Oleh: TH. Sumartana
(TEMPO, No. 40, Thn. XV, 1 Februari 1986)
Sri Kresna itu raja, sekaligus titisan dewa. Badannya langsing, kulitnya hitam. Hidungnya mancung, lehernya jenjang. Tubuhnya ramping, geraknya cekatan. Matanya sipit melihat ke depan. Sri Kresna sakti bukan kepalang. Kata ki dalang.
Sang raja sekaligus titisan dewa suka pula berdandan. Bercincin dan bergelang. Gelang kaki, gelang tangan. Berkalung, anting-anting pun menghias kuping bergelayutan. Belum lagi mahkota serta gemerlap pakaian. Tentu mahal bukan buatan. Di sepanjang sabuk berkelip-kelip manik-manik intan berlian. Begitu sempurnanya ia tampil sebagai tokoh di dalam wayang. Hiasan ular naga di sekujur tubuh malang-melintang. Di kepala, di kaki, di perut, serta di tangan. Sri Kresna lambang sebuah hirarki, roh agung yang mengejawantah. Tuhan yang menjelma sebagai raja pemegang perintah. Ia menguasai susunan dunia lahir dan batin, menentukan merah-birunya ajagat daratan dan laut yang asing.
Dunia wayang dunia bayang-bayangan. Dunia badani yang direfleksikan dalam dunia batin, dunia batin yang merefleksikan dunia nyata. Masyarakat agraris yang ditumpangi dunia feodal lengkap tergambar – dengan hirarkinya, etiknya, ritualnya, humor-humornya. Rakyat jelata adalah anonim, tak pernah tersebut, tak punya nama.
Para punakawan pun sudah selalu terserap dalam hirarki searah antara para kesatria dan para dewa. Semar-Gareng-Petruk-Bagong adalah atribut seorang kesatria kesukaan para dewata, kata sifat dari tokoh seperti Raden Arjuna.
Wayang. Gerak mobil para tokohnya dibatasi sebuah kerangka baja yang segi tiga. Sudut atas sudut para dewa, dua sudut di bawah merupakan ajang pertarungan tak habis-habis antara si angkara murka dan para kesatria. Adapun dunia rakyat adalah dunia tergantung. Nasib mereka ditentukan sepak-terjang dunia di atas.
Dari ucapan-ucapan ki dalang sangat sedikit kita dengar kegiatan rakyat jelata. Para petani, peternak, perajin, tukang kayu, tukang grabah, seniman, tukang batu. Dan tukang dagang, lapisan rakyat terbawah, paling jauh dari titik pusat hirarki. Dunia ajaib junggring salaka memang tidak membutuhkan uang. Dan di dunia para kesatria uang tidak usah dicari, karena bisa datang sendiri. Tempat para kesatria bukan di pasar. Keuntungan punya tempat yang pasti, di pinggir negara, dekat laut tidak bertepi, di luar tata krama dan adat budi.
Para pedagang dan kegiatan dagang makin tersingkir. Muncul dewa baru, dewa orang asing yang menyesatkan, Dewa Mammon, dewa kaum pengumbar nafsu, pengumpul sarana kenikmatan badan, para penghamba yang rendah derajatnya. Para kesatria tak layak berhitung laba dan rugi, tak boleh menyimpan uang dan membuat transaksi, tak boleh menjual, hanya membeli.
Seperti dalam dunia wayang, gerak laku kita pun berada dalam bayang-bayang para kesatria. Di masa pergerakan nasional, para kesatria muda tampil memerankan tokoh sang Bambang, keluar dari pertapaan melawan Bala Kurawa. Arkian, Haji Samanhudi yang pedagang digantikan Raden Cokroaminoto yang kesatria, dan Sarekat Islam kehilangan momentum emas untuk menaikkan derajat pedagang pribumi. Raden Cokro pun pada akhirnya berada di jalan buntu: sebagai kesatria ia hanya bisa membeli, dan kantung-kantung pendukungnya makin lama semakin kering. Dunia politik di Indonesia sejak zaman pergerakan adalah dunia para kesatria. Dunia para priayi. Dunia wayang.
Hatta, di sebuah sanggar, seorang penatah wayang sedang mengecat sabuk Sri Kresna dengan warna emas.
“ini tinta emas asli. Mahal sekali. Saya impor dari Negeri Cina,” ujarnya bangga.
Dok, dok, dok. Dan mulailah ki dalang melantunkan puji dan puja kepada sang Kresna.
Sumber: TEMPO, No. 40, Thn. XV, 1 Februari 1986
0 komentar:
Posting Komentar