dibiarkan berfungsi. Dalam keadaan lain, demokrasi
perwakilan akan membiarkan gerak ekonomi kapitalis
berlangsung, apabila dari sini— dengan pertumbuhan itu—
ada harapan bahwa terbuka jalan ke arah pemerataan keka-
yaan. Dan itulah memangyang umumnya diharapkan, juga
di Indonesia kini.
Tapi Hirsch memperingatkan, pertumbuhan ekonomi
yang menimbulkan keberlimpahan itu mengandung janji-
janji yang palsu. "The flaw in the affluent society lies not
in the false values of affluence but in its false promise,"
tulisnya.
Persoalannya bukanlah karena tak adanya usaha mengisi
arti "keadilan sosial". Persoalannya terletak di dasar
dinamika pertumbuhan ekonomi itu sendiri.
Sumbangan yang orisinal dari Hirsch adalah konsepnya
tentang "positional goods." Dalam konteks lain, ia dapat
disebut sebagai "kekayaan oligarkis'', bukan "kekayaan
demokratis".
Harta benda posisional itu adalah barang-barang— dalam
bentuk benda dan jasa— yang dimiliki sebuah minoritas.
Harta benda itu hilang kelebihannya ketika ia dimiliki oleh
mayoritas. Contoh yang baik adalah mobil, rumah per-
istirahatan di bukit yang luang, dan gelar akademis. Makin
banyak orang yang memilikinya, makin hilang apa yang
membuatnya dulu diinginkan: mobil kehilangan fungsi
kenyamanan dan kecepatannya (parkir sulit, jalan macet),
dan rumah tetirah kehilangan ruang lengangnya yang pan-
tas untuk istirahat. Ketika hanya segelintir orang punya
gelar akademis, sangat mudah untuk memperoleh kerja
74
Demokrasi
yang menyenangkan; tapi ketika semua orang lulus uni-
versitas, sebaliknya yang terjadi.
Hirsch bicara tentang "kongesti". Ia mengibaratkan
keikut-sertaaan orang ramai dalam pertumbuhan ekonomi
sebagai orang antri bersijingkat untuk melihat apa yang di
depan: ketika semua orang demikian, tak seorang pun—
kecuali segelintir yang paling ujung— bisa menikmati yang
dicari.
Akhirnya, pertumbuhan ekonomi dalam semangat
demokratisasi dalam politik dan dalam kekayaan akan
menemukan batas-batas sosialnya. Makin berkembang
sebuah masyarakat dari taraf pemenuhan kebutuhan dasar,
makin banyak harta-benda posisional yang djumpai dan
dibutuhkan.
Sebagaimana yang berlaku dalam ekonomi pasar,
sebuah fantasi telah menopang hubungan manusia dengan
barang-barang: karena semua hal bisa diukur dengan nilai-
tukar, bukan nilai-guna, barang-barang itu pun seakan-
akan dengan serta merta berada dalam parameter yang
sama. Fantasi itulah yang membentuk "realitas" di sekitar
kita. Uang berperan besar dalam proses ini: dengan uang,
"kekayaan oligarkis" seakan-akan dapat diubah jadi harta
benda yang terbuka buat dimiliki siapa saja. Kompetisi pun
marak untuk meraihnya.
Tapi apa daya tangan tak sampai: persaingan ramai-ramai
itu menyebabkan kongesti. Di atas saya sebut analoginya
dengan orang ramai-ramai bersijingkat: dipergunakan oleh
orang banyak, benda danjasa posisional pun hilang makna-
nya— sementara pada saat yang sama tetap saja ada benda
dan jasa yang takterjangkau semua orang. Kecuali apabila
benda danjasa itu dijadikan milik bersama, sebagaimana
sebuah karya Van Gogh dijadikan bagian dari museum seni
75
Demokrasi dan Kekecewaan
rupa yang terbuka buat semua orang tanpa menuntut
bayaran.
Museum seni rupa yang seperti itu, katakanlah Tate
Modern di London, dalam arti tertentu memecahkan prob-
lem kongesti. Tapi fasilitas bersama itu hanya bisa berdiri
jika sebuah masyarakat tak didominasi oleh apa yang
disebut Hirsch "the tyranny of small decisions": keputusan
individual ^ing tak bertautan satu sama lain dalam me-
ngadakan transaksi, di kancah ekonomi pasar.
Hirsch mengakui, pilihan yang ditawarkan pasar
memang layak dianggap mampu membebaskan individu
dalam mengambil keputusan. "Sayangnya," kata Hirsch
menambahkan, "pembebasan individual tak membuat
kesempatan-kesempatan itu akhirnya membebaskan semua
individu bersama-sama."
Dorongan ke arah privatisasi yang mau membuat per-
edaranbenda dan jasa efisien— dan memang terbukti demi-
kian— punya dampak akumulatdf: gagasan itu jadi menarik
dan jadi tauladan. Tapi yang tak dilihat adalah sebuah
paradoks: perluasan hak mihk privat pada gilirannya akan
menyebabkan bertambahnya kebutuhan untuk perlin-
dungan hukum dan aparat penegaknya.
Hirsch menghubungkan ini dengan berubahnya batas
kemerdekaan. Saya lebih ingin menunjukkan bahwa
perlunya perlindungan hukum dan aparat penegaknya itu
justru memperhhatkan bagaimana perlunya privatisasi
dibatasi. Kita selamanya akan perlu barang dan jasa masya-
rakat yang, dalam kata-kata Marx, "dikomunikasikan, tapi
tak pernah dipertukarkan; diberikan, tapi tak pernah dijual;
didapat, tapi tak pernah dibeli."
Tapi kini hal-hal itulah yang genting. Hampir segala hal
dipertukarkan dan dijual, bahkan jasa keamanan yang
76
Demokrasi
datang dari polisi dan militer. Tampaklah bahwa kapital
dan nilai-nilai yang dipromosikan kapitalisrae— yang mera-
yakan privatisasi dan meneruskan "the tyranny of small
decisions"— pelan-pelan akan merusak seluruh sistem bila
nilai-nilai itu mendominasi seluruh kehidupan sosial. Saya
pernah mengutip Albert Hirschman: ketika kapitalisme
bisa meyakinkan tiap orang bahwa ia dapat mengabaikan
moralitas dan semangat bermasyarakat, public spirit, dan
hanya mengandalkan gairah mengejar kepentingan diri,
"sistem itu akan menggerogoti vitahtasnya sendiri."
Pada dasarnya, "Kompromi Keynesian"— yangtelah jadi
cara tennashur untuk menyelamatkan kapitalisme dari
(hrinya sendiri— adalah pengakuan bahwa tak semua bisa
diserahkan kepada pasar dan bahwa public spirit sela-
manya perlu. Memasuki zaman pasca-neoliberal kini,
ketika "kompromi" itu diangkat untuk dijadikan kebijakan
lagi, timbul lagj keyakinan bahwa perilaku pasar tak bisa
dijadikan tauladan bagi seluruh perilaku sosial. Ada peng-
akuan bahwa kekuatan yang bukan-pasar (Negara dan para
teknokratnya) hams— dan bisa— memiliki ketahanan untuk
mengembangkan nilai yang berbeda, khususnya nilai yang
tak menghargai maksimalisasi kepentingan diri.
Tapi ada kritik Hirsch ke dasar pandangan Keynes, dan
saya kira ini relevan untuk dikemukakan. Asumsi yang ter-
sirat dari "kompromi Keynesian"— bahwa para pengelola sistem
memiliki nilai yang berbeda— memungkinkan Keynes untuk
mengambil jalan pintas: ia tak harus memecahkan problem "of
superimposing collective objectives on individualistic calculus. "
Jalan pintas Keynes untuk mengendalikan pasar adalah
pengukuhan kekuatan managerial dan teknokratik di
institusi yang berkuasa. Dengan demikian, dunia di luar
itu dianggap bisa diabaikan, setidaknya buat sementara.
77
Demokrasi dan Kekecewaan
Problem yang timbul, terutama di negeri seperti Indonesia,
adalah bahwa institusi yang berkuasa tak dengan sendiri-
nya jauh dari "tirani keputusan-keputusan kecil". Korupsi
contohnya. Korupsi adalah privatisasi kekuasaan publik.
Tapi ada problem lain yang lebih mendasar: bagaimana
menentukan terlebih dulu apa itu "sararan bersama", col-
lective objectives? "Kompromi Keynesian" tak menjawab
pertanyaan itu.
Pertama-tama karena Keynes, seraya memfokuskan
analisisnya pada naiknya pendapatan agregat dalam masya-
rakat, kurang mengamati perbedaan antara si kaya dan si
miskin dalam proses kenaikan itu. Kritik ini misalnya
dikemukakan Amartya Sen. Kedua, tampaknya Keynes tak
cukup punya perhatian kepada hal-hal yang bisa melu-
nakkan dampak ketimpangan sosial itu. Misalnya pela-
yanan sosial— sesuatu yang juga penting untuk mengatasi
"tirani keputusan-keputusan kecil". Tapi tentang pelayanan
sosial, kata Sen, bahkan "Otto von Bismarck lebih banyak
berbicara ketimbang Keynes."
Dengan tendensi seperti itu, ketika pertentangan kelas
mengeras, apa yang "kolektiF akan suHt masuk dalam
percakapan dan wacana. Di sinilah tampak kekurangan
yang lain, bukan saja pada Keynes, tapi juga pada Hirsch:
keduanya mengabaikan proses yang membuat "sasaran
bersama" itu akhirnya dapat diterima jadi bagian dari apa
yang disebut Castoriadis sebagai Vimaginaire social.
Sebagai Vimaginaire social, himpunan nilai dan tujuan
"kolektiF bukanlah sejsuatu yang lahir hanya dari dan
karena kesepakatan rasional. Predikat "sosial" di sana
bukanlah terbentuknya konsensus ala Habermas.
Saya kira itulah yang cacat dalam "kompromi Key-
nesian": ia mendasarkan diri pada konsensus semacam itu.
78
Demokrasi
Seperti dalam aksi komunikatif Habermas, rasionalitas
memegang peran sentral dalam managed capitalism. Dan
seperti pada Habermas, "kompromi" itu mengabaikan
proses dari mana konsensus itu terbentuk. Permufakatan
tentang apa tujuan-tujuan kapitalisme seakan-akan lahir
begitu saja, tak terwujud dari proses konflik, negosiasi dan
pengambilan keputusan oleh pelbagai subyekifitas yang tak
seluruhnya rasional, tak seluruhnya setara.
Artinya, "kompromi Keynesian" mengabaikan dinamika
politik yang mendahului dan menopangnya. Dalam saat
yang paling krusial, proses itu adalah la politique, atau
Politik (dengan "P"), atau dalam kosa kata Robertus Robet,
"yang politis".
Kita tahu sebabnya. Keynes, tentu saja, melihat teori dan
preskripsinya dari sisi managemen perekonomian; laissez-
faire yang baginya nyaris seperti anarki itu tak bisa
dilanjutkan lagi. Sebab itu pada Keynes ada bias untuk
mereduksikan hal-ihwal ke dalam sebuah kerangka. Hidup
dan sejarah tak pernah dibiarkan berliku dan berjela-jela.
Hidup dan sejarah, menurut Keynes, terdiri dari proses
jangka pendek, short runs.
Kita ingat ucapan Keynes yang terkenal adalah, "in the
long run we are all dead." Masa depan tak sepenuhnya
bisa ditebak, sebab di masa kini pun ada yang luput dari
penglihatan.
H.
Yang tersembunyi dan yang tersisihkan mungkin tak akan
bisa kita rumuskan. Tapi itulah yang hendak saya ingatkan
dalam gambaran kita tentang demokrasi— dan itulah
pangkal tolak ceramah saya, "Demokrasi dan Disilusi."
79
Demokrasi dan Kekecewaan
Ceramah itu mendapat kritik dan sambutan dari
beberapa penulis di buku ini. Saya tak hendak mengulangi
kesimpulan saya. Di sini saya hanya hendak merespons
kritik-kritik itu sebagai us aha meneruskan percakapan ini.
Pertama-tama, kepada Robertus Robet. Antara saya dan
dia sebenarnya terdapat banyak persesuaian. Sinyale-
mennya tentang keadaan semenjak gerakan Reformasi tak
berbeda dengan apa yang saya paparkan (yang juga
dipaparkan orang-orang lain). Hanya ia menggunakan
bahasa seorang yang membaca Zizek dan Badiou dengan
tekun: "reformasi," tulis Robet, "muncul sebagai simbol
baru yang menggantikannya dengan berbagai nama-nama
lanjutan seperti pemerintahan reformasi, agenda re-
formasi, kabinet reformasi." Walhasil, reformasi "mele-
paskan diri sebagai nama dari 'yang pohtis.'" Katanya lagi:
"Reformasi memapankan diri sebagai simbol, struktur atau
nama rezim baru."
Tapi Robert menganggap saya telah "mengambil risiko
besar untuk ...mendegradasikan 'yang politis' sebagai
sejenis kategori transendental yang bisa dilindungi secara
'moral' oleh komponen-komponen di dalam kepolitikan
demokratis." Robet melihat dalam ceramah saya itu
"terbersit semacam pandangan bahwa ^ang politis' bisa
diobyektifikasi sebagai syarat normatif tertentu bagi
kepolitikan demokratis."
Katanya lagi, saya ("GM") "memposisikan atau seti-
daknya melihat 'yang politis' sebagai bagian dari prosedur
normatif di dalam demokrasi. Dalam bahasa Lacanian,
aspirasi GM terhadap 'yang pohtis' secara paradoksal justru
telah mendorongnya untuk menjatuhkan 'yang pohtis' dari
'the real' (sang nyata) menjadi 'the simbolic' (sang
simbolik)."
80
Demokrasi
Saya kira dia salah paham. Jika Robert membaca teks
"Demokrasi dan Disilusi" dengan lebih seksama, ia akan
menemukan bahwa justru posisi saya tak seperti yang
dikatakannya. Izinkanlah saya mengutip teks saya sekali ini:
... sebuah tata masyarakat, sebuah tubuh politik, adalah
sebentuk scene yang tak pernah komplit. Senantiasa ada
yang obscene dalam dirinya, bagian dari Sang Antah,
yang dicoba diingkari. Tapi yang obscene— yang tak
tertampung dan tak dapat diwakili oleh tubuh politik
yang ada— justru menunjukkan bahwa scene itu, atau
tata masyarakat yang kita saksikan itu, tak terjadi secara
alamiah...
Persoalan yang saya temukan pada Robert ialah ketika
ia mengatakan bahwa "Yang Politis" ada sebagai "realitas
di dalam level metafisik" dan sebab itu ada "di sana" namun
"tidak pernah bisa diberi nama dan diprediksi serta
dipastikan kapan dan di mana."
Di sini Robert, dalam tafsir saya, menggemakan im-
bauan Badiou untuk melihat kembah "kejadian" (I'evene-
ment) dalam politik: sesuatu peristiwa yang mengguncang
dan menerobos situasi yang ada, yang dilakukan dan
dihayati para pelakunya sebagai sesuatu yang baru dan
berarti— sesuatu yang membangkitkan subyektifltas dan
militansi dan sekaligus mengungkapkan nilai yang dapat
diterima secara universal. Di Indonesia, contoh "kejadian"
yang jelas adalah Proklamasi 17 Agustus 1945.
Tapi kedahsyatan Proklamasi 17 Agustus 1945 tak bisa
muncul tiap bulan. Ia selamanya berlangsung sebentar.
Robert, bersama Badiou, akan mengatakan bahwa Politik,
la politique, hanya dapat disimak sejenak. Dalam kata-kata
81
Demokrasi dan Kekecewaan
Badiou di sebuah wawancara dengan le Monde di per-
tengahan tahun 1993, sebuah "kejadian" seringkali dengan
cepat "dihumbalangkan, ditindas, atau dilarutkan oleh
kembalinya urusan yang rutin." Bahkan kita sering tak
sepenuhnya tahu apa yang hams kita katakan, atau bagai-
mana kita mengidentifikasikan "kejadian" politik itu. Zizek
merumuskannya dengan cara lain: "an Event is necessarily
missed the first time."
Tapi tak seluruhnya luput. Dalam Revolusi, dan sete-
lahnya, ketika kita menemukan sisa getarannya, kita
melakukan "campur tangan interpretatif. Kita membe-
rinya bentuk, Gestalt, yang bahkan diberi nama. Dan
dengan nama itu— dalam arti tertentu seperti panji-panji—
kita akan berjuang melanjutkannya. Untuk itu diperlukan
"kesetiaan". "Kesetiaan" itu tampak dalam bentuk kebang-
kitan kembali sang "kejadian". Seperti kata Zizek, "true
fidelity is only possibly in the form of resurrection."
Dari dan bersama dibangkitkannya kembah "kejadian"
itu (di tahun 1958 Bung Karno mencanangkan elan pohtik
baru dengan pidato "Penemuan Kembah Revolusi Mta"),
dengan dinyalakannya kembali api "kesetiaan" itu, lahirlah
subyek yang militan.
Artinya subyek itu adalah subyek yang dilahirkan, bukan
yang melahirkan Revolusi. Aku ada, sebab aku berjuang. Aku
berjuang, maka aku ada. Dengan demikian Badiou melanjut-
kan kritik pasca-humanisme atas subyek ala Descartes
ataupun Kant. Subyeknya bahkan bukanlah subyek yang
tahu dan yakin tindakannya akan berhasil. "Kejadian,"
tuhsnya, "memaksakan kebetulan" (forcer le hasard) ke
dalam saat yang sudah matang untuk diintervensi.
Intervensi itu menunjukkan bahwa "kejadian" melahir-
kan pelaku yang aktif— dan sebab itu ia berbeda dengan
82
Demokrasi
kaum pasca-strukturalis yang menyatakan "matinya
subyek". Tapi subyek yang aktif itu lahir di bawah bayang-
bayang Sang Antah. Itulah sebabnya ada kata "kebetulan".
Subyek yang militan adalah subyek yang ketika ia
bertindak, ia sebenarnya berjudi (parier, dalam pengertian
Pascal) dengan nasib.
Berjudi, di sini, berarti meloncat ke dalam kegelapan,
dengan tekad, mesMpun ada kemungkinan ia akan kecewa.
Dengan kata lain, ada keberanian bertindak dalam an-
caman kegagalan. Berjudi berarti masuk ke dalam sebuah
komitmen. Ada yang tak pasti, tapi toh aku bertekad.
Seperti jalan yang ditempuh Pascal dalam iman, berjudi
tak akan melahirkan seorang yang skeptis. Seorang skeptis
meragukan adanya apa yang benar; ia akan memandang
militansi dengan pandang yang arif yang mencemooh.
Sebaliknya, berjudi ala Pascal tak akan melahirkan sikap
dogmatic, yang menganggap nilai-nilai dan cita-cica akan
menjamin secara sempurna harapan manusia.
Ada yang heroik dalam militansi itu, dan di tengah-
tengah kehidupan politik sekarang, saya bisa mengerti
mengapa Robert berbicara positif tentang "nostalgia".
Terutama di masa ketika kita menyaksikan oportunisme
dan ketiadaan-prinsip di mana-mana dan berbareng
dengan itu mendengar pekik militansi para Islamis: mereka
yang bukan saja "full of passionate intensity" tapi juga
penuh kebencian.
Militansi dalam pandangan Badiou berbeda dari itu.
Kaum Islamis, disebut juga kaum fundamentalis, menam-
pik adanya Sang Antah. Tapi bila mereka tak cocok dengan
semangat demokratik, itu bukanlah karena mereka
berpegang kepada "kondisi teologis manusia" yang berada
"di luar batas bahasa manusia," sebagaimana dikatakan
83
Demokrasi dan Kekecewaan
Rocky Gerung. Justru sebaliknya. Kaum fundamentalis
melihat kondisi teologis itu sebagai sebuah bangunan yang
selesai dirumuskan dan disediakan oleh tata simbolik, The
Big Other; pendek kata, sepenuhnya telah dibahasakan.
Fundamentalisme ditandai oleh keharfiahan. Pendirian
dan aksinya— dengan kata lain: subyektifitasnya— tak
berjudi dengan ketak-pastian.
Meskipun demikian, dalam satu hal seorang militan ala
Badiou paralel dengan seorang fundamentalis. Keduanya
tak cocok dengan "operasi demokrasi" yang dikehendaki
Rocky. Seorang militan ala Badiou tak hendak berurusan
dengan "rasionalitas demokrasi". Seorang militan lahir
justru karena ia menjebol "kebenaran politik" yang di-
utamakan Rocky, yang diuraikannya sebagai "apa yang
dapat disepakati dalam batas-batas bahasa manusia." Bagi
Badiou, "kebenaran politik" itu sebenarnya hanya "pe-
ngetahuan"; kebenaran bagi Badiou per definisi berada di
luar bahasa yang berlaku. Itu sebabnya kebenaran bagi
seorang militan justru tak bertaut pada kesepakatan dan
batas-batas, hal-hal yang obyektif. "Prosedur" kebenaran
adalah subyektifitas.
Di situlah posisi radikalnya. Bagi Badiou, "operasi
demokrasi" sebagaimana dimaui Rocky hanya akan
meneguhkan status quo. Memang, Rocky mengakui
keterbatasan demokrasi yang dibicarakannya (dan
dipujikannya); demokrasi itu "memang hanya mengolah
kebenaran politik di antara mereka yang berkonsensus."
Bahkan itu pun konsensus yang "diwakilkan pada hanya
segelintir orang melalui sistem perwakilan politik." Tapi
Rocky percaya, meskipun demokrasi bukan ideal "terbaik"
pengaturan politik, demokrasi tetap yang "termungkin"
untuk "menjamin kesetaraan hak dan kebebasan war-
84
Demokrasi
ganegara." Saya kutip: "Dengan jaminan itu, terbuka pe-
luang bagi sirkulasi elit dan perubahan susunan politik.
Artinya, kendati ada tendensi oligarki dalam demokrasi,
tetapi hanya pada demokrasilah dimungkinkan terjadinya
koreksi politik secara sistemik."
Kepercayaan kepada "koreksi politik secara sistemik"
bukanlah kepercayaan kepada la politique. Implisit dalam
kepercayaan kepada koreksi itu adalah optimisme akan
rasionalitas dan kemajuan. Bagi Badiou, la politique tak
bertolak dari pandangan tentang sejarah sebagai progresi,
melainkan sebagai "I 'occurrence periodisee des a priori du
hasard," peristiwa periodik yang terdiri dari hal-hal yang
memang kebetulan.
Itu sebabnya Badiou menampik adanya program
perjuangan. "Semoga Tuhan menyelamatkan kita dari
program sosial-politik!," demikian ia mengatakan dalam
sebuab wawancara tertulis. Di situ ia bukan seorang Leninis
yang percaya bahwa "tak ada revolusi tanpa teori revolusi."
Badiou kagum akan "Revolusi Kebudayaan" di Cina di
tahun 1960-an; tapi ia tak melihatnya sebagai sebuah
gerakan orang-orang yang berpegang pada "Buku Merah"
Mao. Revolusi itu baginya sebuah gerakan, sebuah proses,
di mana "massa" belajar dan mendidik diri mereka sendiri.
Itulah sebabnya bila pandangan Badiou disebut "Mri",
ia kiri yang di luar pengertian Rocky Gerung. Sebab
militansinya tak membutuhkan "kebenaran" yang (untuk
memakai kata-kata Rocky) "monumental, sekaligus
momentual." Badiou lebih bicara tentang "kebenaran"
dalam prosesnya. Ia bedakan "kebenaran" dari "penge-
tahuan". "Pengetahuan", menurut Badiou, adalah infor-
masi yang tersusun rapi— bagaikan ensikopledia, bagaikan
monumen.
85
Demokrasi dan Kekecewaan
Pandangannya tentang "proses-kebenaran" itu bagian
yang inheren dalam pengertiannya tentang demokrasi.
Sebagaimana Ranciere, ia tak melihat demokrasi sebagai
formula atau format. Demokrasi adalah sebuah perjuangan
emansipasi. Elan demokratik seperti itu meniscayakan
Badiou, sang militan, membuat jarak secara "brutal" dari
Negara. Di sini ia menggemakan pendirian Marx ketika
mengritik Rechtsphilophie Hegel: ketika Negara meng-
adopsi demokrasi sebagai sesuatu yang benar, yang terjadi
adalah sesuatu yang tak benar, tak turns (treu).
Saya khawatir dalam soal demokrasi ini Rocky Gerung
bisa terdengar seperti suara "sayap kanan"— pandangan
dari perspektif lapolice. Demokrasi, tulis Rocky, bertumpu
pada prinsip "keutamaan warganegara". Tersirat dalam
asas itu: Negara adalah kondisi bagi kemungkinan demok-
rasi. Sebab Negara-lah yang empunya keputusan,
kekuasaan, dan kontrol tentang siapa "warga"-nya dan
siapa yang bukan. Dan ketika Rocky menyebut "status
ontologi warganegara," ia sepenuhnya mengingkari
dimensi politik dari penentuan tempat dalam ruang itu:
seakan-akan "warganegara" bukan sesuatu yang dibentuk
dari atas. Dengan kata lain, sesuatu yang lahir dari
identifikasi, bukan subyektifikasi. Sementara itu, para eksil
dan para imigran yang tak berpaspor pun diabaikan:
Negara menempatkan mereka di ruang obscene.
Jika di sini saya meninjau pandangan Rocky Gerung
dari kacamata Badiou, itu tak berarti saya serta merta
menyetujui seluruh pemiMran filosof Prancis itu. Saya
hanya hendak menunjukkan betapa tak mudahnya
mengambil posisi radikal dan pada saat yang sama me-
mandang demokrasi sebagaimana Habermas meman-
dangnya: sebuah ikhtiar meletakkan syarat-syarat normatif
86
Demokrasi
dalam komunikasi, dengan keyakinan yang besar kepada
"rasionalitas" dan kepada kekuatan integratif bahasa. Posisi
yang radikal, ala Badiou, memandang lapoKtique atau Politik,
bukan sebagai "keanekaragaman pendapat", melainkan
"preskripsi untuk menjebol hubungan dengan apa yang
ada."
Tapi— dan inilah yang tidak dikemukakan Robet— pres-
kripsi Badiou sendiri punya problem yang mendasar.
Badiou bukannya tanpa ambiguitas, bahkan ambivalensi.
Di satu pihak, ia menggambarkan Politik sebagai
"kejadian": sebuah perkecualian dari keadaan atau situasi—
dan bahkan menjebol situasi itu. Dengan demikian, "ke-
jadian" seakan-akan sebuah creatio ex nihilo.
Tapi Badiou sendiri tak selamanya jelas dalam soal ini.
Ia memang memberi kesan bahwa antara "kejadian" dan
"situasi" ada batas yang absolut. Tiap "kejadian," katanya,
"bersifat'suplementer: terlepas secaramutlak dari, dan tak
berhubungan dengan, pakem situasinya." Tapi ia juga
mengatakan, "kejadian" selalu "kejadian" dalam suatu
situasi, selalu merupakan "kejadian" dari situasi ini atau
itu. Bahkan dalam perkembangan piMrannya kemudian,
ia— yang menamakan diri "materialis"— memaparkan
"kejadian" sebagai sebuah percampuran, sebuah hibrida,
di mana tubuh dan dunia adalah niscaya.
Ambivalensi Badiou juga kelihatan, ketika ia mengata-
kan hendak memboyong Politik dari sejarah agar meng-
usungnya ke dalam "kejadian", "la delivrer de ITiistoirepour
la rendre a I'evenement." Baginya, sejarah adalah bagian
dari (meta-) struktur, buat kepentingan yang berkuasa,
wacana yang menghilangkan yang subyektif dari Politik.
Dengan pandangan itu, Badiou seperti hendak menegak-
kan subyek yang tanpa sejarah. Seakan-akan subyek
87
Demokrasi dan Kekecewaan
muncul semata-mata dari keputusan yang diambilnya pada
satu saat tersendiri yang tak terbandingkan.
Tapi di lain pihak Badiou menolak disebut "decisionisf.
Baginya, keputusan tak berangkat sepenuhnya dari dalam
kepala. Di jantung tiap situasi di mana keputusan itu
terjadi, selalu ada growong, le vide. Di sanalah multiplisitas
yangberlipat-lipat, yang simpang-siur, yang "inkonsisten",
berkecamuk. Di situlah hadir macam-macam anasir yang
oleh tatanan yang ada tak dimasukkan ke dalam hitungan.
"KejadianMah yang kemudian menjebol situasi itu, dan
growong itu pun tampak, dan situasi itu pun ambyar, kehi-
langan konsistensinya, terjadi destruksi. Tapi tak seluruh
"kejadian" adalah penolakan atau negasi; yang berlangsung
lebih berupa "susbtraksi", sebab saat itu, yang tak masuk
hitungan mendobrak menyeruak— dan subyek lahir.
Lebih tepat sebenarnya: yang berlangsung adalah
subyektifikasi. Sebab subyek ini, seperti ditunjukkan dalam
psikoanalisa Lacan, adalah subyek sebagai kekurangan. Aku
dibentuk oleh The Big Other, metastruktur yang mengen-
dalikan bahasa dan kaidah yang memadu-padatkan sebuah
dunia. Tapi dalam diriku ada hal-hal yang tak mengikuti
bahasa dan tatanan simbolik lain. Aku terbelah. Aku ber-
usaha menutup keterbelahan itu, tapi selalu gagal.
Dari sanalah perjalanan mulai. Akhirnya proses
pembebasan. Dan itu bisa terjadi. Seperti diingatkan Zizek,
sumbangan Lacan yang penting bagi psikoanalisa bukanlah
menunjukkan terbelahnya subyek, tapi menunjukkan
bahwa pada dasarnya metastruktur juga retak. Meta-
struktur itu tak bisa membuat semesta kehidupan tunggal
dan penuh seluruh.
Apalagi sebenarnya tak ada situasi yang satu, dan
manifestasi metastruktur itu juga tak satu. Sal ah satu kritik
88
Demokrasi
terhadap Badiou ialah kecenderungannya mencampur-
adukkan kata I'etat dalam I'etat de la situation (meta-
struktur yang memadukan multiplisitas yang ada di sebuah
situasi) dengan YEtat dalam artiNegara (metastruktur yang
memadukan kehidupan politik ke dalam sebuah kon-
struksi). Dengan pencampur-adukan itu tak tampak bahwa
dalam kehidupan manusia ada bermacam ragam dunia, tak
hanya dunia politik. Keanekaragaman itu tak semuanya
dapat dirangkum Negara. Ada dunia-dunia lain yang me-
nyimpan multiplisitas yang tak tepermanai yang sewaktu-
waktu akan jebol dan metastrktur politik itu. Ada Sang Antah
yang tak bisa dijangkau, dan pembebasan mungkin.
Pembebasan itu menunjukkan, kita tak mungkin men-
jelaskan Politik hanya sebagai yang berangkat dari momen
yang krusial, saat keputusan diambil untuk menghambur
ke masa depan yang tak pasti. Memang, Badiou bukan
seorang "decisionist. "Tapi untuk itu dibutuhkan javraban:
apa yang dilakukan sebelum pembebasan, sebelum hewan
yang disebut manusia jadi subyek?
Para pengagum Badiou umumnya tak melihat, ia kurang
menjelaskan hubungan Politik dengan waktu. Ia tak cukup
menguraikan apa yang dilakukan sebuah kolektifitas sela-
ma masa "pra-kejadian".
Ada sebuah tawaran pemecahan soal yang menarik:
waktu "pra-kejadian" adalah sebuah kairos. Pengertian ini
sayatemukan pada Antonio Calcagno, yang menulis Badiou
and Derrida: Politics, Events and Their Time (2007).
Dalam alam pikiran Yunani Kuno, kairos adalah konsep
yang mewakili "waktu yang tepat atau srategis" untuk
bertindak. Dalam kata "tepat" dan "strategis" tersirat
pertimbangan dan perhitungan. Masa pra-Politik, kata
Calcagno, adalah masa ketika disadari adanya situasi
89
Demokrasi dan Kekecewaan
kewaktuan di dunia, the timely situation of the world. Di
situlah terletak kairos. Di situlah waktu terbuka bagi sang
(calon) subyek untuk bertindak pada saat yang strategis.
Dengan demiMan, sang subyek tak hanya menghayati
waktu secara subyektif. Ia tak beroperasi dalam sebuah
vakum.
Tapi masih ada satu soal: waktu yang tak semata-mata
hasil penghayatan subyektif adalah waktu yang terbangun
dalam semacam konsensus. Politik adalah proses
subyektifikasi kolektif. Tapi bagaimana yang kolektif itu
bisa sama-sama bergerak, jika program sosial-politik oleh
Badiou diharamkan?
Badiou, yang menentang "kapital-parlementarisme",
yang menyebut dirinya "komunis" (nama yang dipakainya
untuk membangunkan kembali gairah ke arah keadilan dan
kebebasan), mengaku: ia sedang berjuang dengan cara
yang baru, dengan sesuatu yang eksperimental. Ia berjuang
dalam "Politik tanpa partai".
Sebab baginya, partai yang ada sekarang bukan partai
politik. Mereka hanya organisasi etatiques. Dengan
mereka, yang terjadi adalah depohtisasi.
Dengan latar yang berbeda, depohtisasi itulah yang juga
kita saksikan di Indonesia sekarang— walau bukan dalam
bentuk "Orde Baru". Tak mengherankan jika bersama
Robert, kita layak merindukan kembalinya Politik.
Dalam kerinduan itu tak perlu ada melankoli. Robert
yakin, dan saya kira ia benar, Politik "tidak bisa dibu-
nuh." Ia tak menyembunyikan harapan bahwa Politik
"akan kembali muncul dalam kejadian." Ia mengan-
jurkan "kesetiaan"— dan bagi saya, itu berarti merawat
dan menumbuhkan subyektifitas yang lebih kental dalam
kairos.
90
Demokrasi
Tapi saya ragu, bisakah kita berpegang pada Badiou
dengan sejumlah pertanyaan yang belum terpecahkan.
Sejauh mana itu kita siap berjudi dan bersiap kecewa de-
ngan keputusan serta harapan kita sendiri? Akankah kita
memilih jalan experimental yang tak dipandu oleh pro-
gram apapun, dan bertindak seperti yang kadang-kadang
dianjurkan Zizek: memilih "passage a I'act yang sepe-
nuhnya revolusioner," yang tanpa tatanan sama sekali?
Kita mempertanyakan itu, sebab kita tak bicara dari
sebuah suasana perpolitikan yang uzur. Dari Prancis men-
jelang akhir abad ke-20, Baudrillard menyebut demokrasi
sebagai "menopause masyarakat Barat." Dari Indonesia di
awal abad ke-21, kita bisa mengatakan bahwa demokrasi
adalah teriak yang terdengar dari bayi yang lahir— dan
dengan segera, setelah itu, sebuah proses trial & error.
Yang jadi pertanyaan: dalam proses itu, di manakah gerak
ke arah -pembebasan?
III.
Kapitalisme seperti vampir. Bukan hanya dalam hal
mengisap darah. Dalam perumpamaan yang dipakai Zizek,
sang vampir telah ditikam berkah-kali tapi belum juga mati.
Kapitalisme adalah kekuatan yang mempengaruhi hidup
Mta tapi tak bisa kita tangkap; Zizek bahkan menyebutnya
sebagai sesuatuyang tak bisa dipatok, tak bisa didefhisikan
dengan bahasa yang ada.
Kini kita tengah menyaksikannya, dan saya telah me-
nyebutnya di bagian pertama esei ini: komodifikasi bahkan
masuk ke dalam proses pergantian politik. Juga dalam
struktur yang mengatur dunia sosial: la police. Kita me-
91
Demokrasi dan Kekecewaan
nyaksikannya dalam "politik uang" di lembaga-lembaga
masyarakat. Kita juga raenyaksikannya dalam korupsi yang
meruyak di seluruh tubuh birokrasi yang menjual-belikan
jasa publik untuk akumulasi kekayaan privat. Masyarakat
tak bergerak ke arah collective objectives. Seperti telah
disinggung di bagian pertama tulisan ini, itulah yang me-
nyebabkan "kompromi Keynesian" jadi problematis.
Dalam keadaan itu, ada tiga macam pilihan untuk ber-
sikap. Yang pertama, menggunakan kekerasan, dengan
ketidak-sabaran revolusioner untuk menjebol dan
mengalahkan sistem itu. Teror Bahder-Meinhoff di Eropa
adalah contohnya. Tapi umurnya pendek, dan hasilnya
meragukan— bahkan sistem yang dicoba jebol makin bisa
memperkuat diri.
Yang kedua, memilih Politik dalam kemurniannya yang
radikal: Politik sebagai "prosedur kebenaran" yang
dimaksudkan Badiou. Namun sudah diuraikan bagaimana
Politik ala Badiou ini mengandung problem yang belum
terpecahkan.
Yang ketiga, menerima situasi ini sebagai "akhir
sejarah"— seraya menyambut "manusia terakhir" dalam
gambaran Nietzsche: manusia yang tak menghastratkan
yang baru dan berbeda, sebab semua sudah dianggapnya
beres— manusia yang tak tergerak oleh gairah, tak
melambung imajinasinya, yang memilih bersikap praktis
asal hasilnya jelas berfaedah. Dalam suasana hati "akhir
sejarah" ini, ada keyakinan bahwa sang sistem akan punya
sistem untuk mengoreksi cacat yang ada.
Keyakinan akan "koreksi sistemik" (istilah Rocky Ge-
rung) seperti itulah yang saya tangkap dari tanggapan Bill
Liddle dan Rizal Panggabean.
92
Demokrasi
Kata Liddle: "Pada zaman Reformasi, lembaga-lembaga
pemerintahan justru terdiri dari unsur-unsur demokratis
yang memungkinkan dan mendorong perubahan. Per-
juangan tentu memainkan peran, tetapi itu hams dipan-
dang sebagai satu bagian dari seluruh sistem demokrasi."
Kata Rizal:
Demokrasi lebih tepat dipandang sebagai adonan dari
unsur-unsur yang berbeda dan dapat bertentangan satu
sama lain. Tetapi, unsur-unsur tersebut saling mengisi
dan berhubungan. Harapan dan kecemasan, keber-
hasilan dan kegagalan, takjub dan dongkol— semuanya
selalu menyertai demokrasi. Adonan inilah yang
memungkinkan demokrasi mengeritik dan memper-
baharui diri— menjadi proses yang contingent karena
ketegangan yang ada dalam adonan tersebut.
Saya tak menafikan kapasitas demokrasi untuk meng-
adakan perubahan— jika demokrasi adalah nama lain dari
Politik. Dengan kata lain, jika ia sebuah proses pembebasan
yang tak bisa direduksikan jadi dunia "demokrasi
parlementer" ataupun "tertib hukum". Sebab acapkali, ke-
tika pergulatan itu dilembagakan dan dipateri dalam lem-
baga itu, elan emansipasinya jadi majal. Terkadang malah
padam. Demokrasi, sebagai sebuah format, mengandung
paradoks: ia menampung gerak Politik, tapi ia tak akan
mencapainya.
Saya sangat beruntung dalam diskusi ini, karena Doditelah
membantu merumuskan posisi saya dengan baik sekali:
seraya membandingkan makalah saya dengan kerja Schmitter
dan Karl, Przeworski dan kawan-kawan, saya, kata Dodi,
"ingin melumerkan definisi dan konsep demokrasi, dan
93
Demokrasi dan Kekecewaan
menjadikan demokrasi sebagai sebuah kata kerja." Juga, bagi
saya (GM), "Politik adalah perjuangan untuk senantiasa
memperbaiki demokrasi.''
Yang perlu saya tambahkan: mungkin saya tak mulai
dengan "apayangbisa dicapai". Mungkin saya mulai— seperti
telah tersirat di atas— dengan apayangjangan-jangantakbisa
dicapai.
Saya ingatyang tersirat dalam kata-kata Derrida yang
terkenal: democratic a venir. Demokrasi selalu yang-
aJfcan-datang. Demokrasi hanya bisa ditengarai sebagai
sesuatu yang berbeda dari sistem atau situasi lainnya,
tapi selalu terbuka kemungkinan kelak ia akan tiba se-
bagai sesuatu yang tak terbayangkan. Ia tak pernah bisa
ditentukan secara final: demokrasi adalah janji keadilan
dan kebebasan yang tak henti-hentinya menggugab.
Di sinilah kita kembali bertemu dengan kairos.
Bill Liddle menawarkan satu perumpamaan yang mena-
rik dari Weber: "Politik adalah pengeboran kayu keras yang
sulit dan lama." Saya tak punya tangkisan untuk itu. Yang
saya ragukan adalah bila dalam masa pengeboran yang
penuh penantian itu kita salah memilih apa yang harus
diprihatinkan. Lidldle memilih untuk merawat tubuh kayu
kerasnya. Fokus utama bagi pengamat dan aktivis, kata
Liddle, "seharusnya diarahkan kepada aktor-aktor pokok:
pejabat pemerintah pusat (termasuk hakim dan jaksa),
pemimpin partai, dan anggota badan-badan legislatif."
Saya punya pandangan yang sebaliknya. Melanjutkan
metafor Weber— dan mengalami buruknya ekses kekua-
saan dan sifat seleweng (errancy) dari "aktor-aktor pokok"
yang disebut Liddle— saya lebih menaruh hati kepada
proses pengeborannya. Fokus saya adalah lobang yang
sedang jadi itu. Di batang kayu itu lobang itu muncul seba-
94
Demokrasi
gai sesuatu yang baru; ia sesungguhnya lahir dari sebuah
susbtraksi. Itulah Politik: ia niscaya mengandung negasi.
Negasi itu tak selamanya bersifat destruktif, tapi menya-
darkan kita bahwa kayu keras itu sebenarnya tak utuh.
Selalu (akan) ada sesuatu yang lain.
Dalam kaitan itulah saya tertarik kepada paparan dan
imbauan Ihsan Ali-Fauzi. Ia menginformasikan kepada kita
temuan dan analisa Herbert Kitschelt tentang "partai non-
partai" atau "partai gerakan"— dan ia bersemangat untuk itu.
Partai-partai ini menampik partai-partai lama yang makin
merapat ke Negara, dan dengan itu mengafirmasikan ke-
macetan mereka serta membuka sebuah jalan baru.
Mungkin kita bisa mencobanya di Indonesia nanti.
Persoalannya: bagaimana gerakan-gerakan itu melihat peran
sendiri di masa kini. Adakah mereka pelaku yang merasa
habis-habisan dibatasi reatttas, hingga mengungsi ke ruang
baru untuk menyisihkan diri bagaikan pertapa? Ataukah
sebaliknya mereka— di tengah kesepian kairos— tetap
menyimpan la passion du reel, semangat yang menurut
Badiou datang dari abad ke-20 yang gemuruh?
Saya ingin, kita tak memilih hijrah ke pertapaan. Dengan
passion, lata tak menyerah. Dengan membuka diri kepada le
Reel, kita tak gentar kepada gua garba sumber kengerian dan
sekaligus sumber antusiasme dalam sejarah— tenaga yang
menjebol dan sekaligus membangun, yang destruktif dan
sekaligus kreatif.
Politik bukanlah nihilisme yang membinasakan realitas
yang tampak di permukaan, melainkan laku yang membong-
kar tiap tampang status quo— stabilitas dan keutuhan yang
sebenarnya bukan keutuhan, koherensi yang sebenarnya
dibangun dari inkonsistensi: hal-hal lain yang tak selamanya
bisa.dihitung sebagai satu tapi ditengelamkan dan ditekan.
95
Demokrasi dan Kekecewaan
Politik adalah kesetiaan untuk membebaskan yang
ditenggelamkan dan ditekan itu.
Dengan itu kita tak terjebak dalam sikap yang merayakan
ketidak-pastian. Dengan kesetiaan itu kita sebaliknya juga tak
terjebak dalam dogmatisme yang mengkhayalkan koherensi.
"The ceremony of innocence is drowned" memang, tapi kita
tetap terus.***
96
Tentang Penulis
Dodi Ambardi adalah staf pengajar pada Fakultas Ilmu
Komunikasi, Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakar-
ta, dan peneliti senior pada Lembaga Survei Indonesia
(LSI), Jakarta. Selain pernah belajar di UGM dan Ohio
University, Athens, Amerika Serikat, ia memperoleh gelar
doktor dari Departemen Ilmu Politik, The Ohio State Uni-
versity (OSU), Columbus, Amerika Serikat, pada 2007.
Go en a wan Mohamad, adalah wartawan, sastrawan dan
budayawan senior. Ia pernah mengikuti kuliah di Fakultas
Psikologi, Universitas Indonesia, dan ilmu politik di Col-
lege d'Europe, Brugge, Belgia. Termasuk salah seorang
penandatangan "Manifes Kebudayaan" di awal tahun 1960-
an, ia pendiri dan mantan pemimpin redaksi Majalah Ber-
ita Mingguan Tempo, di mana hingga kini ia masih menu-
lis "Catatan Pinggir". Ia meraih Hadiah Sastra ASEAN
(1981) dan Hadiah Sastra A. Teeuw di Leiden (1992). Be-
berapa bukunya: kumpulan sajak Parikesit (1971) dan In-
terlude (1973); kumpulan esai Potret Seorang Penyair
Muda SebagaiSiMalin Kundang (1972), Seks, Sastra, Kita
(1980), dan Kata, Waktu: Esai-esai Goenawan Moham-
ad ig6o-200i (2001); kumpulan Catatan Pinggir 1 hing-
ga 6; dan Tuhan dan Hal-hal yang tak pernah Selesai
(2007).
97
Ihsan Ali-Fauzi adalah Direktur Pusat Studi Agama dan
Demokrasi (PUSAD), Yayasan Paramadina, dan dosen
pada Universitas Paramadina dan The Islamic College for
Advanced Studies (ICAS), Jakarta. Selain di IAIN Jakarta,
ia pernah belajar di Ohio University, Athens, dan The Ohio
State University (OSU), Columbus, keduanya di Amerika
Serikat. Ia antara lain menulis Gerakan Kebebasan Sipil
(2009), bersama Saiful Mujani.
Rocky Gerung adalah pengajar filsafat pada Fakultas
Ilmu Budaya, Universitas Indonesia (UI), Jakarta. Kini ia
sedang menyelesaikan program doktor pada universitas
yang sama. Selain menyumbangkan tulisan dalam banyak
buku suntingan, antara lain Kembalinya Politik (2008),
sebagai komentator sosial dan politik ia cukup raj in menu-
lis di Kompas dan Tempo.
Robertas Robert adalah Sekretaris Jenderal Perhim-
punan Pendidikan Demokrasi (P2D). Memperoleh gelar
doktor dalam bidang filsafat dari Sekolah Tinggi Filsafat
(STF) Driyarkara, ia menulis Republikanisme dan Kein-
donesiaan: Sebuah Pengantar (2007) dan Politik Hak
Asasi Manusia dan Transisi di Indonesia: Sebuah Reflek-
siKritis (2008), serta ikut menyumbangkan tulisan dalam
Kembalinya Politik (2008).
R William Liddle adalah gurubesar ilmu politik pada
The Ohio State University (OSU), Columbus, Amerika
Serikat, yang sejak tahun 1960-an rajin meneliti politik
Indonesia. Bukunya antara lain Leadership and Culture
in Indonesian Politics (1996).
98
Samsu Rizal Panggabean adalah dosen pada Fakultas
Ilmu Politik dan Magister Perdamaian dan Resolusi Kon-
flik (MPPvK), Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakar-
ta. Bukunya antara lain, ditulis bersama Taufik Adnan
Amal, Politik Syariat Islam (2003).
99
Nurcholish Madjid
Memorial Lecture
Seperti mewakili perasaan banyak orang tentang kualitasi
demokrasi kita, dalam buku ini Goenawan Mohamad!
mengungkap sejumlah pengaruh burukyang muncul darii
keharusan para pemimpin politik untuk tunduk kepadai
hukum "kurva lonceng" demokrasi: agar merekatampaki
dibutuhkan banyak orang, menangpemilu.berkuasa....
PARAMADINA
mm
MPRK-UGM
Tapi Goenawan tak serta-merta menampik demokrasi, i,
karena alternatifnya adalah anarkisme atau terorisme AIJ
Qaedah. la hanya menegaskan perlunya kita memper--
kuat sisi "perjuangan" di dalam demokrasi.
Berbagai detail mengenai hubungan antara sisi "per-
juangan" dan sisi "kurva lonceng" dalam demokrasi inilah
yang dibahas para komentatornya:William Liddle, Rocky
Gerung, Rizal Panggabean, Dodi Ambardi, Robertus
Robet, dan Ihsan Ali-Fauzi. Dilengkapi komentar balik-
Goenawan, buku ini memuat perdebatan yang mutakhir.i
substantif, dan kredibel tentang mengapa kita bisa ke-i
cewa kepada demokrasi dan mengapa pula kita bisa, dan-
harus tetap.berharap kepadanya.
Bermula dari Nurcholish Madjid Memorial Lecture, bu-
ku ini perlu dibaca oleh setiap kita yang hendak menjadi
warganegara yang melek politik dan tak sudi dibohongi;
para politisi gadungan. Di pundak merekalah terletakl
peningkatan kualitas demokrasi di TanahAir tercinta.
PT. NEWMONT
PACIFIC =^
NUSANTARA
ISBN: 978-979- 1 9725-0-5
0 komentar:
Posting Komentar